Anda di halaman 1dari 81

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Dampak Penggunaan Gawai pada Anak Usia di
Bawah Umur".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
kontribusi dalam penyusunan sejarah dan tradisi ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak
mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun
tata bahasa penyampaian dalam makalah kami ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami.

Kami berharap semoga sejarah dan tradisi yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.

Latar belakang

"Mappadekko" adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Bugis, sebuah suku di Sulawesi
Selatan, Indonesia. Istilah ini merujuk pada sebuah tradisi unik dalam masyarakat Bugis yang
melibatkan prosesi pemotongan hewan sebagai bagian dari ritual adat. Mappadekko sendiri
memiliki latar belakang yang kaya akan nilai-nilai budaya dan tradisi yang diwariskan dari
generasi ke generasi.

Dalam konteks masyarakat Bugis, mappadekko sering kali dilakukan dalam rangka perayaan
adat, seperti pernikahan, upacara kematian, atau acara keagamaan. Prosesi mappadekko tidak
hanya sekadar pemotongan hewan, tetapi juga melibatkan serangkaian tata cara dan doa-doa
yang harus dipatuhi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Bugis.

Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelaksanaan mappadekko merupakan bagian penting dari
menjaga keseimbangan alam dan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Selain itu,
mappadekko juga dianggap sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur dan tradisi nenek
moyang yang harus dijaga kelestariannya.

Dalam konteks budaya Bugis, mappadekko bukan sekadar sebuah ritual adat, tetapi juga
merupakan simbol kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Melalui mappadekko, masyarakat Bugis memperkuat ikatan sosial dan
kebersamaan dalam komunitas mereka.

Dengan demikian, latar belakang mappadekko mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal,


keberagaman budaya, dan keunikan tradisi masyarakat Bugis yang patut dilestarikan dan
dihargai sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.

Pembahasan

Mappadekko adalah sebuah tradisi adat yang memiliki makna dan nilai penting dalam
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam makalah ini, akan dibahas secara
mendalam tentang berbagai aspek terkait mappadekko, termasuk sejarah, makna, proses
pelaksanaan, serta dampak dan relevansinya dalam konteks budaya Bugis.

1. Sejarah Mappadekko

Pembahasan mengenai asal usul dan perkembangan mappadekko sebagai tradisi adat dalam
masyarakat Bugis. Sejarah mappadekko yang melibatkan pemotongan hewan sebagai bagian
dari ritual adat dan bagaimana tradisi ini telah berkembang dari masa ke masa.

2. Makna dan Nilai Mappadekko

Analisis mendalam tentang makna dan nilai yang terkandung dalam pelaksanaan mappadekko
bagi masyarakat Bugis. Diskusi tentang signifikansi simbolis, spiritual, dan sosial dari tradisi ini
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis.

3. Proses Pelaksanaan Mappadekko

Penjelasan rinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaan mappadekko, termasuk persiapan,
pelaksanaan pemotongan hewan, doa-doa yang disertakan, serta peran serta berbagai pihak
dalam menjalankan tradisi ini.

4. Dampak dan Relevansi Mappadekko

Analisis tentang dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari pelaksanaan mappadekko dalam
masyarakat Bugis. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini memengaruhi hubungan
antarindividu, keberlanjutan lingkungan, serta relevansinya dalam konteks modern dan
globalisasi.

5. Perlindungan dan Pelestarian Mappadekko

Pembahasan mengenai upaya perlindungan dan pelestarian tradisi mappadekko sebagai bagian
dari warisan budaya Indonesia. Penekanan pada pentingnya menjaga keberlangsungan tradisi
adat ini di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial.
Melalui pembahasan yang komprehensif tentang mappadekko dalam makalah ini, diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi adat ini serta mendorong
apresiasi dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan warisan nenek moyang yang
kaya di Indonesia.

Budaya atau tradisi merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun, dan
diamalkan oleh kelompok masyarakat sesuai dengan keinginan untuk mencapai
kepentingan yang dikehendaki, budaya atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tidak
terlepas dari pantauan agama. Sebagaimana yang terjadi pada suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang diamalkan, dan diyakini secara konsisten oleh masyarakat
Bugis.
Masyarakat bugis umumnya mengenal tradisi ma’baca baca. Tradisi ma’baca didefinisikan
sebagai suatu bentuk ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan kegiatan bersama diiringi dengan pembacaan doa yang diwakili
oleh tokoh agama, untuk memimpin doa dan mengajak keluarga, tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk bendengarkan, dan mengaminkan terhadap bacaan doa yang
dilafazkan oleh tokoh agama, atau tokoh masyarakat yang diberikan kewenangan
memimpin doa. Tradisi ma’baca baca dipahami sebagai bentuk kesyukuran masyarakat
terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah swt, dalam tradisi ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk untuk melengkapi proses ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan khas Bugis, superti sokko bolong, sokko pute, nasu likku, berbagai hasil
bumi dilengkapi dupa dan kamenyan

Tradisi ma’baca baca jika dikaji dari perspektif Islam, maka dapat dikatan tradisi ma’baca
baca memiliki kesamaan dalam memanjatkan doa kepada Allah swt, yang menjadi pembeda
tradisi ma’baca baca memasukkan nilai nilai kearifan lokal masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan baca doa. Sehingga, masyarakat memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan dalam menjalankan kehidupan baik dari aspek pekerjaan, aspek sosial
kemasyarakatan, maupun aspek keagamaan. Masyarakat Bugis umumnya menerapkan
tradisi ma’baca baca pada semua aspek kehidupan. Masyarakat Bugis memiliki keyakinan
bahwa, ma’baca baca merupakan bentuk penghambaan dan ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, serta mampu menambah keyakinan akan rahmat
berupa kelancaran rejeki dan kesalamatan. Sehingga, tidak jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang menerapakan tradisi ma’baca baca.

