Anda di halaman 1dari 11

TINGKEBAN DALAM TRADISI JAWA

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Of Al Qur’an and Al Hadits
Dosen pengampu : Hasanal Khuluqi, M.Ag

TBI 2-A

Di susun oleh :

Lailatul Fitriani (12203193006)

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MEI 2020
PENDAHULUAN

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW,
supaya beliau dapat menyerukan kepada seluruh manusia, agar manusia dapat
mempercayai wahyu itu, dapat mengamalkan segala ajaran-Nya. Inti dari Islam itu
sendiri adalah keyakinan terhadap Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.

Masyarakat Jawa atau tepatnya suku Jawa, secara antropologi, budaya


adalah orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa
dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa
merupakan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah,
tradisi maupun agama.1

Dewasa ini banyak orang Islam yang masih melaksanakan upacara


selamatan yang merupakan peninggalan nenek moyang yang dilatarbelakangi
oleh ajaran-ajaran non Islam. Tradisi yang sudah menjadi budaya masyarakat itu
sulit untuk dihilangkan, terutama dalam masyarakat jawa. Bagi orang jawa, hidup
ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran
hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak,
remaja, dewasa sampai dengan saat kematian.2 Salah satu tradisi ritual dalam
adat Jawa yaitu tingkeban atau mitoni yang termasuk dalam peristiwa kelahiran.
Tingkeban adalah upacara yang diadakan oleh wanita yang hamil pertama kali
ketika janin atau kandungannya genap berusia tujuh bulan.

Adanya tradisi atau kebiasaan yang didalamnya masih mengandung makna


yang percaya terhadap hal-hal yang berbau religius magis, akan tetapi pelaku
tradisi tersebut adalah seorang muslim yang berpedoman pada Al-Qur’an dan
hadits. Demikian halnya yang terjadi di Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol
Kabupaten Tulungagung adalah menarik untuk diteliti. Masyarakat Jawa Timur
secara turun temurun berpegang teguh kepada adat dan budaya Jawa. Hal ini
tidak lepas dari pengaruh adat dan budaya Jawa yang telah ada sejak dulu.

1
Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa’’, dalam M. Darori Amin (ed), Islam dan
Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 4
2
Ridin Sofwan, Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual, dalam M. Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2002, hlm 130-131.
PEMBAHASAN
A. Definisi Tradisi
Masyarakat Jawa terkenal dengan tradisi budaya3 yang beragam jenisnya
dan sampai tidak dapat terhitung jumlahnya, baik tradisi kultural yang bersifat
harian, bulanan hingga tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya Jawa tanpa
terkecuali. Sangat sulit untuk mendeteksi serta menjelaskan secara rinci terkait
dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam masyarakat Jawa karena
terdapat berbagai macam tradisi yang ada di masyarakat Jawa. 4

Membahas mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dengan masa kini
haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini
ketimbang sekedar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu.
Menurut arti yang lebih lengkap bahwa tradisi merupakan keseluruhan benda
material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada
kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan.

Tradisi (Bahasa Latin: tradition, artinya “diteruskan”) atau kebiasaan,


menurut artian bahasa merupakan sesuatu kebiasaan yang berkembang di
masyarakat, baik yang menjadi suatu adat kebiasaan atau yang diasimilasikan
dengan ritual5 adat atau agama. Atau di dalam pengertian lain, tradisi yaitu sesuatu
yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Biasanya sebuah tradisi dilakukan secara turun temurun baik
melalui informasi lisan yang berupa cerita, atau informasi tulisan berupa kitab-kitab
kuno atau juga yang terdapat pada catatan prasasti-prasasti.6

Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah


dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang

3
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi
4
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1982), hal 22
5
Ritual adalah tata cara dalam upacara keagamaan.
6
Pujiwati Sajogyo, Sosiologi Pembangunan (Jakarta: Fakultas Sarjana IKIP, 1985),
hal 90
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena
tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Ritual atau tradisi adalah identik dengan adat istiadat.7 Hanya saja
dalam pemahaman masyarakat Islam sedikit tidak ada perbedaan. Adat istiadat
biasanya dipakai sebagai tindakan atau tingkah laku yang berdasarkan pada nila-
nilai agama, sedangkan ritual atau tradisi adalah tingkah laku yang didasarkan
pada nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat.

Adat istiadat atau ritual suatu bangsa itu mulanya timbul dari kepercayaan
agama, yaitu sebelum datangnya Islam. Agama Islam setelah diyakini dan
diamalkan ajarannya oleh suatu bangsa kemudian baru melahirkan adat pula. Adat
yang dipengaruhi oleh agama merupakan perpaduan dari ajaran kepercayaan
agama Hindu Budha dan Islam. Contoh dari perpaduan itu antara lain tingkeban,
brokohan8 dan lain-lain.

