Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN

PENELITIAN ETNOGRAFI

Oleh

1. Gusti Ayu Eka Gita Swari (02)


2. Ni Putu Linda Pratiwi (40)

PEMERINTAH PROVINSI BALI

DINAS PENDIDIKAN, KEPEMUDAAN DAN OLAHRAGA

SMA NEGERI 1 AMLAPURA TAHUN 2023


KATA PENGANTAR

Pertama tama tim penyusun memanjatkan puja dan puji syukur ke hadiran Tuhan
Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga laporan penelitian
etnografi ini dapat selesai dan siap digunakan. Secara umum ,laporan ini berisi
pendahuluan, kajian teori. Laporan ini disusun untuk menjadi bahan ajar dan
panduan bagi siswa di SMA Negeri 1 Amlapura di dalam pelaksanaan
pembelajaran antropologi. Adapun pembelajaran di kelas XI.10 mengambil tema
Kesenian dengan judul “Melacak Kearifan Lokal dalam Kesenian Tradisional
Gebug Ende” siswa diberikan kebebasan di dalam mengembangkan penelitian dan
berkolaborasi dengan pihak /sumber lain yang diketahuinya, strategi pembelajaran
maupun alokasi waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini
disesuaikan dengan kondisi sekolah, sarana dan prasarana, minat serta
karakteristik peserta didiknya. Apresiasi kepada

1. Drs. I KETUT MARTA ARIANA, M.Pd.H. selaku kepala SMAN 1


AMLAPURA, yang sudah memberikan motivasi, bimbingan serta sarana
materi yang diberikan kepada kami.
2. Ibu Dwi Theresia Sipangkar S.Pd selaku guru mata pelajaran antropologi
3. Orang tua kami yang telah memotivasi kami
4. Terimakasih juga kepada teman teman dari kelas XI.10 (LATOFSA) Yang
telah mensukseskan kegiatan ini.

Tim penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan penelitian etnografi ini


masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran/masukan
yang konstruktif dari para pembaca dan siswa sebagai pengguna maupun dari
pihak-pihak lain yang terkait dengan kurikulum merdeka sangat kami harapkan
demi kesempurnaan isi laporan ini. Dengan adanya kritik dan saran tersebut
penyusun berharap laporan ini ke depan akan semakin

bermanfaat keberadaanya baik bagi guru dan peserta maupun rekan-rekan


komunitas.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan laporan ini, tim
penyusun tetap berharap laporan ini dapat membantu siswa dan guru SMA
NEGERI 1 AMLAPURA di dalam melaksanakan pembelajaran antropologi