Dewasa ini tradisi ma’baca baca pada suku Bugis mulai mengalami penurunan, baik dari
segi kuantitas yang melakukan, juga dari segi perubahan sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca disebabkan oleh keterbukaan informasi yang diperoleh di
media yang bersifat bebas terbuka, serta terdapat misi kelompok tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap dampak mudarat yang ditimbulkan dari tradisi ma’baca baca. Tradisi
ma’baca baca kemudian mengalami pengiringan isu, yang berdampak pada kebimbangan
masyarakat untuk tetap menjalankan, atau meninggalkan tradisi yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji ada apa
dibalik tradisi ma’baca baca, dan bagaimana respon masyarakat terhadap tradisi ma’baca
baca terkusus kepada masyarakat Bugis.

Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengkaji tradisi ma’baca baca. Pertama, Jurnal
yang berjudul “tradisi mabbaca doang masyarakat suku Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu” penelitian ini mengkaji secara spesifik penerapan tradisi
mabbaca doang di kota palu. Kedua, penelitian yang berjudul “tradisi pengobatan baca-
baca pada masyarakat pulau Balang Caddi Kabupaten Pangke, secara spesifik memaparkan
implementasi bacaan yang dilakukan masyarakat bugis sebagai doa untuk penyembuhan.
Ketiga penelitian yang yang berjudul “keterkaitan budaya ma’baca baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat Lanrisang”, penelitian ini mengkaji mengenai kebiasaan
masyarakat melaksanakan baca doa dibulan tertentu, serta menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi ma’baca baca. Penelitian ini tidak memfokuskan terhadap
problem maupun dinamika baik suku bugis, yang mendukung maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi penelitian yang dilakukan, mengkaji dari aspek penguatan
keimanan melalui tradisi ma’baca baca, tujuan yang ingin dicapai yaitu apakah tradisi
ma’baca baca memiliki kemampuan meningkatkan keimanan, dan dapatkah tradisi ma’baca
baca terimplementasi dengan baik di lingkungan masyarakat.

Pembahasan

Masyarakat suku Bugis merupakan etnis yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan dan
tersebar diberbagai wilayah yang ada di dunia. Pola persebaran masyarakat bugis
dipengaruhi oleh kebiasaan melakukan perjalanan untuk memperoleh kehidupan yang
layak, dengan istilah massompe’. Masyarakat Bugis dalam praktik kehidupannya banyak
menerapkan berbagai pedoman, seperti keyakinan, dan pengamalan termasuk budaya atau
tradisi tradisi yang dipahami memiliki makna kebaikan.

Nilai budaya yang dimiliki masyarakat Bugis meliputi; atempureng (kejujuran), reso
(usaha), ammaccang (kecendikiaan), assitinajang (kepatuhan), siri’ (malu atau harga diri),
dan agattengeng (keteguhan). Masyarakat Bugis juga memiliki perisip hidup yang
diimplementasikan dalam kehidupan seperti; sipakatau (saling menghargai), siammasei
(saling menyayangi), dan assiajingeng (menjaga hubungan keluarga). Oleh karena itu,
masyarakat bugis adalah masyarakat yang memiliki ketentuan ketentuan yang bersifat
mengikat satu sama lain, sehingga mampu mewujudkan persatuan baik dari segi nilai
budaya maupun perinsip hidup.

Masyarakat Bugis memiliki budaya dan tradisi yang melekat begitu kental, salah satu
bentuk tradisi yang paling menonjol di tengah masyarakat adalah ma’baca baca.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh data mengenai tradisi ma’baca baca sebagai
bahan merefleksikan keimanan masyarakat Bugis. Berikut beberapa hasil penelitian dan
pembahasan mengenai tradisi ma’baca baca yang dilakukan masyarakat Bugis;

Tradisi Ma’baca Baca sebagai Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Bugis


Perkembangan Islam di wilayah indonesia begitu cepat dan pesat, meskipun wilayah
teritorial yang terbilang cukup sulit yaitu terdiri pulau pulau serta etnis dan kebudayaan
yang beragam. Islam bersifat universal, sempurnah, lentur, elastis, dan mudah
menyesuaikan dengan situasi suatu wilayah baik dari segi tradisi dan budaya, yang disebut
dengan akulturasi budaya. Quraish Shihab menyebut ada tiga bentuk akulturasi budaya
yaitu; menolak budaya setempat, merevisi budaya setempat, dan menyetujui budaya
setempat. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia kaya akan makna, dan nilai, serta tidak
terlepas tradisi yang berbasis keagamaan.

