Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tradisi  berasal dari bahasa Latin traditio yang artinya diteruskan atau kebiasaan.

Tradisi sendiri dari pengertian umum adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari

suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Indonesia sendiri memiliki

wilayah yang amat luas dari Sabang sampai Merauke. Berdasarkan data dari Sensus

Penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik

Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata sebanyak 1.128

suku bangsa, belum termasuk suku-suku pedalaman yang sulit dijangkau. Dengan 1.128

suku bangsa dengan masing-masing tradisi yang di setiap suku daerah merupakan bukti

nyata bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai tradisi dan kebudayaan

yang beraneka ragam.

Tapi yang sungguh disayangkan semakin lama tradisi-tradisi di Indonesia

semakin mati. Perkembangan teknologi yang semakin maju tidak membantu aset bangsa

ini semakin maju dan semakin berkembang tapi justru tergerus oleh zaman. Para

generasi muda yang tidak sadar akan pentingnya aset bangsa ini. Sungguh menyedihkan

sekali melihat para generasi muda yang tidak tahu menahu tradisi-tradisi yang ada di

Indonesia. Tradition is a guide and not a jailer.― W. Somerset Maugham.

Para generasi muda sering berpikir bahwa tradisi hanya akan mengekang mereka,

tradisi hanya akan mengikat mereka dengan aturan-aturan padahal sesungguhnya

menolak tradisi berarti mengingkari diri kita dari Indonesia lebih spesifik lagi

1
mengingkari diri kita yang merupakan putra-putri daerah. Ekonomi sosial dan budaya

adalah unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain dan tak dapat dipisahkan.

Ekonomi merupakan unsur yang cukup penting, unsur ini merupakan unsur yang

berhubungan dengan keberlangsungan hidup manusia yang dibantu oleh materi. Unsur

ekonomi lebih cenderung ke uang dan mata pencaharian manusia. Sosial adalah unsur

yang selalu ada di masyarakat kemanapun dia pergi, unsur ini cenderung ke hubungan

antar manusia. Nilai sosial akan selalu ada di masyarakat dimanapun kita berada.

Budaya adalah unsur yang sedikit mirip dengan tradisi. Budaya ini adalah cara hidup

dan kebiasaan yang bersifat dinamis yang diturunkan dari generasi satu ke generasi

berikutnya. Unsur-unsur dari budaya selalu bersangkut paut dengan sosial dan ekonomi

ini menunjukan bahwa ketiga unsur ini sangat berkaitan satu sama lain serta saling

melengkapi satu sama lain.

Sama seperti ketiga unsur tersebut tradisi dan masyarakat sangat berkaitan satu

sama lain. Tradisi sangat membantu hidup manusia. Tradisi mempunyai daya tarik unik

yang membuat hidup masyarakat lebih teratur dan tidak hidup seenaknya. Nilai-nilai di

dalam tradisi bisa membimbing jalan hidup manusia. Tradisi dan ekonomi sosial budaya

juga sangat berkaitan. Tradisi membawa dampak atau pengaruh ekonomi sosial dan

budaya bagi manusia. Dilihat dari sisi ekonomi tradisi membawa dampak positif bagi

masyarakatnya. Setiap tradisi apapun itu akan membawa kenaikan pada ekonominya.

Dilihat dari sisi sosial yang berkaitan dengan hubungan dengan manusia lain juga tradisi

cukup berperan melalui pergelaran tradisi akan mempengaruhi pola hubungan dengan

manusia lain. Di dalam tradisi terselip nilai-nilai sosial yang akan selalu mempengaruhi

cara bergaul masyarakat di sekitarnya. Dan unsur yang terakhir budaya, antara budaya

dan tradisi sangat berkaitan. Dilihat dari sisi budaya masyarakat akan menjadi tonggak

nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam tradisi. Tradisi merupakan hal yang akan

2
selalu melekat di setiap kebiasaan suatu daerah yang berlangsung secara turun menurun.

Tradisi sendiri amat banyak di Indonesia. Jepara adalah salah satu kota di Indonesia

yang terkenal dengan julukan kota ukir, tak hanya itu Jepara memiliki berbagai tradisi,

yang tak asing di telinga kita adalah tradisi perang obor yang dilakukan setiap satu

tahun sekali pada Senin Pahing malam Selasa Pon pada bulan Besar. Obor pada upacara

tradisional ini adalah gulungan atau bendelan 2 (dua) atau 3 (tiga) pelepah kelapa yang

sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (Jawa : Klaras ).

Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk dimainkan/digunakan sebagai alat

untuk saling menyerang sehingga sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat

mengakibatkan pijaran–pijaran api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya

dengan istilah perang obor Desa Tegal Sambi. Atau sebut saja tradisi jembul tulakan

yang juga dilakukan setiap satu tahun sekali, setiap bulan Apit hari Senin Pahing,

sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rizki yang dilimpahkan pada

penduduk Kademangan Tulakan. Dengan memberikan sedekah bumi berupa hasil tani

sebagai wujud syukur. Atau tradisi pesta lomban yang merupakan puncak acara dari

pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 Syawal atau 1 minggu setelah

hari Raya Idul Fitri.

Salah satu dari tradisi yang sangat menarik di Jepara adalah tradisi baratan, tradisi

ini dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah

(kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam Nishfu Sya’ban. Kegiatan ini berpusat

di Masjid Al Makmur Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Tradisi ini dilakukan

dengan membawa lampion/impes/tong dji dan arak-arakan dengan figur Ratu

Kalinyamat yang cukup kental di masyarakat. Tradisi baratan ini juga pernah

memperoleh rekor MURI sebagai “arak-arakan lampion terpanjang” dengan jumlah

3.654 peserta . Tradisi ini sungguh sarat akan makna yang dalam, dilihat dari ciri khas

3
tradisi ini mulai dari lampion atau impes, puli yang berasal dari bahasa arab afwu lii

yang berarti ampuni aku, dan ketan yang bermakana ngiket setan dan yang merupakan

khas dari Jepara adalah bongko ceblok yang terbuat dari tepung, gula Jawa dan

dibungkus dengan daun pisang. Bisa dilihat di dalam sebuah bongko itu menyerupai

keranda hijau yang dilihat dari segi filosofinya adalah manusia yang berasal dari tubuh

dan darah digambarkan tepung dan gula jawa akan kembali juga ke aslinya yaitu

keranda hijau yang digambarkan melaui daun pisang. Dari semuanya itu bisa dilihat

bahwa tradisi ini sangat sarat akan makna yang mendidik kita.