Amlapura
Bab 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang terletak di antara dua samudra, Samudra Hindia
dan Pasifik, serta dua benua, Asia dan Australia. Dengan lebih dari 17.000 pulau,
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki beragam
lanskap yang menakjubkan, mulai dari gunung berapi yang aktif hingga hutan
hujan tropis yang subur.Keberagaman budaya dan etnis menjadi ciri khas utama
Indonesia. Negara ini dihuni oleh lebih dari 300 kelompok etnis yang berbicara
dalam lebih dari 700 bahasa daerah. Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi dan bahasa pengantar yang dipahami oleh mayoritas penduduk, tetapi
bahasa daerah dan budaya lokal tetap hidup dan dijaga dengan kuat di berbagai
daerah.Budaya Indonesia sangat dipengaruhi oleh agama-agama yang dianut oleh
penduduknya, termasuk Hindu, Kristen, Islam, dan Budha. Setiap agama
membawa warisan budaya dan tradisi yang khas, menciptakan keberagaman luar
biasa dalam praktik keagamaan, upacara adat, dan festival-festival yang dirayakan
di seluruh negeri.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan tradisi, ada banyak
ragam seni dan tradisi yang berkembang di Indonesia. Mulai dari Sabang sampai
Merauke, kita bisa mendapati seni dan tradisi yang unik dan indah. Setiap daerah
memiliki tradisi dan sejarah masing-masing, yang secara langsung menjadi
budaya mereka. Salah satunya terdapat di daerah Bali yang mayoritas
penduduknya menganut agama Hindu. Bali yang terkenal akan keindahan seni dan
tradisi yang unik, salah satunya yaitu Tradisi Gebug Ende yang merupakan
budaya yang unik dan berakar kuat dimasyarakat Bali, khususnya di Desa Seraya.
Tradisi Gebug Ende adalah salah satu warisan budaya luhur yang telah diturunkan
secara turun-temurun, tradisi ini mencerminkan kekayaan dan keindahan budaya
lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Gebug Ende adalah sebuah
pertunjukan seni bela diri yang menggabungkan unsur-unsur tari, musik, dan
gerakan akrobatik yang spektakuler. Dalam setiap pertunjukan Gebug Ende, para
penampil, yang seringkali merupakan anggota masyarakat setempat yang telah
terlatih dengan baik, menghadirkan gerakan-gerakan yang dinamis dan penuh
semangat. Mereka menggunakan berbagai alat tradisional seperti tongkat, dan
perisai kayu untuk menunjukkan keahlian bela diri mereka, sambil diiringi oleh
musik tradisional yang khas, seperti gamelan atau kendang. Lebih dari sekadar
pertunjukan seni, Gebug Ende juga memiliki makna dan nilai-nilai yang
mendalam bagi masyarakat setempat. Tradisi ini sering kali digunakan sebagai
sarana untuk menurunkan hujan dikala musim kemarau yang berkepanjangan atau
sebagai bagian dari upacara adat tertentu, seperti perayaan hari besar atau upacara
keagamaan. Selain itu, Gebug Ende juga dianggap sebagai bentuk latihan fisik dan
mental yang baik, serta sebagai cara untuk memperkokoh solidaritas dan
persatuan di antara anggota masyarakat.
1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah


penelitian ini adalah:

1. Apa nilai-nilai tradisional yang tercermin dalam Tradisi Gebug Ende di Desa
Seraya?

2. Bagaimana nilai-nilai ini diwariskan dan dipertahankan oleh masyarakat secara


turun-temurun?

1.2. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian


ini adalah:

1. Untuk Mengetahui nilai-nilai tradisional yang tercermin dalam Tradisi Gebug


Ende di Desa Seraya

2. Untuk Mengetahui nilai-nilai ini diwariskan dan dipertahankan oleh masyarakat


secara turun-temurun

1.3. Manfaat

1. Bagi Masyarakat:

Melalui penelitian ini, dapat menjadikan masyarakat untuk lebih mendalami nilai-
nilai yang terkandung dalam tradisi Gebug Ende. Dengan demikian, mereka dapat
memperkaya pemahaman mereka tentang budaya tradisional dan
mempraktikkannya secara lebih mendalam dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Pemerintah:

Sebagai masukan kepada pemerintah daerah dalam upaya mereka untuk penting
memperhatikan dan melestarikan tradisi Gebug Ende di Desa Seraya, yang saat ini
mungkin terabaikan karena popularitas hiburan modern yang lebih menarik.
Dengan memahami nilai-nilai budaya dan identitas lokal yang terkandung dalam
Gebug Ende.

3. Bagi Dunia Pendidikan:

Penelitian ini akan memberikan kontribusi penting bagi dunia pendidikan dengan
menyediakan wawasan yang berharga tentang nilai-nilai budaya tradisional yang
terkandung dalam tradisi Gebug Ende di Desa Seraya.
BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Kajian Teori

1.Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan bagian integral dari identitas budaya suatu


komunitas yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kearifan ini merupakan
nilai-nilai yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, dan sudah terbukti ikut
berperan dalam suatu kemajuan masyarakatnya Rahyono dalam Kearifan Budaya
dalam kata (2009) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kecerdasan manusia
yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Artinya kearifan lokal disini adalah hasil dari masyarakat tertentu
melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain.