B. Definisi Tingkeban

Kehamilan merupakan anugrah terbesar dari Allah bagi pasangan suami istri
dalam perjalanan rumah tangganya. Maka dari itu untuk rasa syukur pasangan
suami istri terhadap janin yang telah di kandung oleh istri diadakanlah ritual yang
khusus di peruntukkan bagi seorang wanita yang sedang mengandung, yaitu
selamatan9 yang disebut dengan Tingkeban. 10
Orang Jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh sudah di anggap
matang atau tua. Namun jika pada bulan ini belum lahir, calon orang tua atau calon
neneknya membuat selamatan disebut dengan mitoni atau Tingkeban. Mitoni
berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam
selamatan di buat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang

7
Adat istiadat adalah sistem norma atau tata kelakuan yang tumbuh, berkembang,
dan dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat secara turun temurun, sehingga intregasinya
menjadi kuat yang diiringi oleh pola perilaku masyarakat.
8
Brokohan atau biasa disebut dengan Barokaan (barokah) adalah adat orang jawa
dalam memperingati hari pertama dalam kelahiran bayi.
9
Selamatan atau selametan adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh
masyarakat jawa dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang
bersangkutan.
10
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Kajian Hukum-Hukum Walimah (Selamatan), Penerbit
Terbit Terang, Surabaya, 2009, hlm. 93.
memandikanpun dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan
pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah
menginjak masa tujuh bulan.
Menurut Sutrisno Sastro (2005:5-7).11

“Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini
mendapat pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar baik
bayi yang dikandung maupun calon ibu yang mengandung tetap diberikan
kesehatan dan keselamatan. Mitoni juga di sebut tingkeban, karena acara
ini berasal dari kisah sepanjang suami istri bernama Ki sedya dan Ni
Satingkeb, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai permohonannya
di kabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang
dilestarikan menjadi acara yang disebut Tingkeban atau mitoni ini”.

C. Perlengkapan Tradisi Tingkeban

Perlengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangkaian tradisi


tingkeban yakni adanya berbagai makanan seperti yang dijelaskan oleh Herawati
(2007:145-151).12

“Pertama, gudangan mateng (sayurnya di rebus), bahan sayur gudangan


mateng (masak) harus ada kangkung dan kacang. Keduanya tidak boleh
dipotong-potong. Semua sayuran rebus direbus serta bumbu gudangnya
pedas. Makna dari gudangan adalah hubungan manusia dengan
masyarakatnya adalah penting untuk menjaga kerukunan, keharmonisan
dan keseimbangan sosial. Untuk sayur yang disajikan berbentuk panjang
agar bayi yang kelak dilahirkan dapat berumur panjang. Kedua, rujak, terdiri
atas 7 buah-buahan da berasa pedas. Apabila bumbu rujak dibuat pedas
atau sedap melambangkan bahwa bayi yang dikandungnya kelak akan lahir
perempuan. Sedangkan bumbu rujak yang dibuatnya cenderung biasa-biasa
maka anak yang dilahirkannya kelak adalah laki-laki. Ketiga, aneka ragam
polo kependem, seperti kacang tanah, tales, ubi. Polo gumantung seperti
pepaya. Polo merambat yaitu ketela rambat dan waluh. Keempat, tumpeng

11
Sustrisno Sastro Utomo, Upacara Daur hidup adat Jawa, Effhar Offset,
Semarang, 2005, hlm 5-7.
12
Herawati I, Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban. Jantra, Jurnal Sejarah,
2007, hlm 145-151.
nasi putih, dibuat dalam bentuk kukusan ataupun kerucut. Tumpeng ini
biasanya dikelilingi oleh aneka sayuran pelengkap serta tempe atau tahu
goreng, kerupuk dan sebagainya. Kelima, pisang, pisang ini tida asal pisang,
tetapi dipilih jenis pisang raja dan pisang raja pulut dengan harapan bayi
yang dikandungnya selamat dan mudah dalam mencari rizki”.

Selain berbentuk makanan, tradisi tingkeban juga dilengkapi dengan


perlengkapan seperti kendi yang didalamnya berisi air, belut dan uang recehan
yang nantinya dijadikan media yang diperebutkan oleh anak-anak kecil disekitar
rumah. Simbolisasi antara kendi, belut dan uang recehan dapat diberikan
pemaknaan kendi diibaratkan perut seorang ibu yang sedang mengandung. Uang
recehan adalah simbol rejeki serta belut adalah bianatang yang licin untuk
ditangkap. Sehingga melalui symbol tersebut dimaksudkan agar keluarnya jabang
bayi dari perut ibunya selicin belut ketika berada dalam genggaman tangan.

