Anda di halaman 1dari 7

TRADISI MENRE’ BOLA BARU

(PERSPEKTIF HUKUM ADAT MASYARAKAT BUGIS


TERHADAP NILAI KEARIFAN LOKAL)

HARIYANTO
Fakultas Hukum, Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada
E-mail: Harianto01092001@gmail.com

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa

Indonesia dapat dilihat dari keragaman suku bangsa yang ada serta memiliki ciri khas

tersendiri dengan sistem sosial masyarakatnya yang unik. Setiap suku memiliki

kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Kebiasaan hidup ini menjadi budaya dan ciri khas

suku masing-masing hingga membentuk suatu keragaman budaya. Keragaman ini

memberikan warna dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga menjadikan ciri

khusus untuk suku masing-masing.

Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari keragaman suku bangsa yang

ada serta memiliki ciri khas tersendiri dengan sistem sosial masyarakatnya yang unik.

Setiap suku memiliki kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Kebiasaan hidup ini menjadi

budaya dan ciri khas suku masing-masing hingga membentuk suatu keragaman budaya.

Masyarakat Bugis adalah salah satu masyarakat yang masih menjunjung tinggi

nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Tradisi atau kebiasaan adalah

sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang

sama.
Bugis adalah salah satu etnik besar di Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugis-
Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis Makassar yang mendiami jazirah
selatan pulau Sulawesi. Suku Bugis sebagai salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan
memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya,
sistem sosial dan hasil nyata budaya yang satu sama lain berhubungan secara timbal
balik dan saling berhubungan dengan struktur kebudayaan. Struktur kebudayaan yang
dimaksud antara lain adalah sistem politik yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat terutama yang barkaitan dengan pembagian tugas dan penyelenggaraan
kekuasaan. Kekuasaan kerajaan yang dianut oleh bangsa Bugis zaman dulu adalah
berbentuk monarchi atau kerajaan.1

Eksisnya suatu tradisi atau budaya dalam masyarakat dikarenakan kepercayaan

yang ada terhadap nilai-nilai luhur masa lampau dan pengaruh orientasi nilai waktu itu

terhadap nilai sekarang. Nilai adalah suatu seperangkat keyakinan atau perasaan yang

diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola

pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku. Dalam konteks ini, nilai merupakan

konsepsi secara eksplisit atau implisit yang khas dimiliki seseorang atau sekelompok

orang tentang landasan dari yang diyakini atau tujuan dari yang diinginkan. Nilai

tersebut juga mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, kegiatan-kegiatan

kebudayaan atau cara serta tujuan-tujuan tindakan seseorang ataupun kelompok.

Kehidupan beragama menyebabkan berkembangnya suatu tradisi keagamaan

atau sistem kepercayaan asli yang diwariskan sejak zaman nenek moyang seperti

upacara-upacara agama yang bercampur dengan upacara adat atau budaya masyarakat

yang merupakan penonjolan kegiatan keagamaan yang amat ditaati dan berlangsung dari

dahulu kala hingga sekarang ini, dengan memercayai suatu tempat, benda, dan lain

sebagainya yang dianggap suci dan sakral yang merupakan ciri khas kehidupan

beragama.2
Masyarakat Bugis adalah salah satu masyarakat yang masih menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Tradisi-tradisi yang
dilaksanakan selalu berkaitan dengan daur hidup manusia. Setiap tradisi yang
dilaksanakan oleh masyarakat Bugis pasti memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai.

1
Jumadi. Beberapa Aspek Negara Dan Hukum Dalam Sistem Adat Bugis. Jurnal Jurisprudentie Volume
5 Nomor 2 Desember 2018. Hal. 220
2
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Cet.I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006).
Pelaksanaan upacara menre’ bola baru yang dilakukan oleh orang-orang bugis
tidak saja dijadikan sebagai komunikasi simbolik antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam lingkungannya, melainkan juga hubungan komunikasi simbolik
melalui kagiatan upacara. Dengan komunikasi simbolik melalui upacara para arwah
nenek moyang diharapkan berkenaan memberikan berkah dan keselamatan bagi anak
cucunya. Upacara yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib yang
sering juga disebut upacara keagamaan. Di dalam upacara keagamaan dapat dibagi
dalam empat kompenen yatu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) benda-benda
upacara, (4) orang-orang melakukan dan memimpin upacara.
Keunikan dalam upacara menre’ bola baru karena adanya nilai kearifan lokal
yang merupakan falsafah hidup masyarakat. Kearifan lokal merupakan suatu istilah yang
mencuat ke permukaan dengan mengahdapi prinsip, nasehat, tatanan, norma, dan
perilaku leluhur masa lampau yang masih urgen untuk diaplikasikan dalam menata
berbagai fenomena yang muncul. Dalam upacara menre’ bola baru memiliki sederetan
atau tahap yang mengandung nilai kearifan lokal sehingga kegiatan tradisi atau upacara
tersebut masih eksis sampai sekarang.
B. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dengan menggunakan pendekatan
naturalistik/fenomenologi yaitu dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosesi
serta eksistensi dari tradisi menre’ bola baru masyarakat bugis.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


