Anda di halaman 1dari 9

PERGESERAN NILAI MITOS DAN RITUAL DALAM TRADISI RUWATAN MATA

AIR PADA DESA SIKUNANG

Anbiyaa Gusti Maha


Departemen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
anbiyaa15@gmail.com

Abstrak
Berawal melalui residensi kecil di Dieng, paper ini bermaksud untuk menganalisis praktik
lokalitas berupa ritus tradisi ruwatan yang berada pada Desa Sikunang, Kejajar, Wonosobo,
Jawa Tengah. Penelitian ini berupaya mengaitkan antara mitos dan ritual dengan pembentukan
identitas budaya masyarakat serta memetakan tradisi ruwatan di Desa Sikunang yang
menggambarkan kondisi hubungan masyarakat dengan alam. Ruwatan merupakan istilah Jawa
yang berasal dari kata ruwat, dimaksudkan untuk membersihkan atau melepaskan dari kutukan
atau kemalangan. Pada tahun 2017-2019 Desa Sikunang mengalami kekeringan dimana
berimbas pada kesulitan dalam pengairan ladang oleh penduduk yang notabenenya merupakan
petani. Demi mendatangkan kembali mata air yang mengering dan upaya pelestarian alam
ruwatan dilaksanakan. Salah satu hasil temuan dari penelitian ini merupakan syarat-syarat
dilakukannya ritus dalam rentetan ritual. Dalam ritus, mitos dilanggengkan sebagai sarana
transfer materi kepada generasi lebih muda. Namun kini pemaknaan ruwatan semata-mata
dipandang sebagai acara simbolis tanpa adanya kedekatan batin antara masyarakat dengan mata
air.

Penelitian ini beranjak dari praktik kebudayaan sebagai media untuk berefleksi, melihat ulang
sejarah, dan mengacu tradisi sebagai pijakan untuk menyikapi masalah (dalam hal ini
kekeringan), di mana kebudayaan sebagai cermin kehidupan sosial. Menggunakan metode
observasi partisipatoris dan dikuatkan dengan wawancara, peneliti berusaha menghimpun data
melalui memori kolektif masyarakat setempat.
Kata Kunci: Ruwatan, Mitos, Ritual, Tradisi

Abstract
Beginning with a short residency in Dieng, the purpose of this study is to examine local
practices in the form of ritual ceremonies in Sikunang Village, Kejajar, Wonosobo, Central
Java. This study aims to connect myths and rituals to the construction of community cultural
identity, as well as to map the ruwatan tradition in Sikunang Village, which reflects the
community's interaction with nature. Ruwatan is a Javanese term derived from the word ruwat
that means "to purify or liberate from curses or affliction." Sikunang Village endured a drought
from 2017 to 2019, which made irrigating fields difficult for locals who were additionally
farmers. Ruwatan was carried out in order to restore dry springs and to preserve nature. The
conditions for carrying out the rites in a succession of rituals is one of the study's findings.
Myths are perpetuated in rituals as a means of passing on knowledge to the next generation.
Yet, the meaning of ruwatan is now just viewed as a ceremonial occasion without deep
connectedness between the community and the spring.

This study departs from cultural activities as a medium for reflection, revisiting history, and
referring to traditions as a foundation for addressing problems (in this case, drought), where
1
culture is a mirror of social life. The researchers attempted to collect data through the collective
memory of the local community by using the participatory observation approach, which was
supplemented by interviews.
Keywords: Ruwatan, Myth, Rituals, Traditions

A. PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa memiliki keanekaragaman budaya, termasuk di dalamnya praktik-
praktik lokalitas yang berbeda pada tiap daerahnya. Di mana kebudayaan tersebut dilestarikan
secara turun-temurun sesuai dengan adat istiadat, tradisi, dan nilai budayanya. Pewarisan
budaya ini ditujukan sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan interelasi
terhadap alam dan lingkungan. Sebagaimana kutipan Karkono oleh Imam Sutardjo yang
menyebutkan jika kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan,
keselamatan lahir dan batin merupakan cakupan pancaran atau pengejawantahan budi manusia
Jawa dalam kebudayaan Jawa (Sutardjo, 2008: 14-15). Seperti halnya tradisi yang
diperuntukkan menjaga mata air agar tetap mengalir demi kelangsungan hidup masyarakat. Air
sendiri merupakan sumber daya alam paling esensial dan mutlak diperlukan semua makhluk
hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan (Manik, 2018: 121). Contoh tradisi yang
bertujuan untuk merawat air adalah ritual ruwatan mata air yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Sikunang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Penelitian ini bermula dari keikutsertaan penulis dalam Residensi Kecil Tani Jiwo yang
diadakan oleh Yayasan Desa Akar Karsa di Dataran Tinggi Dieng. Penulis pada akhirnya
tertarik menyoroti praktik lokalitas yang ada di Desa Sikunang dikarenakan biarpun terletak di
dataran tinggi di mana notabenenya air berlimpah, di musim kemarau desa ini mengalami
kekurangan air. Hal ini terjadi pada tahun 2017-2019, di mana Desa Sikunang mengalami
kekeringan dan berimbas pada kesulitan dalam pengairan ladang oleh penduduk. Kemudian
ditemukan jika sebenarnya ada tradisi ruwatan mata air yang rutin dilakukan tiap tahun demi
mendatangkan mata air di desa ini, meskipun begitu tetap saja air yang mengalir tidak cukup
untuk pengairan ladang selama musim kemarau. Hal ini menjadi persoalan yang menarik untuk
ditelusuri lebih lanjut.
Tradisi ruwatan merupakan salah satu upacara ritual adat Jawa yang sangat terkenal di
kalangan masyarakat tradisional suku bangsa Jawa. Ruwatan sendiri merupakan istilah Jawa
yang berasal dari kata ruwat, dimaksudkan untuk membersihkan atau melepaskan dari kutukan
atau kemalangan. Maurin et. al. mengutip dari Relin jika tradisi ruwatan dibagi menjadi tiga
jenis, yakni tradisi ruwat untuk diri sendiri, lingkungan, dan desa atau wilayah (Maurin et al.,
2020: 25). Tradisi ini erat kaitannya dengan spiritualitas dan kepercayaan masyarakat setempat.
Pada kasus Desa Sikunang makna dari tradisi ruwatan dilanggengkan dengan legenda atau
mitos penjaga mata air yang diturunkan melalui senandung tembang pada salah satu urutan
ritus. Praktik ini merupakan bagian dari tradisi lisan seperti dituliskan oleh Cahyanti et. al. jika
bentuk-bentuk tradisi lisan adalah: (1) sage, (2) mitos, (3) fabel, (4) legenda, (5) dongeng, (6)
epos, (7) kepercayaan rakyat, (8) serat, (9) puisi dan nyanyian rakyat, (10) ungkapan
tradisional atau peribahasa, (11) mantra, (12) pertanyaan tradisional atau teka-teki (Cahyanti et
al. 2017: 14). Namun, kini pemaknaan dan praktik ritus ruwatan pada Desa Sikunang telah
mengalami pergeseran yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab hasil dan pembahasan
makalah ini.
Secara garis besar penelitian ini beranjak dari praktik kebudayaan sebagai media untuk
berefleksi, melihat ulang sejarah, dan mengacu tradisi sebagai pijakan untuk menyikapi
masalah (dalam hal ini kekeringan), di mana kebudayaan dilihat sebagai cermin kehidupan

2
sosial. Kemudian penelitian ini juga berusaha untuk melihat bagaimana tradisi lisan
berpengaruh pada masyarakat Desa Sikunang.

B. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Di mana etnografi itu sendiri
merupakan pendekatan empiris dan teoritis dengan tujuan mendapatkan deskripsi serta analisis
mendalam mengenai kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan atau fieldwork yang intensif
(Yusanto, 2019: 5). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif berdasarkan masalah dari uraian bab sebelumnya. Seperti dituliskan oleh Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 2012: 4) bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang terdiri dari perilaku-
perilaku yang dapat diamati. Lebih lanjut, penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mendalami
suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Wonosobo tepatnya pada Desa
Sikunang yang berada pada Kecamatan Kejajar dengan dilandasi tujuan ingin mengetahui
secara detail mengenai mitos dan ritual dalam tradisi ruwatan mata air yang masih
dipertahankan masyarakat sekitar. Penduduk masyarakat Desa Sikunang mayoritas adalah
pemeluk agama islam dan berprofesi sebagai petani. Memiliki 2357 jiwa, Desa Sikunang
merupakan desa swakarya dengan penduduk mayoritas tamatan sekolah dasar.
Pemilihan informan atau subjek penelitian merupakan hal yang krusial dan menentukan
kekayaan data yang didapat. Maka dari itu informan yang menjadi subjek penelitian harus
memiliki kriteria sebagai berikut: (1) informan merupakan pelaku budaya atau pemangku adat
yang paham betul makna dan prosesi ritual tradisi ruwatan, (2) masyarakat berdomisili pada
Desa Sikunang, dan (3) masyarakat yang pernah mengikuti tradisi ruwatan mata air Desa
Sikunang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini merupakan observasi
partisipatoris dan dikuatkan dengan wawancara yang kemudian dihimpun berlandaskan
kumpulan memori kolektif masyarakat setempat. Jenis wawancara yang diterapkan dalam
penelitian ini merupakan wawancara tak berstruktur, di mana pertanyaan yang diajukan dalam
wawancara tidak terikat dengan tujuan dan bersifat leluasa sehingga informan dan peneliti dapat
berkomunikasi secara lapang dan data yang didapatkan lebih luas dan menyeluruh. Lebih lanjut,
data yang didapatkan akan berlanjut ke tahap berikutnya yakni analisis data. Miles dan
Huberman (dalam Cahyanti et al., 2017: 16) menyebutkan jika teknik analisis data terjalin dari
tiga alur kegiatan, yakni: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan dan
verifikasi temuan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Sejarah dan Deskripsi Ruwatan Mata Air
Ruwatan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang keberadaannya sudah
ada sebelum agama samawi masuk ke dalam nusantara. Masyarakat Jawa masih
melaksanakan ruwatan hingga saat ini walaupun agama dan kepercayaan yang dianut
sudah beragam. Dalam buku Filosofis Ruwatan Dalam Era Modernisasi Pada
Masyarakat Jawa dituliskan jika masyarakat Jawa (terutama orang berada/kaya,
pejabat, intelektual) masih melaksanakan ruwatan bahkan secara besar-besaran
dikarenakan keyakinan mengenai pelaksanaan tradisi ruwatan dapat menghilangkan
sukerta/kesialan hidup (Relin DE, 2015: 1). Hal ini juga merupakan makna yang dianut
oleh masyarakat Desa Sikunang, di mana ruwatan ditujukan sebagai penghilang
kemalangan yang disebabkan oleh kekeringan dengan harapan munculnya kembali
mata air di desa tersebut.
3
Kepercayaan merupakan faktor besar dalam mempertahankan ruwatan, terlebih
orang Jawa juga sangat percaya dengan legenda yang memainkan peranan penting
dalam mendidik dan mengembangkan pikiran anak muda. Termasuk tradisi ruwatan
mata air pada Desa Sikunang yang memiliki pesan bahwa mata air adalah kunci
kehidupan yang harus selalu dilestarikan dengan cerita mitos yang disebarkan secara
turun-temurun melalui metode mulut ke mulut sebagai pengantar tidur dan juga melalui
tembang yang dinyanyikan sinden pada salah satu tahapan prosesi ruwatan.
Bicara mengenai mitos, menurut cerita dari pemangku adat setempat, konon
katanya Desa Sikunang dulunya memiliki mata air sebesar telaga yang digunakan untuk
pengairan sehari-hari dan ladang kebun mereka. Melalui wawancara yang dilakukan
selama observasi di lokasi, masyarakat banyak menyebut mata air ini dengan banyak
sebutan, diantaranya adalah: tandon, kali sikunang, si kundang dan sikandang. Mata air
tersebut ditunggui oleh Danyang atau Mbahurekso yang harus selalu dihormati dan
dituruti tiap aturannya. Danyang atau Mbahurekso adalah makhluk astral yang
menunggui mata air tersebut. Hal ini didasari dengan latar belakang sejarah
kepercayaan masyarakat jawa yang berakar pada kepercayaan animisme, yakni sebuah
paham yang mendasarkan keyakinan pada peranan makhluk halus atau roh-roh
(Adiansyah, 2017: 302). Maka dari itu mata air itu menjadi tempat yang sakral dan tidak
diperbolehkan orang melakukan hal-hal buruk di sekitar mata air tersebut. Pantangan-
pantangan tersebut diantaranya adalah merusak lingkungan sekitar mata air dan
menebang pohon yang ada pada wilayah sekitar mata air. Jika dilanggar maka Danyang
akan marah dan masyarakat Desa Sikunang akan dijatuhi kemalangan. Hal lain yang
dinilai akan membuat Danyang marah adalah tidak menyaji atau memberi timbal balik
baginya sebagai sedekah bumi ucapan syukur atas karunia mata air yang ada. Dari
sinilah ruwatan muncul sebagai tradisi sedekah bumi yang menjembatani masyarakat
dengan Danyang sebagai simbol ungkapan syukur.
Pemangku adat lalu menyebutkan jika pada suatu momen, masyarakat desa
mulai lalai akan kewajiban melaksanakan ruwatan dan mulai melanggar pantangan-
pantangan yang ditetapkan. Hal ini membuat Danyang mata air tersebut marah besar
dan kemudian memindahkan mata air ke tempat lain hingga kini Desa Sikunang tak
memiliki mata air mandiri yang menyebabkan masyarakat harus bergantung pada mata
air desa tetangga untuk bertahan pada musim kemarau panjang. Menurut pemangku
adat setempat, air dari mata air tersebut berpindah ke daerah Kaliunjar dengan nama
Sikendang yang terletak pada Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo.
Kehilangan mata air sama artinya dengan masyarakat kehilangan sumber utama
kehidupan mereka. Hal ini kemudian menyadarkan masyarakat untuk kembali
mengaktifkan tradisi ruwatan dengan harapan mata air tersebut dapat kembali.
Masyarakat sangat yakin mata air ini dapat kembali dikarenakan sang pemangku adat
mendapatkan penglihatan mengenai Danyang penjaga mata air tersebut akan
mengembalikan mata air jika masyarakat rajin melaksanakan ruwatan. Selain itu telah
dikonfirmasi oleh pemangku adat Desa Sikunang kepada juru kunci mata air yang ada
di Kaliunjar jika betul mata air tersebut merupakan mata air pindahan dari Desa
Sikunang. Cerita ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi dan melanggengkan
kesadaran untuk meruwat bumi menggunakan nilai lokalitas yang mereka miliki
dengan harapan mata air tersebut muncul dan mengangkat keterpurukan dari kurangnya
air. Di mana hal ini dapat dimaknai sebagai pemanfaatan tradisi lisan sebagai materi
pembelajaran pada generasi muda.