Salah satu bentuk tradisi keagamaan yang terimplementasi pada kehidupan masyarakat
yaitu, tradisi ma’baca baca pada suku Bugis. Tradisi ma’baca baca yang diterapkan dalam
kehidupan masyarakat, umumnya diperoleh melalui pengamalan yang dilakukan secara
turun temurun dari para leluhur. Kemudian disabotase sebagai wujud kearifan lokal
masyarakat Bugis.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh ZA bahwa “tradisi ma’baca baca diterapkan oleh
masyarakat secara berkesinambungan, disertai doktrin yang meyakinkan bahwa para
leluhur melakukan, apabila tidak dilakukan maka ada dampak negatif yang terjadi yang
dikenal dengan istilah pamali” (ZA, komunikasi pribadi, Agustus 2023). Senada yang
dikemukakan MY bahwa “penamaan ma’baca baca itu tidak pernah diganti semenjak
diterapkan, berdasarkan para sesepuh atau beberapa generasi sebelumnya dan sampai ke
generasi saya, menerapkan ma’baca baca, maka jelas bahwa ma’baca baca merupakan
tradisi turunan yang dilakukan oleh masyarakat Bugis” (MY, komunikasi pribadi, Agustus
2023). AS menegaskan bahwa “tradisi ma’baca baca merupakan wujud tradisi masyarakat
Bugis yang dilestarikan secara terus menerus di setiap generasi” (AS, komunikasi pribadi,
Agustus 2023).

Berdasarkan hasil wawancara memaparkan bahwa, tradisi ma’baca baca telah dilakukan
secara turun temurun, sehingga membentuk sebuah tradisi atau kebudayaan. Dalam
pandangan Islam adat merupakan manifestasi masyarakat yang dilakukan secara berulang
yang dikenal dengan istilah ‘urf. Sehingga membentuk kekuatan sosial, yang melahirkan
identitas kultural yang khas, yaitu masyarakat Bugis sebagai penganut agama yang fanatik,
sekaligus pemegang teguh terhadap adat yang diwarisakan oleh para leluhur secara turun
temurun.

Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, terutama masyarakat Bugis tidak terlepas dari
usaha para alim ulama, untuk membumikan agama Islam melalui akulturasi budaya.
Akulturasi budaya yang dilakukan dengan cara, tetap melaksanakan tradisi kebiasaan
masyarakat, dengan menukar makna setiap tradisi yang dilakukan, seperti semula
melakukan tradisi ma’baca baca pada tempat tertentu yang ditujukan kepada sesuatu yang
dianggap mistis baik animisme maupun dinamisme, kemudian diganti dengan
memperingati hari besar Islam, bacaan zikir dan doa terhadap praktik sosial masyarakat
Bugis. Akulturasi antara agama dan budaya terbilang unik terutama masyarakat Bugis,
masyarakat yang melakukan tradisi ma’baca baca sebagai wujud mempertahankan dan
pelestarian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bugis yang bernuansa keagamaan.
Sehingga mampu menambah khazanah ilmu pengetahuan terhadap kemampuan Islam
untuk menjaga hubungan sosial keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat Bugis.

Budaya atau tradisi


merupakan kebiasaan yang
berlaku secara turun
temurun, dan diamalkan oleh
kelompok masyarakat sesuai
dengan keinginan
untuk mencapai kepentingan
yang dikehendaki (Riezal
dkk., 2019), budaya
atau tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari
pantauan agama
(Susanto dkk., 2020).
Sebagaimana yang terjadi pada
suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang
diamalkan, dan diyakini
secara konsisten oleh
masyarakat Bugis (Hamzah,
2021).
Masyarakat bugis umumnya
mengenal tradisi ma’baca
baca (Rafid,
2022). Tradisi ma’baca
didefinisikan sebagai suatu
bentuk ritual keagamaan
yang dilakukan oleh
masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan
kegiatan bersama diiringi
dengan pembacaan doa yang
diwakili oleh tokoh
agama, untuk memimpin doa
dan mengajak keluarga,
tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk
bendengarkan, dan
mengaminkan terhadap bacaan
A. PENDAHULUAN
Budaya telah ada jauh
sebelum tumbuh dan
berkembangnya agama
Islam, akan tetapi agama
Islam mampu mengasimilasi
konsep agama dan
konsep budaya, agar mampu
berkontribusi secara bersama
dalam
perkembangan masyarakat
(Istiqomah & Soehadha, 2023).
Di dalam agama
terdapat unsur kebudayaan,
sebaliknya budaya juga
memiliki unsur
keagamaan, sehingga antara
agama dan budaya memiliki
daya tarik yang saling
menguntungkan satu sama
lain (Muna & Lestari, 2023).
Agama mampu
terimplementasi dengan baik
dengan cara berkolaborasi
terhadap konsep
budaya, sementara budaya
membutuhkan agama sebagai
prasarana agar
mampu tetap eksis di tengah
kehidupan masyarakat.
Hildigardis M. I. Nahak
berpendapat, untuk
melestarikan budaya
setidaknya ada dua acara
yaitu pengamalan budaya, dan
juga pengetahuan
budaya (Pardede & Gulo,
2023). Budaya memiliki fungsi
sebagai agen of control
terhadap aktivitas masyarakat
yang saling berinteraksi satu
sama lain (Solihah,
2019). Budaya atau adat yang
lazim terjadi di lingkungan
masyarakat, dan tidak
memiliki pertentangan terhadap
agama, bisa dilestarikan dan
menjadi ciri khas
dari sebuah daerah (Islami
dkk., 2023). Dalam kaidah
fiqih disebut (al-adat
muhakkamat), adat merupakan
salah satu rujukan dalam
menetapakan hukum
(Budiarti, 2021). Bahkan
agama Islam, mempertahankan
tradisi lokal atau
budaya lokal yang
mempunyai nilai maslahat
bagi manusia yang dikenal
dengan istilah ‘urf (Budiarti,
2021).
Budaya atau tradisi
merupakan kebiasaan yang
berlaku secara turun
temurun, dan diamalkan oleh
kelompok masyarakat sesuai
dengan keinginan
untuk mencapai kepentingan
yang dikehendaki (Riezal
dkk., 2019), budaya
atau tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari
pantauan agama
(Susanto dkk., 2020).
Sebagaimana yang terjadi pada
suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang
diamalkan, dan diyakini
secara konsisten oleh
masyarakat Bugis (Hamzah,
2021).
Masyarakat bugis umumnya
mengenal tradisi ma’baca
baca (Rafid,
2022). Tradisi ma’baca
didefinisikan sebagai suatu
bentuk ritual keagamaan
yang dilakukan oleh
masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan
kegiatan bersama diiringi
dengan pembacaan doa yang
diwakili oleh tokoh
agama, untuk memimpin doa
dan mengajak keluarga,
tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk
bendengarkan, dan
mengaminkan terhadap bacaan
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
51
doa yang dilafazkan oleh tokoh
agama, atau tokoh masyarakat
yang diberikan
kewenangan memimpin doa
(Rafid, 2022). Tradisi
ma’baca baca dipahami
sebagai bentuk kesyukuran
masyarakat terhadap nikmat
yang diberikan oleh
Allah swt, dalam tradisi
ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk
untuk melengkapi proses
ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan
khas Bugis, superti sokko
bolong, sokko pute, nasu
likku, berbagai hasil bumi
dilengkapi dupa dan kamenyan
(Rafid, 2022).
Tradisi ma’baca baca jika
dikaji dari perspektif Islam,
maka dapat
dikatan tradisi ma’baca baca
memiliki kesamaan dalam
memanjatkan doa
kepada Allah swt, yang menjadi
pembeda tradisi ma’baca baca
memasukkan
nilai nilai kearifan lokal
masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan
baca doa. Sehingga,
masyarakat memperoleh
kebahagiaan dan ketenangan
dalam menjalankan kehidupan
baik dari aspek pekerjaan,
aspek sosial
kemasyarakatan, maupun
aspek keagamaan. Masyarakat
Bugis umumnya
menerapkan tradisi ma’baca
baca pada semua aspek
kehidupan (Kamalia,
2021). Masyarakat Bugis
memiliki keyakinan bahwa,
ma’baca baca merupakan
bentuk penghambaan dan
ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta
mampu menambah keyakinan
akan rahmat berupa
kelancaran rejeki dan
kesalamatan (Hudri &
Yudantiasa, 2018). Sehingga,
tidak
jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang
menerapakan tradisi ma’baca
baca.
Dewasa ini tradisi ma’baca
baca pada suku Bugis mulai
mengalami
penurunan, baik dari segi
kuantitas yang melakukan, juga
dari segi perubahan
sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca
disebabkan oleh
keterbukaan informasi yang
diperoleh di media yang bersifat