A. Kajian tentang Tradisi

Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat atau kebiasaan yang

turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.3 Berbicara

tentang adat-istiadat (tradisi) yakni mengacu pada tata kelakuan yang kekal dan turun

temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya

dengan pola-pola perilaku masyarakat.

Tradisi artian bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat,

baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau

3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
agama. Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin tentang istilah

tradisi dimaknai sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang

dipahami sebagai pengetahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk

cara penyampai doktrin dan praktek tersebut.4

B. Masyarakat Bugis
Masyarakat Bugis adalah kelompok etnis yang menggunakan bahasa Bugis,
mempunyai huruf sendiri pada sukunya yang dikenal dengan aksara lontara, dan
menempati bagian barat daya Sulawesi sebagai daerah asal dan tempat menetap, dan
dengan budaya rantau (sompe’) yang dimiliki oleh suku Bugis.
Secara universal bugis dalam geografis Sulawesi Selatan yang terdiri dari tiga
corak yakni tau ogi’, tau mangkasara, tau riaja. 5 Masyarakat bugis adalah masyarakat
pemberani, petualang, punya semangat usaha yang tinggi diantara bangsa-bangsa di
timur, dan terutama mereka gemar akan kehidupan militer.6
Seiring dengan perkembangan zaman dan budaya rantau “sompe” yang
dimilikinya suku ini dapat ditemui diberbagai tempat di Indonesia bahkan sampai
beberapa negara tetangga. Bagi suku-suku lain disekitarnya, masyarakat Bugis dikenal
sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan.7
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat bugis merupakan masyarakat yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya, dan
merupakan suku yang sangat mempertahankan harga diri serta masih kental akan
kebudayaannya.

C. Tinjauan tentang Menre’ Bola


Menre’ bola adalah term yang akrab ditemukan dalam tradisi sosial masyarakat
Bugis. Menurut pengertian kata Menre’ bola berarti pindah rumah, atau menempati
rumah baru, tetapi secara kultural Menre’ bola adalah istilah dalam tradisi menempati
rumah baru di kalangan masyarakat suku bugis di Sulawesi Selatan. Rumah Adat Bugis
adalah rumah panggung kayu. Rumah panggung kayu khas Bugis mengacu pada anutan
kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian.
4
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cirebon, Terj. Suganda (Ciputat: PT.
Logos Wacana Ilmu, 2001).
5
Christian Pelras, Manusia Bugis, (Jakarta: Nalar,2005).
6
A. Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Yogyakarta: Ombak, 2011).
7
Christian Pelras, Manusia Bugis.
Menre’ Bola Baru (naik rumah baru) adalah istilah dalam masyarakat Bugis
digunakan untuk melaksanakan upacara naik rumah baru dan merupakan ucapan doa
kepada Allah swt. agar penghuni rumah diberi keselamatan dan rezeki dalam menjalani
kehidupan di dalam rumah tersebut. Naik rumah baru merupakan warisan budaya yang
turun temurun dalam perkembangan sosial dan adab. Bagi orang Bugis, menre’ bola
adalah simbol kehidupan, dimana simbol itu mencerminkan harapan, masa depan,
kejayaan, semangat dan harmoni.

D. Wujud Prosesi Menre’ Bola Baru

Tradisi menre’ bola baru merupakan upacara adat yang masih dilakukan dan

dipertahankan oleh masyarakat bugis. Adapun proses pelaksanaan tradisi menre’ bola

baru ada 5 tahapan yaitu  menentukan hari baik, berputar mengelilingi rumah, menre’

bola, barazanji dan maccera’ bola.

