Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KHASANAH BUGIS

“MAPPATABE”

DISUSUN OLEH KELOMPOK II :

NAJMAH MUDIAH (222240027)


NUR TRI WAHYUNI . JS (222240040)
EVA NOVIANTI (222240031)
SAHIR (222240042)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PARE-PARE

TAHUN 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki beragam


budaya atau tradisi. Indonesia memiliki letak sangat trategis dan tanah dengan
kekayaan alam yang melimpah. Pengalaman masa lampau menempatkan
Indonesia sebagai wilayah yang menjadi sumber perekonomian yang ada di Asia
Tenggara dan dunia yang menyebabkan banyak penduduk dari Negara lain yang
datang ke Indonesia (Sutardi, 2016: 9).

Salah satu keunikan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain adalah
keanekaragaman suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat sedikitnya terdapat 633 kelompok suku besar di
Indonesia pada tahun 2013, jika diperinci hingga tingkat subsuku, angka ini
membesar menjadi 1331 kelompok. Setiap kelompok suku memiliki
kebudayaannya masing-masing sehingga kondisi ini berdampak pada keragaman
budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik,
kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi hilang tergerus zaman. Ancaman
pengklaiman aset budaya oleh pihak lain pun kerap mengintai (Kartini, 2016).

Budaya merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan, perbuatan,


tingkah laku dan hasil karyanya yang dapat dipelajari, kebudayaan merupakan hal
yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, hukum adat istiadat, dan
kemampuan lainnya serta kebiasaan yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat (Pongsibanne, 2017: 8. Istilah kebudayaan yang banyak
dipakai saat ini yang pertama mengenai perkembangan intelektual,spiritual, dan
estetika individu, kelompok atau masyarakat. Kedua menangkap sejumlah
aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya seperti film, kesenian,
dan teater. Ketiga mengenai seluruh cara hidup, aktivitas, kepercayaan, dan
kebiasaan seseorang (Sutrisno, 2014: 258).

Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnik yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan
Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam budaya dan tradisi
berbeda, meskipun cenderung memiliki kesamaan tertentu. Suku Bugis-Makassar,
yang memiliki berbagai suku dan bahasa, Masyarakat Bugis merupakan salah satu
suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku
Bugis yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Proto, berasal dari kata To Ugi,
yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina
Kebudayaan Bugis Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan
dari pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan
suatu provinsi Sulawesi Selatan yang sekarang terdiri dari 23 kabupaten. Secara
garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa
yaitu, Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Bugis Makassar mengenal dua
Sistem kategori kemasyarakatan yang pertama, Ana‟Karaeng yaitu lapisan
masyarakat yang berasal dari kaum raja-raja. Kedua, Tu-mara-deka, yaitu lapisan
masyarakat yang terdiri dari orang-orang merdeka, yang sebagian besar dari
Sulawesi Selatan (Pongsibanne, 2017: 32).

Banyak kebudayaan Sulawesi Selatan yang kini mulai hilang dalam


masyarakat Bugis, khususnya Kota Makassar. Pengetahuan mendalam tentang
prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting bagi yang sangat indah yang
ditinggalkan oleh leluhur, yang mewariskan sopan santun yang tidak hanya
melalui ucapan tetapi juga dengan gerak, budaya gotong royong dan saling
menghargai juga sudah mulai hilang dikalangan masyarakat. Tabe‟ salah satu
bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang bugis dalam
menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang tua,
maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang menyangkut
tentang perilaku ataupun sopan santun manusia. Sikap itu perlu dijaga karena
tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan pada yang lebih tua
tetapi juga sebaliknya (Jamaluddin, 2016).

Realita budaya tabe‟ perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat,


khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki
sikap tabe‟ dalam dirinya. Mungkin karena orangtua mereka tidak
mengajarkannya atau memang karena kontaminasi budaya Barat yang
menghilangkan budaya tabe‟ ini. Mereka tidak lagi menghargai orang yang lebih
tua dari mereka. Sopan santun itu jika digunakan akan mempererat rasa
persaudaraan dan mencegah banyak keributan serta pertengkaran.

Budaya pakkaraengan atau budaya tabe kini perlahan-lahan mulai hilang


ditimbulkan dari kurangnya pengenalan. Tata krama ataupun sopan santun
hendaknya tidak hilang dalam diri manusia.Orang yang sopan akan disenangi oleh
orang lain. Oleh karena itu, sangat penting mengajarkan budaya tabe melalui pola
asuhan keluarga, sekolah dan lingkungan bermain. Karena sopan santun itu tidak
mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Misal seorang kakak, ajarkan kepada
adiknya untuk berbuat sopan santun kepada kedua orang tua maupun kerabatnya.
Selain itu, tabe juga merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang
biasa dilakukan orang orang Bugis untuk membentuk tatanan sosial seperti tradisi
budaya Tabe‟. Tabe (permisi) merupakan budaya bugis dalam menunjukkan rasa
hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang tua, maupun ketika mereka
ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang menyangkut tentang hal perilaku
ataupun sopan santun manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi Mappatabe

Menurut Aab, 2018 Tradisi atau kebiasaan merupakan sesuatu yang telah
dijalankan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok atau
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi kegenerasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah. Tradisi berasal dari kata traditium pada dasarnya berarti
semua sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi adalah hasil cipta serta karya
manusia objek material, keyakinan, imajinasi, insiden, atau lembaga yang di
wariskan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti contohnya adat-
istiadat, kesenian dan properti yang dipakai. Sesuatu yang di wariskan tidak berarti
harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai mati.

