Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Ajaran agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka dasar, di mana
bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang bulat, sehingga dapat dihayati,
dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang disebut Moksa. Tiga kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2)
susila, dan (3) upacara. Ketiganya secara sistematik merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi
atas sistem agama Hindu secara keseluruhan.
Etika dan moralitas adalah merupakan salah satu kerangka agama hindu dari tiga kerangka dasar Agama
Hindu yaitu yaitu terdiri dari: filsafat atau tatwa, susila dan acara, dengan demikian apa yang baik dan apa
yang buruk untuk melaksanakan etika dan moral akan dapat dipahami dengan jelas karena acuan beretika
dan pentingnya menjaga moralitas sangat jelas sumber dan referensinya dari sastra-sastra suci di dalam
ajaran Agama Hindu.
Agama Hindu memiliki kerangka dasar yang dapat dipergunakan oleh umatnya sebagai landasan untuk
memahami, mengalami dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka dasar
tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu Tattwa/filsafat, Susila/etika, dan Acara/ritual. ketiga unsur kerangka
dasar itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Untuk dapat memahami, mengalami
dan mengamalkan ajaran Agama Hindu secara utuh dalam hidup dan kehidupan sehari-hari maka setiap
umat Hindu memiliki kewajiban menjadikan kerangka dasar sebagai pedoman. dengan demikian mereka
dapat mewujudkan hidup dan kehidupan ini menjadi sejahtera dan bahagia. (Sudirga, 2007:36)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati
sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan
karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devatà, yakni manusia berkeperibadian
mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju
kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua
makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara
(vasudhaivakutumbhakam).
Tentu saja etika dalam agama Hindu norma agama yang dijadikan titik tolak berpikir. Demikianlah pola-
pola kepercayaan, paham-paham filsafat agama Hindu mempunyai kedudukan yang amat penting dalam
etika Hindu.
Kepercayaan agama Hindu berpangkal dari kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana, yang
mengetahui segala. Ia adalah saksi agung yang menjadi saksi segala perbuatan manusia. Karena itu
manusia tidak dapat menyembunyikan segala perbuatannya terhadap Tuhan baik perbuatan itu
perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.
Aditya Sanghyang Surya, Candra Sanghyang Wulan, Anilanala Sanghyang Angin muang Apuy. Tumut ta
Sanghyang Akasa Prethivi mwang Toya, muwah Sanghyang Atma, Sanghyang Yama tamolah ring rat
kabeh. Nahan tang rahina wengi mawang sandhya, lawan sanghyang Dharma sira, sang dewata mangkana
tiga welas kwehnira, sira ta mengawruhi ulahning wwang ring jagat kabeh, tan kena byapara nireng rat.
(Adiparwa I. 36)

Terjemahan:
Matahari, Bulan, Angin dan Api. Dan Angkasa, Bumi dan Air, Hyang Atma, Hyang Yama yang berada di
seluruh dunia. Demikian pula siang, malam dan sandhyakala dengan Hyang Dharma. Para dewa itu
tigabelas banyaknya. Semua itu tahu akan tingkah laku orang di seluruh dunia. Tidak dapat diabui Dewa
itu memenuhi dunia.

Disamping keyakinan bahwa Tuhan mengetahui semua perbuatan orang, penganut agama Hindu amat
meyakini adanya hukum karma yang menyatakan bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya. Bila
seseorang berbuat baik maka ia akan memetik buah yang baik dan bila seseorang berbuat buruk ia akan
memetik buah yang buruk.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika dan Moralitas
2.1.1 Pengertian Etika dan Moral
Makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu, ilmu tentang apa
yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau
masyarakat. Bentuk jamak dari kata “ethos” adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan.
Sedangkan moralitas dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari
bahasa Latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi pengertiaannya sama
dengan “ta etha” atau ethos yaitu adat kebiasaan. Dengan latar belakang pengertian yang sama seperti itu,
maka sudah zaman dahulu etika dipakai untuk menunjukakan filsafat moral. Etika lalu diartikan sebagai
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak atau moral.
Moralitas atau susila adalah ilmu tentang perilaku. Susila adalah pelajaran dari apa yang benar atau baik
dalam prilaku. Ilmu susila menunjukkan jalan bagi manusia agar berkelakuan baik terhadap satu sama
lain, demikian juga terhadap ciptaan Tuhan yang lain. Susila mengandung prinsip-prinsip sistematis
bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Susila adalah prilaku yang benar atau disebut juga sadacara.
(Sivananda, 2003:64).