b. Rangkaian Tradisi Ruwatan Mata Air


4
Praktik lokalitas pada tiap daerah yang dihuni oleh masyarakat Jawa tentunya
berbeda. Termasuk ruwatan yang ada di daerah Kabupaten Wonosobo. Menurut
narasumber penulis yakni pelaku budaya yang aktif berkesenian di Kabupaten
Wonosobo, tradisi ruwatan yang ada di kabupaten ini mengadaptasi ruwatan yang ada
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kabupaten
Wonosobo yang berdiri sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai
pertempuran dalam Perang Diponegoro. Pada awalnya ruwatan di Wonosobo ditujukan
sebagai media perenungan masa paceklik dan diadakan ketika panen raya. Jaman
dahulu ketika ada masa paceklik masyarakat akan mengalami gagal panen hingga dapat
mengakibatkan kematian massal. Masyarakat tidak menyerah dan terus mencari solusi
agar keluar dari masa kelam tersebut. Maka dari itu ruwatan ini bertujuan untuk
memperlihatkan bahwa mereka tegar dalam menghadapi bencana kekurangan pangan
tersebut dan juga syukur atas pemberian limpahan hasil panen dari Sang Maha Kuasa.
Kemudian jika berbicara mengenai ruwatan pada masa kini, tiap desa pada
Kabupaten Wonosobo memiliki format yang berbeda mulai dari syarat, tari, doa hingga
rentetan acara. Meskipun begitu, setiap desa masih memiliki kemiripan atas tujuan
diadakannya ruwatan, yakni rasa syukur atau permohonan menghilangkan kemalangan.
Di dataran tinggi Dieng, khususnya di daerah Wonosobo, tradisi ruwatan erat dengan
tari lengger yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian ritual ruwatan. Dalam
ruwatan yang ada pada Desa Sikunang sendiri syarat yang harus ada pada
penyelenggaraan ruwatan antara lain, dibutuhkan wedhus kendhit, selendang payag,
payung kencana, tujuh tumpeng beserta jajanan pasar dan terakhir mengadakan
gendotan atau tayuban. Syarat ini kemudian menjadi landasan rentetan berlangsungnya
ruwatan mata air yang ada di Desa Sikunang. Tentunya tiap syarat ini memiliki makna
filosofis dan juga beberapa dari rangkaian ritual yang dilakukan telah mengalami
pergeseran.
Syarat pertama yang dibutuhkan adalah wedhus kendhit. Dipaparkan oleh
pemangku adat Desa Sikunang jika wedhus kendhit ini berguna sebagai simbol tolak
bala dan pengikat masyarakat. Wedhus kendhit sendiri merupakan kambing berbulu
hitam, namun bagian punggungnya putih, mirip selendang putih yang melingkar di
badannya. Warna putih dalam perlu kambing tersebut dipercaya oleh masyarakat
sebagai lambang sebuah unsur perlindungan (Yusuf & Basyid, 2020: 151). Kemudian
wedhus tersebut disembelih untuk dimasak lalu dimakan bersama-sama oleh
masyarakat Desa Sikunang.
Syarat kedua adalah payung kencana terbuat dari kardus dan dihiasi benang lawe
tujuh warna. Pemuka adat setempat menjelaskan jika benang lawe yang digunakan
bertujuan untuk tolak bala. Adapun tiga warna pokok yang wajib digunakan adalah
hitam, merah dan putih. Sedangkan warna empat benang lainnya dibebaskan selama
ada tujuh macam warna benang terpasang pada payung kencana. Benang lawe sendiri
merupakan benang hasil proses pemintalan yang belum mendapat pilinan sehingga
struktur benangnya belum kuat. Selain digunakan dalam ruwatan, benang lawe juga
biasa digunakan sebagai gelang bagi bayi sebagai simbol kehidupan atau dalam upacara
pernikahan sebagai simbol ikatan pernikahan. Adapun makna filosofis benang lawe
pada sumber lain adalah pada kehidupan anak yang diruwat pastinya akan ada lika-liku
kehidupan sebagaimana benang yang dapat saja kusut, tetapi diharapkan anak yang
telah diruwat dapat menjalani hidupnya seperti benang lawe yang baru dan tidak mudah
kusut, tidak mudah membuat kesalahan yang merugikan orang lain (Sugiarti & Fitriani,
2021: 48).