Tak hanya maknanya, pengaruh tradisi baratan dengan ekonomi sosial budaya

sangat berpengaruh dan berhubungan. Dari sisi ekonomi bisa dilihat setiap diadakannya

tradisi baratan, ekonomi akan berkembang pesat dan pengaruh sosialnya bisa kita lihat

tradisi baratan ini mengajarkan nilai-nilai sosial pada masyarkat sekitar dalam hal ini

masyarakat Desa Kriyan. Sama seperti nilai sosial, nilai budaya yang diajarkan ke

masyarakatnya cukup melekat dalam setiap keseharian masyarakat Desa Kriyan.

Berbeda dengan tradisi lain terkhusus di Jepara seperti jembul tulakan dan perang

obor, masih sedikit tulisan tentang tradisi baratan. Masih sedikit detail-detail informasi

tentang tradisi baratan, hanya sedikit orang yang benar-benar memahami tradisi ini

sekalipun tradisi baratan ini adalah tradisi yang besar. Namun yang sangat disayangkan

masih banyak masyarakat yang kurang tahu menahu tentang tradisi baratan . Terkadang

ada yang tidak tahu sama sekali. Orang-orang cenderung kurang peduli dengan

kebudayaan yang ia miliki. Dengan apatisnya masyarakat ini sangat mengancam

keberadaan tradisi ini. Peran Pemerintah Daerah pun minim, dengan realita bahwa

tradisi baratan ini ternyata belum dipatenkan sebagai tradisi Jepara ataupun event wisata

unggulan meskipun sudah memberikan konstribusi bagi Jepara.

4
1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang kami kaji

dalam karya ilmiah ini adalah:

1. Bagaimana sejarah tradisi baratan yang ada di Desa Kriyan Kecamatan

Kalinyamatan Jepara?

2. Apa makna filosofi dari tradisi baratan tersebut?

3. Apa pengaruh tradisi baratan terhadap ekonomi sosial budaya di Desa Kriyan?

4. Bagaimana upaya melestarikan tradisi baratan?

1.3 Tujuan Penelitian

` Tujuan penulisan dan penelitian karya ilmiah ini adalah:

1. Mengetahui sejarah tradisi baratan yang dilestarikan oleh masyarakat di Desa

Kriyan Kecamatan Kalinyamatan Jepara.

2. Memperkenalkan dan melestarikan tradisi baratan tersebut kepada masyarakat luas

melalui tulisan agar generasi muda dapat lebih mengenal tradisi-tradisi yang kita

miliki dan tidak dengan mudah terkontaminasi tradisi luar dengan meninggalkan

budaya sendiri yang luhur.

3. Mengetahui makna filosofi tradisi baratan bagi masyarakat di Desa Kriyan

Kecamatan Kalinyamatan Jepara.

4. Mengetahui perkembangan tradisi baratan dan hubungannya dengan kehidupan

sosial budaya masyarakat di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan Jepara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi generasi muda diharapkan dapat menambah wawasan tentang kekayaaan

budaya daerah yang ada di Jepara dan perlu dilestarikan. Tradisi-tradisi yang

5
berkembang di masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan nasionalisme dan

mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Bagi masyarakat diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam

penelitian sejenis.

3. Bagi pembaca diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang

tradisi Baratan yang ada di Desa Kriyan .

6
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Tradisi Lisan

Tradisi merupakan suatu kebudayaan yang berkembang dan diyakini masyarakat.

Dan tradisi bisa disebarluaskan dari mulut ke mulut. Hal ini disebut tradisi lisan yang

merupakan bagian dari folklor. Tradisi lisan memiliki rasionalitas sendiri yang berbeda

dengan rasionalitas alam pikir logika modern. Rasionalitas tradisional itu memiliki

berbagai fungsi bagi kehidupan masyarakat. Tradisi lisan yang telah menjadi akar

kebudayaan, tentu menjadi identitas bagi masyarakatnya karena terpengaruh oleh mitos,

legenda, teka-teki atau pesan leluhur yang kental dengan masyarakat asal yang turut

menyebarkan tradisi itu. Sedangkan kebudayaan yang diwujudkan melalui ide atau

gagasan manusia yang diaktifkan atau diolah untuk menjadi sebuah kebudayaan bersifat

abstrak, menuntun atau sebagai pedoman hidup manusia, dimiliki manusia dan

masyarakat serta diwariskan dari leluhur ke generasi penerus. Keunikan yang berbeda

dari setiap tradisi di masing-masing daerah hendaknya lebih bijaksana jika dijaga dan

dilestarikan. Sehingga menjadi kekayaan dan aset daerah yang bernilai seni dan

ekonomis sehingga berfungsi sebagaimana perkembangan ekonomi sosial budaya saat

ini.

2.2 Tradisi Baratan

Tradisi baratan merupakan tradisi yang berkembang di Desa Kriyan sebagai pusat

kerajaan Ratu Kalinyamat. Tradisi yang umum disebut sebagai bodo bratan di daerah

Kriyan dan sekitarnya ini masih terus berusaha diadakan setiap tahunnya. Tradisi ini

7
juga pernah memberi sumbangsih rekor MURI bagi Kabupaten Jepara untuk pertama

kalinya pada tahun 2004. Dengan memecahkan rekor pawai lampion dengan peserta

terbanyak. Namun sayangnya, tradisi baratan ini belum dipatenkan menjadi event wisata

tahunan oleh Pemerintah Daerah Jepara.

Event yang rutin dilaksanakan pada malam 15 Nishfu Sya’ban ini dulunya hanya

dilaksanakan di masing-masing daerah dengan caranya sendiri dan belum semeriah

beberapa tahun belakang. Menurut Kepala Sekolah MA Nuris, Drs. Subkhan, bodo

bratan hanya dilakukan oleh para sesepuh dan tokoh masyarakat di masing-masing

daerah yaitu daerah Kriyan, Margoyoso, Purwogondo, Robayan, Bakalan dan Sendang

hanya dengan berdoa bersama di masjid setempat dengan membaca surat Yasin tiga kali

dan doa Nishfu Sya’ban serta membawa kuliner khas baratan yaitu nasi puli. Ditambah

lagi dengan anak-anak yang menyalakan lampion-lampion yang terbuat dari kertas di

rumah masing-masing. Namun Pemerintah Daerah Jepara mencoba mengemas event ini

lebih meriah.