Ilmu pengetahuan ini tidak membahas kebiasaan yang semata-mata berdasarkan adat melainkan juga
membahas kebiasaan semata- mata berdasarkan adat melainkan juga membahas adat yang berdasarkan
sifat-sifat dasar dan intisari kemanusiaan, yaitu adat istiadat yang berhubungan dengan pengertian
kesusilaan. Dalam bahasa Latin, istilah ethos disebut dengan kata Mos, moralitas, karena itu etika sering
diterangkan dengan moral. Akan tetapi dalam ilmu pengetahuan, kata moral itu lebih dangkal dari pada
etika. Moral hanya menyinggung arti perbuatan luar seseorang, sedangkan etika menyinggung pula kaidah
dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam.
Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Di
samping kata moral seperti tersebut di atas, kita masih mendengar atau membaca istilah amoral dan
immoral. Menurut K. Berten, kata amoral diartikan sebagai netral dari sudut moral atau tidak mempunyai
relevansi etis, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik. Masih terkait dengan
moral dan etika dan etiket. Etiket lebih menekankan pada sopan santun. Disamping pengertian termaksud
diatas, makna lain mengenai etika dan moralitas dapat pula dijelaskan seperti, Etika yang mempunyai
makna hampir sama dengan moral yaitu kebiasaan atau adat. Dalam hal ini moral mengandung makna
berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk, atau memahami perbedaan antara yang baik dan yang
buruk. Disamping itu dikenal pula konsep moralitas, yaitu sistem nilai yang terkandung dalam petuah,
nasihat, perintah atau aturan yang diwariskan secara turun tumurun melalui agama kebudayaan, tentang
bagaimana manusia harus hidup agar menjadi benar-benar baik.
Moralitas memberikan manusia petunjuk atau aturan tentang bagaimana harus hidup, bertindak yang baik
dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga bisa diartikan sebagai kualitas perbuatan
manusia, sehingga perbuatan seseorang dapat dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Disini dapat
dikatakan bahwa moralitas itu bersifat universal dalam arti terlepas dari budaya, suku, agama maupun
tingkat perbedaan masyarakatnya.
Dalam hal ini dikatakan bahwa moralitas itu bersumber dari hati nurani. Sedangkan etika berdasarkan
kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma berlaku dimasyarakat.
2.1.2 Susila, Spiritualitas dan Agama
Tanpa susila, kita tak dapat memiliki kemampuan dalam jalan spiritual. Susila merupakan pondasi dari
yoga. Susila merupakan landasan dari Wedanta. Susila merupakan pilar yang kokoh, sebab dalam susila
struktur bhakti yoga bersandar. Susila adalah gerbang menuju realisasi Tuhan. Tanpa kesempurnaan
susila, tak mungkin ada kemajuan spiritual atau realisasi. Seorang siswa yoga atau calon, harus secara
ketat menekankan pada masalah susila. Ia harus jujur dan murni dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Ia harus melaksanakan secara tegas pemikiran yang benar, perkataan dan perbuatan yang baik.
(Dayananda, 2003:65)
Setiap agama memiliki susila masing-masing. Khotbah-khotbah Jesus di gunung dan 10 perintah-perintah-
Nya mengandung ajaran susila untuk meningkatkan khidupan manusia. Delapan jalan Mulia dan Budha
merupakan intisari ajaran susila. Yama dan Niyama dari Maharsi Patanjali menyatakan susila tertinggi.
Manu Smrti, Yajnawalkya Smrti dan Parasara Smrti mengandung hukum-hukum prilaku bagi manusia.
Tiga macam kesederhanaan dari Bhagawad Gita, tiada lain adalah susila dalam bentuk yang diperdalam.
Perbuatan manusia bersifat anasir. Anasir pertama adalah pengetahuan yang memberikan tujuan, jalan-
jalannya dalam menjaga perhatian dan kesadaran yang diperlukan untuk menetukan
kemauan.Pengetahuan adalah keharusan pokok untuk kemauan yang sebenarnya. Anasir kedua adalah
kemauan yang menuntut bahwa pelaksana harus mengetahui apa yang dilaksanakan dan sadar
mengerjakannya. Hal ini menyebabkan perbuatan tersebut menjadi perbuatan kemanusiaan. Anasir ketiga
adalah kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih antara yang patut dikerjakan dengan yang
tidak patut dikerjakan. Rsi Wararuci menerangkan:
“Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuannya tidak sayang mereka akan kekayaannya, nyawanya
sekalipun jika diperlukan untuk kesejahteraan umum, tidak ada orang yang mengetahui akan datangnya
maut dan kenyataan bahwa di dunia tidak ada yang kekal, maka itu hendaknya rela berkorban demi
kepentingan umum”
(Sarasamuscaya. 175)
Amal perbuatan (dana punia) yang dilakukan dengan tulus ikhlas akan mendapat pahala kebaikan berlipat
ganda.
