Anda di halaman 1dari 17

 Home

 Buku Hindu »
 Hukum Hindu »
 Inti Sari Agama Hindu »
 Kitab Weda »
 Kritik & Saran
 STAHN Gde Pudja »
 Tentang Kami »
 UNHI »
 UU PP PerPu »

 Hukum Adat
 Hukum Hindu
 Hukum Nasional

subscribe: Posts | Comments

search the site

Hukum Lingkungan Hindu: Pencemaran Air


share this
Hukum Waris Hindu Berdasarkan Arthasastra

ACARA AGAMA HINDU


0 comments

Posted by Hukum Hindu on Jun 25, 2011 in Hukum Hindu | 0 comments

Download Artikel dalam Format PDF


Pendahuluan

Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama.
Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan
umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus
dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan.
Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang
baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu
aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara
sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud
bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya
acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata
cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian
upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara
keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol
dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau
ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama
meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat
dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalah yadnya yang
dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya, naimittika yadnya
adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi
sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agama yang tampak dominan di
Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca
Mahayadnya.

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu

Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhanta
yang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut
beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal
Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh
segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis
mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang
datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu
di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh
Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat
penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan
kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu
Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.

Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan


bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya
segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna
bagi Bhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. Dalam
Jnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan yang
banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Veda
mengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak
nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan
konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak
bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.

Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara
leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwa
bermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau
teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain
yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran
yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini
kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan
membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat
boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi
Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich, tetapi lebih tepat
didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa
mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa,
Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).

Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar,
perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini
kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara
berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu
perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral.
Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh”
misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan
landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang
dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi
seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu
menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang
”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas.
Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam,
etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang
dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial.
Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas
yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat
diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri
Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan
karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan
karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.

Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English
Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain
diartikan sebagai berikut.

(1) Tingkah laku atau perbuatan yang baik;

(2) Adat istiadat;

(3) Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.

Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra,
acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan
peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat
dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam
bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan
kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-
tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang
digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang
memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama
Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah
mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan
wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena,
yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang
hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran
ring aji”

Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut
dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan
lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan
disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik
pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan
yang sesuai dengan ajaran agama.

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya
memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya.
Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāra
mengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam
dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan
nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama
karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat
abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama,
melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.

Kedudukan Acara dalam Agama Hindu

Acara agama Hindu sesungguhnya mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan
dengan tradisi ritual. Acara agama Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentang
yadnya; (2) ajaran tentang hari-hari suci keagamaan; (3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-
tempat pemujaan; dan (4) ajaran tentang orang suci (Sudharta&Punyatmadja, 2001).

Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai acara agama sebagai
berikut.

”wedo khilo dharma mulam, smrti sile ca tadvidam,

Acara’s ca iwa sadhunam, atmanastutirewa”.

Artinya:

Weda Sruti merupakan sumber utama daripada dharma (agama Hindu), kemudian Smerti, setelah
itu Sila, Acara dan Atmanastuti.

Weda Sruti adalah Kitab Catur Veda Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad, sedangkan
Smerti adalah Wedangga dan Upaweda (Sura&Musna, 1996:26-29). Sila adalah tingkah laku
orang-orang suci. Acara adalah tradisi yang bersumber pada sastra atau ajaran-ajaran agama
yang telah diikuti secara turun temurun. Atmanastuti adalah rasa puas diri sendiri yang
berdasarkan kesepakatan oleh para pemuka agama. Dengan demikian maka acara agama Hindu
memiliki kedudukan yang jelas sebagai salah satu sumber pelaksanaan ajaran agama Hindu.
Acara sebagai kebiasaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kata drsta. Drsta
berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian kata
”drsta” memiliki makna konotatif yang bermakna tradisi (Sudharma,2000). Acara atau drsta
dibagi menjadi 5 (lima) hal, yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka
suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu
wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu
wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti
secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam
keluarga tertentu saja (Sudharma,2000).

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan
upa, yang bermakna sekitar, sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan
Agama Hindu. Dengan demikian maka ācāra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar
tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara
(prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara
(instrumen).

