Anda di halaman 1dari 11

MAKNA SIMBOLIK SESAJEN DALAM TRADISI ADAT KARO DAN

PENGARUHNYA TERHADAP CARA PANDANG HIDUP MASYARAKAT TENGGER


SABRANG KULON DESA TOSARI

SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana

Oleh:
Anandio Rendy Pamungkas
NIM. 13040220130123

PROGRAM STUDI S-1 ANTROPOLOGI SOSIAL


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
1.1 Latar Belakang

Tradisi adat di berbagai wilayah di Indonesia tidak jauh dari unsur spiritualitas untuk
menunjukan rasa hormat dan rasa syukur terhadap dewa, roh, leluhur, nenek moyang, entitas
gaib, atau sejenisnya yang mereka percayai berpengaruh penting dalam peradaban manusia.
Unsur spiritual merupakan salah satu perihal penting dalam tradisi adat, yang di mana berbagai
upacara adat di Indonesia selalu berhubungan dengan kepercayaan spiritual yang dianut
masyarakat adat itu sendiri. Salah satu fenomena yang dapat memvalidasi pernyataan di atas
dapat kita lihat dari masyarakat di Kampung Cipicung Girang Kota Bandung. Dalam jurnal yang
ditulis oleh Ujang Kusnadi dkk. (2019) menjelaskan bahwa tradisi adat di Kampung Cipicung
Girang memiliki unsur spiritual yang melekat di dalam salah satu budaya yang merupakan hasil
akulturasi antara adat Hindu dan Islam, yaitu sesajen.

Sesajen sendiri merupakan sebuah kebudayaan yang cukup berpengaruh di berbagai


periode atau zaman dalam peradaban manusia. Menurut Humaeni Ayatullah dkk. (2021:13)
sesajen adalah sebuah tradisi budaya yang umumnya dilakukan sebagai bentuk penghormatan
kepada para dewa, roh, leluhur, atau entitas gaib di lokasi tertentu seperti pohon, batu,
persimpangan jalan, atau lokasi keramat lainnya. Tujuannya adalah untuk memohon
keberuntungan dan menjauhkan kesialan. Contohnya adalah ketika masyarakat di beberapa
wilayah Jawa masih melaksanakan upacara sebelum panen, yang mereka tujukan kepada Dewi
Sri, yang merupakan dewi padi dan kesuburan.

Sesajen ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu dan biasanya dilengkapi dengan


pembakaran dupa atau kemenyan sebagai simbol, sehingga maknanya bisa sampai kepada yang
dituju atau berharap leluhur dapat hadir untuk menghirup dan merasakannya. Upacara pemberian
sesajen yang kita lihat biasanya dilakukan oleh para pelaku tanpa memahami apa pentingnya
perbuatan ini bagi leluhur. Upacara ini menjadi rutinitas dan dianggap sebagai tindakan yang
diharapkan dapat mendapatkan timbal balik hasil yang diinginkan oleh pelaku upacara.

Menurut Koentjaraningrat (1992:263) sesajen sendiri merupakan suatu tindakan yang


dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat tertentu dengan cara menyajikan segala benda,
makanan, minuman, atau sejenisnya untuk di salurkan kepada dewa, roh, nenek moyang, ataupun
entitas gaib lainnya melalui suatu proses yang berbentuk ritual atau upacara. Dalam ritual sesajen
biasanya orang-orang melaksanakan ritual tersebut dengan cara memberikan makanan terenak
atau barang berharga milik mereka sebagai bentuk rasa hormat dan permohonan mereka terhadap
leluhur yang mereka percayai kehadirannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, sesajen merupakan suatu sarana komunikasi antara


manusia dengan alam gaib secara simbolik, seperti menurut Ariyono Suyono (1999:358) di mana
sesajen sebagai serangkaian makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bungaan, dan barang
hiasan yang disusun sesuai dengan prinsip keagamaan, sehingga menjadi sebuah simbol yang
memiliki makna. Dengan cara mempersembahkan sesajen kepada roh, dewa, nenek moyang,
leluhur, entitas gaib, dan makhluk spiritual lainnya, manusia ingin menjalin komunikasi atau
berhubungan dengan mereka. Hal ini bertujuan untuk mengekspresikan penghormatan dan
penyembahan terhadap entitas spiritual dalam berbagai budaya.