Agar orang tidak dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang rendah ia harus mengendalikan diri
dari guncangan-guncangan hati yang tidak baik. Guncangan-guncangan itu semula ada dalam angan dalam
bentuk keinginan.
Setiap keinginan menuntut kepuasan pada obyeknya. Indriya merupakan alat untuk memenuhi keinginan
itu. Indriyalah yang menghubungkan manusia dengan alam ini. Sentuhan indriya dengan ala mini
menimbulkan guncangan-guncangan pribadi orang. Bahkan tidak jarang orang mendapatkan celaka
karena terlalu memenuhi keinginan indriyanya. Karena itu orang harus dapat mengendalikan indriya pada
hal-hal yang membawa kerahayuan. Kitab Sarasamuscaya 71 mengatakan demikian:
indriyanyeva tat sarvam yat svarga narakavubhau
nigrhitanissrstanisvargaya narakaya ca.
(Sarasamuscaya.71)
Terjemahan:
Inilah yang patut saya ajarkan lagi, indriyalah yang dianggap sorga dan neraka. Bila orang sanggup
mengendalikannya, itu semata-mata sorga namanya, tetapi bila tidak sanggup mengendalikannya benar-
benar nerakalah ia.
2.1.3 Kedudukan Etika
Etika bergerak dalam lapangan kesusilaan, artinya bertalian dengan norma-norma yang seharusnya
berlaku dan ketaatan batin kepada norma-norma itu. Jadi etika berkedudukan sebagai ilmu pengetahuan
Tata susila yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan
alam sekitar agar perbuatannya tidak menyimpang dari sabda Hyang widhi. Maka dari itu etika
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Hindu, yang mengatur dan menentukan tingkah laku
manusia, hubungan dengan sesamanya dan hubungannya dengan Tuhan. Berdasarkan uraian di atas
dapatlah dikatakan bahwa etika mempunyai kedudukan yang amat penting dalam theologi Hindu sebab
dengan demikian dapat menyatakan kasih sayang Hyang widhi. Karena itu etika merupakan landasan dan
pedoman bagi umat manusia dalam mengarungi lautan hidup dan kehidupan didunia ini untuk
mendapatkan kesejahteraan dan kebahgiaan di dunia fana (jagadhita) dan akhirat (moksa).
Manusia bersifat jasmani rohani. Kesatuan itu disebut mono-dualis. Karena jasmaninya manusia adalah
makhluk badani dan harus menjalankan hidupnya di dunia ini. Dia harus bersikap, bertindak bergerak dan
bekerja. Untuk pertumbuhan dan kesehatannya manusia tidak hanya memerlukan makan, tetapi harus
juga mengerti apa yang dimakannya dan bagaimana cara makan yang benar. Dalam membuat sesuatu,
manusia tidak saja memikirkan apa yang mungkin, tetapi harus mengerti serta memikirkan apa yang baik
dan benar. Hakekat kerohaniannya mendorong manusia untuk selalu berbuat suci yaitu segala tindakan,
perkataan dan pikirannya tidak menyimpang dari ajaran suci weda. Kesucian itu merupakan tangga untuk
mendapatkan kebahagiaan abadi (suka tan pawali duka), yaitu bersatunya Atman kepada Brahman.
Tentu saja etika dalam agama Hindu norma agama yang dijadikan titik tolak berpikir. Demikianlah pola-
pola kepercayaan, paham-paham filsafat agama Hindu mempunyai kedudukan yang amat penting dalam
etika Hindu.
2.1.5 Fungsi Etika
Untuk dapat melihat jaringan norma dengan lebih lengkap berikut diuraikan
fungsi dari etika termaksud ( I Gede A.B.Wiranata,2005):
a. Etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak
sampai bersifat tragis.Etika berusaha mencegah tersebarnya tracticida ( act of breaking) yang secara
legendaries dan historis mewarnai sejarah hidup manusia.
b. Etika juga berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam sistematis,sedang
yang dihasilkannya bukanlah kebaikan,melaikan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
c. Etika juga mempunyai fungsi penting dalam pendidikan.Pendidikan professional tanpa disertai dengan
pendidikan mengenai tanggung jawab dan etika professional tidaklah lengkap.Tanpa adanya landasan
etika dan moral dalam mengemban profesi,tidak terbayangkan apa yang akan terjadi jika menimpa para
insan mahasiswa sebagai penerus pembangunan bangsa.
2.1.6 Manfaat Etika
Moralitas merupakan gerbang menuju agama. Ia yang menjalani kehidupan bermoral dan bajik, mencapai
kebebasan, kesempurnaan atau moksa. Pelaksanaan tata susila akan membantumu untuk hidup dalam
keselarasan dengan tetangga, kawan, anggota keluarga sendiri, sesama manusia dan orang lain. Ia akan
memberimu kebahagiaan abadi atau moksa dan akan memurnikan hatimu, serta tetap menjaga hati
nuranimu tetap bersih.
Orang yang bermoral, yang secara ketat mengikuti prinsip-prinsip tata susila tak akan pernah
menyimpang satu inci pun dari jalan dharma atau kebajikan. Yudhistira telah memperoleh reputasi yang
tak kunjung padam dalam pelaksanaan tata susilanya. Ia merupakan pengejewantahan dari dharma.
Hingga ia tetap hidup di hati kita.
Prilaku yang kurang baik merupakan akar kemakmuran material dan spiritual, karena ia meningkatkan
kemasyuran. Prilakulah yang memperpanjang kehidupan dan menghancurkan segala bencana dan
kejahatan serta memberikan kebahagiaan abadi. Perilaku yang baiklah yang memberikan kebajikan. Oleh
karenaa itu kembangkanlah prilaku yang baik.
Manfat etika menurut Ketut Ridjin (Ketut Rindjin,2004) :
a. Etika dapat mendorong dan mengajak orang untuk bersikap kritisdan rasional. Masyarakat dapat
mengambil keputusan berdasarkan pandangannya sendiri dan dapat dipertanggung jawabkan.
b. Etika dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang tertib, teratur,
damai dengan cara mentaatinorma-norma yang berlaku. Dengan mengikuti norma-normayang berlaku,
maka kelainan-kelainan yang sering terjadi dan mengakibatkan adanya ketidak tertiban dapat dipulihkan
demi untuk tercapainya kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
2.2 Susila Dalam Hinduisme
Susila Hindu sangatlah indahnya. Hinduisme sangat menekankan pada disiplin tata susila. Yama
(pengendalian diri), dan Niyama (pengendalian rohani) merupakan pondasi dari Yoga dan Wedanta.
Orang-orang yang belum berkembang tak dapat memikirkan dirinya sendiri. Oleh karena itu aturan-
aturan tata susila telah ditetapkan oleh para bijak agung atau pengamat seperti Manu dan Yajnawalkya.
(Sivananda, 2003:66).
Sri Krsna dalam Bhagawadgita bersabda :
”Biarlah kitab suci menjadi otoritasnya dalam menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Ketahuilah bahwa apa yang telah dinyatakan oleh peraturan kitab suci, kerjakanlah
tugasmu di dunia ini”
(Bhagawadgita XVI.24).
Kitab Smrti yang ditulis oleh Yajnawalkya, Manu dan orang-orang bijak lainnya, secara jelas menguraikan
tentang susila. Karena kamu tidak memiliki daya maupun waktu untuk berpikir tentang prinsip dan tertib
moral yang diberikan dalam kitab suci, kamju dapat memperolehnya dari para bijak dan orang suci, dan
mengikutinya. (Sivananda, 2003:66)
2.2.1 Prinsip Dasar dari Susila Hindu
Tata susila Hindu sangat halus, luhur dan mendalam. Semua agama memiliki semboyan-semboyan dalam
ajaran susila, seperti : “Jangan membunuh, jangan merugikan orang lain, sayangiah tetanggamu seperti
dirimu sendiri”, tetapi mereka tidak memberi alasan. Dasar dari tata susila Hindu adalah : “Ada satu Atman
yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran
murni umum. Bila kamu merugikan tetanggamu, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri” (Sivananda,
2003:67). Inilah tata susila Hindu, yang merupakan dasar kebenaran metafisik yang mendasari seluruh
kode etik Hindu.
Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk. Kehidupan lazim dalam
binatang, burung-burung, makhluk manusia, karena keberadaan adalah lazim. Ini merupakan pernyataan
yang tegas dari Upanisad atau Sruti. Kebenaran utama dari agama merupakan pondasi dari etika atau
moralitas atau ilmu prilaku yang benar. Moralitas mengambil Wedanta sebagai dasarnya.
Hal pertama yang kita pelajari dari agama adalah kesatuan dari semua diri. Upanisad menyatakan:
“Tetangga sebenarnya adalah sang diri itu sendiri dan apa yang memisahkanmu dari padanya hanyalah
khayalan semata”. Atman yang satu atau sang diri bersemayam dengan semua makhluk. Kasih sayang
universal merupakan pernyataan dari kesatuan. Persaudaraan universal berdasarkan kesatuan diri.