D. Rangkaian Upacara Tingkeban

Agama-agama pada umumnya menimbulkan kebudayaan tertentu baik yang


berwujud tata cara, sikap hidup, falsafah dan pandanga hidup, nilai-nilai moral,
kesenian maka timbullah fenomena kehidupan seharihari terutama dalam bentuk
upacara-upacara. Upacara diselenggarakan dengan harapan supaya peristiwa
yang merugikan masyarakat atau kelompok tertentu janga sampai terjadi. Selain
itu juga dengan harapan supaya segala sesuatu yang dilakukan, diusahakan dan
dihadapi oleh seseorang dan oleh masyarakat akan memuaskan dan berlimpah-
limpah berkah barakah.

Ada empat tahap pelaksanaan upacara mitoni atau tingkeban, yakni


siraman,13 dilanjutkan memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung)
si calon ibu, kemudian upacara brojolan dan terakhir upacara ganti busana.
Ditambahkan oleh Bayuadhy (2015:24)14.

“Acara siraman dilaksanakan untuk calon ibu yang mengandung anak


pertama saat janin berumur tujuh bulan. Pelaksanaan siraman pada upacara

13
Siraman ini bermakna memohon doa restu agar proses persalinan lancar dan
jabang bayi lahir selamat sehat jasmani dan rohani.
14
Gesta Bayuadhy, Tradisi-tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa. DIPTA,
Yogyakarta, 2015, hlm 24.
mitoni atau tingkeban bisa dilaksanakan pada siang, sore, atau malam hari.
Waktu siraman tersebut biasanya sudah menggunakan petung yang
dilakukan oleh orang-orang Jawa yang tahu tentang dina apik (hari baik)
menurut tradisi Jawa”.

Seperti dijelaskan oleh Herawati (2007:140-141)15 sebagai berikut:

“Serangkaian upacara mitoni atau tingkeban secara umum dilakukan melalui


proses: “ pertama, siraman atau mandi sebagai simbol tanda penyucian diri
secara fisik maupun batin. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan
membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kelak apabila sang ibu
melahirkan tidak mempunyai beban moral dan proses kelahirannya menjadi
lancar. Kedua, upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain
(sarung) si calon ibu oleh sang suami melaui perut lalu telur dilepas sehingga
pecah. Upacara ini sebagai simbol harapan agar bayi dapat lahir dengan
mudah tanpa aral melintang. Ketiga, upacara brojolan yakni memasukkan
sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi
Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut ibu sampai
ke bawah. Makna simbolis dari ritual ini agar kelak bayi lahir dengan mudah
tanpa kesulitan dan gambar Kamajaya dengan Dewi Ratih atau Arjuna
dengan Sembadra melambangkan kalau si bayi kelak dilahirkan akan
memiliki rupa yang tampan ataupun cantik serta memiliki sifat-sifat luhur
seperti kedua tokoh tersebut. Keempat, upacara ganti busana dilakukan
dengan jenis kain sebanyak tujuh buah denga motif kain yang berbeda-beda.
Motif kain dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga
memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain seperti:
sidomukti melambangkan kebahagiaan, sidoluhur melambangkan
kemuliaan, truntun melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang
teguh, parangkusuma melambangkan perjuangan untuk tetap hidup, semen
rama melambangkan agar cinta kedua orang tua yang sebentar lagi menjadi
bapak ibu tetap bertahan selama-lamanya, udan riris melambangkan

15
Herawati I, Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban, Jantra, Jurnal Sejarah,
2007, hlm 140-141.
harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang lahir selalu
menyenangkan, cakar ayam melambangkan agar anak yang akan lahir kelak
dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelima, minum jamu
sorongan melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah
dilahirkan seperti di dorong atau disurung”. Selain berisi sajian makanan,
tradisi mitoni atau tingkeban pada sebagian muslim saat ini biasanya
mengadakan acara sima’an al-Qur‟an, pembacaan kitab al-Maulid, ataupun
pembacaan doa-doa yang lain.