(Rahayu, 2018). Menjelaskan bahwa mappatabe merupakan suatu adat yang


dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Suku Bugis. Adat
ini merupakan suatu perilaku yang menunjukkan sikap penghormatan kita kepada
orang yang lebih tua. Jika dilihat dari segi pelaksanaannya, adat ini memang cukup
sederhana dan terlihat sepele karena kita cukup mengucapkan kata Tabe sambil
diikuti oleh gerakan tangan kanan yang mengarah ke tanah. Akan tetapi, jika dilihat
dari segi maknanya, adat Mappatabe ini memiliki makna yang cukup mendalam.
Pertama, kata Tabe merupakan simbol dari upaya menghargai dan menghormati
siapapun orang yang ada dihadapan kita, kita tidak boleh berbuat sekehendak hati.
Kedua, adat Mappatabe' merupakan perwujudan dari sikap Taro Ada Taro Gau, yaitu
keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Keselarasan antara kata Tabe yang
diucapkan dan gerakan tubuh (tangan kanan) yang dilakukan.

Tradisi mappatabe biasanya dikenal dengan kata permisi seperti yang di


uangkapkan oleh (Pratiwi 2017). Mengatakan bahwah Trasisi mappatabe merupakan
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat bugis yang menggambarkan adat
sopan santun atau tingkah laku yang berarti “permisi”. Sebagai gambaran, tradisi ini
dilakukan untuk memberikan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, misalnya
ketika berjalan di depan orang tua, maka diucapkanlah kata “tabe” sebagai
permintaan maaf dibarengi dengan sikap tunduk dan menggerakkan tangan ke bawah
bahkan hingga badan membungkuk. Perilaku seperti itulah yang dijadikan sebagai
salah satu indikator oleh masyarakat Bugis sehingga seorang anak dikatakan
memiliki sopan santun.

Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mappatabe Pembangunan insan yang


berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestarian nilainilai luhur
dalam budaya tabe. Adapun nilai-nilai luhuryang terkandung dalam budaya tabe
adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut:

1. Sipakatau: mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga
diartikan sebagai rasa kepedulian sesame.

2. Sipakalebbi: sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan orang


dengan baik. Budaya tabe menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki dan yang men‟tabe
adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.

3. Sipakainge: tuntunan bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.


Demikianlah kearifan lokal masyarakat masyarakat bugis, Sangat sederhana
memang, namun memiliki makna yang mendalam agar kita saling menghormati dan
tidak mengganggu satu sama lainnya. Daerah-daerah lainnya di Indonesia juga
memiliki budaya yang serupa. Budaya luhur dan kearifan lokal seperti ini sangat
perlu dilestarikan baik dengan mengajarkannya kepada anakanak dan generasi muda.
Kearifan lokal yang terus dipertahankan akan menjadi jati diri kita sebagai bangsa
Indonesia yang memiliki budaya dan nilai-nilai luhur (Rahim, 2010: 21).

Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas budaya tersebut
dalam penerapannya di setiap perkembangan zaman. Tradisi mappatabe ini
merupakan tradisi yang cukup fleksibel, artinya dalam pengimplementasiannya
bersifat bebas karena menyangkut tentang tata krama, sehingga dapat dikatakan
bahwa kemerosotan yang mulai terjadi tradisi mappatabe‟ merupakan salah satu efek
dari pengaruh modernisasi. Pengaruh tersebut memberi dampak terhadap penurunan
kesadaran masyarakat dalam membudayakan tradisinya sendiri. Kepunahan yang
mulai terjadi pada tradisi mappatabe ini sangat mudah diamati dengan melihat
kebiasaan anak dalam berbicara dan bertingkah laku. Beberapa di antara masyarakat
bugis telah banyak yang meremehkan budaya tersebut dan tanpa mereka sadari
budaya tersebut mengandung banyak nilai positif jika diajarkan pada anak-anak yang
kelak akan menjadi generasi pelanjut.