5
Syarat ketiga adalah selendang payang dan sedah kinang. Selendang payang
diartikan sebagai pengikat masyarakat agar tetap dekat dan selalu menjalin hubungan
baik antar sesama. Sedah kinang atau nginang merupakan kegiatan mengunyah ramuan
kinang hingga mulut berwarna merah karena ramuannya. Bahan-bahan yang digunakan
diantaranya adalah daun sirih, gambir, tembakau, kapur sirih, dan buah pinang yang
memberikan warna merah. Kegiatan ini difilosofikan jika hidup itu tidak menentu
terkadang terasa hambar atau bahkan hambar. Nginang sendiri merupakan kebiasaan
yang bisa dijumpai hampir di seluruh daerah di Indonesia (Sadewo et al., 2018: 5).
Syarat selanjutnya adalah tujuh tumpeng dan jajanan pasar yang akan dibawa ke
titik mata air yang diselamati. Sama halnya dengan wedhus kendhit, tumpeng dan
jajanan pasar tersebut nantinya akan disantap bersama oleh warga desa. Pemuka adat
setempat menambahkan, ragam sajian yang sudah dipersiapkan dibagikan dan dimakan
bersama warga desa merupakan instruksi dari Danyang penunggu mata air. Beliau
melanjutkan bercerita jika mbaurekso atau danyang yang menjaga mata air Desa
Sikunang ini berjumlah tujuh maka dari itu sesajen yang dipersembahkan harus tujuh
tumpeng dan tujuh warna benang lawe.
Berikutnya adalah syarat terakhir dan penutup perayaan ruwatan mata air yakni
gendotan. Di mana gendotan sendiri diartikan sebagai kebersamaan warga. Dalam
praktik ruwatan masa kini, gendotan yang ada pada Desa Sikunang telah mengalami
pergeseran bentuk. Umumnya tahapan gendotan diisi dengan tari lengger, namun
dikarenakan warga Desa Sikunang yang mayoritas adalah buruh tani tidak mampu
untuk menyewa jasa para penari lengger, gendotan yang ada hanya menyewa sinden
dan pemain gamelan. Tembang yang dinyanyikan pun tetap tembang yang biasanya
digunakan sebagai pengiring tari lengger. Ruwatan di dataran tinggi Dieng, khususnya
di daerah Wonosobo erat dengan tari lengger sebagai bagian dari rangkaian ritual
ruwatan. Hal ini dikarenakan menurut sejarahnya tari lengger diperkirakan berasal dari
semacam ungkapan rasa terimakasih kepada dewa-dewi kesuburan (Suraji, 2018: 128).
Selain menjadi bagian ritual, tarian ini merupakan hiburan umum di Wonosobo. Tari
lengger merupakan hiburan rakyat, hal ini dapat dilihat melalui panggung pendek yang
digunakan para penari lengger saat pentas agar rakyat dapat masuk menari bersama
para lakon. Lengger memiliki tembang tertentu dalam pementasannya. Tembang-
tembang yang ada pada pementasan lengger juga akan menentukan cerita serta para
lakon yang bermain. Identik dengan topeng, dalam lengger cerita lakon dan tembang
menjadi poin utama dari tarian ini. Cerita dalam tari ini digunakan untuk sarana transfer
materi generasi tua ke generasi dibawahnya. Materi ini adalah pembelajaran hidup
seperti norma dan budaya.
Ruwatan mata air ini diadakan berdasarkan tanggalan jawa pada bulan suro
tepatnya pada tanggal 10 dan berlangsung dalam sehari. Semua rentetan dilaksanakan
dalam satu hari. Pagi hari dimulai dengan pemotongan wedhus kendhit yang kemudian
dimasak. Setelah matang, wedhus kemudian ditata bersama selendang payang, payung
kencana, tujuh tumpeng beserta jajanan pasar dan dibawa bersama ke tempat mata air
berada. Selendang payang akan dipasang pada paralon yang menancap pada mata air
yang kering. Kemudian pemuka adat akan menyelamati dengan doa mata air tersebut.
Setelah pembacaan doa selesai, syarat-syarat yang berbentuk makanan dibagikan pada
warga untuk dinikmati bersama. Sedah kinang atau nginang dilakukan oleh para tetua
desa selama ruwatan berlangsung. Malam harinya barulah gendotan dilaksanakan.