Menurut Quaritch Wales menyatakan bahwa konsep kearifan lokal dengan


local genius istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1948-1949 dengan
arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan
asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan” (Rosidi, 2011: 29). Local
genius merujuk pada keunggulan budaya yang unik dan khas dari suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Ini mencakup pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai, tradisi, dan pemahaman yang dibangun oleh masyarakat
dalam interaksi mereka dengan lingkungan fisik, sosial, dan budaya mereka.
Konsep ini menekankan bahwa setiap kelompok budaya memiliki kecerdasan atau
keunikan tertentu dalam cara mereka memahami dan berinteraksi dengan dunia di
sekitar mereka. kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan dan pengetahuan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan berbudi luhur,
yang dimilki, dipedoman dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat,
kearifan lokal juga dikenal dengan istilah local knowledge, local wisdom, local
genius.

Adapun cirri-ciri dari kearifan lokal, yaitu (1) mampu bertahan terhadap
budaya luar; (2) mampu mengakomodasi budaya luar; (3) mampu
mengintegrasikan budaya luar dengan budaya asli; (4) mampu memberi arah pada
perkembangan budaya; (5) mampu mengendalikan. Kearifan lokal dapat
berbentuk norma, kepercayaan, adat-istiadat, hukum, adat, aturan-aturan khusus
atau awig-awig

Selanjutnya, nilai-nilai yang relevan dengan kearifan lokal,di Indonesia


antara lain nilai religi, nilai gotong royong, nilai seni, nilai sejarah, dan nilai
ekonomi. Dalam karya seni, khususnya seni tradisional, kearifan lokal akan
tercermin dalam bahasa, baik secara lisan maupun tulisan: pepatah, pantun,
nyanyian, atau petuah. Berdasarkan sejarahnya, seni pertunjukan tradisional
berawal dari upacara dan ritual keagamaan tradisional yang bersifat magis,
disampaikan dalam bentuk mantra-mantra secara berulang (Sastrowardoyo, 1995;
Hasanuddin, 1996). Di Indonesia, upacara dan ritual keagamaan tersebut menjadi
cikal bakal seni pertunjukan teater tradisional dengan adanya perpaduan unsur
gerak dan musik. Pertunjukan tersebut diyakini sebagai bentuk keyakinan batin
pada alam dan pencipta, sekaligus sebagai bentuk eksistensi berkesenian (Kayam,
1981; Ninuk, 2000).

Seni pertunjukan tradisional adalah bentuk seni yang telah ada dalam
sebuah budaya atau masyarakat selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad.
Biasanya, seni pertunjukan tradisional menggabungkan unsur-unsur seperti musik,
tarian, teater, dan kadang-kadang cerita atau ritual yang diwariskan dari generasi
ke generasi. Menurut Murgiyanto (1995) Seni pertunjukan merupakan sebuah
tontonan yang memiliki nilai seni dimana tontonan tersebut disajikan sebagai
pertunjukan di depan penonton. Sal Murgiyanto juga mengatakan bahwa kajian
pertunjukan adalah sebuah disiplin baru yang mempertemukan ilmu-ilmu seni
(musikologi, kajian tari, kajian teater) di satu titik dan antropologi di titik lain
dalam satu kajian inter-disiplin (etnomusikologi, etnologi tari dan performance
studies). Menurut Bagus Susetyo (2007:1-23) seni pertunjukan adalah sebuah
ungkapan budaya, wahana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya dan
perwujudan norma-norma estetik-artistik yang berkembang sesuai zaman, dan
wilayah dimana bentuk seni pertunjukan itu tumbuh dan berkembang.

Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri


dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris
Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi
dikenal istilah local genius.

Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah


kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat
universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber
pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh
populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
budaya sekitarnya.

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level


lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam
dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula
kearifan budaya lokal.Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal
yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya
serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang
lama.