2.3 Filosofi (Definisi)

Dalam KBBI edisi 3 tahun 2001 terbitan balai pustaka filosofi artinya 1.

Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,

sebab, asal dan hukumnya. 2. Teori yang mendasari dalam pikiran filosofi sering

dikaitkan dengan falsafah, pengertian falsafah sendiri menurut KBBI edisi 3 tahun 2001

terbitan balai pustaka hal 313 Falsafah adalah anggapan,gagasan,sikap batin yang paling

dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat;pandangan hidup. Sedang menurut

kamus etimologi bahasa Indonesia hal 73 poin 007 Falsafah adalah hikmah, kebaikan,

pikiran yang mendalam. Jika ditarik dari bahasa, istilah filosofi berasal dari bahasa

8
Yunani : philosophia. 3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan etimologi.

ditafsirkan dalam berbagai bahasa seperti: philosophic dalam kebudayaan bangsa

Jerman, Belanda, dan Perancis; philosophy dalam bahasa Inggris; philosophia dalam

bahasa Latin; dan falsafah dalam bahasa Arab. Secara etimologi, istilah filsafat berasal

dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien

: persahabatan atau cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa secara

harafiah, filosofi dikatakan sebagai studi tentang arti dan berlakunya kepercayaan atau

pengetahuan manusia dengan pemahaman dasar terhadap sisi yang paling dasar dan

universal. Studi ini diteliti dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi

untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta

akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik

secara singkat adalah komunikasi dua arah, artinya dapat terjadi karena adanya sesuatu

yang mendasari.

2.4 Pengaruh Terhadap Ekonomi Sosial Budaya

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menelaah dialektik yang terjadi dalam tradisi

baratan. Studi yang akan dibahas mengenai hubungan dengan ekonomi dan sosial

budaya. Pengertian dari sosial budaya secara umum dan singkat dengan memadukan

masing-masing arti adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan

budi nuraninya untuk/dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan pengaruh ekonomi

adalah pengaruh yang dapat diukur dari segi ekonomi sesuai dasar ilmu ekonomi yang

meliputi aktivitas sosial manusia yang berhubungan dengan konsumsi, distribusi dan

produksi. Dialektik yang terjadi antara filosofi tradisi baratan dan pengaruhnya terhadap

9
ekonomi dan sosial akan didiskusikan lebih detail setelah membahas filosofi proses

tradisi baratan serta kepercayaan masyarakat sekitar terhadap tradisi ini.

10
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada obyek yang

alamiah. (Sugiyono,2010:15), sehingga peneliti mengambil data sesuai dengan fakta-fakta

yang ada di lapangan.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah masyarakat di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan

Kabupaten Jepara.

3.3 Sumber Data Penelitian

Yang menjadi sumber data dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Kriyan yang

terdiri dari:

1. Remaja; diambil dari siswa MA Nurul Islam dan anggota Karang Taruna.

2. Perangkat Desa

3. Tokoh Masyarakat

3,4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 . Menggunakan angket

Angket diberikan kepada remaja yang terdiri dari sebagian siswa Madrasah

Aliyah Nurul Islam yang ada di Desa Kriyan dan anggota Karang Taruna dengan tujuan

11
untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman mereka tentang tradisi baratan yang

berkembang di desanya.

3.4.2 Menggunakan Teknik Wawancara

Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Desa Kriyan dan

para perangkat Desa. Wawancara dilakukan untuk mengetahui upaya masyarakat Desa

Kriyan dalam pelestarian tradisi baratan dan untuk mengetahui bagaimana pengaruh tradisi

tersebut terhadap perkembangan sosial budaya masyarakat Desa Kriyan.

12
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Tradisi Baratan

Tradisi baratan merupakan salah satu tradisi lisan yang merupakan bagian dari

folklor lisan yang didalam tradisi ini terdapat legenda asal-usul desa-desa eks kerajaan

Kalinyamat yang meliputi Desa Damaran, Kaliwungu, Mayong, Purwogondo hingga

Mantingan. Juga terdapat nyanyian rakyat yang mengiring event arak-arakan. Tong-tong dji

tong-tong jeder adalah bait lagu yang kerap dinyanyikan oleh anak-anak sambil membawa

lampion dan berkeliling desa.

Banyak versi tentang cerita bagaimana tradisi baratan bermula karena sifat dasar

kebudayaan yang abstrak (tak berbentuk pasti) dan berubah sesuai penuturnya. Namun dari

kirab yang rutin diadakan setiap malam 15 Nishfu Sya’ban, dapat ditarik dari satu cerita

yang mendekati kesesuaian dengan legenda dan cerita yang berkembang di masyarakat. Asal

mula tradisi baratan ini berawal dari peristiwa setelah rombongan Ratu Kalinyamat dan

Sultan Hadlirin pulang dari pendopo ndalem Sunan Kudus dengan membawa rasa kecewa

karena tuntutan peradilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto tidak dikabulkan bahkan

mendapat jawaban yang tidak mengenakan. Ditengah perjalanan, rombongan Ratu

Kalinyamat dan Sultan Hadlirin dihadang para Sorengpati atau pembunuh bayaran.

Mereka memaksa Ratu dan Sultan Hadlirin untuk berhenti, namun kebrutalan para

Sorengpati itu luar biasa sadis sehingga mereka mengeroyok Sultan Hadlirin hingga terluka

parah dan nyawanya hampir tidak tertolong. Sorengpati-Sorengpati itu langsung

meninggalkan Sultan Hadlirin yang sekarat itu bersama rombongannya.

13
Menemukan tubuh Sultan Hadlirin yang tergolek parah, para abdi menandu

tubuhnya. Mereka memutuskan untuk langsung membawanya ke kerajaan Kalinyamat.