c. Perubahan dan Pergeseran Nilai Mitos dan Ritual Ruwatan Mata Air

6
Masyarakat Desa Sikunang memang rutin mengadakan ruwatan mata air tiap
tahunnya, tetapi ada beberapa pergeseran bahkan perubahan pada nilai mitos dan ritual
ruwatan mata air ini dibandingkan dengan yang sudah ada sebelumnya. Buwaiti
menuliskan jika perubahan itu dapat melibatkan semua faktor seperti: sosial, ekonomi,
politik dan budaya (Latifah et al., 2021: 51). Perlu diketahui jika mayoritas masyarakat
desa ini memilih untuk mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren. Hal ini
menunjukkan jika masyarakat mulai bergeser untuk lebih dekat dengan agama samawi.
Kemudian anak-anak yang sudah menginjakkan usia produktif memilih untuk tidak lagi
tinggal di desa ini. Maka dari itu kebanyakan masyarakat adalah lansia dengan latar
belakang pendidikan yang rendah. Dikarenakan faktor inilah masyarakat masih
memegang erat kepercayaan pada dunia spiritualitas untuk mengadakan ruwatan
meskipun sudah memeluk agama samawi di mana ajaran agama ini menganggap syirik
takhayul. Di sinilah titik bergesernya nilai ruwatan. Jika dulunya ruwatan ini dianggap
sebagai syirik karena dianggap menyembah makhluk astral, kini ruwatan dianggap
sebagai sedekah bumi dan ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Kemudian pergeseran ini
dapat ditinjau dari bergesernya pelaksanaan sesajen yang dulunya ditanamkan dan
ditinggal di dekat mata air dengan anggapan akan dimakan oleh Danyang, kini
dibagikan untuk dikonsumsi warga dengan anggapan akan mubazir dan syirik.
Bergesernya pemaknaan ini juga mempengaruhi perubahan sosial yang ada pada
masyarakat Desa Sikunang. Masyarakat mengikuti rentetan ritual ruwatan hanya
sebagai pelestarian budaya tanpa diikuti konsepsi pelestarian alam dalam
kesehariannya. Dahulu adanya kepercayaan mengenai manfaat air di tempat sakral serta
kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan air mendasari terciptanya ruwatan
yang cukup efektif dalam upaya konservasi lingkungan, khususnya air bersih.
Masyarakat yang dulu lebih berhati-hati dalam bertindak dan selalu mengupayakan agar
alam tidak rusak dengan adanya ketakutan jika Danyang marah dan menciptakan
bencana. Pemuka adat memaparkan kini masyarakat tidak begitu percaya lagi dengan
makhluk astral, ketakutan itu memudar dan masyarakat lebih tidak peduli akan
keberlangsungan alam mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga yang
mendasari mengapa mata air desa ini tak kunjung kembali dan berpengaruh pada
perekonomian mereka. Karena tidak tersedianya air untuk pengairan ladang yang
menjadi sumber penghasilan mereka.
Walaupun mitos yang tersebar dan tembang yang dinyanyikan pada ritual tetap
menjadi sarana transfer materi, pesan yang tersampaikan tidak sejelas dahulu. Hal ini
dapat dilihat dari gendotan yang dulunya berisi cerita dari lakon tari lengger bergeser
menjadi hanya sinden bernyanyi yang diiringi gamelan. Jika menempatkan kebudayaan
sebagai cermin sosial maka dapat dilihat jika Desa Sikunang yang saat ini mengalami
kehilangan mata air juga merupakan cerminan masyarakat yang kini tak lagi melihat
konservasi alam itu penting. Terhambatnya transfer materi melalui tradisi lisan juga
ambil andil dalam perubahan sosial yang ada di desa ini.