bebas terbuka,
serta terdapat misi kelompok
tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap
dampak mudarat yang
ditimbulkan dari tradisi
ma’baca baca. Tradisi ma’baca
baca kemudian mengalami
pengiringan isu, yang
berdampak pada
kebimbangan masyarakat untuk
tetap menjalankan, atau
meninggalkan tradisi
yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk
mengkaji ada apa dibalik tradisi
ma’baca baca, dan
bagaimana respon masyarakat
terhadap tradisi ma’baca baca
terkusus kepada
masyarakat Bugis.
Penelitian sebelumnya telah
banyak yang mengkaji tradisi
ma’baca
baca. Pertama, Jurnal yang
berjudul “tradisi mabbaca
doang masyarakat suku
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
52
Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu”
penelitian ini
mengkaji secara spesifik
penerapan tradisi mabbaca
doang di kota palu (Hamzah,
2021). Kedua, penelitian yang
berjudul “tradisi pengobatan
baca-baca pada
masyarakat pulau Balang
Caddi Kabupaten Pangkep
(perspektif hukum
Islam), secara spesifik
memaparkan implementasi
bacaan yang dilakukan
masyarakat bugis sebagai doa
untuk penyembuhan (Hk & Hl,
2020). Ketiga
penelitian yang yang berjudul
“keterkaitan budaya ma’baca
baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat
Lanrisang”, penelitian ini
mengkaji mengenai
kebiasaan masyarakat
melaksanakan baca doa
dibulan tertentu, serta
menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi
ma’baca baca
(Arafah dkk., 2022).
Penelitian ini tidak
memfokuskan terhadap
problem
maupun dinamika baik suku
bugis, yang mendukung
maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi
penelitian yang dilakukan,
mengkaji dari aspek
penguatan keimanan melalui
tradisi ma’baca baca, tujuan
yang ingin dicapai
yaitu apakah tradisi ma’baca
baca memiliki kemampuan
meningkatkan
keimanan, dan dapatkah tradisi
ma’baca baca terimplementasi
dengan baik di
lingkungan masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Budaya telah ada jauh
sebelum tumbuh dan
berkembangnya agama
Islam, akan tetapi agama
Islam mampu mengasimilasi
konsep agama dan
konsep budaya, agar mampu
berkontribusi secara bersama
dalam
perkembangan masyarakat
(Istiqomah & Soehadha, 2023).
Di dalam agama
terdapat unsur kebudayaan,
sebaliknya budaya juga
memiliki unsur
keagamaan, sehingga antara
agama dan budaya memiliki
daya tarik yang saling
menguntungkan satu sama
lain (Muna & Lestari, 2023).
Agama mampu
terimplementasi dengan baik
dengan cara berkolaborasi
terhadap konsep
budaya, sementara budaya
membutuhkan agama sebagai
prasarana agar
mampu tetap eksis di tengah
kehidupan masyarakat.
Hildigardis M. I. Nahak
berpendapat, untuk
melestarikan budaya
setidaknya ada dua acara
yaitu pengamalan budaya, dan
juga pengetahuan
budaya (Pardede & Gulo,
2023). Budaya memiliki fungsi
sebagai agen of control
terhadap aktivitas masyarakat
yang saling berinteraksi satu
sama lain (Solihah,
2019). Budaya atau adat yang
lazim terjadi di lingkungan
masyarakat, dan tidak
memiliki pertentangan terhadap
agama, bisa dilestarikan dan
menjadi ciri khas
dari sebuah daerah (Islami
dkk., 2023). Dalam kaidah
fiqih disebut (al-adat
muhakkamat), adat merupakan
salah satu rujukan dalam
menetapakan hukum
(Budiarti, 2021). Bahkan
agama Islam, mempertahankan
tradisi lokal atau
budaya lokal yang
mempunyai nilai maslahat
bagi manusia yang dikenal
dengan istilah ‘urf (Budiarti,
2021).
Budaya atau tradisi
merupakan kebiasaan yang
berlaku secara turun
temurun, dan diamalkan oleh
kelompok masyarakat sesuai
dengan keinginan
untuk mencapai kepentingan
yang dikehendaki (Riezal
dkk., 2019), budaya
atau tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari
pantauan agama
(Susanto dkk., 2020).
Sebagaimana yang terjadi pada
suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang
diamalkan, dan diyakini
secara konsisten oleh
masyarakat Bugis (Hamzah,
2021).
Masyarakat bugis umumnya
mengenal tradisi ma’baca
baca (Rafid,
2022). Tradisi ma’baca
didefinisikan sebagai suatu
bentuk ritual keagamaan
yang dilakukan oleh
masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan
kegiatan bersama diiringi
dengan pembacaan doa yang
diwakili oleh tokoh
agama, untuk memimpin doa
dan mengajak keluarga,
tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk
bendengarkan, dan
mengaminkan terhadap bacaan
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
51
doa yang dilafazkan oleh tokoh
agama, atau tokoh masyarakat
yang diberikan
kewenangan memimpin doa
(Rafid, 2022). Tradisi
ma’baca baca dipahami
sebagai bentuk kesyukuran
masyarakat terhadap nikmat
yang diberikan oleh
Allah swt, dalam tradisi
ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk
untuk melengkapi proses
ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan
khas Bugis, superti sokko
bolong, sokko pute, nasu
likku, berbagai hasil bumi
dilengkapi dupa dan kamenyan
(Rafid, 2022).
Tradisi ma’baca baca jika
dikaji dari perspektif Islam,
maka dapat
dikatan tradisi ma’baca baca
memiliki kesamaan dalam
memanjatkan doa
kepada Allah swt, yang menjadi