Perjalanan yang dimulai senja hari atau disaat matahari terbenam itu terasa sangat penuh

duka dan kesedihan. Sepanjang jalan, warga berbondong-bondong menyaksikan rombongan

Ratu Kalinyamat yang menandu tubuh Sultan Hadlirin. Banyak penduduk-penduduk desa

yang keluar dari rumah, masjid, atau musholla sembari membawa damar, semacam thing

atau uplik atau lampu teplok sebagai penerang menyambut arak-arakan. Melihat banyaknya

penduduk yang ikut berduka dan membawa damar sebagai penerangan, maka desa itu

dijuluki Desa Damaran. Luka Sultan Hadlirin sangat parah. Darah segar bercucuran dari

tubuhnnya. Cucuran-cucuran darah, membuat becek atau dalam bahasa Jawa disebut jember

sepanjang jalan ke arah barat. Becek atau jember dari darah Sultan Hadlirin itu merupakan

cikal bakal nama Desa Jember.

Sultan Hadlirin dibawa atau ditandu ke arah barat, keadaan lukanya semakin parah

sehingga para abdi harus menandunya perlahan-lahan seolah-olah merambat-rambat. Maka

dari sinilah nama Desa Prambatan berawal. Kondisi fisik Sultan Hadlirin semakin kritis,

darah mengalir ke sekitar tubuh. Para abdi dalem berusaha untuk membersihkan darah yang

membasah di sekujur tubuhnya agar bersih, maka sesampainya di sebuah sungai berhenti

sejenak untuk membasuh luka dan darah tersebut. Para abdi dalem terpana setelah darah dan

luka-lukanya dibersihkan karena air sungai berubah menjadi ungu atau dalam bahasa Jawa

disebut wungu sehingga peristiwa itu menjadi nama Desa Kaliwungu yang berarti sungai

yang berwarna ungu.

Para abdi dalem yang memapah merasa kelelahan dan kepayahan sehingga

sempoyongan saat berjalan, maka disabdanya kelak nanti rejane zaman atau saat ramainya

zaman kelak menjadi Desa Mayong. Diambil dari kata sempoyongan yang berubah menjadi

14
Mayong. Perjalanan terus dilanjutkan, namun cuaca tidak bersahabat, hujan dan angin turun

lebat sehingga abdi dalem yang memapah jasad Sultan Hadlirin terjatuh, dan jasad Sultan

Hadlirin terjatuh disungai dan hanyut menyangkut di kaki sebuah jembatan sehingga disabda

kelak pada saat ramainya zaman akan menjadi Desa Krasak. Berasal bunyi krasak-krasak

yang berasal dari suara air yang terhalang jasad Sultan Hadlirin.

Perjalanan terus dilakukan sampai di istana Kalinyamat dan jasad Sultan Hadlirin

dikebumikan Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Atas dasar peristiwa

tersebut maka masyarakat desa yang berada di sepanjang jalan Jepara mulai dari Desa

Damaran yang dilalui pertama kali oleh Sultan Hadlirin hingga Desa Krasak, masyarakatnya

setiap tanggal 15 Ruwah mengadakan tradisi baratan. Tradisi ini juga diadakan untuk

memperingati hari jadi desa-desa yang dilewati rombongan Ratu Kalinyamat saat memapah

Sultan Hadlirin.

4.2 Akulturasi Budaya Dan Filosofi

Keunikan tradisi baratan tak lepas dari akulturasi budaya antara Islam, Hindu, Cina,

dan Jawa. Unsur Islam adalah unsur yang paling melekat dari tradisi ini. Ini didasari oleh

mayoritas warga yang memeluk agama Islam. Unsur Islam dan Jawa dapat dilihat dari

prosesi baratan yang diadakan setiap tanggal 15 Nishfu Sya’ban atau Ruwah dalam bahasa

Jawa berasal dari kata arwah. Artinya pada bulan ini arwah para leluhur yang telah tiada,

kembali ke dunia untuk menemui kerabat yang masih hidup. Oncor atau lampion yang

dinyalakan dan dibawa keliling kampung, disimbolkan sebagai penerang para arwah. Para

warga menyambut baratan dengan berdoa bersama di masjid atau musholla sekitar

bersamaan dengan tradisi makan puli. Puli sendiri disadur dari bahasa arab awful lii yang

berarti ampuni aku.

15
Kuliner lain yaitu bongko ceblok yang memiliki filosofi sesuai dengan kepercayaan

orang Hindu dimana di dalam bongko ceblok yang terbuat dari gula jawa dan tepung

dibungkus daun pisang memiliki filosofi sebagai siklus kehidupan manusia dan hubungan

antara kekuatan elemen langit (tepung) dan tanah (gula jawa). Ditujukan agar setelah

diadakan tradisi ini bumi akan subur. Unsur Cina, bisa dilihat dari lampion yang digunakan

sebagai alat penerangan saat arak-arakan berlangsung. Sedangkan tradisi membawa lampion

berkeliling, merupakan unsur Hindu dengan kepercayaan mengusir bala’ serta nyanyian

ritmis tong tong dji tong tong jeder yang konon merupakan sebuah mantra. Mengenai makna

dari puli, bongko ceblok dan lampion dibahas pada sub bab simbol-simbol tradisi dan

filosofinya.

4.3 Tujuan Diadakan Tradisi Baratan

Tradisi baratan diadakan untuk mengenang peristiwa meninggalnya Sultan Hadlirin

yang diboyong oleh para ‘soreng’/ abdi dalem menuju Mantingan serta memperingati hari

jadi memperingati nama desa yang meliputi Desa Damaran, Kaliwungu, Mayong,

Purwogondo, Ngabul, hingga Mantingan. Juga untuk menyucikan diri sebelum datang bulan

Ramadhan karena pada malam Nishfu Sya’ban adalah malam pelaporan catatan perbuatan

manusia selama setahun.

Menurut hasil wawancara dengan beberapa narasumber, manfaat tradisi baratan yaitu

sebagai penyucian diri untuk menyambut bulan Ramadhan dan sebagai ungkapan syukur

menyambut Nishfu Sya’ban. Disamping itu, baratan juga dijadikan sebagai hari mengenang

wafatnya Sultan Hadlirin serta sebagai hari jadinya desa-desa di eks-kerajaan Kalinyamat

yang juga bertepatan dengan Nishfu Sya’ban.

