Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Dampak Penggunaan Gawai pada Anak Usia di
Bawah Umur".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
kontribusi dalam penyusunan sejarah dan tradisi ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak
mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun
tata bahasa penyampaian dalam makalah kami ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami.
Kami berharap semoga sejarah dan tradisi yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Latar belakang
"Mappadekko" adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Bugis, sebuah suku di Sulawesi
Selatan, Indonesia. Istilah ini merujuk pada sebuah tradisi unik dalam masyarakat Bugis yang
melibatkan prosesi pemotongan hewan sebagai bagian dari ritual adat. Mappadekko sendiri
memiliki latar belakang yang kaya akan nilai-nilai budaya dan tradisi yang diwariskan dari
generasi ke generasi.
Dalam konteks masyarakat Bugis, mappadekko sering kali dilakukan dalam rangka perayaan
adat, seperti pernikahan, upacara kematian, atau acara keagamaan. Prosesi mappadekko tidak
hanya sekadar pemotongan hewan, tetapi juga melibatkan serangkaian tata cara dan doa-doa
yang harus dipatuhi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Bugis.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelaksanaan mappadekko merupakan bagian penting dari
menjaga keseimbangan alam dan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Selain itu,
mappadekko juga dianggap sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur dan tradisi nenek
moyang yang harus dijaga kelestariannya.
Dalam konteks budaya Bugis, mappadekko bukan sekadar sebuah ritual adat, tetapi juga
merupakan simbol kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Melalui mappadekko, masyarakat Bugis memperkuat ikatan sosial dan
kebersamaan dalam komunitas mereka.
Pembahasan
Mappadekko adalah sebuah tradisi adat yang memiliki makna dan nilai penting dalam
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam makalah ini, akan dibahas secara
mendalam tentang berbagai aspek terkait mappadekko, termasuk sejarah, makna, proses
pelaksanaan, serta dampak dan relevansinya dalam konteks budaya Bugis.
1. Sejarah Mappadekko
Pembahasan mengenai asal usul dan perkembangan mappadekko sebagai tradisi adat dalam
masyarakat Bugis. Sejarah mappadekko yang melibatkan pemotongan hewan sebagai bagian
dari ritual adat dan bagaimana tradisi ini telah berkembang dari masa ke masa.
Analisis mendalam tentang makna dan nilai yang terkandung dalam pelaksanaan mappadekko
bagi masyarakat Bugis. Diskusi tentang signifikansi simbolis, spiritual, dan sosial dari tradisi ini
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis.
Penjelasan rinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaan mappadekko, termasuk persiapan,
pelaksanaan pemotongan hewan, doa-doa yang disertakan, serta peran serta berbagai pihak
dalam menjalankan tradisi ini.
Analisis tentang dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari pelaksanaan mappadekko dalam
masyarakat Bugis. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini memengaruhi hubungan
antarindividu, keberlanjutan lingkungan, serta relevansinya dalam konteks modern dan
globalisasi.
Pembahasan mengenai upaya perlindungan dan pelestarian tradisi mappadekko sebagai bagian
dari warisan budaya Indonesia. Penekanan pada pentingnya menjaga keberlangsungan tradisi
adat ini di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial.
Melalui pembahasan yang komprehensif tentang mappadekko dalam makalah ini, diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi adat ini serta mendorong
apresiasi dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan warisan nenek moyang yang
kaya di Indonesia.
Budaya atau tradisi merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun, dan
diamalkan oleh kelompok masyarakat sesuai dengan keinginan untuk mencapai
kepentingan yang dikehendaki, budaya atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tidak
terlepas dari pantauan agama. Sebagaimana yang terjadi pada suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang diamalkan, dan diyakini secara konsisten oleh masyarakat
Bugis.
Masyarakat bugis umumnya mengenal tradisi ma’baca baca. Tradisi ma’baca didefinisikan
sebagai suatu bentuk ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan kegiatan bersama diiringi dengan pembacaan doa yang diwakili
oleh tokoh agama, untuk memimpin doa dan mengajak keluarga, tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk bendengarkan, dan mengaminkan terhadap bacaan doa yang
dilafazkan oleh tokoh agama, atau tokoh masyarakat yang diberikan kewenangan
memimpin doa. Tradisi ma’baca baca dipahami sebagai bentuk kesyukuran masyarakat
terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah swt, dalam tradisi ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk untuk melengkapi proses ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan khas Bugis, superti sokko bolong, sokko pute, nasu likku, berbagai hasil
bumi dilengkapi dupa dan kamenyan
Tradisi ma’baca baca jika dikaji dari perspektif Islam, maka dapat dikatan tradisi ma’baca
baca memiliki kesamaan dalam memanjatkan doa kepada Allah swt, yang menjadi pembeda
tradisi ma’baca baca memasukkan nilai nilai kearifan lokal masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan baca doa. Sehingga, masyarakat memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan dalam menjalankan kehidupan baik dari aspek pekerjaan, aspek sosial
kemasyarakatan, maupun aspek keagamaan. Masyarakat Bugis umumnya menerapkan
tradisi ma’baca baca pada semua aspek kehidupan. Masyarakat Bugis memiliki keyakinan
bahwa, ma’baca baca merupakan bentuk penghambaan dan ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, serta mampu menambah keyakinan akan rahmat
berupa kelancaran rejeki dan kesalamatan. Sehingga, tidak jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang menerapakan tradisi ma’baca baca.
Dewasa ini tradisi ma’baca baca pada suku Bugis mulai mengalami penurunan, baik dari
segi kuantitas yang melakukan, juga dari segi perubahan sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca disebabkan oleh keterbukaan informasi yang diperoleh di
media yang bersifat bebas terbuka, serta terdapat misi kelompok tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap dampak mudarat yang ditimbulkan dari tradisi ma’baca baca. Tradisi
ma’baca baca kemudian mengalami pengiringan isu, yang berdampak pada kebimbangan
masyarakat untuk tetap menjalankan, atau meninggalkan tradisi yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji ada apa
dibalik tradisi ma’baca baca, dan bagaimana respon masyarakat terhadap tradisi ma’baca
baca terkusus kepada masyarakat Bugis.
Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengkaji tradisi ma’baca baca. Pertama, Jurnal
yang berjudul “tradisi mabbaca doang masyarakat suku Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu” penelitian ini mengkaji secara spesifik penerapan tradisi
mabbaca doang di kota palu. Kedua, penelitian yang berjudul “tradisi pengobatan baca-
baca pada masyarakat pulau Balang Caddi Kabupaten Pangke, secara spesifik memaparkan
implementasi bacaan yang dilakukan masyarakat bugis sebagai doa untuk penyembuhan.
Ketiga penelitian yang yang berjudul “keterkaitan budaya ma’baca baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat Lanrisang”, penelitian ini mengkaji mengenai kebiasaan
masyarakat melaksanakan baca doa dibulan tertentu, serta menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi ma’baca baca. Penelitian ini tidak memfokuskan terhadap
problem maupun dinamika baik suku bugis, yang mendukung maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi penelitian yang dilakukan, mengkaji dari aspek penguatan
keimanan melalui tradisi ma’baca baca, tujuan yang ingin dicapai yaitu apakah tradisi
ma’baca baca memiliki kemampuan meningkatkan keimanan, dan dapatkah tradisi ma’baca
baca terimplementasi dengan baik di lingkungan masyarakat.
Pembahasan
Masyarakat suku Bugis merupakan etnis yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan dan
tersebar diberbagai wilayah yang ada di dunia. Pola persebaran masyarakat bugis
dipengaruhi oleh kebiasaan melakukan perjalanan untuk memperoleh kehidupan yang
layak, dengan istilah massompe’. Masyarakat Bugis dalam praktik kehidupannya banyak
menerapkan berbagai pedoman, seperti keyakinan, dan pengamalan termasuk budaya atau
tradisi tradisi yang dipahami memiliki makna kebaikan.