pembeda tradisi ma’baca baca
memasukkan
nilai nilai kearifan lokal
masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan
baca doa. Sehingga,
masyarakat memperoleh
kebahagiaan dan ketenangan
dalam menjalankan kehidupan
baik dari aspek pekerjaan,
aspek sosial
kemasyarakatan, maupun
aspek keagamaan. Masyarakat
Bugis umumnya
menerapkan tradisi ma’baca
baca pada semua aspek
kehidupan (Kamalia,
2021). Masyarakat Bugis
memiliki keyakinan bahwa,
ma’baca baca merupakan
bentuk penghambaan dan
ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta
mampu menambah keyakinan
akan rahmat berupa
kelancaran rejeki dan
kesalamatan (Hudri &
Yudantiasa, 2018). Sehingga,
tidak
jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang
menerapakan tradisi ma’baca
baca.
Dewasa ini tradisi ma’baca
baca pada suku Bugis mulai
mengalami
penurunan, baik dari segi
kuantitas yang melakukan, juga
dari segi perubahan
sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca
disebabkan oleh
keterbukaan informasi yang
diperoleh di media yang bersifat
bebas terbuka,
serta terdapat misi kelompok
tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap
dampak mudarat yang
ditimbulkan dari tradisi
ma’baca baca. Tradisi ma’baca
baca kemudian mengalami
pengiringan isu, yang
berdampak pada
kebimbangan masyarakat untuk
tetap menjalankan, atau
meninggalkan tradisi
yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk
mengkaji ada apa dibalik tradisi
ma’baca baca, dan
bagaimana respon masyarakat
terhadap tradisi ma’baca baca
terkusus kepada
masyarakat Bugis.
Penelitian sebelumnya telah
banyak yang mengkaji tradisi
ma’baca
baca. Pertama, Jurnal yang
berjudul “tradisi mabbaca
doang masyarakat suku
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
52
Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu”
penelitian ini
mengkaji secara spesifik
penerapan tradisi mabbaca
doang di kota palu (Hamzah,
2021). Kedua, penelitian yang
berjudul “tradisi pengobatan
baca-baca pada
masyarakat pulau Balang
Caddi Kabupaten Pangkep
(perspektif hukum
Islam), secara spesifik
memaparkan implementasi
bacaan yang dilakukan
masyarakat bugis sebagai doa
untuk penyembuhan (Hk & Hl,
2020). Ketiga
penelitian yang yang berjudul
“keterkaitan budaya ma’baca
baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat
Lanrisang”, penelitian ini
mengkaji mengenai
kebiasaan masyarakat
melaksanakan baca doa
dibulan tertentu, serta
menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi
ma’baca baca
(Arafah dkk., 2022).
Penelitian ini tidak
memfokuskan terhadap
problem
maupun dinamika baik suku
bugis, yang mendukung
maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi
penelitian yang dilakukan,
mengkaji dari aspek
penguatan keimanan melalui
tradisi ma’baca baca, tujuan
yang ingin dicapai
yaitu apakah tradisi ma’baca
baca memiliki kemampuan
meningkatkan
keimanan, dan dapatkah tradisi
ma’baca baca terimplementasi
dengan baik di
lingkungan masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Budaya telah ada jauh
sebelum tumbuh dan
berkembangnya agama
Islam, akan tetapi agama
Islam mampu mengasimilasi
konsep agama dan
konsep budaya, agar mampu
berkontribusi secara bersama
dalam
perkembangan masyarakat
(Istiqomah & Soehadha, 2023).
Di dalam agama
terdapat unsur kebudayaan,
sebaliknya budaya juga
memiliki unsur
keagamaan, sehingga antara
agama dan budaya memiliki
daya tarik yang saling
menguntungkan satu sama
lain (Muna & Lestari, 2023).
Agama mampu
terimplementasi dengan baik
dengan cara berkolaborasi
terhadap konsep
budaya, sementara budaya
membutuhkan agama sebagai
prasarana agar
mampu tetap eksis di tengah
kehidupan masyarakat.
Hildigardis M. I. Nahak
berpendapat, untuk
melestarikan budaya
setidaknya ada dua acara
yaitu pengamalan budaya, dan
juga pengetahuan
budaya (Pardede & Gulo,
2023). Budaya memiliki fungsi
sebagai agen of control
terhadap aktivitas masyarakat
yang saling berinteraksi satu
sama lain (Solihah,
2019). Budaya atau adat yang
lazim terjadi di lingkungan
masyarakat, dan tidak
memiliki pertentangan terhadap
agama, bisa dilestarikan dan
menjadi ciri khas
dari sebuah daerah (Islami
dkk., 2023). Dalam kaidah
fiqih disebut (al-adat
muhakkamat), adat merupakan
salah satu rujukan dalam
menetapakan hukum
(Budiarti, 2021). Bahkan
agama Islam, mempertahankan
tradisi lokal atau
budaya lokal yang
mempunyai nilai maslahat
bagi manusia yang dikenal
dengan istilah ‘urf (Budiarti,
2021).
Budaya atau tradisi
merupakan kebiasaan yang
berlaku secara turun
temurun, dan diamalkan oleh
kelompok masyarakat sesuai
dengan keinginan
untuk mencapai kepentingan
yang dikehendaki (Riezal
dkk., 2019), budaya
atau tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari
pantauan agama
(Susanto dkk., 2020).
Sebagaimana yang terjadi pada
suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang
diamalkan, dan diyakini
secara konsisten oleh
masyarakat Bugis (Hamzah,
2021).
Masyarakat bugis umumnya
mengenal tradisi ma’baca
baca (Rafid,
2022). Tradisi ma’baca
didefinisikan sebagai suatu
bentuk ritual keagamaan
yang dilakukan oleh
masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan
kegiatan bersama diiringi
dengan pembacaan doa yang
diwakili oleh tokoh
agama, untuk memimpin doa
dan mengajak keluarga,
tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk
bendengarkan, dan
mengaminkan terhadap bacaan
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
51
doa yang dilafazkan oleh tokoh
agama, atau tokoh masyarakat
yang diberikan
kewenangan memimpin doa
(Rafid, 2022). Tradisi
ma’baca baca dipahami
sebagai bentuk kesyukuran
masyarakat terhadap nikmat
yang diberikan oleh
Allah swt, dalam tradisi
ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk
untuk melengkapi proses
ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan
khas Bugis, superti sokko
bolong, sokko pute, nasu
likku, berbagai hasil bumi
dilengkapi dupa dan kamenyan
(Rafid, 2022).
Tradisi ma’baca baca jika
dikaji dari perspektif Islam,
maka dapat
dikatan tradisi ma’baca baca
memiliki kesamaan dalam
memanjatkan doa
kepada Allah swt, yang menjadi
pembeda tradisi ma’baca baca
memasukkan
nilai nilai kearifan lokal
masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan
baca doa. Sehingga,
masyarakat memperoleh
kebahagiaan dan ketenangan
dalam menjalankan kehidupan
baik dari aspek pekerjaan,
aspek sosial
kemasyarakatan, maupun
aspek keagamaan. Masyarakat
Bugis umumnya
menerapkan tradisi ma’baca
baca pada semua aspek
kehidupan (Kamalia,
2021). Masyarakat Bugis
memiliki keyakinan bahwa,
ma’baca baca merupakan
bentuk penghambaan dan
ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta
mampu menambah keyakinan
akan rahmat berupa
kelancaran rejeki dan
kesalamatan (Hudri &
Yudantiasa, 2018). Sehingga,
tidak
jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang
menerapakan tradisi ma’baca
baca.
Dewasa ini tradisi ma’baca
baca pada suku Bugis mulai
mengalami
penurunan, baik dari segi
kuantitas yang melakukan, juga
dari segi perubahan
sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca
disebabkan oleh
keterbukaan informasi yang
diperoleh di media yang bersifat
bebas terbuka,
serta terdapat misi kelompok
tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap
dampak mudarat yang
ditimbulkan dari tradisi
ma’baca baca. Tradisi ma’baca
baca kemudian mengalami
pengiringan isu, yang
berdampak pada
kebimbangan masyarakat untuk
tetap menjalankan, atau
meninggalkan tradisi
yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk
mengkaji ada apa dibalik tradisi
ma’baca baca, dan
bagaimana respon masyarakat
terhadap tradisi ma’baca baca
terkusus kepada
masyarakat Bugis.
Penelitian sebelumnya telah
banyak yang mengkaji tradisi
ma’baca
baca. Pertama, Jurnal yang
berjudul “tradisi mabbaca
doang masyarakat suku
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
52
Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu”
penelitian ini
mengkaji secara spesifik
penerapan tradisi mabbaca
doang di kota palu (Hamzah,
2021). Kedua, penelitian yang
berjudul “tradisi pengobatan
baca-baca pada
masyarakat pulau Balang
Caddi Kabupaten Pangkep
(perspektif hukum
Islam), secara spesifik
memaparkan implementasi
bacaan yang dilakukan
masyarakat bugis sebagai doa
untuk penyembuhan (Hk & Hl,
2020). Ketiga
penelitian yang yang berjudul
“keterkaitan budaya ma’baca
baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat
Lanrisang”, penelitian ini
mengkaji mengenai
kebiasaan masyarakat
melaksanakan baca doa
dibulan tertentu, serta
menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi
ma’baca baca
(Arafah dkk., 2022).
Penelitian ini tidak
memfokuskan terhadap
problem
maupun dinamika baik suku
bugis, yang mendukung
maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi
penelitian yang dilakukan,
mengkaji dari aspek
penguatan keimanan melalui
tradisi ma’baca baca, tujuan
yang ingin dicapai
yaitu apakah tradisi ma’baca
baca memiliki kemampuan
meningkatkan
keimanan, dan dapatkah tradisi
ma’baca baca terimplementasi
dengan baik di
lingkungan masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Budaya telah ada jauh
sebelum tumbuh dan
berkembangnya agama
Islam, akan tetapi agama
Islam mampu mengasimilasi
konsep agama dan
konsep budaya, agar mampu
berkontribusi secara bersama
dalam
perkembangan masyarakat
(Istiqomah & Soehadha, 2023).
Di dalam agama
terdapat unsur kebudayaan,
sebaliknya budaya juga
memiliki unsur
keagamaan, sehingga antara
agama dan budaya memiliki
daya tarik yang saling
menguntungkan satu sama
lain (Muna & Lestari, 2023).
Agama mampu
terimplementasi dengan baik
dengan cara berkolaborasi
terhadap konsep
budaya, sementara budaya
membutuhkan agama sebagai
prasarana agar
mampu tetap eksis di tengah
kehidupan masyarakat.
Hildigardis M. I. Nahak
berpendapat, untuk
melestarikan budaya
setidaknya ada dua acara
yaitu pengamalan budaya, dan
juga pengetahuan
budaya (Pardede & Gulo,
2023). Budaya memiliki fungsi
sebagai agen of control
terhadap aktivitas masyarakat
yang saling berinteraksi satu
sama lain (Solihah,
2019). Budaya atau adat yang
lazim terjadi di lingkungan
masyarakat, dan tidak
memiliki pertentangan terhadap
