Anda di halaman 1dari 2

Gambaran Awal mengenai Tradisi Mappanre Ade’ dalam perkawinan

Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan tradisi dan
kebudayaannya. Setiap lapisan masyarakat yang ada di negeri itu menyimpan
banyak tradisi yang telah mewarnai kehidupan masayarakat. Tradisi atau
kebisaan-kebiasaan itu telah mengakar sejak adanya ummat manusia itu sendiri
dan bahkan tradisi tersebut telah menjadi sebuah identitas sosial. Tradisi
masyarakat banyak tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Tradisi adalah kebiasaan yang telah tumbuh dan menjadi identitas diri suatu
aktivitas masyarakat yang mengandung unsur keagamaan. Tradisi masyarakat
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, dan agama. Agama sangat
menentukan tatanan tradisi itu sendiri. Tradisi masyarakat dengan cirinya yang
tumbuh dan berkembang secara turun temurun, biasanya tidak disertai aturan-
aturan tertulis yang baku, namun wujudnya dalam bentuk lisan, perilaku, dan
kebiasaan tetap terjaga.

Tradisi menurut para ahli secara garis besar adalah suatu budaya dan adat
istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Nenek moyang kita tentu menginginkan para
generasi penerus tetap menjaga kelestarian peninggalan mereka. Peninggalan
tersebut dapat berupa materiil dan non materiil. Tradisi biasanya bersumber dari
kebudayaan suatu bangsa, salah satunya tradisi perkawinan. Dalam kaitannya
dengan ilmu IPS menurut Djahiri mengungkapkan, bahwa “IPS merupakan ilmu
pengetahuan yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari cabang-cabang ilmu
sosial dan ilmu lainna, kemudian diolah berdasarkan prinsip pendidikan dan
dijadikan program pengajaran pada tingkat persekolahan”.

Tradisi mappanre ade’ merupakan konsep ilmu antropology yang


mengajarkan kebudayaan dan tradisi serta sebaiknya di salurkan dalam kehidupan
anak didik, untuk di ajarkan dan diperkenalkan sebagai bahan ajar, kemudian
masuk di kajian IPS, kurikulum sekolah untuk di jadikan uraian materi IPS.

Setiap generasi yang hidup dari satu tradisi ke tradisi yang lain memiliki
karakteristik tersendiri dalam memahami konteks sosialnya. Generasi yang hidup
belakangan jauh lebih beruntung dari pada generasi terdahulu, karena mereka
dapat mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau itu dari warisan-warisan
intelektual yang tersedia. Warisan generasi sebelumnya menjadi suatu catatan
peristiwa yang penting bagi konstruksi peradaban generasi berikutnya.

Seperti halnya dalam kehidupan Suku Bugis Makassar yang menjadikan


Pangngadakkan sebagai jati diri suku mereka, yang di wariskan oleh nenek
moyang secara turun-temurun. Jika mengacu pada pengertian ini dapat dikatakan
bahwa tradisi itu sudah melekat dalam kehidupan manusia. Pangadakkan sebagai
sistem sosial dapat diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang meliputi cara-cara
seseorang bertingkah laku terhadap sesama manusia dan yang mengakibatkan
adanya gerak (dinamika) masyarakat. Salah satu tradisi suku Bugis Makassar
dalam perkawinan yang masih di pertahankan sampai saat ini adalah mappanre
ade’ (nganre pangadakkang). Atau dalam bahasa indonesia disebut makan adat.
Acara ini dilaksanakan sebelim walimah pada pesta pernikahan. Makan adat
tersebut di hadiri oleh tokoh agama dan masyarakat seperti imam desa dan kepala
desa. Tradisi ini bukan hanya sekedar makan saja, namun ada etika dan norma
yang harus dijaga baik itu sebelum makan, saat makan sampai sesudah makan.
Tradisi tersebut bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar masyarakat serta
sebagai informasi bahwa masyarakat di Kelurahan Tassililu masih memegang erat
budaya leluhurnya. Dalam tradisi ini juga banyak persiapan yang harus
disediakan. Serta tata cara pelaksanaannya menjadi perbedaan antara Kelurahan
Tassililu dengan desa-desa lain di Sinjai Barat.

Berdasarkan asumsi diatas maka penulis ingin mengkaji bagaimana proses


tradisi Mappanre Ade’ dan apa makna dari tradisi tersebut serta seberapa
pentingkah tradisi ini bagi masyarakat sekitar.

Anda mungkin juga menyukai