Sebagai sebuah sistem religi sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987) maka ācāra
Agama Hindu meliputi: (1) adanya emosi keagamaan atau perasaan religius yang mendorong
suatu upācāra dilaksanakan; (2) adanya sistem keyakinan yang melandasi suatu upācāra
dilaksanakan (tattwa); (3) ada sistem upacara yang ditetapkan sesuai dengan jenis upācāra (eed
atau dudonan karya); (4) ada peralatan upācāra yang sesuai dengan tingkatan yajna (nista,
madhya, uttama); dan (5) adanya struktur masyarakat sebagai pendukung dari pelaksanaan
upācāra tersebut (umat, orang-orang suci, institusi keagamaan, dan sebagainya). Apabila kelima
komponen ini telah terpenuhi dalam sebuah upācāra maka secara budaya, upācāra tersebut telah
dikatakan berhasil.

Dasar Pelaksanaan Ācāra Agama Hindu

Telah dikemukakan di atas bahwa dasar dari pelaksanaan ācāra Agama Hindu adalah Kitab suci
Veda. Dalam kitab suci Catur Veda telah diajarkan tentang pelaksanaan berbagai upacara ritual.
Dari mulai upacara persembahan Homa (api suci) yang dilakukan oleh masing-masing keluarga,
sampai upacara besar seperti Aswamedha yajna (kurban kuda) dan Sarwamedha yajna (kurban
seluruh binatang) telah ditemukan dalam Veda. Kemudian pada zaman Brahmana, kitab-kitab
upacara mulai disusun secara sistematis, yaitu mengenai Panca Mahayajna. Kitab terbesar pada
masa ini adalah Kitab Satapatha Brahmana yang pada intinya memuat tentang Upācāra dan
Upakara yajna.

Kitab Satapatha Brahmana ini tidak diterima secara langsung di Indonesia, tetapi mashab
Saiwasiddhanta yang masuk ke Indonesia tetap melaksanakan upācāra yajna dan tetap
mengikuti pemikiran mimamsa awal (purwa mimamsa). Berbeda halnya dengan golongan
waisnawa yang sudah mulai meninggalkan upacara kurban keagamaan dan beralih ke pemikiran
mimamsa akhir (uttara mimamsa atau vedanta). Oleh karena mashab yang berkembang di
Indonesia adalah Saiwasiddhanta maka keberlangsungan upācāra yajna tersebut tetap terjada
hingga saat ini. Sari pati yajna sebagaiamana tertulis dalam Kitab Satapatha Brahmana, di tulis
kembali dalam lontar-lontar seperti Mpu Lutuk (Plutuk), Sundarigama, Dewa Tattwa, Gong
Besi, dan sebagainya yang pada dasarnya juga menguraikan tentang ācāra agama Hindu. Kitab-
kitab inilah yang selanjutnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan ācāra Agama Hindu,
khususnya di Bali.

Salah satu konsepsi yang digunakan sebagai dasar dari semua pelaksanaan yajna ialah Tri Rnam.
Konsepsi ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia sesungguhnya telah
memiliki tiga hutang yang harus dibayar selama hidup, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa
Rnam), hutang kepada Para Maharsi (Rsi Rnam) dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Ketiga
hutang ini sesungguhnya terkait dengan eksistensi manusia di dunia ini. Keberadaan manusia di
dunia ini dan keberlangsungannya (survival) merupakan karya agung dari Tuhan, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Beliau menciptakan alam semesta beserta isinya melalui sebuah yajna,
menjaga dengan yajna, dan mengembalikan semua yang ada dengan yajna pula. Setelah Tuhan
menciptakan alam semesta, termasuk di dalamnya manusia, diturunkanlah pengetahuan suci
Veda yang menuntun manusia agar hidup serasi, selaras, dan seimbang dengan alam karena
kaharmonisan inilah yang akan membuat manusia survive kehidupannya. Tentunya, turunnya
wahyu Veda tidak dapat dipisahkan dari peranan para Maharsi yang telah mengabdikan dirinya
untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Melalui proses inilah Para Maharsi
menerima wahyu suci Veda dan kemudian mengajarkannya kepada seluruh umat manusia.
Selanjutnya, ajaran Veda mengalir dan diterima oleh generasi sekarang karena adanya regenerasi
dari para leluhur terdahulu. Proses siklis bahwa setiap yang lahir akan mati, kemudian terlahir
kembali menjadi pedoman bahwa setiap generasi hilang dan muncul generasi baru. Oleh karena
itu kitab Veda yang masih diterima hingga saat ini dan mungkin juga generasi yang akan datang
merupakan keberlanjutan kehidupan manusia dari leluhur-leluhur terdahulu yang dari generasi
ke generasi berikutnya melahirkan keturunan yang berkualitas sehingga keberlanjutan
pengetahuan suci Veda dan keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri tetap terjaga.
Demikian besar hutang manusia terhadap Tuhan, para Maharsi, dan para Leluhur karena beliau-
lah eksistensi manusia di dunia ini terpelihara.

Panca Mahayajna

Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini melalui sebuah yajna,
memelihara dengan yajna, dan meleburnya juga dengan yajna. Hal ini sebagaimana dikatakan
dalam Bhagavadgita sebagai berikut.

“Sahayajnah prajah srstava, puro’vaca prajapatih,

Anena prasavis yadhvam, eso vo’stu istakamadhuk”.

Artinya:

Dengan yajna engkau akan mengembang (srsti), kata Prajapati,

dan ia (yajna) akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua keinginan. Selanjutnya dalam
pustaka suci yang sama disebutkan bahwa:
“Devam bhavayata’nena,

te deva bhavayantu vah,

Parasparam bhavayantah,

Artinya:

Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi
saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.

Kedua sloka di atas menegaskan bahwa Alam semesta (bhuwana agung), dan manusia (bhuwana
alit) ini diciptakan oleh Prajapati melalui sebuah yajna. Yajna ini pula yang akan memenuhi
keinginan manusia sehingga ia dapat tetap eksis di dunia ini. Oleh karena itu yajna juga harus
dilakukan oleh manusia karena dengan yajna manusia menghormati para Dewa dan para Dewa
akan memelihara manusia. Saat manusia telah mendapat anugerah dari para Dewa, di mana
kehidupannya selalu dipelihara dan diselamatkan oleh para Dewa maka itulah kebahagiaan yang
maha tinggi. Di sini Bhagavadgita berbicara tentang konsep bhakti, yaitu manusia melakukan
yajna untuk berkomunikasi dengan para Dewa, dan atas yajna tersebut para Dewa akan
memberikan anugerah kepada manusia. Inilah puncak dari konsep bhakti, yaitu manusa bhakti
dewa asih (manusia beryajna untuk mendapatkan kasih Tuhan).

Upācāra dalam rangka pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat digolongkan menjadi lima
kelompok besar berdasarkan sasaran dalam pelaksanaannya yang disebut Panca Mahayajna atau
sering disebut Panca Yajna. Yajna adalah suatu pengorbanan yang dilandasi oleh hasrat yang
suci untuk menguhubungkan diri dengan Tuhan. Kelima jenis korban suci tersebut meliputi:

(1) Dewa Yajna, yakni korban suci yang ditujukan kepada para Dewa.

(2) Rsi Yajna, yakni korban suci kepada para Maharsi, dan juga proses untuk menjadi seorang
dwijati tergolong dalam Rsi yajna.

(3) Pitra Yajna, yakni kurban suci untuk menghantarkan roh leluhur mencapai sorga.

(4) Manusa Yajna, yakni kurban suci untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia.

(5) Bhuta Yajna, yakni kurban suci untuk memelihara dan memanfaatkan sumber-sumber
energi yang ada di alam agar tetap lestari, seimbang, dan harmoni (satyam, sivam, sundaram).

(1) Dewa Yajna

Upacara-upacara yang tergolong dalam Dewa Yajna meliputi upacara0-upacara sejak pengadaan
hingga pemeliharaan tempat suci. Dimulai dengan pemasangan fondasi (nasarin) hingga
penyelesaian bangunan (mlaspas). Disusul dengan upacara penyucian (makarya) melalui
beberapa tahapan.
(a) Tahapan pertama dilakukan upacara penyampaian tekad (Nyanjan/ Matur Piuning)
sehubungan dengan akan diselenggarakannya upacara penyucian. Dalam rangka acara tersebut
dilakukan juga penentuan Pendeta yang akan berperan menuntun dan menyelesaikan upacara
serta para tukang banten yang akan menggarap semua perlengkapan upacara.

(b) Tahapan kedua dilakukan upacara persiapan dalam bentuk upacara penyucian terhadap
bahan perlengkapan upacara, baik yang tergolong eka pramana (tumbuh-tumbuhan) maupun dwi
pramana (hewan). Bahan dari tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh/ kekayonan) diwakili oleh
beras dalam upacara Negteg Beras atau Ngingsah Beras. Sedangkan dari golongan binatang
(sarwa prani/wewalungan) diwakili oleh kurban dalam bentuk upacara mapepada.

(c) Tahap ketiga setelah bahan perlengkapan upacara diolah menjadi sarana upacara maka
dilakukan upacara menjalin hubungan harmonis dengan penghuni alam, baik vertikal maupun
horizontal terhadap alam sekitar. Penghuni alam bawah diwakili oleh Para Bhuta Kala dalam
bentuk upacara Bhuta Yajna menjelang puncak karya. Hubungan dengan sesama dilakukan
dengan upacara mapedanan/Medana-dana. Penghuni alam atas diwakili oleh para Dewa,
terutama Ista Dewata dalam bentuk upacara Mendaksiwi.

(d) Tahap keempat setelah Istadewata di-sthana-kan di tempat suci maka dilakukan upacara
penyucian yang bersifat Antropomorfis, yaitu arca, pratima, ”dimandikan” (disucikan) dalam
bentuk upacara Melis/Mekiis/Melasti/Malelasti. Umumnya dilakukan di tepi laut karena laut
diyakini sebagai sumber air suci. Upacara ini juga dapat dilakukan di sumber-sumber air yang
disucikan (pabejian/pasiraman).

(e) Tahap kelima dilaksanakan kegiatan puncak pada hari upacara (Anambut karya) berupa
upacara yang bertema menumbuhkan kekuatan suci (Mamungkah) dalam bentuk mengumpulkan
sumber-sumber kekuatan suci (Pangusabhan) serta mengukuhkan kedudukan sumber-sumber
kekuatan suci (Ngenteg Linggih).

(f) Tahap keenam dilakukan upacara penyuburan sumber-sumber kekuatan suci (Ngeremekin).
Jika upacara yang dilaksanakan tergolong besar maka disusul upacara pelengkap (Negepang
Karya) yang meliputi upacara bertema pertumbuhan (Mekabat Daun), upacara pemenuhan
(Ngebekin) dan upacara penyatuan (Ngingkup).

(g) Tahap terakhir dilaksanakan upacara kunjungan ke tempat kekuatan suci diperlakukan, baik
dengan hubungan vertikal (Nyenukin) maupun secara horizontal (Tegal Linggih). Dilakukan juga
kunjungan ke tempat kekuatan suci berasal dalam bentuk upacara Nuku dan Mapajati.

Setelah upacara pengadaan tempat suci dilaksanakan maka secara berkala dilaksanakan upacara
pemeliharaan sumber kekuatan suci (Ista dewata) yang telah di-sthana-kan di tempat suci ini.
Upacara tersebut merupakan upacara peringatan terhadap hari tumbuhnya atau lahirnya
(pawedalan/piodalan) tempat suci dan dilaksanakan dengan mempersembahkan berbagai
sesajeni(Pujawali). Demikianlah upacara rangkaian Dewa yajna yang dilaksanakan dalam
kaitannya dengan pembuatan tempat suci (pura). Upācāra dalam maknanya sebagai tata cara
keagamaan bukan hanya dilakukan dalam prosesi yang besar dan kompleks, tetapi berbagai
bentuk tata cara agama yang dilakukan sehari-hari misalnya, sembahyang, maturan, mesaiban,
dan lain-lain juga merupakan dewa yajna.

(2) Rsi Yajna

Upacara-upacara yang tergolong dalam Rsi Yajna pada prinsipnya ada dua, yaitu penghormatan
kepada orang suci dan prosesi menjadi orang suci. Dalam Agama Hindu yang disebut dengan
orang suci adalah Pinandita dan Pandita dengan tingkat penyucian yang berbeda. Pinandita
adalah Ekajati yang disucikan lewat upacara Pawintenan, sedangkan Pandita adalah Dwijati
yang disucikan lewat upacara Padiksan.

Pertama, penghormatan kepada orang suci dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada
Beliau. Dalam agama Hindu di Bali dikenal upacara Rsi Bhojana, yaitu memberikan suguhan
makanan kepada para Wiku. Dalam dimensi sosio-religius para Pandita dibebaskan dari kegiatan
ayah-ayahan desa, ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap orang suci. Umat yang
akan mengundang seorang Pinandita dan Pandita untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara,
biasanya menghaturkan Banten Pangoleman, yang pada intinya juga wujud penghormatan
kepada orang suci.

Kedua, prosesi menjadi orang suci dibedakan untuk seorang Pinandita/Pamangku, dan seorang
Wiku/Pandita. Upacara penyucian untuk menobatkan seorang Pinandita dinamakan upacara
Pawintenan. Pada saat mulai belajar dilakukan Pawintenan Saraswati, sedangkan setelah melalui
proses belajar dan mulai menjalankan swadharma sebagai Pinandita dilakukan upacara
Pawintenan khusus, antara lain Pawintenan di Bunga, Pawintenan Mentah, Pawintenan
Ranteng, dan Pawintenan Mahawisesa. Kekhususan pada upacara Pawintenan untuk Pemangku
tertentu juga tampak pada jenis lontas yang ditempatkan di sanggar sebagai sarana upacara
pawintenan. Misalnya, Pamangku menggunakan Lontar Kusumadewa dan Sangkul Putih,
Dalang menggunakan Lontar Dharma Pawayangan, sedangkan Balian menggunakan Lontar
Usadha.

Sementara itu, upacara untuk menjadi seorang Dwijati disebut upacara Padiksan atau
Mapodgala. Upacara Mediksa dilakukan oleh Guru Nabe yang disebut Napak. Kemudian
dilanjutkan dengan upacara Ngelinggihang Puja atau Ngelinggihan Weda, dalam waktu yang
telah ditentukan oleh Guru Nabe karena menandakan bahwa sang Wiku/Pandita telah
diperkenankan untuk muput karya. Seorang Wiku/ Pandita yang telah Ngelinggihan Puja sudah
berwenang melaksanakan Loka Palasraya atau pelayanan kepada umat, baik dalam hal muput
karya atau dengan memberikan pencerahan keagamaan.

(3) Pitra Yajna

Upacara-upacara yang berhubungan dengan Pitra Yajna sesungguhnya terdiri atas tiga upacara
pokok, yaitu perlakuan terhadap mayat, perlakuan terhadap tulang, dan perlakuan terhadap
arwah. Upacara terhadap mayat disebut sawa wedana atau lebih populer disebut Ngaben.
Upacara terhadap tulang disebut Asti Wedana yang lebih populer disebut Ngasti. Sedangkan
pacara terhadap arwah dinamakan Atma Wedana yang lebih populer disebut dengan Nyekah.
Upacara perlakuan terhadap mayat (Sawa Wedana) dimulai dengan upacara Nyiraman Layon
(memandikan jenasah), Ngeringkes (membungkus jenazah) dengan upacara sakral dan penuh
simbolis sebagai persiapan akan pergi jauh (luas doh) dan diharapkan pada saat kembali akan
menjelma menjadi orang yang lebih baik. Kemudian apabila mayat tidak langsung diupacarai
dalam sistem Pangabenan maka dilakukan upacara menitipkan mayat, baik dengan cara
menanam (Makingsan di Perthiwi) atau membakar (Makingsan di Gni). Karena diawali dengan
penitipan maka masa penitipan ini diakhiri dengan upacara Panebusan (Nebusin) sebelum
upacara Pangabenan dilaksanakan. Setelah masa penitipan berlaku maka dilakukan upacara
Pangabenan yang pembukaannya diistilahkan dengan upacara Ngendag. Selanjutnya
dilaksanakan upacara antropomorfis dengan tema utpati, sthiti, dan pralina yang disebut
Ngaskara. Upacara Ngaben disudahi dengan upacara pembakaran (Ngeseng).

Upacara terhadap tulang diawali dengan upacara mengambil tulang yang sudah terbakar dengan
supit sehingga dinamakan upacara Nyupit. Selanjutnya, tulang-tulang ini diletakkan teratur sesuai
dengan pembagian denah yang mewakili tiga bagian tubuh manusia (tri sarira) sehingga upacara
ini disebut Ngereka. Kemudian tulang tersebut dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam nyuh
gading dalam upacara Nguyeg. Setelah berbentuk Puspa Asthi maka kini dilakukan upacara
Ngirim yang disudahi dengan membuang abu tulang (Nguncal) sesuai dengan tradisi, baik
mengenai tempat pembuangan maupun tata cara dalam rangka pembuangannya.

Setelah upacara Ngaben dan Ngasthi dilaksanakan maka kini dilakukan upacara Nyekah sebagai
upacara penyucian Atma (Atma Wedana). Diawali dengan membuat perwujudan atma dengan
menggunakan bermacam-macam bunga sehingga upacara ini mendapat nama upacara Nyekah.
Perwujudan atma ini dinamakan sekah atau Puspa sarira, sedangkan upacara mewujudkan
Puspa Sarira dinamakan upacara Ngajum. Selanjutnya dilaksanakan upacara Ngutpati, Nganyut,
dan Nyegara-Gunung. Upacara nyekah menurut tingkatannya ada beberapa macam, antara lain
Nyekah, Maligya, Ngeluwer. Setelah semua upacara ini selesai maka puncak dari upacara Pitra
Yajna adalah men-sthana-kan arwah (Dewa Pitara) di Sanggah Kemulan yang dikenal dengan
nama Ngelinggihang Dewa Hyang. Secara filsafati, pitra yang dipuja di Sanggah Kemulan (rong
telu) adalah Dewa Siwa dalam wujudnya sebagai Pitara, atau Siwa Pitaram Rupam.

Dalam kehidupan nyata di dunia ini, upacara Pitra Yajna semestinya tidak hanya dimaknai
dengan bentuk upacara kematian. Akan tetapi Pitra Yajna dapat dilakukan pada saat orang tua
masih hidup, yaitu dengan memberikan pelayanan, penghormatan, dan membahagiakan
kehidupan Beliau. Semua pendahulu yang telah berjasa pada manusia sesungguhnya adalah
pitara, yang oleh umat Hindu di Bali disebut Bhatara, patut untuk dihormati.

(4) Manusa Yajna

Upacara Manusa Yajna pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan
manusia, yaitu dengan menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses
pembuatan, bayi dalam kandungan, kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.

Upacara perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi
penting untuk membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting adalah
mekala-kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel
telur (swanita). Dengan pembersihan ini diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu
menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara bayi dalam kandungan
yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga menjadi anak yang suputra. Upacara
dalam kandungan sampai bayi lahir secara garis besar meliputi, nelubulanin (kandungan berumur
3 bulan), pagedong-gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare
wawu embas (bayi lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug kambuhan (bayi umut 42 hari),
nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik (mencukur rambut pertama kali), otonan
(bayi berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi), maketus (gigi tanggal pertama), rajasinga
dan rajasewala (laki-laki/perempuan meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan
pawiwahan (perkawinan).

Upacara manusa yajna dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut dengan
otonan. Di samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia,
memberikan pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama manusia sama artinya dengan
melayani Tuhan (Manawa Sewa, Madhawa Sewa). Dengan demikian upacara manusia yajna
bukan saja berbentuk ritual, tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam
hidup sehari-hari.

(5) Bhuta Yajna

”Ikang Bhuta Ngarania Kapujaning ring atuwuh” (yang dimaksud Bhuta Yajna adalah kurban
untuk seluruh makhluk hidup). Menurut Lontar Sundarigama tersebut bahwa yang dimaksud
dengan Bhuta yajna, bukan hanya terhadap jenis makluk gaib (bhuta kala), melainkan seluruh
alam semesta ini untuk menghadirkan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan alam. Oleh
sebab itu tergolong dalam upacara bhuta yajna antara lain mecaru (menurut jenis dan
tingkatannya), sad kertih (manusa kertih, atma kertih (dilaksanakan dalam upacara Pitra Yajna
dan Manusa Yajna), danu kertih, bhuwana kertih, samudra kertih, dan wana kertih), dan semua
upacara tumpek (tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek landep, tumpek wayang, dan tumpek
kuningan).

Upacara Bhuta yajna yang rutin dilaksanakan di Bali adalah segehan, mulai dari segahan kepel
putih dengan lauk bawang, jahe, sampai dengan segahan agung yang menggunakan penyambleh
yang pada umumnya berupa siap selem (ayam hitam). Kemudian caru yang berdasarkan jenis
dan tingkatannya meliputi Eka sata, Panca sata, Panca sanak, Panca Kelud, dan caru Rsigana.
Caru dalam wujud yang lebih besar disebut dengan Tawur. Perbedaannya adalah Tawur selalu
menggunakan minimal kebo sebagai wewalungan yang harus dipersembahkan. Tawur menurut
tingkatannya meliputi Tawur Balik Sumpah, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama,
dan Tawur Eka Dasa Ludra.

Desa Pakraman sebagai Pelaksana Panca Maha Yajna

Pada hakikatnya, semua yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan
jalan untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruan aspek Tri Hita
Karana ini diimplementasikan dalam kehidupan Desa Pakraman, yang ditandai dengan adanya
Kahyangan Tiga.
Wilayah Desa pakraman dibagi dalam tiga wilayah (Tri Mandala), yaitu uttama mandala,
madhya mandala, dan nista mandala. Uttama Mandala adalah adanya Parahyangan (Kahyangan
Tiga) diyakini sebagai wilayah sakral. Madhya Mandala adalah pemukiman, yaitu wilayah yang
berada antara sakral dan profan, sakral ditandai dengan adanya pamerajan, profan karena
menjadi tempat aktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah pekarangan, sawah, teba, dan
sebagainya, merupakan wilayah profan, tempat manusia melakukan aktivitas pekerjaan untuk
melanjutkan kehidupannya. Desa Pakraman sebagai satu kesatuan wilayah parahyangan,
pawongan, dan palemahan merupakan wadah pelaksanaan agama Hindu dan kebudayaan Bali,
serta menjadi filter bagi masuknya kebudayaan asing.

Oleh karena Desa Pakraman adalah suatu kesatuan adat yang didalamnya mengatur sekelompok
masyarakat adat, maka diperlukan aturan adat yang disebut awig-awig. Pada prinsipnya awig-
awig desa adat mengatur tiga hal utama, yaitu Sukertaning Parahyangan, Sukertaning
Pawongan, dan Sukertaning Palemahan. Dengan demikian jelas bahwa Desa Pakraman
bertujuan mewujudkan kebahagiaan krama dengan melaksanakan aturan-aturan yang baik
(sukerta) terkait dengan pelaksanaan kegamaaan, kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam hal
keagamaan, Desa Pakraman merupakan tempat pelaksanaan Panca Maha Yajna. Dalam hal
kemasyarakatan, Desa Pakraman merupakan wadah hidup bermasyarakat, dengan dasar paras
paros sarpanaya, sagalak sagilik salunglung sabayantaka. Dalam hal palemahan Desa
Pakraman merupakan institusi yang menjaga tetap terpeliharanya konsep Tri Mandala.
Mengingat keseluruhan Panca Maha Yajna sebagai identitas keberagamaan Hindu di Bali
dilaksanakan dalam kehidupan Desa Pakraman, maka eksistensi Desa Pakraman sangat
signifikan bagi Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.

Oleh Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

DAFTAR PUSTAKA

Gorris, R. 1984. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhatara Karya Sastra

Koentjaraningrat. 1986. Sejarah Antropologi I dan II. Jakarta: UI-Press

Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi
Bali.

Pendit, Nyoman S, 1994, Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.

Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana
dan Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.

Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.

Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada sastra.

—————–. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.


Sura, I Gde,dkk.2000. Siwatattwa. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana
Kehidupan Keagamaan.

_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan
Prasarana Kehidupan Keagamaan.

Lihat Juga…

Mohon menunggu masih loading…

Tulisan Terkait:

1. Dharma Sutra
2. Ajaran Hindu Dan Solusi Terhadap Masalah Lingkungan
3. PENGERTIAN ETIKA HINDU
4. Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika
5. Acara Agama
6. Pengamalan Catur Varna
7. Perkawinan yang Ideal Menurut Ajaran Agama Hindu
8. BHISAMA SABHA PANDITA TENTANG PENGAMALAN CATUR WARNA
9. Sudhi Wadani
10. Jatakarma Samskara

Better Related Posts Plugin


Bila anda suka, Bagikan tulisan ini ke jejaring sosial anda:

ShareThis

Leave a Reply

Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website
Hukum Hindu On Facebook

Tulisan Terbaru

 Seluk Beluk Hukum Karma


 Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan
 Pernikahan menurut pandangan orang Hindu Bali
 Kawin Lari, salah satu alaternatif pernikahan Adat Bali
 Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika
 Moralitas Hindu dalam menciptakan keharmonisan hidup
 Seksologi Ala Kamasutra
 GRAND DESIGN HINDU DHARMA INDONESIA 2011 – 2061
 PROGRAM KERJA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA MASA BHAKTI
2011 – 2016
 PADMA BHUVANA NUSANTARA
 HINDU DAN DESA PAKRAMAN MENATAP EKSISTENSI HINDU DI BALI
 Tri Warga
 BHAGAVATA PURANA – Bab I-III

Sloka Veda Acak

ss 48. Lagi perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia
lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya;
bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-
ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan.

Komentar Terakhir

 Seluk Beluk Hukum Karma | Portal Hindu on Seluk Beluk Hukum Karma
 student loans on Pernikahan menurut pandangan orang Hindu Bali
 Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan | Portal Hindu on Pemilihan Hari Baik Untuk
Pernikahan
 Pernikahan menurut pandangan orang Hindu Bali | Portal Hindu on Pernikahan menurut
pandangan orang Hindu Bali
 Kawin Lari, salah satu alaternatif pernikahan Adat Bali | Portal Hindu on Kawin Lari,
salah satu alaternatif pernikahan Adat Bali
 Nali Eka on DHARMA AGAMA DAN DHARMA NEGARA
 Ketut Sedana Arta on Ajaran Tri Hita Karana Merupakan Pedoman Bagi Umat Hindu
Dalam Melestarikan Alam

Editor dan Pemberitahuan

Untuk membantu mengubah,menambah, mengurangi, konten tulisan-tulisan yang telah ada atau
menambah tulisan baru, silakan [register] terlebih dahulu [login] jika Anda telah terdaftar atau
kirim tulisan anda Via E-email : tim@hukumhindu.com .Kami akan mempublikasikan atas nama
anda.
Sekian pemberitahuan untuk diperhatikan. Terima kasih atas kerjasamanya.

Meta

 Register
 Log in
 Entries RSS
 Comments RSS
 WordPress.org

Tags

Adat agama agama hindu anak bali desa dharma dharmasastra etika hindu hukum hukum
adat hukum hindu ibu indonesia istri kama kejahatan Kekerasan kewajiban konflik korban kriminologi KUHAP kuhp
manawa dharmasastra negara pengadilan Pengertian perempuan perkawinan pidana politik samskara
sarassamuscaya seks slokantara suami sudra swadharma uu uud veda weda yoga

Jambi Law Club

 Surat Terbuka Kepada Kapolda Jambi


 Memperlakukan Narapidana Korupsi
 Penegak Hukum: Garda Keadilan atau Corong Undang-Undang?
 Ada Apa Dengan Tanah Papua?Kenapa Dengan Kesejahteraan.
 Dana Freeport untuk Polri
 Tidak Bersih karena Tak Efektif Memerintah
 Terorisme Dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia

Powered by WordPress | Designed by Elegant Themes

 Home
 Latest posts
 Popular posts
 Comments
 Random post

 Share

Anda mungkin juga menyukai