agama, bisa dilestarikan dan
menjadi ciri khas
dari sebuah daerah (Islami
dkk., 2023). Dalam kaidah
fiqih disebut (al-adat
muhakkamat), adat merupakan
salah satu rujukan dalam
menetapakan hukum
(Budiarti, 2021). Bahkan
agama Islam, mempertahankan
tradisi lokal atau
budaya lokal yang
mempunyai nilai maslahat
bagi manusia yang dikenal
dengan istilah ‘urf (Budiarti,
2021).
Budaya atau tradisi
merupakan kebiasaan yang
berlaku secara turun
temurun, dan diamalkan oleh
kelompok masyarakat sesuai
dengan keinginan
untuk mencapai kepentingan
yang dikehendaki (Riezal
dkk., 2019), budaya
atau tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari
pantauan agama
(Susanto dkk., 2020).
Sebagaimana yang terjadi pada
suku Bugis, suku Bugis
memiliki adat istiadat yang
diamalkan, dan diyakini
secara konsisten oleh
masyarakat Bugis (Hamzah,
2021).
Masyarakat bugis umumnya
mengenal tradisi ma’baca
baca (Rafid,
2022). Tradisi ma’baca
didefinisikan sebagai suatu
bentuk ritual keagamaan
yang dilakukan oleh
masyarakat Bugis, tradisi
ma’baca baca merupakan
kegiatan bersama diiringi
dengan pembacaan doa yang
diwakili oleh tokoh
agama, untuk memimpin doa
dan mengajak keluarga,
tetangga, serta
masyarakat sekitar untuk
bendengarkan, dan
mengaminkan terhadap bacaan
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
51
doa yang dilafazkan oleh tokoh
agama, atau tokoh masyarakat
yang diberikan
kewenangan memimpin doa
(Rafid, 2022). Tradisi
ma’baca baca dipahami
sebagai bentuk kesyukuran
masyarakat terhadap nikmat
yang diberikan oleh
Allah swt, dalam tradisi
ma’baca baca, berbagai
hidangan disuguhkan untuk
untuk melengkapi proses
ma’baca baca atau doa bersama,
terutama makanan
khas Bugis, superti sokko
bolong, sokko pute, nasu
likku, berbagai hasil bumi
dilengkapi dupa dan kamenyan
(Rafid, 2022).
Tradisi ma’baca baca jika
dikaji dari perspektif Islam,
maka dapat
dikatan tradisi ma’baca baca
memiliki kesamaan dalam
memanjatkan doa
kepada Allah swt, yang menjadi
pembeda tradisi ma’baca baca
memasukkan
nilai nilai kearifan lokal
masyarakat Bugis, sebagai
serana dalam melaksanakan
baca doa. Sehingga,
masyarakat memperoleh
kebahagiaan dan ketenangan
dalam menjalankan kehidupan
baik dari aspek pekerjaan,
aspek sosial
kemasyarakatan, maupun
aspek keagamaan. Masyarakat
Bugis umumnya
menerapkan tradisi ma’baca
baca pada semua aspek
kehidupan (Kamalia,
2021). Masyarakat Bugis
memiliki keyakinan bahwa,
ma’baca baca merupakan
bentuk penghambaan dan
ketidak mampuan manusia atas
kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta
mampu menambah keyakinan
akan rahmat berupa
kelancaran rejeki dan
kesalamatan (Hudri &
Yudantiasa, 2018). Sehingga,
tidak
jarang ditemukan pada
masyarakat Bugis yang
menerapakan tradisi ma’baca
baca.
Dewasa ini tradisi ma’baca
baca pada suku Bugis mulai
mengalami
penurunan, baik dari segi
kuantitas yang melakukan, juga
dari segi perubahan
sudut pandang masyarakat,
penurunan tradisi ma’baca baca
disebabkan oleh
keterbukaan informasi yang
diperoleh di media yang bersifat
bebas terbuka,
serta terdapat misi kelompok
tertentu yang memberikan
doktrinisasi terhadap
dampak mudarat yang
ditimbulkan dari tradisi
ma’baca baca. Tradisi ma’baca
baca kemudian mengalami
pengiringan isu, yang
berdampak pada
kebimbangan masyarakat untuk
tetap menjalankan, atau
meninggalkan tradisi
yang telah terealisasi di
lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk
mengkaji ada apa dibalik tradisi
ma’baca baca, dan
bagaimana respon masyarakat
terhadap tradisi ma’baca baca
terkusus kepada
masyarakat Bugis.
Penelitian sebelumnya telah
banyak yang mengkaji tradisi
ma’baca
baca. Pertama, Jurnal yang
berjudul “tradisi mabbaca
doang masyarakat suku
Fahima: Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
E-ISSN: 2808-4349 | P-ISSN: 2808-
747X | Volume 3 No. 1 Januari 2024
52
Bugis Kelurahan Kabonena
Kecamatan Ulujadi kota Palu”
penelitian ini
mengkaji secara spesifik
penerapan tradisi mabbaca
doang di kota palu (Hamzah,
2021). Kedua, penelitian yang
berjudul “tradisi pengobatan
baca-baca pada
masyarakat pulau Balang
Caddi Kabupaten Pangkep
(perspektif hukum
Islam), secara spesifik
memaparkan implementasi
bacaan yang dilakukan
masyarakat bugis sebagai doa
untuk penyembuhan (Hk & Hl,
2020). Ketiga
penelitian yang yang berjudul
“keterkaitan budaya ma’baca
baca dengan bulan
Ramadhan dalam masyarakat
Lanrisang”, penelitian ini
mengkaji mengenai
kebiasaan masyarakat
melaksanakan baca doa
dibulan tertentu, serta
menambahas mengenai simbol
yang terdapat dalam tradisi
ma’baca baca
(Arafah dkk., 2022).
Penelitian ini tidak
memfokuskan terhadap
problem
maupun dinamika baik suku
bugis, yang mendukung
maupun menolak tradisi
ma’baca baca. Akan tetapi
penelitian yang dilakukan,
mengkaji dari aspek
penguatan keimanan melalui
tradisi ma’baca baca, tujuan
yang ingin dicapai
yaitu apakah tradisi ma’baca
baca memiliki kemampuan
meningkatkan
keimanan, dan dapatkah tradisi
ma’baca baca terimplementasi
dengan baik di
lingkungan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai