KHASANAH BUGIS
“MAPPATABE”
TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu keunikan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain adalah
keanekaragaman suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat sedikitnya terdapat 633 kelompok suku besar di
Indonesia pada tahun 2013, jika diperinci hingga tingkat subsuku, angka ini
membesar menjadi 1331 kelompok. Setiap kelompok suku memiliki
kebudayaannya masing-masing sehingga kondisi ini berdampak pada keragaman
budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik,
kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi hilang tergerus zaman. Ancaman
pengklaiman aset budaya oleh pihak lain pun kerap mengintai (Kartini, 2016).
Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnik yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan
Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam budaya dan tradisi
berbeda, meskipun cenderung memiliki kesamaan tertentu. Suku Bugis-Makassar,
yang memiliki berbagai suku dan bahasa, Masyarakat Bugis merupakan salah satu
suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku
Bugis yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Proto, berasal dari kata To Ugi,
yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina
Kebudayaan Bugis Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan
dari pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan
suatu provinsi Sulawesi Selatan yang sekarang terdiri dari 23 kabupaten. Secara
garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa
yaitu, Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Bugis Makassar mengenal dua
Sistem kategori kemasyarakatan yang pertama, Ana‟Karaeng yaitu lapisan
masyarakat yang berasal dari kaum raja-raja. Kedua, Tu-mara-deka, yaitu lapisan
masyarakat yang terdiri dari orang-orang merdeka, yang sebagian besar dari
Sulawesi Selatan (Pongsibanne, 2017: 32).
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Aab, 2018 Tradisi atau kebiasaan merupakan sesuatu yang telah
dijalankan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok atau
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi kegenerasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah. Tradisi berasal dari kata traditium pada dasarnya berarti
semua sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi adalah hasil cipta serta karya
manusia objek material, keyakinan, imajinasi, insiden, atau lembaga yang di
wariskan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti contohnya adat-
istiadat, kesenian dan properti yang dipakai. Sesuatu yang di wariskan tidak berarti
harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai mati.
1. Sipakatau: mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga
diartikan sebagai rasa kepedulian sesame.
Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas budaya tersebut
dalam penerapannya di setiap perkembangan zaman. Tradisi mappatabe ini
merupakan tradisi yang cukup fleksibel, artinya dalam pengimplementasiannya
bersifat bebas karena menyangkut tentang tata krama, sehingga dapat dikatakan
bahwa kemerosotan yang mulai terjadi tradisi mappatabe‟ merupakan salah satu efek
dari pengaruh modernisasi. Pengaruh tersebut memberi dampak terhadap penurunan
kesadaran masyarakat dalam membudayakan tradisinya sendiri. Kepunahan yang
mulai terjadi pada tradisi mappatabe ini sangat mudah diamati dengan melihat
kebiasaan anak dalam berbicara dan bertingkah laku. Beberapa di antara masyarakat
bugis telah banyak yang meremehkan budaya tersebut dan tanpa mereka sadari
budaya tersebut mengandung banyak nilai positif jika diajarkan pada anak-anak yang
kelak akan menjadi generasi pelanjut.
Sikap tabe dilakukan dengan melihat pada orang-orang yang dilewati lalu
memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit menundukkan
badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap tabe dimaksudkan sebagai
penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan terganggu akibat perbuatan
kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti tentang nilai
luhur dalam budaya tabe ini biasanya juga akan langsung merespon dengan
memberikan ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi atau
bahkan terinjak orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan anggukan
hingga memberikan jawaban “ye, de‟ megaga” (bahasa bugis) atau dapat diartikan
sebagai “iya tidak apa-apa” atau “silahkan lewat”.Sekilas sikap tabe terlihat sepele,
namun hal ini sangat penting dalam tata krama masyarakat di daerah Sulawesi
Selatan khususnya pada Suku Bugis. Sikap tabe dapat memunculkan rasa keakraban
meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau tidak saling kenal. Apabila ada
yang melewati orang lain yang sedang duduk sejajar tanpa sikap tabe maka yang
bersangkutan akan dianggap tidak mengerti adat sopan santun atau tata krama
(Mattulad, 2009: 21).
Tradisi tabe adalah bahasa adat kesopanan/perilaku yang berarti permisi, yakni kata
sapaan yang sifatnya lebih halus umumnya diucapkan ketika lewat di depan orang,
khususnya orang yang kita hormati, teman, sahabat, orang tua, atau siapa saja yang
kita hormati. Mengucapkannya sambil menatap dengan ramah kepada orang di depan
kita, menundukkan kepala sedikit dan menurunkan tangan kanan. Memperlihatkan
Budaya tabe‟ sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan hal–hal yang berhubungan
dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‟(permisi) sambil menundukkan
badan dan diikuti gerakan tangan kebawah.
Tabe yang artinyaa meminta permisi kepada orang lain, atau yang dikenal dengan
tradisi kesopanana dalam masyarakat bugis. Dalam pandangan Islam kesopanan
adalah slah satu perbuatan yang mulian dimata Allah dan manusia dalam
berinteraksi pada lingkungan, seperti etika berbicar berjalan, etika meminta izin,
etika berkumpul.
Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik
dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika
berada depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para
Sahabat Nabi shallahu „alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita
dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut, mereka tidak pernah
memotog ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin
khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan
Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar
suara Umar jika berbicara. Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu „anhu.
Pola berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti menjaga,
mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi pola asuhan dalam budaya tabe
adalah pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai model yang
menghargai, menghormati, dan mengingatkakan, memimpin sesuai dengan
budaya tabe yaitu sopan mendidik anak, sehingga mencertak anak yang
berkarakter sopan pula. Sebenarnya, budaya tabe‟ berperan besar dalam
pembentukan karakter anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat. Oleh
karena mangaktualkan sikap tabe‟ ini dalam menghormati orang yang lebih tua
demi nilai etika dan budaya yang harus diingat. Sebab tabe‟ merupakan sejenis
kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa atas
anak didik atau generasi muda (Rahim, 2010).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mappatabe adalah sikap seseorang saat melewati orang lain dan sopan santunnya ketika
berkomunikasi. Tradisi mappatabe ini sebagai bentuk kesopanan seseorang saat ingin meminta
izin, dia akan dipandang baik jika mengetahui tradisi mappatabe.
Gambaran mappatabe sudah banyak yang tidak menerapkan karena sudah banyak anak- anak
yang tidak lagi menghiraukan tradisi ini. Tradisi mappatabe cenderung mengalami pergeseran
Karena di pengaruhi oleh penggunaan teknologi yang mengdoktrin pemikiran mereka supaya lebih
memilih trend budaya zaman sekarang. Serta pengaruh dari lingkugan. Begitu pula dengan
pengamalan sila kedua pancasila sudah banyak anak sekarang ini yang tidak mengamalkan nilai-
nilai yang terkandung dalam sila pancasila.
Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat pada komunikasi
masyarakat Bugis merupakan komunikasi verbal dan nonverbal dalam konteks apapun sebagai
bentuk dasar adaptasi lingkungan dan telah mengalami pergeseran. Mappatabe‟ juga bermakna
saling menghargai, beretika, adab kesopanan, dan suatu perilaku yang sakral.
B. SARAN
Sebagai masyarakat khususnya masyarakat bugis harus mempertahankan kebudayaannya yang
telah diwariskan budaya leluhur dan diharapkan para generasi muda dapat melestarikan
kebudayaannya, khususnya mappatabe. Mappatabe ini mengandung nilai-nilai kesopanan yang
sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai wariasn budaya sudah menjadi
kewajiban untuk merawat dan melestarikan kebudayaan suku Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/1
1874-Full Text.pdf