2.Jenis-Jenis Kearifan Lokal

2.1 Kearifan Lokal Berwujud Nyata atau Tangibel

Kearifan lokal yang tampak nyata merujuk pada aspek-aspek kearifan


lokal yang dapat diidentifikasi secara konkret. Ini mencakup elemen-elemen
seperti tata cara, aturan, dan sistem nilai yang termanifestasi dalam bentuk-bentuk
yang dapat dilihat dan diraba. Contohnya, dalam konteks tekstual, kearifan lokal
bisa tercermin dalam tata cara hidup, aturan adat, atau sistem nilai masyarakat.
Selanjutnya, dalam dimensi arsitektural, berbagai rumah adat di seluruh
Indonesia, seperti rumah Gadang di Sumatera Barat, rumah Joglo dari Jawa
Tengah, atau rumah Panggung dari Jambi, menjadi ekspresi fisik dari kearifan
lokal.

Kearifan lokal yang terwujud nyata juga tercermin dalam warisan budaya
berupa cagar budaya, termasuk patung, alat seni tradisional, senjata warisan nenek
moyang yang diwariskan melalui generasi, serta dalam hasil karya tekstil seperti
kain batik dari Pulau Jawa dan kain tenun dari Pulau Sumba. Semua ini
menunjukkan keberlanjutan kearifan lokal yang dijaga dan diwariskan melalui
berbagai medium fisik.

2.2 Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud atau Intangible

Berlawanan dengan kearifan lokal yang tampak nyata dan dapat dirasakan
secara fisik, kearifan lokal yang bersifat tidak berwujud atau abstrak tidak dapat
diamati secara langsung. Meskipun begitu, meskipun tidak terlihat, jenis kearifan
lokal ini dapat disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kearifan lokal yang tidak berwujud ini mencakup nasihat, lagu, pantun, atau cerita
yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang penting bagi generasi mendatang.
Tujuan dari penuturan ini adalah untuk mendorong generasi muda dalam suatu
wilayah agar menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri, masyarakat, dan
lingkungan sekitar, yang merupakan tempat tinggal dan sumber kehidupan
mereka.

Salah satu contohnya adalah kepercayaan asal Papua yang dikenal sebagai
Te Aro Neweak Lako. Kepercayaan ini mencerminkan bentuk kearifan lokal yang
tidak berwujud, di mana masyarakat meyakini bahwa alam merupakan bagian
integral dari diri mereka. Dengan keyakinan bahwa alam adalah bagian dari diri
mereka, masyarakat merasa bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam
dengan baik. Ini termasuk penggunaan sumber daya alam secara bijaksana, seperti
tidak sembarangan menebang pohon yang dapat mengakibatkan deforestasi dan
dampak buruk lainnya. Meskipun alam dapat dimanfaatkan, prinsip utamanya
adalah penggunaan yang berkelanjutan dan tidak berlebihan. Dengan kepercayaan
ini, tidak mengherankan bahwa alam di wilayah Papua masih tetap terjaga dengan
baik.
3.Pengetahuan Lokal

Kata "pengetahuan" merujuk pada pemahaman, informasi, atau


keterampilan yang dimiliki seseorang atau suatu entitas. Ini mencakup segala
sesuatu yang telah dipahami, dipelajari, atau diketahui oleh individu atau
kelompok, baik melalui pengalaman langsung, pendidikan formal, atau sumber
lainnya. Christoph Antweiler (2004) menuturkan bahwa pengetahuan lokal
memiliki karakteristik kunci sebagaimana pengetahuan tidak hanya kognitif tetapi
melibatkan aspek emosi dan tubuh. Hal ini terletak kepada kulturalisasi dan
dipahami sebagai produk sosial. Antara aspek kultural dan produk sosial bahwa
pengetahuan lokal didukung oleh ketrampilan dari proses adaptasi yang bersifat
situasional dengan pokok-pokok kunci sebagai berikut:

1. Kombinasi antara pengetahuan faktual dan praktik berorientasi aksi


beserta skills.
2. Memiliki pola partikular berbasis ruang dengan demikian dapat diadaptasi
ke berbagai isu-isu komunitas adat.
3. Pengetahuan lokal dapat diidentifikasi melalui observasi berdasarkan
hubungan partisipatoris maupun pemberdayaan yang diuji dalam
eksperimen natural sehingga terbukti dalam strategi menangani (coping)
antar aktor atau individu.
4. Pengetahuan lokal dapat dikodifikasi transmisi lisan (oral history) dan
replikasi pembelajaran komunitas (Mitchell, Bruce, Setiawan, 2000).
5. Pengetahuan lokal dapat menjadi bahan dan pola pembelajaran informal
yang bersifat regeneratif (Mauro & Hardison, 2000).

Pengetahuan dapat berupa pengetahuan faktual atau konseptual tentang


dunia fisik, sosial, atau abstrak. Ini juga dapat mencakup keterampilan praktis atau
teknis yang diperoleh melalui latihan atau pengalaman langsung. Pengetahuan
tidak hanya terbatas pada fakta dan angka, tetapi juga mencakup pemahaman
tentang konsep, teori, prinsip, dan cara-cara berpikir yang berbeda. Secara umum,
pengetahuan diperoleh melalui pengamatan, studi, refleksi, dan pengalaman. Hal
ini dapat bersifat individual atau kolektif, dengan pengetahuan yang disebarkan
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan juga dapat
menjadi dasar untuk pengambilan keputusan, tindakan, dan inovasi dalam
berbagai bidang kehidupan.

4. Kesenian Tradisional

Kesenian tradisional mengacu pada warisan budaya seni dan pertunjukan


yang telah ada dalam masyarakat untuk waktu yang lama, sering kali diturunkan
dari generasi ke generasi. Kesenian tradisional biasanya terkait erat dengan
budaya, kepercayaan, dan sejarah suatu masyarakat tertentu. Seni menurut
Soedarso (1990 : 1) adalah segala macam keindahan yang diciptakan oleh
manusia. Seni telah menyatu dalam kehidupan sehari – hari setiap manusia, baik
bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat. Seni berhubungan dengan ide
atau gagasan dan perasaan manusia yang melakukan kegiatan berkesenian.
Sumardjo (2000 : 4) mengatakan bahwa seni merupakan ungkapan perasaan yang
dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan
didengar. Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri
dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gagasannya. Selanjutnya menurut Banoe
(2003 : 219), kesenian adalah karya indah yang merupakan hasil budi daya
manusia dalam memenuhi kebutuhan jiwanya.

Berdasarkan pendapat – pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat


dikatakan bahwa seni adalah ekspresi kreatif manusia yang mencerminkan ide,
gagasan, perasaan, dan intuisi. Seni melibatkan penggunaan berbagai media
seperti visual, suara, gerak, dan bahkan gabungan dari semuanya itu untuk
menyampaikan pesan atau emosi.
Tradisional bisa diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan atau
berasal dari tradisi, warisan budaya, atau praktik yang telah ada dan diwarisi dari
generasi ke generasi dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Ini bisa
mencakup nilai-nilai, kepercayaan, adat istiadat, seni, musik, tarian, pakaian, dan
berbagai aspek lain dari kehidupan sehari-hari yang dianggap sebagai bagian
penting dari identitas budaya suatu komunitas. Jadi, istilah "tradisional" sering
kali digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang memiliki akar dalam budaya
lama dan terus dilestarikan atau dipraktikkan hingga saat ini. Tradisional adalah
rumusan, cara atau konsep yang pertama kali lahir yang dipergunakan oleh
banyak orang di masanya. (Imtima: 2007). Definisi tradisional adalah segala
sesuatu yang diwarisi manusia dari orang tuanya, baik itu jabatan, harta pusaka
maupun keningratan. (M Abed Al Jabiri: 2000).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa


kesenian tradisional adalah ekspresi kreatif manusia yang mencerminkan ide,
gagasan, dan perasaan yang telah ada dalam masyarakat untuk waktu yang lama,
seringkali diturunkan dari generasi ke generasi dan terkait erat dengan budaya,
kepercayaan, dan sejarah suatu masyarakat tertentu.
5. Gebug Ende