Nilai budaya yang dimiliki masyarakat Bugis meliputi; atempureng (kejujuran), reso
(usaha), ammaccang (kecendikiaan), assitinajang (kepatuhan), siri’ (malu atau harga diri),
dan agattengeng (keteguhan). Masyarakat Bugis juga memiliki perisip hidup yang
diimplementasikan dalam kehidupan seperti; sipakatau (saling menghargai), siammasei
(saling menyayangi), dan assiajingeng (menjaga hubungan keluarga). Oleh karena itu,
masyarakat bugis adalah masyarakat yang memiliki ketentuan ketentuan yang bersifat
mengikat satu sama lain, sehingga mampu mewujudkan persatuan baik dari segi nilai
budaya maupun perinsip hidup.
Masyarakat Bugis memiliki budaya dan tradisi yang melekat begitu kental, salah satu
bentuk tradisi yang paling menonjol di tengah masyarakat adalah ma’baca baca.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh data mengenai tradisi ma’baca baca sebagai
bahan merefleksikan keimanan masyarakat Bugis. Berikut beberapa hasil penelitian dan
pembahasan mengenai tradisi ma’baca baca yang dilakukan masyarakat Bugis;
Salah satu bentuk tradisi keagamaan yang terimplementasi pada kehidupan masyarakat
yaitu, tradisi ma’baca baca pada suku Bugis. Tradisi ma’baca baca yang diterapkan dalam
kehidupan masyarakat, umumnya diperoleh melalui pengamalan yang dilakukan secara
turun temurun dari para leluhur. Kemudian disabotase sebagai wujud kearifan lokal
masyarakat Bugis.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh ZA bahwa “tradisi ma’baca baca diterapkan oleh
masyarakat secara berkesinambungan, disertai doktrin yang meyakinkan bahwa para
leluhur melakukan, apabila tidak dilakukan maka ada dampak negatif yang terjadi yang
dikenal dengan istilah pamali” (ZA, komunikasi pribadi, Agustus 2023). Senada yang
dikemukakan MY bahwa “penamaan ma’baca baca itu tidak pernah diganti semenjak
diterapkan, berdasarkan para sesepuh atau beberapa generasi sebelumnya dan sampai ke
generasi saya, menerapkan ma’baca baca, maka jelas bahwa ma’baca baca merupakan
tradisi turunan yang dilakukan oleh masyarakat Bugis” (MY, komunikasi pribadi, Agustus
2023). AS menegaskan bahwa “tradisi ma’baca baca merupakan wujud tradisi masyarakat
Bugis yang dilestarikan secara terus menerus di setiap generasi” (AS, komunikasi pribadi,
Agustus 2023).
Berdasarkan hasil wawancara memaparkan bahwa, tradisi ma’baca baca telah dilakukan
secara turun temurun, sehingga membentuk sebuah tradisi atau kebudayaan. Dalam
pandangan Islam adat merupakan manifestasi masyarakat yang dilakukan secara berulang
yang dikenal dengan istilah ‘urf. Sehingga membentuk kekuatan sosial, yang melahirkan
identitas kultural yang khas, yaitu masyarakat Bugis sebagai penganut agama yang fanatik,
sekaligus pemegang teguh terhadap adat yang diwarisakan oleh para leluhur secara turun
temurun.
Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, terutama masyarakat Bugis tidak terlepas dari
usaha para alim ulama, untuk membumikan agama Islam melalui akulturasi budaya.
Akulturasi budaya yang dilakukan dengan cara, tetap melaksanakan tradisi kebiasaan
masyarakat, dengan menukar makna setiap tradisi yang dilakukan, seperti semula
melakukan tradisi ma’baca baca pada tempat tertentu yang ditujukan kepada sesuatu yang
dianggap mistis baik animisme maupun dinamisme, kemudian diganti dengan
memperingati hari besar Islam, bacaan zikir dan doa terhadap praktik sosial masyarakat
Bugis. Akulturasi antara agama dan budaya terbilang unik terutama masyarakat Bugis,
masyarakat yang melakukan tradisi ma’baca baca sebagai wujud mempertahankan dan
pelestarian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bugis yang bernuansa keagamaan.
Sehingga mampu menambah khazanah ilmu pengetahuan terhadap kemampuan Islam
untuk menjaga hubungan sosial keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat Bugis.