D. SIMPULAN
Ruwatan mata air di Desa Sikunang merupakan praktik lokalitas yang bertujuan untuk
melestarikan mata air yang ada. Di mana kearifan lokal menjadi salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ruwatan mata
air ini tidak serta merta hanya ritual saja tetapi diikuti oleh mitos yang disebarkan secara lisan
sebagai pondasi kepercayaan hingga menciptakan local genius yang berkelanjutan. Ruwatan di
Desa Sikunang kini semata-mata dimaknai sebagai acara simbolis saja dan terlihat tidak adanya
kedekatan antara masyarakat Desa Sikunang dengan mata air itu sendiri. Sebagaimana baiknya
7
diikuti dengan upaya aksi pelestarian air demi memunculkan mata air tersebut. Pergeseran nilai
tradisi ruwatan ini lebih baik untuk ditindak lanjuti agar tradisi lisan yang berfungsi sebagai
sarana konservasi alam dan transfer kebudayaan (termasuk didalamnya norma dan nilai sosial)
antar generasi tidak terhenti.

E. DAFTAR PUSTAKA
Adiansyah, R., 2017. Persimpangan antara agama dan budaya (Proses akulturasi Islam dengan
slametan dalam budaya Jawa). Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 6(2),
pp.295-310.
Cahyanti, I., Sukatman, S. and Husniah, F., 2017. Mitos dalam Ritual Ruwatan Masyarakat
Madura di Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo. Jurnal Edukasi, 4(1), pp.13-
19.
Latifah, N., Hermawan, D. and Lahpan, N.Y.K., 2021. Pergeseran Nilai Pada Tradisi Pesta
Syukur Laut Di Pantai Pamayangsari Cipatujah Tasikmalaya. Jurnal Budaya Etnika,
4(1), pp.49-70.
Manik, K.E.S., 2018. Pengelolaan lingkungan hidup. Kencana.
Maurin, Y., Wahyuningtyas, N. and Ruja, I.N., 2020. Makna Tradisi Ruwatan Petirtaan Candi
Jolotundo Sebagai Sarana Pelestarian Air. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis, 5(1),
pp.24-34.
Moleong, L.J., 2012. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung. Pariwisata Pedesaan Sebagai
Alternatif Pembangunan Berkelanjutan (Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Perguruan Tinggi) Yogyakarta.
Relin, D.E., 2015. Filosofis Ruwatan dalam Era Modernisasi pada Masyarakat Jawa. Bali:
Ashram Gandhi Puri.
Sadewo, A.P., Imron, A. and Ekwandari, Y.S., 2018. Nginang pada Perempuan Jawa Di Desa
Bandung Baru Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu.
Sugiarti, S. and Fitriani, H., 2021. Analisis Unsur Semiotik Sesajen pada Upacara Ruwatan
Anak Kendhana-Kendhini Adat Suku Jawa. Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences,
13(1), pp.46-50.
Suraji, R., 2018. Membangun Teologi Tubuh Dari Bawah Belajar Dari Pengalaman Olah Tubuh
Tari Lengger. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, 2(2), pp.127-
135.
Sutardjo, I., 2008. Surakarta : FSSR UNS. Kajian Budaya Jawa.
Yusanto, Y., 2020. Ragam Pendekatan Penelitian Kualitatif. Journal of scientific
communication (jsc), 1(1).
Yusuf, M. and Basyid, A., 2020. Tradisi “Mbeleh Wedhus Kendhit” Sebagai Sarana Tolak
Balak di Masa Pandemi Covid-19. Sosial Budaya, 17(2), pp.149-159.

8
MELESTARIKAN KEARIFAN PANTUN DALAM MITIGASI PANDEMIK
Ani Omar
Persatuan Sastera Lisan Malaysia
draniomar18@gmail.com

PENDAHULUAN
Pantun merupakan puisi tradisional Melayu, milik orang Melayu yang mekar dan ‘malar hijau’.
Dalam sastera rakyat pantun adalah hasil sastera yang diperturunkan daripada generasi ke
generasi secara lisan. Pengertiannya adalah sama dengan tradisi lisan ataupun folklore.
Sehubungan itu tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa sebelum adanya alat cetak pantun
adalah sastera lisan yang diwarisi dan dihafal secara turun-temurun. Pantun dicipta sebagai
suatu pengucapan untuk menyampaikan fikiran dan perasaan terhadap seseorang atau berkaitan
sesuatu perkara, malahan pantun juga digunakan untuk memberi pengajaran, berjenaka,
memberi nasihat dan bersuka-suka sama ada secara tersurat ataupun tersirat. Krishnavanie
(2015) menyatakan, orang asing yang belum mengenal pantun, orang itu belum mengenal
rohani dan jalan fikiran orang Melayu yang sebenar. Harun Mat Piah (2013) pula menyatakan
pantun ialah puisi asli hasil kreativiti orang Melayu yang indah dan tiada tolok bandingannya.
Ia berkembang luas meresap dalam kehidupan orang Melayu, bukan sahaja dalam sastera lisan
malah turut terukir dalam karya tulisan. Noriza Daud (2017) menyatakan pantun wujud sejak
zaman kerajaan Melayu Melaka, iaitu pada abad ke-15 dan catatan tentangnya terdapat dalam
teks Sejarah Melayu, hikayat-hikayat lama, seperti dalam Hikayat Asyik kepada Masyuk.
Pantun juga dikatakan berkembang dalam masyarakat Melayu zaman Kesultanan Melayu
Melaka sekitar 1400 hingga 1511. Seperti judul makalah pengkaji membentangkan kajian ke
atas 180 rangkap pantun yang terdapat dalam Antologi Petaka Virus (2020) dan Antologi
Betapa Berat (2020). Kedua-dua antologi ini dihasilkan semasa pandemik COVID-19 melanda
negara malah seantero dunia. Mahaya Mohd Yassin (2020) dalam kata pengantar antologi puisi
ini menyatakan keseriusan usaha pihak kerajaan memerangi COVID-19, setanding maraknya
semangat dan daya juang para penulis yang terlibat. Mereka berjaya mengetengahkan bakat dan
potensi anugerah Allah dengan imaginasi, kreativiti dan sensitiviti masing-masing demi
memanfaatkan situasi wabak yang melanda. Penulisan ketika meletusnya peristiwa yang di
luar jangkaan melakar sejarah bangsa dan juga dunia. Sehubungan itu makalah ini mengkaji
beberapa buah pantun terpilih mengikut teori yang digunakan iaitu teori Pemikiran Bersepadu
4K ( Teori SPB4K) sebagai landasan kajian untuk melihat bagaimana pengarang pantun
(pemantun) melestarikan kearifan pantun dalam usaha mengurangi kesan atau mitigasi
pandemik yang melanda ketika itu. Untuk tujuan ini beberapa buah pantun daripada beberapa
pemantun sahaja akan diketengahkan sebagai contoh kajian.

METODOLOGI
Pantun dalam Antologi Puisi Petaka Virus dan Antologi Betapa Berat

Kajian kepustakaan dengan menganalisis dua buah antologi puisi iaitu Antologi Puisi Petaka
Virus dan Antologi Betapa Berat ini diterbitkan tahun 2020 iaitu ketika pandemik COVID-19
melanda negara dan di seluruh dunia. Antologi ini mengandungi pelbagai jenis puisi tradisional
seperti pantun, syair, gurindam, seloka dan nazam, selain itu terdapat juga puisi moden atau
sajak. Namun kajian hanya berfokus kepada pantun sahaja. Untuk makalah ini seperti jadual 1
menunjukkan nama pemantun, judul pantun, jenis pemikiran mengikut mitigasi pandemik
daripada teori SPB4K dan jumlah pantun. Pengkaji memilih beberapa buah pantun untuk
diketengahkan sebagai contoh dalam usaha mitigasi pandemik.
9

Anda mungkin juga menyukai