Gebug Ende merupakan tradisi yang berasal dari Desa Seraya, Kec.
Karangasem, Kab. Karangasem. Nama Gebug Ende berasal dari kata "Gebug"
yang artinya memukul dan "Ende" yang berarti perisai. Tradisi Gebug Ende
dimulai setelah pertempuran yang terjadi antara Kerajaan Karangasem dan
Kerajaan Selaparang. Pasukan Kerajaan Karangasem terdiri dari masyarakat Desa
Seraya, Desa Angantelu, dan Desa Bubug. Pasukan ini memenangkan
pertempuran akibat turunnya hujan lebat, yang kemudian diyakini sebagai
pertolongan dari Hyang Widhi. Mereka kemudian kembali ke desa masing-masing
setelah perang berakhir. Desa Seraya saat itu dilanda oleh kekeringan
berkepanjangan. Mengingat kemenangan mereka dalam perang, para pasukan ini
kemudian melaksanakan upacara memohon hujan kepada Hyang Widhi disertai
dengan permainan peperangan. Sejak saat itu, ritual Gebug ende menjadi tradisi
masyarakat Desa Seraya.

Waktu pelaksanaannya pada sasih keempat menurut perhitungan bulan


Bali, sekitar bulan Oktober hingga November. Gebug ende erat kaitannya dengan
ketangkasan, kemahiran memainkan rotan, dan kekuatan fisik masyarakat Desa
Seraya dibalik kondisi geografis daerahnya yang kering. Teknik yang dibutukan
dalam permainan ini adalah memukul dan menangkis. Sebelum permainan,
masyarakat akan melakukan ritual sembahyang untuk memohon keselamatan
pemain, kelancaran permainan, memberikan kemakmuran, dan memperoleh
manfaaat (turun hujan) bagi masyarakat Seraya. Gebug ende dapat dimainkan
dimana saja sesuai kondisi dan tidak ada ketentuan luas area permainan.
Permainan dapat menggunakan area seluas enam meter persegi. Umumnya,
masyarakat melakukan tradisi ini di lapangan atau halaman pura yang memiliki
permukaan datar. Lapangan sebagai area permainan akan diberi pembatas dengan
tali atau pagar untuk menjaga keamanan pemain dan desakan dari penonton.

Aturan Permainan Gebug Ende

Aturan permainan gubeg ende tergolong sederhana, yaitu:

1. Pemain hanya boleh memukul di atas pinggang sampai kepala. Pemain


tidak boleh memukul di bawah pinggang sampai kaki.
2. Permainan dapat berakhir jika salah satu pemain terdesak.
3. Di tengah area permainan terdapat sebuah rotan yang digunakan sebagai
garis batas untuk membagi lapangan menjadi dua bagian.
4. Umumnya permainan berlangsung singkat, yaitu sekitar 10 menit. Tidak
ada pernyataan resmi dari wasit yang menentukan menang dan kalah
karena hanya penonton yang dapat menilainya.

Biasanya pertandingan akan dimulai dengan pertandingan kelompok anak-anak,


kemudian dilanjutkan dengan kelompok dewasa. Para pemain tampil dengan
penuh semangat dan tidak ada ketakutan dari semua pemaian. Rotan ditarikan
dengan irigan sorakan penonton dan tetabuhan sehingga suasana semakin
semarak.
2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

Pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian terdahulu yang bisa
dijadikan acuan dalam topic penelitian ini. Penelitian terdahulu telah dipilih sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian ini, sehingga diharapkan mampu
menjelaskan maupun memberikan referensi bagi penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini. Berikut dijelaskan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipilih.

Pertama, penelitian oleh Dewa Nyoman Sucita (2019) yang berjudul


Tradisi Gebug Ende Bentuk Ritual Memohon Hujan Pada Masyarakat Seraya Di
Desa Patas Kabupaten Buleleng

Anda mungkin juga menyukai