Sikap tabe dilakukan dengan melihat pada orang-orang yang dilewati lalu
memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit menundukkan
badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap tabe dimaksudkan sebagai
penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan terganggu akibat perbuatan
kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti tentang nilai
luhur dalam budaya tabe ini biasanya juga akan langsung merespon dengan
memberikan ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi atau
bahkan terinjak orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan anggukan
hingga memberikan jawaban “ye, de‟ megaga” (bahasa bugis) atau dapat diartikan
sebagai “iya tidak apa-apa” atau “silahkan lewat”.Sekilas sikap tabe terlihat sepele,
namun hal ini sangat penting dalam tata krama masyarakat di daerah Sulawesi
Selatan khususnya pada Suku Bugis. Sikap tabe dapat memunculkan rasa keakraban
meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau tidak saling kenal. Apabila ada
yang melewati orang lain yang sedang duduk sejajar tanpa sikap tabe maka yang
bersangkutan akan dianggap tidak mengerti adat sopan santun atau tata krama
(Mattulad, 2009: 21).

B. Implementasi Tabe Sebagai Tata Krama Masyarakat Bugis

Menerapkan budaya tabe dengan implementasi makna konseptual yaitu, tidak


menyeret sandal atau menghentakkan kaki, tetapi dengan mengucapkan salam atau
menyapa dengan sopan, juga bahwa sikap tabe adalah permohonan untuk melintas.
Tabe mengoptimasi untuk tidak berkacak pinggang, dan tidak usil mengganggu
orang lain. Tabe berakar sangat kuat sebagai etika dalam tradisi atau sama halnya
seperti pelajaran dalam hidup yang didasarkan pada akal sehat dan rasa hormaat
terhadap sesama.

Tradisi tabe adalah bahasa adat kesopanan/perilaku yang berarti permisi, yakni kata
sapaan yang sifatnya lebih halus umumnya diucapkan ketika lewat di depan orang,
khususnya orang yang kita hormati, teman, sahabat, orang tua, atau siapa saja yang
kita hormati. Mengucapkannya sambil menatap dengan ramah kepada orang di depan
kita, menundukkan kepala sedikit dan menurunkan tangan kanan. Memperlihatkan
Budaya tabe‟ sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan hal–hal yang berhubungan
dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‟(permisi) sambil menundukkan
badan dan diikuti gerakan tangan kebawah.

C. Tradisi Tabe’dalam konteks Islam

Tabe yang artinyaa meminta permisi kepada orang lain, atau yang dikenal dengan
tradisi kesopanana dalam masyarakat bugis. Dalam pandangan Islam kesopanan
adalah slah satu perbuatan yang mulian dimata Allah dan manusia dalam
berinteraksi pada lingkungan, seperti etika berbicar berjalan, etika meminta izin,
etika berkumpul.

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik
dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika
berada depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para
Sahabat Nabi shallahu „alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita
dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut, mereka tidak pernah
memotog ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin
khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan
Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar
suara Umar jika berbicara. Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu „anhu.

D. Tabe Sebagai Pola Asuhan

Pola berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti menjaga,
mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi pola asuhan dalam budaya tabe
adalah pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai model yang
menghargai, menghormati, dan mengingatkakan, memimpin sesuai dengan
budaya tabe yaitu sopan mendidik anak, sehingga mencertak anak yang
berkarakter sopan pula. Sebenarnya, budaya tabe‟ berperan besar dalam
pembentukan karakter anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat. Oleh
karena mangaktualkan sikap tabe‟ ini dalam menghormati orang yang lebih tua
demi nilai etika dan budaya yang harus diingat. Sebab tabe‟ merupakan sejenis
kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa atas
anak didik atau generasi muda (Rahim, 2010).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mappatabe adalah sikap seseorang saat melewati orang lain dan sopan santunnya ketika
berkomunikasi. Tradisi mappatabe ini sebagai bentuk kesopanan seseorang saat ingin meminta
izin, dia akan dipandang baik jika mengetahui tradisi mappatabe.

Gambaran mappatabe sudah banyak yang tidak menerapkan karena sudah banyak anak- anak
yang tidak lagi menghiraukan tradisi ini. Tradisi mappatabe cenderung mengalami pergeseran
Karena di pengaruhi oleh penggunaan teknologi yang mengdoktrin pemikiran mereka supaya lebih
memilih trend budaya zaman sekarang. Serta pengaruh dari lingkugan. Begitu pula dengan
pengamalan sila kedua pancasila sudah banyak anak sekarang ini yang tidak mengamalkan nilai-
nilai yang terkandung dalam sila pancasila.

Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat pada komunikasi
masyarakat Bugis merupakan komunikasi verbal dan nonverbal dalam konteks apapun sebagai
bentuk dasar adaptasi lingkungan dan telah mengalami pergeseran. Mappatabe‟ juga bermakna
saling menghargai, beretika, adab kesopanan, dan suatu perilaku yang sakral.

B. SARAN
Sebagai masyarakat khususnya masyarakat bugis harus mempertahankan kebudayaannya yang
telah diwariskan budaya leluhur dan diharapkan para generasi muda dapat melestarikan
kebudayaannya, khususnya mappatabe. Mappatabe ini mengandung nilai-nilai kesopanan yang
sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai wariasn budaya sudah menjadi
kewajiban untuk merawat dan melestarikan kebudayaan suku Bugis.

DAFTAR PUSTAKA
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/1
1874-Full Text.pdf

Anda mungkin juga menyukai