Budaya menggunakan sesajen ini banyak dikenal di berbagai tradisi adat di Indonesia
khususnya di tanah Jawa (Ujang Kusnadi dkk., 2019). Dalam adat istiadat orang Jawa pada masa
lalu, kekuatan alam dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Konsep sesajen kemudian dipengaruhi oleh berbagai pandangan agama-
agama yang ada pada masa lampau. Meskipun terjadi perkembangan dalam praktik sesajen dari
budaya Hindu dan Buddha ke agama Islam, wujud dan fungsi aslinya sebagai simbol
penghormatan dan persembahan kepada dewa, roh, nenek moyang, leluhur, dan entitas gaib
lainnya tetap dipertahankan. Seperti di Kampung Cipicung Girang, Kelurahan Ciumbuleuit,
Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, tradisi pembuatan sesajen masih terus dilestarikan oleh
masyarakat. Harapannya adalah agar generasi muda dapat mewarisi budaya ini dengan baik,
sehingga nilai-nilai dan kearifan lokal di Kampung Cipicung tetap terjaga. Selain itu, hal ini juga
membantu menjaga ekosistem di wilayah tersebut dan mempromosikan sikap saling
menghormati dengan makhluk hidup serta menghormati leluhur mereka di Cipicung Girang.

Setiap sesajen yang digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat Kampung Cipicung
Girang, memiliki makna seperti aroma harum dari kemenyan yang dibakar digunakan untuk
memberikan suasana yang harum dan segar di rumah, sementara sereh digunakan untuk
membersihkan dan menyucikan. Kaca, dalam konteks ini, mewakili refleksi diri setiap individu,
mengingatkan manusia untuk memahami tindakan mereka sendiri. Kopi dan rujak
melambangkan keragaman kepribadian setiap individu, yang memiliki karakteristik yang
beragam, namun bersatu dalam sebuah sesajen, mencerminkan pentingnya persatuan dalam
keberagaman (Ujang Kusnaidi dkk.,2019)

Dalam studi kasus di kampung Cipicung Girang yang mana sesajen ini dilakukan
berdampingan dengan kepercayaan masyarakat disana yang beragama islam, telah ditemukan
bahwa makna sesajen memiliki dampak positif yang signifikan dalam kehidupan bersama
masyarakat, karena filosofi sesajen terkait erat dengan prinsip keragaman dan juga memiliki
hubungan dengan praktik ibadah yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Hal ini
memberikan manfaat yang besar bagi semua elemen dalam masyarakat.

Tradisi memberikan sesajen dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan terus
berlangsung di masyarakat Muslim dan masyarakat Hindu hingga hari ini. Meskipun jenis
sesajen yang digunakan berbeda, semua upacara pemberian sesajen ini memiliki tujuan yang
sama, yaitu memohon keselamatan dan perlindungan dari kekuatan gaib dengan cara
menghormatinya melalui berbagai sajian dan doa-doa yang dipanjatkan untuk menghindari
bahaya atau malapetaka serta menghormati entitas gaib yang berbeda-beda nama dan jenisnya di
setiap wilayah.

Berdasarkan fenomena di atas, pada penelitian kali ini saya tertarik untuk menulis skripsi
dengan objek yang sama namun dengan wilayah penelitian yang berbeda. Kali ini saya akan
melakukan penelitian mengenai sesajen dengan studi kasus Masyarakat Suku Tengger. Hal ini
dikarenakan adanya kesamaan fokus mengenai objek yang diteliti di Kampung Cipicung Girang
dengan apa yang akan saya teliti di Masyarakat Suku Tengger Sabrang Kulon, yaitu makna
sesajen dalam tradisi adat karo dan pengaruhnya terhadap cara pandang hidup masyarakat.

Suku Tengger Sabrang Kulon merupakan sebuah suku yang berada di lereng Gunung
Bromo yang lebih tepatnya berada di Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Suku
tersebut dikenal dengan mayoritas masyarakatnya yang beragama Hindu. Masyarakat Suku
Tengger sampai saat ini masih sangat kental dengan adat istiadat dan juga kebudayaan yang
sudah ada sejak nenek moyang mereka. Suku Tengger sendiri dikenal dengan berbagai tradisi
adatnya yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang tertulis di kalender Suku Tengger.

Karena masyarakat Suku Tengger Sabrang Kulon secara geografis berlokasi di lereng
gunung, hal itu berpengaruh besar pada keyakinan mereka terhadap makna gunung tersebut. Bagi
mereka, Gunung Brahma yang sering disebut Bromo dianggap sebagai gunung yang memiliki
nilai suci. Suku Tengger sangat menghormati Gunung Bromo dan percaya bahwa nenek moyang
mereka bersemayam di dalam gunung tersebut. Oleh karena itu, banyak dari upacara yang
mereka lakukan adalah bagian dari penghormatan kepada nenek moyang mereka yang diadakan
di sekitar kaki Gunung Bromo.

Masyarakat Suku Tengger mengklaim bahwa mereka berasal dari keturunan Kerajaan
Majapahit yang terdesak oleh serangan dari Kerajaan Demak, di mana Raja Majapahit, Prabu
Brawijaya, melarikan diri bersama pengikutnya karena mereka tidak ingin memeluk agama Islam
seperti yang dilakukan oleh anaknya, Raden Patah (Waluyo, 1997:11-12). Di sisi lain, menurut
legenda yang dianut oleh masyarakat Tengger, nama "Tengger" berasal dari cerita Rara Anteng
dan Jaka Seger, yang dianggap sebagai nenek moyang mereka, dan konsep identitas ini masih
relevan hingga saat ini. Rara Anteng adalah keturunan Kerajaan Majapahit, yaitu putri dari Prabu
Brawijaya, sementara Jaka Seger memiliki keturunan Brahma (Warouw J. Nicolaas dkk.,
2012:13-19).

Masyarakat Tengger memiliki ciri esensial sebagai rakyat yang patuh pada pimpinan, taat
melaksanakan tradisi, seperti selamatan perayaan hari besar dan upacara adat. Salah satu upacara
adat Suku Tengger yang akan saya bahas disini adalah upacara adat Karo. Upacara Adat Karo
adalah tradisi adat yang dilakukan oleh penduduk Desa Tosari yang termasuk dalam Suku
Tengger, pada bulan kedua dalam kalender Tengger yang dikenal sebagai bulan Karo. Tujuan
utama dari upacara adat Karo adalah untuk melakukan penyucian diri pribadi. Menurut
masyarakat Desa Tosari, pelaksanaan tradisi adat Karo dianggap sebagai salah satu upacara adat
terbesar setelah upacara Yadnya Kasada (Warouw J. Nicolaas dkk., 2012:63-65).

Dalam upacara adat Karo terdapat komponen terpenting dalam berjalannya seluruh
urutan proses upacara adat tersebut yaitu sesajen. Berdasarkan apa yang saya temukan ketika di
lapangan, hampir seluruh urutan proses upacara adat Karo selalu dilengkapi dengan sesajen yang
tersusun rapi mulai dari Rakatawang, Mbeduduk, Merti Deso, Reluhan Leluhur, Resik Danyang
Banyu, Mblaraki, Mekakat, Pembacaan Kertijoyo, Tari Sodoran, Mendhak serta Puja Stuti
Jimat Klonthong, dan terakhir Dhederek Santi.

Setiap sesajen dalam tradisi adat Karo memiliki makna yang disampaikan secara
simbolik. Salah satu contohnya adalah sesajen Tumpeng. Sesajen tumpeng ini disajikan kepada
para leluhur yang sengaja diundang untuk menyantap berbagai sesaji yang ada. Sesajen ini
menggambarkan simbol ungkapan rasa syukur kepada Bahureksa dan Tuhan YME. Sedangkan
untuk isiannya juga memiliki maknanya tersendiri berupa Gedang Ayu yang menyimbolkan
sosok Bahureksa/leluhur yang gaib atau tidak kasat mata, dan Ayam Panggang yang memiliki
makna wujud pemersatu dalam keberagaman masyarakat Tengger. Hal ini menunjukkan bahwa
interpretasi masyarakat terhadap makna dari sesajen tersebut berpengaruh terhadap pandangan
hidup mereka yang sangat menghormati leluhur serta alam tempat mereka tinggal.

Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang dipilih secara
kolektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1980).
Pandangan hidup terdiri dari cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. Ketiga hal ini tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Sistem nilai memiliki dampak positif pada cara masyarakat
memandang dan memahami makna sesajen. Sistem nilai mencakup norma-norma dan sikap yang
ada dalam bentuk abstrak, yang tercermin dalam pola berpikir, dan dalam bentuk konkret yang
tampak dalam perilaku individu dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1996).

Melihat fenomena tersebut, saya merasa bahwa teori yang tepat untuk mengkaji
pemaknaan sesajen dalam tradisi adat Karo adalah Teori Interpretasi Simbolik. Geertz (dalam
Sudikan, 2007:38) menyatakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem simbol, sehingga dengan
demikian proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Oleh sebab itu,
makna kebudayaan yang bersifat simbolik dalam suatu masyarakat perlu diinterpretasi agar
maknanya dapat dipahami.

Adapun kebudayaan sendiri didefinisikan oleh Clifford Geertz sebagai dokumen atau teks
tindakan yang bersifat publik, sebuah konteks yang mendalam, sesuatu yang diciptakan, dan
terekspresikan melalui tingkah laku sosial (Geertz, 1992: 12-21). Definisi tersebut
menggarisbawahi bahwa manusia secara esensial adalah makhluk simbolis, yang berarti bahwa
komunikasi yang mereka lakukan selalu melibatkan penggunaan simbol-simbol. Dalam
penggunaan simbol-simbol ini, manusia menciptakan makna khusus yang pada akhirnya
membentuk suatu kerangka budaya.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang serupa dengan topik yang saya angkat
seperti yang pertama adalah penelitian dari Wahyuni, S., Alkaf, I., & Murtiningsih. (2020) yang
berjudul Makna Tradisi Sesajen dalam Pembangunan Rumah Masyarakat Jawa: Studi Kasus
Pembangunan di Desa Srimulyo Kecamatan Air Saleh Kabupaten Banyuasin. Dalam penelitian
tersebut menjelaskan bahwa tradisi sesajen dilakukan saat seseorang sedang membangun rumah,
khususnya pada tahap menaikkan kerangka atap rumah (molo) yang berfungsi sebagai
penyangga genteng. Sesajen adalah cara untuk menyampaikan harapan dan doa melalui
lambang-lambang yang tersedia dalam bentuk sesajen. Dalam konteks pembangunan rumah,
sesajen memiliki makna simbolis yang penting. Sesajen ini bisa berupa objek atau makanan yang
telah diproses dan diperoleh dari hasil bumi. Mereka mencerminkan harapan khusus kepada
Allah SWT, yaitu harapan bahwa keluarga yang akan tinggal di rumah baru tersebut akan
mendapatkan keberuntungan, kesejahteraan, dan harmoni dalam kehidupan keluarga.

Kemudian yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi Priyanto, A. I. K.,
Priyatiningsih, N., & Deswijaya, R. A. (2020) yang berjudul Makna Simbolik Sesajen Sedulur
Papat Lima Pancer Ing Dhusun Kedungwungkal Kecamatan Karangrayung Kabupaten
Grobogan (Studi Kasus Keluarga Cipto Tukiman-Gami). Dari pembahasan dan analisis hasil
penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sedulur Papat Lima Pancer adalah konsep yang
memiliki makna universal bagi orang Jawa. Namun, setiap individu dapat memiliki interpretasi
yang berbeda-beda terkait konsep ini. Beberapa orang mungkin menganggap Sedulur Papat
Lima Pancer sebagai representasi unsur-unsur alam seperti air, api, angin, dan bumi. Di sisi lain,
ada yang melihatnya sebagai simbol nafsu manusia, yang terdiri dari ammarah, supiah,
aluammah, dan mutmainnah.