E. Tradisi Tingkeban dalam Perspektif Agama Islam

Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental,


yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap
sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang ghaib, dalam agama Islam aspek
fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapat
rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau
diimani oleh muslim.16 Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan,
tetapi dalam perwujudannya dapat saling bertaut, saling mempengaruhi, saling
mengisi dan saling mewarnai perilaku seseorang, Islam merupakan suatu normatif
yang ideal, sedangkan tradisi merupakan suatu hasil budi daya manusia yang bisa
bersumber dari ajaran agama nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil
pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal sedangkan
tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia dan lingkungannya. 17

Di Indonesia terdapat beragam tradisi, salah satu ekspresinya ialah adat


istiadat dan budaya masyarakat Indonesia. Adat istiadat dan budaya tersebut
merupakan khasanah sosial yang memiliki nilai positif dalam masyarakat
tradisional. Dengan kata lain, adat istiadat dan budaya tersebut bukanlah monopoli
masyarakat masa lalu, tetapi juga tetap relevan bagi masyarakat modern. Bahkan,
sebagian masyarakat tidak memandang adanya klasifikasi adat istiadat
berdasarkan rentang waktu, kendatipun telah terjadi pergeseran-pergeseran

16
M. Darori Amin, Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual, dalam H. Ridin Sofwan (ed), Islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta: Gama media,
2002, hlm. 121-122.
17
Akhmad Taufik, MPd., dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 44
secara relatif. Adat istiadat telah dijadikan secara efektif menjadi alasan
komunikasi sosial dan sekaligus sebagai perekat antara individu atau antar
masyarakat adat.

Tradisi-tradisi dalam masyarakat Islam yang seringkali dicap sebagai


Bid’ah,18 karena alasan masalah itu tidak ada pada zaman Rosulullah dan zaman
salaf (angkatan pertama), atau karena tradisi itu hasil cangkokan tradisi
masyarakat pra-Islam di Indonesia, adalah banyak sekali, seperti: Selametan,
upacara-upacara pernikahan, kematian, kelahiran bayi, membangun rumah dan
lain-lain. Ada diantara tradisi tersebut sudah diisi penuh dengan nilai-nilai Islam,
meskipun namanya masih tetap atau sebagian penampilannya belum berubah
penuh, seperti “selamatan” yang sudah dihilangkan sesajennya19, diganti dengan
shodaqoh makanan, diisi dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan do’a kepada
Allah s.w.t.20

Tingkeban dapat diterima ditengah-tengah dalam kehidupan manusia


diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat
intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati
secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar
budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Nilai budaya tersebut
merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata
elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia
yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai
kesatuan material.

Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia untuk mendekatkan
diri pada Allah SWT.

18
Bid’ah adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah
ditetapkan seperti perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.
19
Sesajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang
pada upacara dat tertentu.
20
Muhammad Tholhah Hasan , Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan
Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005, Cet 3, hlm. 221-222
PENUTUP

Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban atau mitoni) merupakan bagian
dari budi pekerti Jawa yang memiliki makan filosofis dalam kehidupan. Dari
berbagai simbol tindakan dan ritual tingkeban atau mitoni tersebut tampak bahwa
masyarakat Jawa memiliki harapan keselamatan. Tradisi ini memang merupakan
kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam. Namun, tradisi ini sesuai
dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah
SWT dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan.

Tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis kehidupan yang baik, seperti :


pertama,melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan.
Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keselamatan. Ketiga, karakter
masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian diri ketika
memohon kepada Allah SWT.

Tradisi tingkeban yang ada saat ini merupakan akulturasi antara tradisi
masyarakat Jawa dengan ajaran agama Islam. Tradisi tingkeban atau mitoni di
Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung ini
merupakan salah satu bentuk tradisi dan ritual yang dilaksanakan untuk memohon
kepada Allah agar diberi keselamatan bagi jabang bayi dan ibu agar selamat
sampai proses melahirkan. Namun tradisi ini ada yang sekarang hanya dilakukan
sederhana saja, semuanya kembai pada keluarga yang mempunyai hajat.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori (ed), Islam dan kebudayaan jawa, Gama media, Yogyakarta,
2002.

Koentjaraningrat, 1982. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI Press.

Sajogyo, Pujiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan Jakarta: Fakultas Sarjana IKIP.

Saifulloh, Moh Al Aziz S, Kajian Hukum-Hukum Walimah (Selamatan), Penerbit


Terbit Terang, Surabaya, 2009

Utomo, Sustrisno Sastro, Upacara Daur hidup adat Jawa, Effhar Offset,
Semarang, 2005.

Herawati, I. 2007. Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban. Jantra : Jurnal


Sejarah. 2(5).

Bayuadhy, Gesta. 2015. Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa. Yogyakarta:


DIPTA.

Taufik, Akhmad, MPd., dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Tholhah Hasan, Muhammad, Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan


Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, Cet 3, 2005.

Anda mungkin juga menyukai