16
4.4 Simbol-Simbol Tradisi dan Filosofinya

Dalam prosesi tradisi baratan, ada beberapa ciri khas unik dan cerminan akulturasi

budaya Islam, Hindu, dan Cina yang hanya dapat ditemui di bulan Ruwah saat tradisi

baratan berlangsung. Simbol-simbol khas baratan ada beragam bentuk, bukan hanya sekedar

alat pelengkap tapi juga kuliner khas baratan. Pernak-pernik itu bukan hanya sebagai

penyemarak prosesi baratan, namun juga memiliki filosofi disetiap simbolnya. Simbol-

simbol yang marak ditemui di tradisi baratan adalah :

4.4.1 Lampion

Menjadi ikon khas baratan, lampion juga pernah menjadikan tradisi baratan menjadi

tradisi penting yang membawa nama Jepara memecahkan rekor MURI untuk pertama

kalinya pada tahun 2004. Setiap kali tradisi baratan berlangsung, lampion selalu

menyemarakkan tradisi baratan. Bahkan sebulan sebelum tradisi baratan dirayakan, banyak

penjual yang menjajakan lampion-lampion di pinggir jalan terutama sepanjang jalan raya

utama Kudus-Jepara. Frekuensi penjualan lampion sendiri meningkat mendekati hari H dan

mencapai titik penjualan tertinggi pada saat acara prosesi berlangsung. Konsumen yang

mayoritas anak-anak banyak memadati pinggiran jalan dengan melagukan tong-tong dji

tong-tong jeder sambil membawa lampion berkeliling desa.

Lampion ini adalah salah satu bukti masuknya unsur Cina ke dalam tradisi baratan.

Sebenarnya lampion sendiri bukanlah simbol asli dalam tradisi baratan. Menurut Bapak

Thabroni, guru sejarah dari SMA Islam Jepara :

“…banyak orang Islam di Jepara bersifat kulturasi dan sinkretis yang


merupakan perpaduan antara budaya Islam, Hindu, dan Cina, karena Jepara
sebagai kota pesisir menjadi dermaga para pedagang Cina yang datang.’’

17
Lampion diwujudkan sebagai substitusi dari emplik/enthik/uplik yang digunakan para

warga zaman dahulu untuk menyaksikan rombongan Ratu Kalinyamat yang membawa jasad

Sultan Hadlirin menuju Mantingan. Filosofi dari lampion adalah sebagai penerangan untuk

menyambut arwah para leluhur saat datang pada bulan Ruwah. Lampion dibawa keliling

desa sebagai penolak bala’ agar di bulan Ramadhan nanti setan-setan dan jin atau roh jahat

dibelenggu oleh Allah SWT dan tidak mengganggu kekhusyukan umat manusia yang sedang

menjalankan ibadah puasa.

4.4.2 Kuliner khas

4.4.2.1 Puli

Puli terbuat dari bahan beras, ketan dan bleng yaitu campuran garam mineral

dengan konsentrasi tinggi yang dipakai dalam pembuatan beberapa makanan

tradisional Jawa seperti karak dan gender. Proses pembuatannya yaitu dengan

cara dikukus kemudian ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa parut yang

dibakar atau tanpa dibakar. Kata puli konon berasal dari bahasa Arab yaitu afwu

lii, yang berarti maafkanlah aku. Filosofi dari puli ini dimaksudkan untuk

memberi tauladan bagi setiap manusia, supaya sadar diri dan melakukan tobat

Nasuha atau tobat yang sesungguhnya, dengan tidak mengulangi kesalahan dan

dosa yang pernah dilakukannya. Warga Desa Kriyan khususnya para ibu saling

berkirim puli buatannya. Setelah makan nasi puli, masyarakat di Desa Kriyan

dan beberapa desa di sekitarnya (Margoyoso, Purwogondo, dan Robayan) turun

dari masjid/musholla untuk melakukan arak-arakan.

4.4.2.2 Bongko Ceblok

Bahan pembuatan bongko ceblok terdiri dari tepung beras, garam, santan, dan

gula jawa. Proses pembuatannya dengan mencampur semua kecuali gula jawa,

18
lalu diuleni sampai kesat kemudian dimasukan kedalam daun pisang,

didalamnya dimasukkan atau di ceblok gula jawa kemudian dikukus kurang

lebih satu jam.

Filosofi dari bongko ceblok menyimbolkan siklus hidup manusia dari mulai

diberi nyawa hingga kembali ke sang pencipta. Secara detail filosofinya berupa,

tepung beras yang berwarna putih diambarkan sebagai tubuh manusia, gula jawa

digambarkan sebagai rah atau darah, dalam arti keseluruhan adalah tubuh

manusia di cebloke atau ditaruh roh manusia yang fitrah, kemudian bungkus

daun disimbolkan sebagai keranda Hijau atau kematian.

Uniknya semua benda penyemarak baratan bermuara pada penghormatan para arwah

leluhur, lampion atau oncor yang mengelilingi kampung atau ditempatkan di depan rumah,

bermakna bahwa ada cahaya untuk menyambut arwah yang datang pada malam 15 Nishfu

Sya’ban. Termasuk di dalamnya kuliner bongko ceblok dan puli yang telah dijabarkan

diatas, berkaitan erat dengan tradisi Jawa dan unsur Hindu sebagai pemujaan pada arwah

leluhur yang diiringi dengan doa bersama.

4.5 Prosesi Upacara

Baratan ditujukan sebagai bentuk ekspresi rasa syukur dalam menyambut Nishfu

Sya’ban. Dalam kepercayaan Islam, tanggal 15 Sya’ban atau yang biasa dikenal sebagai

malam pelaporan catatan amal perbuatan manusia selama satu tahun. Dipercaya bahwa

malam itu juga ada pergantian buku catatan amal perbuatan manusia untuk ditutup dan

diganti dengan yang baru. Terlepas dari makna Nishfu Sya’ban, kata baratan juga

mengandung arti yang selaras. Yaitu baratan berasal dari bahasa Arab Baro’atan yang

berarti bubaran atau selesai. Tersebut menyiratkan arti bahwa manusia yang telah

19
menyelesaikan tugasnya dalam mematuhi perintah syariat agama dan menjauhi larangan-

larangan Allah SWT. Untuk itu, masyarakat mengisi dengan banyak doa, salat sunah

awwabin atau salat tasbih, pembacaan surat Yasin, salawatan, dan doa Nishfu Sya’ban.

