Anda di halaman 1dari 4

Budaya Lestari, Agama Menari

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia yang dicetuskan


oleh Bapak Bangsa kita yang memiliki arti mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat
Indonesia. Inti sari dari semboyan ini bahwa Indonesia yang merupakan negara yang
plural, memiliki beraneka ragam suku, ras, budaya, dan agama harus mempunyai rasa
kesatuan sebagai sesama warga negara. Salah satu perbedaan yang menjadi ciri khas
masing-masing daerah di Indonesia adalah beraneka ragamnya kebudayaan.
Kebudayaan adalah suatu kelakuan dan hasil tata laku yang teratur sebagai hasil
dari proses belajar dalam kehidupan masyarakat (Yulianthi, 2015). Masyarakat terbentuk
dengan mengalami proses yang panjang sehingga membentuk sebuah kebudayaan. Di
dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai adat istiadat dan pesan religiusitas dengan wawasan
filosofis dan kearifan lokal yang menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat.
Dewasa ini kebudayaan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat banyak
yang mulai luntur akibat dari berkembangnya zaman. Selain alasan itu, adanya aturan
agama yang dianggap sangat membatasi dalam segala hal juga dirasa telah menghambat
proses pelestarian budaya. Agama dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan kepada
Tuhan untuk mewujudkan kehidupan yang terkendali (Saifuddin, 2019).
Dalam agama memuat sebuah konsep aturan yang tersusun dan berperan besar
dalam menjelaskan tata normatif dan tata sosial dalam menghadapi kehidupan. Konteks
agama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah agama Islam, mengingat Islam adalah
agama mayoritas yang ada di Indonesia. Islam juga merupakan agama yang di dalamnya
memuat aturan yang sangat mendetail dalam mengatur segala sisi kehidupan pemeluknya.
Agama dapat dipandang sebagai nilai ketaatan kepada Tuhan, sedangkan
kebudayaan mengandung nilai untuk menjadikan harmonisnya sebuah kehidupan. Namun
dalam praktiknya, terkadang antara agama dan budaya sering terjadi ketegangan karena
kebudayaan dianggap tidak sejalan dengan agama, dan agama pun dianggap sebagai
penghambat lestarinya kebudayaan. Hal ini karena sikap religius masyarakat yang mulai
meningkat seiring berkembangnya zaman. Sikap ini juga yang menimbulkan kefanatikan
berlebih sebagai umat beragama sehingga kurang fleksibel dalam memahami konsep
beragama. Padahal sebenarnya jika didalami lebih lanjut, tidak sepenuhnya agama menjadi
penghambat bahkan malah bisa menjadi katalisator dalam pelestarian budaya.
Misalnya saja kita ambil contoh dalam tradisi Begalan yang berasal dari
Banyumas. Begalan ini merupakan sebuah tradisi yang mengiringi proses perkawinan.
Walaupun tidak sepenuhnya pernikahan dilaksanakan dengan adat Jawa, Begalan ini tetap
dapat terlaksana. Tidak ada keharusan dalam pelaksanaan Begalan untuk mensyaratkan
dikenakannya pakaian adat pernikahan Jawa.
Di dalam tradisi Begalan terdapat nilai-nilai luhur masyarakat yang berisi filosofi
kehidupan dalam membangun hubungan rumah tangga. Nilai-nilai luhur ini dilambangkan
dengan berbagai macam perabot rumah tangga yang masing-masing memiliki makna dan
filosofi tersendiri.
Contohnya adalah siwur yang merupakan bahasa Jawa dari gayung yang terbuat
dari tempurung kelapa utuh yang dilubangi bagian atasnya dan dikasih tangkai sebagai
pegangan. Siwur ini kalau dalam pembahasan sastra Jawa merupakan kerata basa dari
asihe aja diawur-awur. Maksudnya, suami atau istri yang sudah berumah tangga haruslah
menahan hawa nafsunya, jangan mudah menebar benih-benih cinta kepada wanita atau
pria lain. dengan demikian maka kehidupan berumah tangga akan menjadi harmonis dan
tenteram. Nilai-nilai ini tentunya tidak bertentangan dengan aturan agama, justru malah
sebaliknya dapat menjadi bahan dakwah dengan perantara tradisi Begalan ini.
Filosofi yang terkandung dalam setiap perabot rumah tangga kalau dalam sudut
pandang agama Islam dapat disamakan dengan upaya mewujudkan keluarga sakinah,
mawaddah, dan rahmah (Lestari, 2013). Tujuan ini pada intinya untuk menjadikan
keluarga yang tenteram, saling mencintai antara suami istri, dan menjalin kehidupan
dengan penuh kasih sayang dalam keluarga.
Ajaran-ajaran leluhur yang sudah tertanam kuat dalam diri masyarakat yang
selalu dijadikan wejangan bagi anak cucu turunannya, ketika dipadukan dengan konsep
beragama yang penuh cinta maka akan tercipta harmonisasi antara Agama dan Budaya.
Sehingga anggapan masyarakat yang memandang Agama sebagai penghambat, berubah
menjadi Agama sebagai penguat.
Kebudayaan lain yang dapat dijadikan contoh adalah tradisi sedekah bumi.
Sedekah bumi merupakan tradisi peninggalan nenek moyang terdahulu jauh sebelum
agama Islam datang. Sehingga telah terjadi pergeseran nilai yang terkandung di dalamnya,
dari yang tadinya berupa sesaji yang dipersembahkan kepada bumi sebagai ritual memuja
alam menjadi sebuah ritual ungkapan syukur kepada Allah Swt.
Pergeseran nilai ini sebenarnya intinya tetap sama yaitu sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Zat yang telah memberi kehidupan. Karena pada hakikinya, manusia adalah
makhluk ciptaan tuhan yang sudah ditakdirkan untuk patuh dan tunduk pada peraturan
alam yang terikat dalam interaksi sosial budaya kemasyarakatan (Arinda, 2014). Tradisi
ini juga dapat disangkut pautkan untuk dijadikan media dakwa agama Islam sebagai
pembelajaran hidup pentingnya bersyukur.
Kedua contoh tradisi kebudayaan di atas cukup untuk dijadikan sebagai bukti
bahwa tidaklah mutlak bahwa agama selalu menjadi penghambat dari lestarinya budaya.
Justru budaya dapat dijadikan sebagai salah satu media dakwah agama yang efektif untuk
menyampaikan pesan-pesan ketuhanan dan kemanusiaan (Sarbini, 2011). Banyak sekali
nilai-nilai yang dapat kita ambil ketika mendalami relevansi antara budaya dan agama.
Nilai-nilai itu di antaranya:
1. Nilai ketuhanan. Konsep budaya lokal dan teologi keagamaan yang memiliki
kesamaan bagi masyarakat dalam bentuk penghambaan sebagai wujud implementasi
nilai-nilai ketuhanan sehingga mampu untuk memperkuat keyakinan berbudaya dan
beragama.
2. Nilai kehidupan. Pemahaman terhadap ajaran kebudayaan dan agama menjadikan
manusia menjadi terarah dalam menjalani kehidupan. Kehidupan yang dimaksud itu
baik kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga mampu menjadikan dunia sebagai
ladang akhirat.
3. Nilai kemanusiaan. Penerapan nilai-nilai kemanusian dalam memahami kebudayaan
dirasa menjadi sesuatu yang penting dalam mengamalkan nilai kemanusiaan.
Pemahaman konsep toleransi antara umat beragama dan berbudaya menjadikan suatu
kekuatan yang mendalam bagi lestarinya kebudayaan.
4. Nilai moral. Banyak nilai moral yang dapat diambil dari setiap kebudayaan yang ada
dalam masyarakat. Hal ini menyangkut pesan yang terkandung dari kebudayaan itu
sendiri dengan didukung oleh pedoman beragama yang memiliki kesepadanan dalam
menilai perilaku moral masyarakat.
5. Nilai intelektual. Nilai ini memberi pesan bahwa masyarakat beragama harus mampu
mempertahankan tradisi kebudayaan sebagai wujud intelektual masyarakat. Sehingga
kebudayaan tidak akan menjadi sebuah sejarah belaka yang hanya mampu diceritakan
namun tidak mampu ditampilkan.
Agama seperti menari ibarat ekspresi dari keberhasilannya dalam mendakwahkan
pesan agama yang sekaligus melestarikan budaya. Menari sebagai wujud dari harmonisnya
hubungan antara agama dan budaya. Seperti halnya manusia yang merasa gembira sering
kali diluapkan dengan berbagai macam gerak tubuh. Agama pun demikian, menari dengan
caranya sendiri. Merajut harmonisasi budaya dan agama, demi mengimplementasikan
nilai-nilai agama, dan melaksanakan amanah leluhur dalam melestarikan budaya.
Referensi

Arinda, I. Y. (2014). Sedekah Bumi (Nyadran) sebagai Konvensi Tradisi Jawa dan Islam
Masyarakat Sraturejo Bojonegoro. El Harkah, Vol. 16(No. 1).

Lestari, P. (2013). Makna Simbolik Seni Begalan bagi Pendidikan Etika Masyarakat.
Harmonia, Vol. 13(No. 2).

Saifuddin, A. (2019). Psikologi Agama. Kencana.

Sarbini, A. (2011). Model dakwah Berbasis Budaya Lokal di jawa Barat. Jurnal Ilmu
Dakwah, Vol. 11(No. 17 (Januari-Juni)).

Yulianthi. (2015). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Penerbit Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai