Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Agama Dan Budaya dalam Hindu

Oleh: Sahnan Ginting, S. Ag

A. Pendahuluan
Agama merupakan kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut-paut
dengan itu. Dengan demikian sembahyang, beryadnya, melakukan kewajiban kepada sesama
manusia adalah merupakan hal yang termasuk ke dalam agama.

Walaupun kita tidak cepat percaya kepada sesuatu, tetapi percaya itu merupakan hal yang
juga diperlukan di dalam hidup. Orang yang tidak memiliki kepercayaan pada sesuatu, akan
selalu dalam keadaan, ragu, tidak aman, curiga dan tidak mempunyai pegangan yang pasti.

Percaya merupakan suatu sikap yang perlu ditumbuhkan di dalam diridan kita berharap
bahwa apa yang kita percayai itu memang benar seperti apa yang kita duga. Karena agama itu
adalah kepercayaan, maka dengan agama kita akan merasa aman dalam hidup ini dan karena
memiliki rasa aman, kita akan merasakan ketetapan hati dalam menghadapi sesuatu.
Dengan memiliki suatu agama, orang merasa memiliki suatu pegangan iman tertentu yang
menambatkan ia pada suatu tempat berpegang yang kokoh. Tempat itu tiada lain dari pada
Tuhan itu sendiri. Yang menjadi sumber semua ketenteraman dan semangat hidup ini
mengalir. KepadaNya lah kita memasrahkan diri, karena tiada tempat lain dari padanya
tempat kita kembali.

Selanjutnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari budayanya sendiri, dalam arti
manusia itu harus berperan dalam suatu proses kebudayaan. Kebudayaan tidak lain daripada
hasil proses tindakan atau perlakuan akibat hubungan manusia dengan manusia dan alam
lingkungannya sehingga dapat beradaptasi secara seimbang dan serasi.

Pada suatu sisi, kebudayaan itu tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan dan kemampuan
berpikir untuk terciptanya kreasi termasuk kemampuan kerja dan mengolah kemampuan
untuk mengembangkan dan beradaptasi dengan budaya lain.

Menurut para ahli Antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai tiga wujud,
yaitu: pertama adalah dalam wujud gagasan, pikiran, konsep dan sebagainya yang berbentuk
abstrak; kedua dalam bentuk aktifitas yaitu berupa tingkah laku berpola, perilaku, upacara-
upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkrit. Dan yang ketiga, yakni dalam bentuk
benda yang bisa merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan tyang
bersangkutan dan oleh para ahli disebut dengan kebudayaan fisik.

Lebih jauh dilihat maka kebudayaan itu setidak-tidaknya mempunyai tujuh unsur yang
universal, ketujuh unsur yang universal tersebut terdapat pada semua kebudayaan yang ada di
sentra dunia ini, baik yang kecil, terisolasi dan sederhana, maupun yang besar, komplek dan
maju. Ketujuh unsur yang dimaksud adalah; bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut juga
terdapat pada kebudayaan Indonesia dan kebudayaan daerah yang ada.

B. Agama dan Budaya dalam Hindu


1. Agama Hindu merupakan agama yang diyakini oleh masyarakat Hindu, yang bersumber
dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Weda merupakan kitab suci agama Hindu yang diwahyukan
melalui pendengaran rohani para Maha Rsi. Oleh karena itu Weda juga disebut dengan kitab
suci SRUTI. Umat Hindu yakin dan percaya bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Cinta Kasih Beliau. Cinta Kasih Tuhan untuk
menciptakan sekalian makhluk sering juga disebut dengan YADNYA.

Dalam kitab Yajur Weda XXIII,62 disebutkan: “Ayam yajno Bhuvanasya” yang
artinya Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta. Penciptaan adalah karya spiritual dari
Yang Maha Esa dan sebagai kridanya memperlihatkan kemulianNya.
Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup
Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu.

Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa itu sendiri. Weda mengalir dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab
Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab suci Weda lah mengalir nilai-nilai keyakinan itu
pada kitab-kitab seperti; Smerti, Itihasa, Puruna, kitab Agama, Tantra, Darsana, dan Tattwa-
tattwa yang diwarisi oleh umat Hindu sampai saat ini.

Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah itu. Weda
menuntun tindakan umat manusia sejak ada dalam kandungan sampai selanjutnya. Weda
tidak terbatas pada tuntunan hidup individu, masyarakat, kelompok manusia, tetapi ia
menuntun seluruh hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup.

2. Budaya dalam Pandangan Agama Hindu


Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan agama sering kelihatan
kabur dan bahkan sering tidak dimengerti dengan baik. Tidak jarang suatu adat-budaya yang
dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan,
ataupun sebaliknya, suatu kegiatan keagamaan dianggap adalah kigiatan budaya.

Sesungguhnya antara budaya dan agama terdapat segi-segi persamaannya tetapi lebih banyak
segi-segi perbedaannya. Segi persamaannya dapat dilihat dalam hal bahwa kedua norma
tersebut sama-sama mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat agar tercipta suasana
ketentraman dan kedamaian. Tetapi disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-
segi perbedaan. Segi perbedaan itu akan tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana
perwujudan adat-budaya tergantung pada tempat, waktu, serta keadaan (desa, kala, dan
patra), sedangkan agama bersifat universal.

Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani manusia agar tercapai
kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak pengaturannya dalam bentuk
perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaiman sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau
bertingkah laku dalam hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar
tercipta suatu suasana yang rukun damai dan sejahtera.

Dalam agama Hindu, antara agama dan adat-budaya terjalin hubungan yang selaras/erat
antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam
pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan
dan dapat memperkuat budaya setempat, sehingga menjadikan kesesuaian “adat-agama”
ataupun’budaya-agama’, artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya
setempat.

Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan pelaksanaan agama Hindu pada suatu
daerah tertentu terlihat berbeda dengan daerah yang lainnya. Perbedaan itu bukanlah berarti
agamanya yang berbeda. Agama Hindu di India adalah sama dengan agama Hindu yang ada
di Indonesia, namun kuliynya yang akan tampak berbeda.
Sedangkan budaya agama adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya agama Hindu, usaha
memvisualisasikan ajaran agama Hindu kepada umat manusia telah berlangsung dengan baik.
Para rohaniawan Hindu, para pandita, orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang
terdapat dalam kitab suci Weda kedalam berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini telah
terlaksana dari zaman ke zaman. Ajaran yang sangat luhur ini diwujudkan dan disesuaikan
dengan desa, kala, dan patra pada waktu itu.

Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami
perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang konsisten. Artinya, prinsip-prinsip
ajaran agama itu tidak pernah berubah yakni bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi
Wasa. Kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk
tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk
budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan kemampuan daya nalar dan daya
penghayatan umat pada waktu itu. Budaya agama yang dilahirkan dapat muncul seperti
“upacara agama”.

Upacara agama pada hakikatnya tidak semata-mata berdimensi agama saja, tetapi juga
berdimensi sosial, seni budaya, ekonomi, manajemen dan yang lainnya. Melalui upacara
agama, dapat dibina kerukunan antar sesama manusia, keluarga, banjar yang satu dengan
banjar yang lain. Upacara agama juga melatih umat untuk bisa berorganisasi dan merupakan
latihan-latihan manajemen dalam mengatur jalannya upacara.

Lewat upacara agama ditumbuhkan juga pembinaan etika dan astetika. Upacara agama
merupakan motivator yang sangat potensial untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan
seni budaya, baik yang sakral maupun yang profan. Bahkan upacara agama merupakan salah
satu daya tarik pariwisata dan dapat menunjang kehidupan manusia. Keseluruhan budaya
agama dalam bentuk upacara agama tersebut merupakan usaha manusia mendekatkan diri
kepada Ida Sang Hyang Widi wasa untuk mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan yang
abadi.

Seperti halnya manusia, tubuh merupakan hasil budaya agama itu sendiri, sedangkan agama
Hindu merupakan jiwa atau rohnya agama tersebut. Satu contoh misalnya, budaya agama
Hindu pada masyarakat Hindu di Bali dan budaya-budaya Hindu di daerah yang lainnya yang
ada di Indonesia.

Kita mengetahui bahwa pada zaman dahulu dan mungkin pada saat sekarang di tanah jawa,
bagaimana kitab sastra Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata telah disadur ke dalam
bahasa Jawa kuno oleh para Empu atau Rsi pada masa itu. Bagaimana umumnya orang-orang
Jawa banyak yang tidak tahu, bahwa kitab tersebut, sesungguhnya, adalah kitab-kitab agama
Hindu, tetapi umumnya mereka mengenal bahwa, kitab tersebut atau cerita tersebut adalah
cerita “pewayangan” milik orang Jawa.

Dari kitab suci Weda oleh para Rsi, Pandita atau orang-orang suci Hindu di Indonesia dengan
mengambil jiwa atau idealisme yang dikandungnya kemudian dikodifikasi sehingga lahirlah
kitab-kitab sastra yang pada hakikatnya adalah ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab suci
Weda.

Satu contoh tentang keyakinan akan gunung sebagai tempat suci, berstananya para Dewa dan
para roh suci leluhur atau orang-orang suci. Dalam konsep keyakinan umat Hindu, terdapat
keyakinan atau ajaran tentang penghormatan kepada roh suci leluhur.

Dalam kitab suci Weda Smerti (Manawadharma Sastra Bab II, 81) disebutkan:
“Swadiyayanarcaret samsimnhomair dewa nya thawidhi,
Pitrcm craddhaicca nrrnan naibhutani balikarmana”
Artinya:
“Hendaklah ia sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan
Weda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan Sraddha,
kepada manusia dengan pemberian makanan, dan kepada para Bhuta dengan upacara
kurban”.
Seperti juga disebutkan dalam kitab Upanisad, maka seorang Rsi adalah seorang Acarya,
yang patut dihormati seperti dewa. “Acarya Dewa Bhawa” (Tatirya Upanisad I, 11.1). Atas
dasar sraddha inilah umat Hindu menghormati para Rsi, orang-orang suci, baik ketika ia
masih hidup maupun setelah meninggal nanti.

Demikianlah misalnya umat Hindu di India memuja dan menghormati maha Rsi Vyasa,
Agastya, Parasara, Sangkara Carya, Sri Rama Krama, Swami Wiwekananda dan lain-lain.
Hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya pemujaan leluhur dan pemujaan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa terdapat pada suatu tempat suci atau pura di Indonesia.

Dalam kitab Ramayana yang umurnya mungkin lebih tua dari kelompok masyarakat
Indonesia yang memiliki kepercayaan penghormatan kepada para leluhur. Pada kitab tersebut
diceritakan bagaimana figur ideal orang Hindu yang taat beragama, yang ditokohkan sang
Dasaratha bahwa Beliau ahli dalam weda, bhakti kepadda Tuhan dan tidak pernah lupa
memuja leluhur.

Dalam kitab Rg Weda VIII.6.28 disebutkan:


“Di tempat-tempat yang tergolong hening, di gunung-gunung, pada pertemuan dua sungai,
disanalah para Maha Rsi mendapatkan inspirasi yang jernih”.
Gunung bukanlah hasil karya manusia, namun merupakan buah karya dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Tetapi gunung dipakai oleh umat Hindu sebagai arah atau kiblat penghayatan
untuk mendapatkan kehidupan yang direstui Tuhan. Sesungguhnya yang dituju adalah
“Amerta”. Amerta, artinya hidup yang sempurna umat Hindu yang dirasakan secara
langsung. Gunung dapat memberikan kehidupan, gunung adalah waduk yang dapat
menampung bermilyar-milyar kubik air hujan yang turun dari langit. Air itu lalu mengalir
menciptakan sungai yang mengalirkan air sepanjang tahun untuk memberikan kehidupan
kepada makhluk. Gunung dijadikan arah dan sebagai lambang singgasana Tuhan dan para roh
suci leluhur.

Dalam ajatan Hindu antara budaya dan agama terdapat benang merah, yang satu sisi dapat
saling mengisi satu dengan yang lainnya, budaya atau adat bukanlah musuh atau saingan
yang haarus dibasmi dan dicurigai, dalam artian adat budaya yang positif dapat mendukung
pelaksanaan acara agama dan ternyata prinsip Hindu yang merangkul budaya dan adat-
istiadat lokal nampaknya sejalan dengan program pemerintah yang berusaha membangkitkan
segala bentuk adat dan budaya daerah.

C. Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
Agama merupakan suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan yang menjadikan sumber
ketentraman dan semangat hidup serta kepadaNya jugalah kita akan kembali.
Agama Hindu dengan kitab suci Weda sebagai pegangan dan dasar hidup serta kehidupannya
meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha Suci telah menurunkan ajaran
Weda melalui Para Maha Rsi, dan mengajarkannya kepada umat manusia melalui berbagai
cara dan menyesuaikannya dengan tempat, waktu serta keadaan yang berlaku pada masa itu.

Dalam ajaran Hindu, agama dan budaya (adat-istiadat) yang berlaku pada suatu daerah
terjalin hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sepanjang prinsip ajaran Hindu itu
tidak berobah dan bertentangan, maka budaya agama yang berkembang dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran suci Weda kepada umat manusia.

Dalam pandangan Hindu, budaya daerah yang nilainya positif, yang mendukung kearah
terciptanya ketentraman dan kedamaian didalam hidup akan dirangkul dan bukan dianggap
sebagai suatu ancaman atau musuh yang harus dimusnahkan dan dicurigai. Dengan dimikan
agama dan budaya (adat-istiadat) dapat hidup saling berdampingan, saling mengisi seperti
apa yang diharapkan dan diprogramkan oleh pemerintah untuk tetap utuh dan bersatunya
bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Daftar Pustaka:

 Ayad Rohaidi, Lokal Genius, Jakarta, 1986


 Bujur Sitepu, Cs, Pilar-Pilar Budaya Karo, 1996
 DR. I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya, 2003
 DR. I Made Titib, Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan
 G. Pudja, SH, MA & Tjokord Rai Sudharta, MA, Manawadharma Sastra (Weda Smerti),
Jakarta, 1995
 G. Pudja, SH. MA, Reg Weda, Jakarta, 1985
 PS. Heri Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mercia Eliade.
Sumber:http://indoforum.org

Anda mungkin juga menyukai