Abstract. The Julungan ceremony is a village clean tradition which is held every 7 months by
the community in Kalisoro Village, Tawangmangu District. The purpose of this study aims to
describe the Julungan ceremony as a village clean tradition in Kalisoro Village,
Tawangmangu Subdistrict in terms of cultural values. This research uses descriptive
qualitative method with terminology method and content analysis. The results of this study
can be concluded that the Julungan Ceremony is a traditional ceremony of clean village and
earth alms carried out in Kalisoro Village, Tawangmangu District, Karanganyar Regency.
The Julungan ceremony is held every Kliwon Tuesday at Wuku Juluwangi on the Javanese
calendar which is followed by the Kaliroso villagers. Cultural values can be seen from the
Julungan ceremony procession. Julungan as a ceremony that describes an expression of
gratitude to God is marked by continuing to commemorate and continue to preserve. This
research can be used as a knowledge to the Karanganyar community that the Julungan
ceremony is a traditional ceremony for generations that must be preserved and maintained by
the community by following the procession in the Julungan ceremony.
1. Pendahuluan
Kepercayaan Jawa didasarkan atas pandangan dunia Jawa yaitu keseluruhan keyakinan deskriptip
orang Jawa tentang realitas sejauh mana merupakan suatu kesatuan dari padanya manusia memberi
struktur yang bermakna kepada pengalamannya (Lukito Kartono, 2005).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Terdapat beribu-ribu suku dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda antar daerahnya. Keanekaragaman budaya di
Indonesia merupakan kekayaan yang tak ternilai sehingga perlu dilestarikan sehingga dapat
dikembangkan terus menerus dari generasi ke generasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan upacara tradisional (Cathrin, 2017).
Upacara tradisional yang dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap keramat cukup banyak
dilakukan oleh masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, baik yang tinggal di pegunungan,
dataran, pesisir pantai, maupun pulau-pulau kecil. Hal ini tidak terlepas dari tujuan yang diharapkan
atau hendak dicapai oleh komunitas masyarakat yang menyelenggarakan upacara tradisional tersebut
(Setiawan, 2002).
Di dalam upacara tradisional, masyarakat memberikan sesaji kepada hal gaib yang menguasai
tempat sakral tersebut. Pemberian sesaji tersebut tentunya disertai dengan harapan ada timbal-balik
yang diperoleh kembali. Seperti agar diberi kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan. Pemberian
sesaji dari masyarakat kepada hal gaib bisa disebut dengan persembahan. Seorang yang
mempersembahkan sesaji bisa sebagai simbol rasa syukur, menyembah, dan memberikan
penghormatan.
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa. Jika suatu bangsa kehilangan kebudayaannya
maka dapat dikatakan bahwa bangsa tersebut telah kehilangan identitasnya (Hidayah & Azizah,
2018). Hal tersebut mengandung makna bahwa kebudayaan adalah ciri khas suatu bangsa yang setiap
negara memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai masyarakat mempunyai kepentingan untuk
melestarikan dan menjaga kebudayaan tersebut agar kebudayaan yang menjadi ciri khas suatu bangsa
tidak hilang.
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain.
Kebudayaan dan adat-istiadat memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide,
maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan
manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan
juga cara berpikirnya (Reizya Gesleoda Axiaverona, 2018).
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang makna sesajen pada upacara
bersih desa adalah kebutuhan psikologis, latar belakang, pengalaman, kepribadian, nilai dan
kepercayaan, penerimaan diri, kebudayaan, struktur sosial, sistem nilai, dan pola keluarga.
Sedangkan faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor kebudayaan. Hal ini diduga karena
kebudayaan terbentuk dari tahun ke tahun sehingga sudah melekat di masyarakat. Sedangkan sistem
nilai merupakan faktor yang sedikit mempengaruhi persepsi masyarakat tentang makna sesajen pada
upacara bersih desa, hal tersebut diduga tidak adanya peraturan yang mengikat di desa tersebut yang
mengharuskan warga melakukan upacara bersih desa (Wahini, 2017).
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
menggunakan data berupa kata-kata dan menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau penulisannya
tidak menggunakan angka. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham naturalistik (fenomenologis) (Mulyadi, 2013). Pendekatan dalam penulisan karya tulis ini
adalah analisis isi dengan melakukan analisis terhadap sumber-sumber data yang diperoleh tentang
tradisi Julungan. Pengumpulan sumber-sumber data dilakukan dengan mengumpulkan literatur hasil
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Sumber data yang digunakan dapat berupa jurnal
maupun buku.
4. Simpulan
Upacara bersih desa Julungan adalah upacara adat yang dilaksanakan di desa Kalisoro Kecamatan
Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah yang bertempat di punden Kyai Honggodito.
Adanya Tradisi bersih desa Julungan yang berkembang pada masyarakat desa Kalisoro terdapat
mitos yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Aspek nilai budaya pada tradisi Julungan dapat
dilihat dari proses tradisi upacara Julungan berupa bersih desa dan iring-iringan kirab kesenian.
Dalam pelaksanaanya seluruh masyarakat desa Kalisoro bersama-sama dengan membawa aneka
sesaji yang untuk Kenduri dan sesaji yang untuk kondangan yang berupa cok bakal, tumpeng nasi
uduk, ayam ingkung yakni ayam utuh yang dimasak dan tidak dipotong-potong, kembang pundak,
ngantenan kembang mayang, jenawer, cengkaruk gimbal, dawet ati, panggang tempe, kelapa muda,
Encek-encek, geger sapi, dan rempah-rempah serta membawa sesaji berupa segala macam hasil bumi
seperti sayur mayur, buah-buahan, pala kependem atau umbi-umbian, dan macam-macam bunga.
5. Daftar Pustaka
Amborowati, A. (2013). Aspek Nilai-Nilai Sosial pada Tradisi Bersih Desa Julungan. xvi, 86.
Cathrin, S. (2017). Tinjauan Filsafat Kebudayaan Terhadap Upacara Adat Bersih-Desa Di Desa
Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Jurnal Filsafat, 27(1), 30.
https://doi.org/10.22146/jf.22841
Fitrianda, M. I. (2013). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember
Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember.
Hidayah, W., & Azizah, N. (2018). Pengembangan Wawasan Kebudayaan Melalui Teks Cerita
Rakyat “ Ta ’ Butaan ”. 263–276.
Lukito Kartono, J. (2005). Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya. Dimensi Interior,
3(2), 124–136.
Masruri, M. (2013). Kosmologi Danyang Masyarakat Desa Sekoto dalam Ritual Bersih Desa.
Penelitian, 7(2), 225–250.
Mulyadi, M. (2013). Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Pemikiran Dasar Menggabungkannya.
Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 15(1), 128. https://doi.org/10.31445/jskm.2011.150106
Reizya Gesleoda Axiaverona, R. S. (2018). Nilai Sosial Budaya Dalamupacara Adat Tetaken. Journal
of Development and Social Change, 1(1), 18–28.
Setiawan, B. (2002). UPACARATRADISIONAL MASYARAKAT LERENG GUNUNG LAWU,
KABUPATEN KARANGANYAR, PROVINSI JAWATENGAH: Suatu Wujud Interaksi
Manusia Dengan Alam. Jurnal Patrawidya, 18(3), 311–323. https://doi.org/10.1046/j.1365-
2958.2002.03014.x
Wahini, M. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat Tentang Makna Sesajen
Pada Upacara Bersih Desa. 5(2), 11–17.