Kegiatan malam Nishfu Sya’ban dipusatkan di masjid Al Makmur Desa Kriyan

Kecamatan Kalinyamatan. Masyarakat mengadakan ritual sederhana, yaitu setelah salat

maghrib bersama, umat Islam setempat tidak langsung pulang. Mereka berdoa bersama,

membaca surat Yasin dan dilanjutkan salat Isya’ berjamaah. Kemudian memanjatkan doa

Nishfu Sya’ban yang dipimpin oleh ulama atau kyai setempat. Setelah itu, warga makan

bersama-sama atau disebut bancaan dengan menikmati nasi puli yang terbuat dari bahan

beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa

dibakar. Dan sehabis ritual tersebut, warga melaksanakan pawai keliling kampung dengan

menenteng lampu lampion yang terbuat dari kertas transparan agar bisa tembus cahaya saat

dinyalakan lilin didalamnya pada malam hari serta dikemas dengan berbagai macam bentuk

variasi sebagai ungkapan syiar dan rasa syukur. Pada tradisi Jawa, sebagian masyarakat juga

menyalakan obor, empluk, ataupun impes di rumah, sebagai simbol pencerahan atau

penerangan kehidupan. Arakan semakin disemarakkan dengan aksi teatrikal yang

mengambil kisah dan riwayat yang ada di masyarakat guna pelestarian budaya setempat.

Tradisi baratan juga diperingati untuk mengenang wafatnya Sultan Hadlirin, suami

dari Ratu Kalinyamat yang terbunuh dalam perangnya melawan Aryo Penangsang di Kudus.

Dimana pada waktu itu bertepatan pula dengan malam Nishfu Sya’ban. Peristiwa tersebut

dijadikan sebagai momentum pemberian nama-nama desa yang dilalui oleh jasad Sultan

Hadlirin mulai dari Desa Damaran sampai Desa Krasak yang diberi nama berdasarkan

keadaan jasadnya. Untuk menghormatinya, masyarakat mengadakan selametan atau kenduri

20
bersama dengan hidangannya yaitu nasi ambengan dan dilengkapi dengan juwadah puli

yang ditaburi parutan kelapa serta apem.

Tidak salah jika dalam memeriahkan baratan juga disajikan aksi teatrikal Ratu

Kalinyamat sebagai simbol dari riwayat yang konon berhubungan dengan Nishfu Sya’ban.

4.6 Perkembangan dan Perubahan

Tradisi baratan sudah ada sejak masa pemerintahan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pada

saat itu pusat kerajaan berada di Desa Kriyan dan pusat kota berada di Desa Kriyan sampai

Desa Mantingan. Dahulu, warga Desa Kriyan dan sekitarnya membuat kriya umplung,

sejenis penerangan yang terbuat dari tanah liat yang diproduksi oleh sebagian besar warga

Mayong sebagai hiasan penerangan rumah. Sebab, belum banyak desa yang teraliri listrik.

Umplung dibuat sebagai penambah semarak selain lampion. Biasanya warga membuat

tempat umplung, sebab umplung yang mereka punya sangatlah banyak jumlahnya.

Saat malam Nishfu Sya’ban, para orangtua berdoa bersama di masjid/musholla

sekitar. Dan anak-anak bebas bermain tanpa harus belajar atau melakukan hal yang biasa

mereka lakukan di malam hari seperti malam-malam biasanya. Anak-anak bergerombol

mengelilingi desa. Biasanya beberapa warga membuat keunikan tersendiri, misalnya

memberi hiasan pada lampion, atau membuat lampion dengan bentuk yang beragam atau

juga membuat tempat umplung yang menarik perhatian sehingga anak-anak sangat gembira

saat malam baratan untuk melihat keunikan-keunikan itu. Sebab dahulu masih jarang

ditemukan hiburan seperti zaman sekarang seperti TV, HP, Internet, dan lain-lain.

Kesemarakan dan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban itulah yang mendasari nama bodo

bratan oleh warga. Karena suasananya penuh sukacita seperti suasana bodo / lebaran.

21
Pada masa Ratu Kalinyamat tradisi ini bertujuan untuk menyambut bulan Nishfu

Sya’ban dan mengenang meninggalnya Sultan Hadlirin. Namun seiring berjalannya waktu

terjadi pergeseran pada tradisi ini seperti yang disebutkan diatas terjadi akulturasi budaya

Islam, Jawa, Hindu, dan Cina. Tradisi baratan yang awalnya hanya budaya Islam saja

sekarang mulai berkembang. Tradisi baratan yang awalnya menggunakan uplik, empluk,

obor sekarang bergeser menjadi lampion, impes yang merupakan akulturasi budaya Cina.

Pada tahun 2005 tradisi baratan semakin berkembang dengan adanya arak-arakan figur Ratu

Kalinyamat beserta dayang-dayangnya yang berjalan bersama dari masjid Al-Makmur

sampai di Kecamatan, dilanjutkan dengan aksi teatrikal dari figur Ratu Kalinyamat beserta

dayang-dayangnya beserta pemain lainnya.

4.7 Upaya Pelestarian

Grafik Pemahaman Tentang Tradisi Baratan dan Perlunya Upaya


Pelestarian Tradisi Baratan oleh Siswa MA Nuris Kriyan
25

20

15
A
B
10 C

0
Nomor 1 Nomor 2

Gambar 1

22
Berdasarkan gambar 1 (pertanyaan nomor 1 tentang “Apakah saudara paham tentang

tradisi bodo bratan?”). Peneliti berusaha mengetahui sejauh mana siswa mengerti tradisi di

daerahnya. Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 22 siswa menjawab paham,

7 siswa menjawab sangat paham dan hanya 1 siswa yang menjawab tidak paham.

Berdasarkan gambar 1 (pertanyaan nomor 2 tentang “Menurut Anda perlukah tradisi

bodo bratan dilestarikan?”). Peneliti berusaha mengetahui sejauh mana kepedulian siswa

terhadap tradisi, terkhusus tradisi daerahnya sendiri. Dari gambar diatas dapat diketahui

bahwa sebanyak 18 siswa menganggap tradisi bodo bratan sangat perlu dilestarikan, 12

siswa memilih perlu dilestarikan dan tidak ada siswa yang menganggap tidak perlu

dilestarikan.