Terakhir merupakan penelitian yang dilakukan Susanti (2018) yang berjudul Makna
Simbolik Sesajen dalam Kesenian Tradisional Kuda Lumping Sanggar Karya Budaya di Desa
Kemuning Muda Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak. Dalam penelitian ini, makna dari
sesajen dalam kesenian tradisional kuda lumping Sanggar Karya Budaya diinterpretasikan
berbeda-beda oleh beberapa perspektif informan. Bagi pawang, sesajen adalah cara untuk
mengundang roh-roh leluhur yang memasuki pemain kuda lumping, mewakili budaya Jawa dan
tradisi nenek moyang yang harus dilestarikan, serta memiliki nilai spiritual sebagai pengundang
roh-roh leluhur dan sebagai pelindung dari energi negatif. Pelatih memaknai sesajen sebagai
persembahan kepada leluhur sebagai tanda rasa syukur manusia, bagian dari budaya yang perlu
dijaga, dan memiliki nilai spiritual sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Pemain melihat
sesajen sebagai bagian dari tradisi budaya Jawa yang harus diwariskan secara turun-temurun dan
sebagai perlengkapan penting dalam pertunjukan kuda lumping. Sedangkan penonton
menganggap sesajen dalam kesenian kuda lumping sebagai bagian dari warisan budaya nenek
moyang, ciri khas pertunjukan kuda lumping, dan syarat penting dalam pertunjukan tersebut.

Ketiga penelitian yang telah saya sebutkan di atas memiliki relevansi terhadap topik
penelitian yang akan saya angkat, yaitu mengenai interpretasi atau makna simbolik dalam
sesajen di berbagai kebudayaan. Perbedaan topik penelitian saya terhadap ketiga penelitian
tersebut berada di ritual atau tradisi yang akan saya teliti, dimana dalam topik penelitian saya kali
ini saya akan mengangkat makna simbolik sesajen dalam tradisi adat karo. Kemudian terdapat
juga variabel lainnya yang menjadi topik penelitian saya yaitu pengaruh pemaknaan sesajen
dalam cara pandang hidup masyarakat Tengger.

Berdasarkan apa yang sudah saya uraikan di atas, fenomena-fenomena tersebut menjadi
alasan utama saya untuk mengambil topik penelitian ini. Penelitian ini memiliki urgensi untuk
menunjukan kepada masyarakat bahwa ritual dalam sebuah tradisi yang mengandung unsur
spiritual tidak selalu mengarah ke hal-hal yang negatif, melainkan dapat menjadi landasan
masyarakat dalam berperilaku dan menjadi pandangan hidup bagi masyarakat yang
melaksanakannya.

1.2 Rumusan Masalah


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Basid. (2019). Pendidikan Islam Sebagai Way of Life; Refleksi Pencarian Spektrum
Generasi Profetik. At- Ta’lim : Jurnal Pendidikan, 5(2), 97–109.
https://doi.org/10.36835/attalim.v5i2.68.

Adam, U. K., Yusup, A., Fadlullah, S. F., & Nurbayani, S. (2019). Sesajen sebagai Nilai hidup
bermasyarakat di Kampung Cipicung Girang Kota Bandung. Indonesian Journal of
Sociology, Education, and Development, 1(1), 27–35.
https://doi.org/10.52483/ijsed.v1i1.3

Agustina, Y. (2021). Makna Kultural pada Satuan Lingual Tradisi Sesajen Pasang Tarub. Makna
Kultural Pada Satuan Lingual Tradisi Sesajen Pasang Tarub Dalam Pernikahan Jawa,
10(2), 115–120. https://doi.org/10.15294/jsi.v10i2.42645

Binada, U. (2019). Konstruksi Identitas Komunal Masyarakat Adat Suku Tengger Dari Zaman
Kerajaan Hingga Pasca Reformasi. WASKITA: Jurnal Pendidikan Nilai Dan
Pembangunan Karakter, 3(1), 61–75. https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2019.003.01.6

Geertz, Cliffortz. (1973). The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books Inc.

Humaeni, Ayatullah., Purwanti, Eneng., Awaliyah, Azizah., Romi. (2021). Sesajen: Menelusuri
Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyrakat Hindu Bali.
LP2M UIN SMH Banten.

Hefner, Robert. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta:
LKiS.

Hefner, Robert. (1985). Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton
University Press.

Idham Rizkiawan. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat Tentang


Makna Sesajen Pada Upacara Bersih Desa. E-Journal Boga, Volume 5, No. 2(2), 13.

Lakonawa, P. (2013). Religion and the Formation of People’s Ways of View and Behavior.
Humaniora, 4(45), 790–799.
Koentjaraningrat. (1980). Sejarah Teori Antropologi I (Edisi ke 1), Jakarta : UI Press.

Koentjaraningrat, (1982). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.

Koentjaraningrat. (1992). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

Koentjaraningrat, (1996). Pengantar Ilmu Antropologi I.. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Sudikan, Setya Yuwana. (2007). Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press

Masdul, M. R. (2018). Komunikasi Pembelajaran Learning Communication. Iqra: Jurnal Ilmu


Kependidikan Dan Keislaman, 13(2), 1–9.

Nicolaas, J., Ambar, A., Darto, H., Aprilia, A., Aryo, P., Ni, Ayu, P., Pradnyaswari, A., &
Agustini, B. L. (2012). Inventarisasi Komunitas Adat Tengger Desa Ngadisari
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. 120.
http://repositori.kemdikbud.go.id/10600/1/inventarisasi%0Akomunitas%0Aadat
%0Atengger.pdf

Nofitasari, D. V., Rosyadi, I., Muslimin, M., Hendrawan, R., Yudistiro, K., Sa’adah, Z., &
Dharmawan, A. S. (2020). Harmonisasi Masyarakat Tengger Dalam Upacara Yadnya
Karo. Jurnal Ilmu Budaya, 8(1), 146. https://doi.org/10.34050/jib.v8i1.8519

Pangestu, P. A. N., & Sukarman, S. (2022). Tradisi Upacara Adat Karo di Desa Tosari
Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan. JOB (Jurnal Online Baradha), 18(3), 1157–
1176. https://doi.org/10.26740/job.v18n3.p1157-1176

Pratiwi Priyanto, A. I. K., Priyatiningsih, N., & Deswijaya, R. A. (2020). Makna Simbolik
Sesajen Sedulur Papat Lima Pancer Ing Dhusun Kedungwungkal Kecamatan
Karangrayung Kabupaten Grobogan (Studi Kasus Keluarga Cipto Tukiman-Gami).
Kawruh : Journal of Language Education, Literature and Local Culture, 2(2), 139.
https://doi.org/10.32585/kawruh.v2i2.1509

Riady, A. S. (2021). Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford Geertz. Jurnal
Sosiologi Agama Indonesia (JSAI), 2(1), 13–22. https://doi.org/10.22373/jsai.v2i1.1199
S, Mansur. (2018). Kearifan Lokal Kemalik Suku Sasak Untuk Menjaga Kelestarian Lingkungan
Hidup Dusun Sade. Gema Wiralodra, 9(2), 183–193.
https://doi.org/10.31943/gemawiralodra.vol9.iss2.351

Susanti, R. P. (2018). Makna Simbolik Sesajen Dalam Kesenian Tradisional Kuda Lumping
Sanggar Karya Budaya Di Desa Kemuning Muda Kecamatan Bunga Raya Kabupaten
Siak. Jom Fisip, 5, 1–15.

Wahyuni, S., Alkaf, I., & Murtiningsih. (2020). Makna Tradisi Sesajen dalam Pembangunan
Rumah Masyarakat Jawa: Studi Kasus Pembangunan di Desa Srimulyo Kecamatan Air
Saleh Kabupaten Banyuasin. El-Fikr: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam, 1(2), 50–63.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/elfikr/article/view/7295

Wicaksana, A., & Rachman, T. (1997). Sistem Pemerintahan Tradisional di Tengger. Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf

Anda mungkin juga menyukai