Disusun oleh:
YOGYAKARTA
NILAI KETUHANAN SENI BUDAYA KUNTULAN DAN EBEG (KUDA LUMPING)
Abstrak
KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah sebuah sarana bagi perguruan tinggi khususnya UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk mengambangkan nilai ke-masyarakatan
mahasiswanya. Desa Gunungsari, kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang menjadi
sasaran tempat KKN yang ber-tema-kan integrasi sosio-agama. Sebagai tempat yang
memiliki budaya dan agama cukup kental, cocok untuk dikaji dalam sebuah manuskrip
KKN. Metode yang digunakan yaitu kulitatif, dengan cara terjun langsung ke daerah
objek, sehingga akan menemukan data primer dan skunder. Menganalisis hal tersebut,
rasa penasaran mengenai budaya dan agama yang melekat di dalam nilai sosio di desa
Gunungsari sangat cocok untuk dijadikan landasan bersatunya hal-hal yang bisa
dikatakan sensitif, yaitu agama dan budaya tersebut.
Pendahuluan
Gunungsari merupakan desa yang berada persis di lereng gunung Slamet dengan
teritorial mengikuti wilayah kabupaten Pemalang, provinsi Jawa Tengah. Mendengar
kata lereng gunung, tidak asing lagi anggapan bahwa letaknya yang begitu plosok, jauh
dari kerumunan dan lemahnya jaringan internet yang mayoritas mendewakannya pada
masa sekarang. Betul, di samping memiliki keadaan yang memang demikian bukan
berarti Gunungsari terhalang dari kemajuan pemikiran ala modernian. Hal tersebut
terbukti saat kami melakukan terjun langsung dari kampus UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta menuju desa Gunungsari, kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang dengan
tujuan utama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Dalam konteks diversitas, nilai sosial selalu melingkupi budaya, agama, adat
istiadat dan bahasa. Indonesia sebagai negara multikultur harus sangat memprakarsai
nilai-nilai tersebut, di samping melestarikan ajaran yang beragam, di situ pula terdapat
kebersihan jiwa yang tidak akan ditemukan ragam politik, korupsi, bahkan nepotisme
(Rohman, 2017). Dewasa ini, nilai-nilai ragam budaya hanyalah sebagai angin lewat
yang hadirnya sering kerap diapatiskan. Ragam sosio-budaya jarang sekali ditemukan
didalam kejenuhan lingkungan kota, dengan nilai ke-asrian dan nenek moyangnya.
Sosio-agama sering sekali terlahir dari daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah
yang biasa dikatakan pelosok atau lereng gunung dan hutan. Telah disadari, desa
Gunungsari yang terletak di daerah ujung kabupaten Pemalang memiliki beberapa
kebudayaan yang memadukan nilai agama dan budaya, melekat dengan nenek
moyangnya sebagaimana mestinya.
Kuntulan merupakan budaya kesenian tarian atau gerakan silat yang diiringi
gamelan dan suara sholawat dengan nada ala-ala jawa. Saat kami berada di sana,
mereka menggunakan kuntulan untuk kebutuhan hiburan, acara ke-Islam-an, acara ke-
negara-an serta saat ziarah dalam rangka menghormati pahlawan di Gunungsari yang
sangat kebetulan terdapat makam para pahlawan dari daerah tersebut. Kuntulan
sebenarnya adalah salah satu kesenian tradisi rakyat yang bernafaskan islami dengan
penyajian media musik, tari dan sastra (Bahatmaka & Lestari, 2012). Penyebarannya di
Gunungsari sejak abada 20 lalu, yang disuguhkan oleh nenek moyang sekaligus
pahlawan di daerah Gunungsari saat penjajahan melanda. Kuntulan juga biasa dijadikan
landasan untuk rasa sukur desa Gunungsari kepada Allah swt yang merupakan tuhan
semesta alam, tidak heran jika kuntulan selalu dihadirkan dalam acara ruwat bumi dan
sedekah pangan di daerah Gunungsari dan sekitarnya.