Jadi, bisa disimpulkan berdasarkan data diatas bahwa pemahaman tentang tradisi baratan

cukup tinggi dan kepedulian terhadap kelestarian tradisi ini juga sangat tinggi terutama bagi

kalangan pelajar Desa Kriyan. Namun dalam realisasinya, kepedulian warga terhadap tradisi

baratan belum mendapatkan dukungan maksimal oleh pemerintah daerah. Sebab dari tahun

ketahun tradisi baratan kurang semarak karena faktor keterbatasan dana. Padahal secara

ekonomi banyak pengaruh yang dapat diperoleh saat baratan berlangsung. Jika tradisi ini

dipatenkan menjadi event wisata unggulan Kabupaten Jepara, bukan tidak mungkin lebih

banyak pengaruh ekonomi yang didapat dan semakin memperkenalkan kota Jepara ke

daerah luar Jepara bahkan sampai di kancah internasional dengan tradisinya. Menurut

penuturan Bapak Kamal, staf Bidang Pengembangan dan Pengelolaan Pariwisata Kabupaten

Jepara:

“…butuh kepedulian dari masyarakat agar tradisi baratan bisa menjadi tradisi yang
diunggulkan di Kabupaten Jepara. Tentu saja hal itu dimulai dari generasi yang
paling muda yaitu pelajar.”

23
Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut pada pengaruh ekonomi dan sosial budaya tradisi

baratan.

4.8 Makna Filosofi Tradisi Baratan bagi Masyarakat


Grafik Pemahaman Masyarakat Terhadap Makna Filosofi Tradisi Baratan
18

16

14

12

10
A
B
8
C
6

0
Nomor 8

Gambar 2

Berdasarkan gambar 2 diatas (pertanyaan nomor 8 “Menurut Anda apakah makna

tradisi bodo bratan ?”) dan dapat kita lihat ternyata 16 siswa menjawab bahwa tradisi

baratan bermakna tradisi leluhur yang penuh kemagisan dan bersifat sakral, 14 siswa

menganggap tradisi baratan bermakna tradisi budaya pengingat peristiwa masa lampau dan

tidak ada siswa sebagai responden yang menjawab baratan hanya sebagai hiburan.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa para siswa cukup mengerti dan memahami

tradisi baratan sebagai tradisi daerahnya. Sebagai generasi muda yang ikut andil dalam

pelestarian budaya ternyata para siswa memiliki kepedulian terhadap tradisi baratan ini.

Namun secara khusus para siswa belum mengetahui sepenuhnya pengaruh ekonomi, sosial,

dan budaya dari tradisi baratan bagi masyarakat Desa Kriyan.

24
4.9 Pengaruh Tradisi Baratan terhadap Ekonomi, Sosial
Budaya Desa Kriyan

Grafik Pemahaman Pengaruh Ekonomi, Sosial Budaya Dari Tradisi Baratan

18

16

14

12

10
A
B
8
C
6

0
Nomor 8

Gambar 3

Sedangkan menurut gambar 3 (pertanyaan nomor 5 “Menurut Anda apakah tradisi

bodo bratan ada pengaruh di bidang ekonomi di Desa Kriyan?”) peneliti berusaha mencari

informasi melalui pandangan siswa apakah tradisi baratan berpengaruh bagi Desa Kriyan

dan dapat kita ketahui bahwa 4 siswa menjawab besar pengaruhnya, 23 siswa menjawab ada

pengaruhnya, dan 3 siswa menjawab tidak ada pengaruhnya.

Dan berdasarkan gambar 3 (Pertanyaan nomor 6 tentang “Menurut Anda apakah

tradisi bodo bratan ada pengaruh di bidang sosial budaya di Desa Kriyan?”) dan dapat kita

lihat bahwa 13 siswa menjawab besar pengaruhnya, 15 siswa menjawab ada pengaruhnya

dan 2 siswa menjawab tidak ada pengaruhnya.

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang bersifat turun temurun dan dipercaya oleh

masyarakatnya yang dimiliki setiap daerah sebagai ciri khas daerah tersebut menjadi tugas

25
dan kewajiban bagi setiap daerah untuk menjaga kelestarian tradisi yang dimilikinya dan

bahkan dapat mengkaji, mengusahakan, serta mengembangkan tradisi tersebut agar dapat

menjadi bermanfaat terkhusus untuk daerah itu sendiri.

Tidak hanya sebagai suatu tradisi yang selalu rutin dilakukan setiap tahunnya, namun

kajian dalam tradisi dapat berpengaruh pada income suatu daerah. Apalagi jika adanya suatu

perhatian khusus yang ditujukan untuk mengembangkan suatu tradisi sebagai sebuah

kekayaan dan kebanggaan tersendiri bagi suatu daerah.

Tradisi baratan yang memeriahkan malam Nishfu Sya’ban ini selalu dinanti-nanti

oleh penduduk sekitar Kecamatan Kalinyamatan. Jalanpun tak luput dari jutaan manusia.

Seiring perayaannya, beribu lampion khas malam Nishfu Sya’ban dengan

keanekaragamannya berjajaran memenuhi tepian jalan. Menjadikan sebuah lumbung emas

bagi para pembuat lampion. Dalam semalam mereka dapat meraup keuntungan berkali-kali

lipat dari hari sebelum perayaan baratan. Namun amat disayangkan oleh para pembuat

lampion bahwa pada hari-hari diluar bulan Ruwah lampion tidak terlalu diminati

pembelinya.

Seperti penuturan bapak Thabroni, guru sejarah SMA Islam Jepara, yang juga

mengungkapkan bahwa :

‘’….sangat banyak pengaruh ekonomi dari tradisi baratan apalagi jika tradisi baratan
dapat dijadikan event wisata unggulan sehingga dapat menarik para turis
mancanegara. ‘’
Rekor MURI pertama Jepara diraih pada tahun 2004 dalam perayaan baratan sebagai arak-

arakan lampion terpanjang. Tidak hanya dapat menjadi suatu kebanggaan, tapi bisa juga

dijadikan keistimewaan yang menambah income daerah Jepara.

26
Tidak hanya pengaruh ekonomi yang mendominasi dalam tradisi baratan. Tapi sisi

sosial dan budaya juga berpengaruh erat untuk masyarakat. Sebagaimana penjelasan yang

diperoleh dari Drs. Subkhan , Kepala Sekolah MA Nuris Kriyan :

‘’…acara baratan yang dipusatkan di Desa Kriyan ini dikemas dengan prosesi yang
apik dan besar-besaran. Penonton yang membanjiri event yang diadakan tidak hanya
dari masyarakat Desa Kriyan sendiri melainkan ada juga dari luar Desa Kriyan
bahkan para turis mancanegara. Para pengrajin dan pedagang lampion pun tidak
hanya berasal dari Desa Kriyan saja melainkan dari Mayong sampai Kudus pun ada.
Jadi, memang hubungan warga tidak sebatas sesama ‘’wong’’ Kriyan tapi juga
semakin meluas.’’
Jika saja pemerintah daerah lebih memberi perhatian terhadap tradisi baratan dan

menjadikannya sebagai event unggulan Jepara, bukan tidak mungkin tradisi ini menyaingi

event Chiang Mai di Thailand yang sudah terkenal sangat meriah. Dengan mengandalkan

lampion dan antusias warga, serta menambah semarak dengan lebih banyak massa yang

berpartisipasi dalam arak-arakan dan treatikal, maka bukan saja wisatawan domestik yang

akan membanjiri tepi jalan raya, tapi juga wisatawan mancanegara. Sehingga bisa

menambah income dengan menambah fasilitas pelayanan seperti hotel dan pusat souvenir.

27
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Tradisi sangat berhubungan dengan ekonomi dan sosial budaya masyarakatnya.

2. Pemahaman dan kepedulian masyarakat Kriyan tentang tradisi baratan cukup tinggi.

3. Banyak pengaruh ekonomi, sosial, budaya tradisi baratan tetapi masih banyak

masyarakat yang belum memahami pengaruhnya.

4. Kurangnya perhatian dari Pemerintah Daerah terhadap tradisi baratan dan tradisi ini

belum dipatenkan sebagai salah satu wisata unggulan Jepara.

5. Pengaruh ekonomi sangat besar jika tradisi baratan dijadikan sebagai event wisata

unggulan dan dirayakan besar-besaran sehingga menyerupai event wisata Chiang

Mai di Thailand.

5.2 Saran
1. Bagi masyarakat khususnya di desa Kriyan mempunyai kesadaran dengan budaya

mereka sendiri dan mau melestarikannya.

2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara diharapkan mematenkan tradisi baratan

sebagai tradisi Jepara untuk menghindari klaim pihak lain yang tidak bertanggung

Jawab dan pemerintah daerah daerah berkenan membuat event tradisi baratan

menjadi event wisata unggulan sehingga mempengaruhi income Kabupaten Jepara.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Hutari,Fandy. 2011. Hiburan Masa lalu dan Tradisi Lokal Kumpulan Esai Seni, Budaya,
dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta:Insist Pres.

Ngajenan,Drs.Mohamad,1988.Kamus Etimologi Bahasa Indonesia.Semarang :


Dahara Prize
Setyaningrum,Yanur & Husamah,2011. Jago Karya Tulis Ilmiah, KIR itu selezat ice
cream . Yogyakarta : Penerbit Interprebook.

http://id.wikipedia.org/wiki/

http://ticjepara.com

http://seputarjeparaku.blogspot.com/2011/07/pesta-baratan.html

http://about-chaironi.blogspot.com/2010/07/pesta-baratan-2010.html

http://www.ticjepara.com/2008/11/pesta-baratan.html

http://primbondonit.blogspot.com/2011/08/legenda-ratu-kalinyamat.html

29
LAMPIRAN 1

ANGKET

TRADISI BARATAN ( BODO BRATAN)

Subjek Peneliti: Siswa-Siswi MA Nurul Islam Kriyan Progam IPS

Nama :

Profesi :

Pendidikan :

Tradisi Beratan (Bodo Bratan)

1. Apakah saudara paham tentang tradisi bodo bratan?


a. Tidak Paham b. Paham c. Sangat Paham

2. Menurut Anda perlukah tradisi bodo bratan dilestarikan?


a. Tidak Perlu b. Perlu c. Sangat Perlu

3. Apakah saudara pernah menyaksikan tradisi bodo bratan?


a. Tidak Pernah b. Pernah c. Sering sekali

4. Apakah Saudara pernah terlibat / ikut / sebagai pelaku kegiatan ?


a. Tidak pernah b. Pernah c. Sering

5. Menurut Anda apakah tradisi bodo bratan ada pengaruh di bidang ekonomi di Desa
Kriyan?
a. Tidak ada b. Ada c. Besar pengaruhnya

6. Menurut Anda apakah tradisi bodo bratan ada pengaruh di bidang sosial budaya di
Desa Kriyan?
a.Tidak ada b. Ada c. Besar pengaruhnya

7. Menurut Anda apakah tradisi bodo bratan berhubungan erat dengan persiapan
menjelang bulan puasa?
a. tidak ada b. Ada c. sangat berhubungan

8. Menurut Anda apakah makna tradisi bodo bratan ?

a. Hanya untuk hiburan

b. Tradisi budaya pengingat peristiwa masa lampau

c.Tradisi leluhur yang penuh kemagisan dan bersifat sakral

30
LAMPIRAN 2

PERTANYAAN WAWANCARA
1. Apa pengertian dari Baratan ?
2. Apa tujuan diadakannya tradisi Baratan ?
3. Bagaimana prosesi tradisi Baratan ?
4. Kapan tradisi Baratan diadakan ?
5. Mengapa tradisi Baratan harus diadakan ?
6. Apa pengaruh tradisi Baratan terhadap Ekonomi, Sosial Budaya bagi masyarakat
Desa Kriyan ?
7. Menurut Anda apa filosofi dari tradisi Baratan ?
8. Bagaimana upaya yang sudah dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk
melestarikan tradisi Baratan?

31
LAMPIRAN 3

Foto saat pengisian angket di XI IPS MA Nuris

Foto saat wawancara dengan salah satu siswi MA Nuris

32
Wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah MA Nuris

Wawancara dengan koordinator acara arak-arakan

33
Foto Tradisi Baratan

34
35
36

Anda mungkin juga menyukai