Pelaksanaan tradisi menre’ bola baru yakni tidak terlepas dari  waktu yang telah

ditentukan sebelumnya oleh sanro bola dan kesepakatan dari tuan rumah dengan

memilih hari yang dianggap baik, biasanya waktu yang baik yaitu jatuh pada malam

senin atau malam jum’at. Prosesi dari tempat dilaksanakannya upacara menre’ bola baru

yaitu di possi’ bola (ditiang tengah pusat rumah), dengan menggunakan benda-benda

yang telah disiapkan berupa alat-alat masak seperti saji, sanru’, pattapi dan lain

sebagainya, dimana alat-alat tersebut mengandung makna simbolik serta kue maupun

buah-buahan yang turut disajikan dalam tradisi menre’ bola baru.

E. Nilai Kearifan Lokal pada Upacara Menre’ Bola Baru


Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Rumah adalah suatu bangunan yang menjadi tempat atau wadah manusia
dalam melangsungkan kehidupan.
Keberadaan rumah dalam banyak masyarakat tidak semata memiliki makna
fungsional yaitu sebagai tempat tinggal sebuah keluarga, namun juga memiliki makna
simbolik, yaitu makna yang lebih dari sekedar fungsinya sebagai tempat tinggal.8
Dengan makna simbolik tersebut pemilik rumah akan menampakkan keberadaan dirinya
di dalam konteks masyarakat dimana rumah itu berada. Dengan makna simbolik seperti
8
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1999).
itu pemilik dapat menunjukkan keberadaban dan kebanggaan tertentu. Rumah juga
memiliki nilai stratifikasi dan kedudukan penghuninya di dalam masyarakat.
Menre’ bola baru bagi masyarakat setempat juga memiliki nilai kearifan untuk
membangun dan menjaga nilai silaturahmi, disebabkan ketika pelaksanaan upacara
menre’ bola baru masyarakat berbondong-bondong, menghadiri rangkaian acara ketika
melakukan menre’ bola baru. Bahkan mereka juga turut membantu dengan membawa
beras ketika pelaksanaan acara tersebut. Meskipun tradisi tersebut merupakan
peninggalan leluhur mereka, tetapi radisi tersebut masih tetap berjalan sampai sekarang.

KESIMPULAN
Tradisi menre’ bola baru merupakan upacara adat yang masih dilakukan dan
dipertahankan oleh masyarakat bugis. Tradisi menre’ bola baru merupakan ritual adat
dalam rangka untuk memasuki rumah baru diartikan sebagai suatu tradisi dimana
memberi darah ayam kepada rumah itu dan merayakannya sebagai bentuk rasa syukur
kepada Sang Maha Pencipta, guna memohon keselamatan atau terhindar dari bahaya
bagi seluruh keluarga yang menempati rumah tersebut, serta sebagai simbol atas
meminta kelapangan rezeki bagi pemiliknya.
Dalam upacara menre’ bola baru masyarakat bugis terdapat dua tradisi yang
biasa kita lihat yaitu tradisi Islam dan Tradisi PraIslam. Meskipun penetrasi ajaran Islam
sudah berlangsung namun kepercayaan tradisional (sinkretisme) menyangkut adanya
sesajen pada tradisi menre’ bola baru masih bertahan dan dilaksanakan.
Adapun proses pelaksanaan tradisi menre’ bola baru ada 5 tahapan yaitu
menentukan hari baik, berputar mengelilingi rumah, menre’ bola, barazanji dan
maccera’ bola.

REFERENSI
AG, Muhaimin. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj.
Suganda. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.

Hasbi Yahya. Tradisi Menre’ Bola Baru Masyarakat Bugis di Desa Kampiri Kecamatan
Citta Kabupaten Soppeng (Studi Terhadap Nilai Kearifan Lokal). Makassar: Jurnal
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018.

Iskandar, Mohammad, Hasan Djafar, dan Agus Setiawan. Sejarah Kebudayaan


Indonesia: Sistem Pengetahuan, Jakarta; PT. Rajagrafindo Persada, 2009.

Mattulada. Manusia dan kebudayaan Bugis Makassar. Ujung Pandang: Arus Timur,
1972.

Pelras, Cristian. The Bugis, terj. Abd. Rahman Abu, Manusia Bugis. Cet. I; Jakarta:
Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2006.

Anda mungkin juga menyukai