Selain kuntulan, lekatan budaya dari nenek moyang desa Gunungsari juga
menyuguhkan tarian ebeg atau kuda lumping yang hadirnya di Gunungsari satu ajaran
dengan kuntulan. Ada yang unik dari tarian ebeg, yaitu dialuni dengan gamelan beserta
sholawat dan serat jawa hingga menjelang akhir pementasan terdapat ruh leluhur yang
masuk ke dalam pemain ebeg. Gerakan atau alunan tarian yang tercipta pun senandung
lebih indah sebelum dirasuki ruh leluhur. Konon cerita hal tersebut sebagai rasa sukur
dan penghormatan kepada leluhur dan budaya. Rasa penasaran pun datang kepada
kami untuk meneliti kausalitas antara agama dan budaya di desa Gunungsari,
kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang.
Artikel ini berisi rangkaian penasaran untuk meneliti lebih lanjut dari aspek-
aspek agama dan budaya yang merekat ketat di desa Gunungsari saat kami terjun
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Adakah hal baik dan buruk antara ke-dua-nya
sehingga menghasilkan hal yang subhat atau membingungkan dari segi nilai
kepercayaan baik budaya maupun agama. Artikel ini akan menjelaskan nilai-nilai yang
bersemayam di dalam agama dan budaya yang ada di desa Gunungsari.
Asmaun Sahlan (2010:70), awal mula istilah budaya lahir dari disiplin ilmu
Antropologi Sosial. Istilah budaya bisa diartikan sebagai pola perilaku, kesenian,
kepercayaan, kelembagaan, serta semua produk dari karya pemikiran manusia. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya diartikan sebagai: pikiran; adat istiadat;
sesuatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sulit diubah.
Bisa dianggap kental dan meresap ke dalam hati, budaya yang melekat di desa
Gunungsari. Setiap budaya adat istiadat khususnya khas jawa selalu melantunkan tidak
sedikit partisipasi yang ikut serta, artinya budaya yang melekat tidak diapatiskan oleh
warga yang ikut hidup di dalamnya. Budaya menghasilkan sosio begitu pula sebaliknya,
memiliki unsur kausalitas sehingga antar manusia memiliki kesadaran penuh dalam
menikmati budayanya.
Kuntulan dan ebeg (kuda lumping) lebih spesifik dalam nilai sosio, di samping
sebagai hiburan, hadirnya memberikan kesan budaya yang diperkenalkan kepada
seluruh penonton. Pertunjukan kesenian tersebut cukup membuat hati para penonton
terpikat, seolah-olah hadirnya membatasi dengan budaya-budaya baru yang terus
berdatangan, seperti budaya asing yang masuk ke tanah air(Fillamenta, 2019). Tidak
mungkin jika desa Gunungsari sebagai penghuni negara yang multibudaya akan
menghilangkan budayanya, setidaknya Ia bisa mempertahankan. Budaya bukan
warisan, melainkan sesuatu yanng hidup dan melekat di dalam nilai masyrakat. Jika
budaya adalah warisan, maka tidaklah perlu dihidupkan kembali, karena warisan
adalah benda mati.
Nilai-nilai di dalam sosio-budaya menghasilkan dalih edukasi, memperkenalkan
kepada masyarakat. Kondisi sosial sebagai tempat penyajian pertukaran pengetahuan,
keterampilan, dan sosial budaya (Rohman, 2017). Seakan-akan begitu pentingnya
budaya yang melekat kepada nilai sosial, sehingga melekatnya budaya relasi dengan
melekatnya agama.
Agama pada nilai sosial banyak memiliki andil terutama di dalam aspek moral.
Hadirnya tidak bisa diganggu gugat dalam melampiaskan peran manusia secara
individu kepada individu lain sehingga menciptakan manusia yang saling berwenang
dalam menjalankan nilai sebagai manusia. Sosial tidak lepas dari ajaran budaya, tentu
bersatunya agama dan budaya akan memancarkan banyak aspek-aspek sosial.
Pada kesenian ebeg atau kuda lamping, kami menemukan sebuah kejanggalan
yang di mana ada kejadian kesurupan atau masuknya roh leluhur kepada pemain kuda
lumping. Dalam kejadiannya ada seorang pawang yang mengatur roh sehingga masuk
ke dalam aura batin seorang pemain. Hal tersebut melansir baik dan buruk berdasarkan
aspek agama, Islam misalnya yang merupakan agama mayoritas di desa Gunungsari.
Literatur Review
Pertama, di dalam artikel Arifuddin M Arif yang bersudul “Perspektif Teori Sosial
Emile Durkheim Dalam Sosiologi Pendidikan”, tidak sedikit bagi panulis sebagai modal
refrensi kepenulisan ini. Seperti, menjleaskan mengenai teori sosial Emile Durkheim
yang berpandangan fakta sosial sebagai kekuatan yang bersifat eksternal dan memaksa
individu. Sama halnya dengan pesperktif budaya di Gunungsari, adanya untuk
mengontrol individu yang berbudaya, sehingga menjadi kebiasaan. Durkheim pun
mendorong setiap individu agar melaksanakan individu selalu selaras dengan adat dan
budaya. Sebagai desa yang memandang nilai luhur, tidak relvan jika individu
meninggalkan nilainya, bahkan lebih tragis jika melupakan segala isinya.
Selanjutnya, dalam artikel dengan judl “Agama dan Solidaritas Sosial: Pandangan
Islam Terhadap Pemikiran Sosiologi Emile Durkheim”, telah ditulis dengan jelas oleh
Komiruddin dengan pembahasannya mengenai interaksi sosial merupakan susuatu
yang sudah lumrah di dalam lingkup social procesed dengan alasan kuat aktivitas-
aktivitas sosial. Penjelasnnya dengan melanjutkan atau memantapkan pandangan Emile
Durkheim, solidartias sosial dipergunakan untuk memperkuat hubungan atau interaksi
antar manusia dalam komunitas sosial. Sebagai budaya yang menyatu dengan agama,
harapannya bisa mempersatukan di dalam satu wadah untuk menunjang rasa sosialnya,
sehingga mempererat kajian srawung. Solidaritas Durkheim pun membagi dua tingkat
solidaritas, mekanis dan organis. Keduanya mejelaskan bagaimana seseorang bisa
menyatu di dalam tingkat budaya maupin faktor lingkungan, sehingga di dalam bidayda
Gunungsari relevan di lain adanya persatuan budaya dan agama, di situpun
mempersatukan setiap individualnya sebagai rasa pemegang teguh.
Pustaka
Bahatmaka, A., & Lestari, W. (2012). FUNGSI MUSIK DALAM KESENIAN KUNTULAN KU
DA KEMBAR DI DESA SABARWANGI KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALO
NGAN SEBAGAI SARANA INTEGRASI SOSIAL. Catharsis, 1(2). https://journal.unnes.
ac.id/sju/index.php/catharsis/article/view/859
Fillamenta, N. (2019). PENGARUH KESURUPAN PADA KESENIAN TRADISIONAL KUDA L
UMPING TERHADAP PERSEPSI MAHASISWA PGRI PALEMBANG. Jurnal Sitakara, 3
(2), 8–12. https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/sitakara/article/vie
w/2338
NGALIYAH, W. N. (2017). KUDA LUMPING (SEJARAH KEBUDAYAAN). Skripsi, 1(231411
006). https://repository.ung.ac.id/skripsi/show/231411006/kuda-lumping-sejara
h-kebudayaan.html
Rohman, M. (2017). INTERNALISASI NILAI-NILAI SOSIO-KULTURAL BERBASIS ETNO-RE
LIGI DI MAN YOGYAKARTA III. 12(1).