Semua hubungan kemanusiaan ada karena peratuan ini. Yajnawalkya berkata kepada istrinya Maitreyi:
“Perhatikanlah sayangku, tidak benarlah kasih sayang dari suami adalah suami sayang, karena kasih
sayang sang dirilah yang merupakan suami tersayang”. Demikian pula dengan istri, anak-anak, kekayaan,
kawan-kawan, dunia bahkan para dewa itu sendiri.bilakamu menolong oranglain, kamu menolong dirimu
sendiri. Ada satu kehidupan, satu kesadaran umum dalam semua mahkluk. Ini merupakan dasar dan
prilaku yang baik. Inilah pondasi dari susila.
2.2.2 Budaya Kesusilaan atau Proses Pemurnian
Akar dan inti dari semua disiplin moral adalah pemurnian mental melalui penahanan diri dari semua
perbuatan jahat dan melakukan kebijakan secara akti. Lakukan kebaikan pada segala waktu. Ahimsa,
satya, dan brahmacarya, melambangkan 3 proses dari pelenyapan dosa, setia pada kebajikan dan
pemurnian diri. Segala macam kejahatan muncul dari keakuan manusia, yang mewujudkan dirinya sebagai
ambisi, keinginan, dan nafsu. Di bawah pengaruhnya manusia memanjakannya dalam kebencian, cinta,
bujukan, kesombongan, nekat, hipokrit dan hayalan. (Sivananda, 2003:69).
Untuk membasmi keakuan yang muncul dari deha-abhimanan (pemikiran badan), pikirkanlah terus-
menerus pada kotoran dan kefanaan dari badan, dan penderitaan yang muncul dari indriya-indriya.
Buanglah mereka itu sebagai hal yang jahat dan kebangkitan bathin yang murni di atasnya. Renungkanlah
hal-hal yang patut yang meningkatkan dan bersifat ke-Tuhanan.
Kegiatan yang tercela yaitu perbuatan tanpa pikir dan tanpa pandang bulu, menimbulkan segala macam
kesengsaraan. Bebaskanlah dari kesengsaraan itu, menuju jalan mulia kebajikan yaitu sadacara yang harus
diikuti. Usahakanlah secara tegas kebenaran dan kemurnian dalam pemikiranmu, perkataan, perbuatan,
kecenderungan bathin dan perilaku sehari-hari. Kembangkan rasa cinta, toleran dan murah hati dalam
pandanganmu tentang orang dan segala sesuatu dan dalam berurusan dengan orang lain.
Dalam setiap situasi, pribadi hendaknya mengusahakan untuk mengikuti sifat ini dan mewujudkannya.
Jadi, pemikiran ini dilaksanakan di antara para orang tua dengan anak-anak, para sesepuh dan pemuda-
pemuda, guru dan murid, antara teman dengan teman, pemimpin dan bawahan, majikan dan buruh, dan
antara bangsa dengan bangsa.
Kita harus menapak sepanjang jalan kebajikan. Putuskan untuk tidak menyimpang seinci pun dari dharma.
Pikiran harus dilatih secara hati-hati dan kehendak seharusnya dikembangkan dan diperkuat. Oleh karena
itu banyak hal penting telah ditetapkan oleh orang-orang jaman dahulu berkenaan dengan Yama, Niyama
dan Sad Sampad (enam kebaikan yang berharga). Pikiran dan kehendak haruslah dilatih dan didisiplinkan
mlalui perbuatan-perbuatan penuh pertimbangan tentang penyangkalan diri dan pengorbanan diri dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu budaya susila, membutuhkan kewaspadaan moral dan penggunaan
yang benar. Pengembangan diri dari suatu kata hati yang sensitif bagi kebaikan dan kemuliaan memainkan
peran yang besar dalam budaya susila. (Sivananda, 2003:70).
2.2.3 Filsafat Benar dan Salah
Tiap orang mengatakan : “Ini benar, itu salah; kamu benar, dia salah” tetapi ia tidak dapat mengatakan
kepadamu secara tepat, apa yang dimaksudkan dengan benar dan salah itu. (Sivananda, 2003:70).
Apakah kriteria yang kita pakai untuk mmutuskan suatu perbuatan itu benar atau salah, dan baik atau
buruk? “benar dan salah” serta “baik dan buruk” merupakan istilah yang sifatnya relatif. Benar dan salah
berhubungan dengan standar moral, sebagai hukum. Baik dan buruk, berhubungan dengannya, sebagai
tujuan. Kamu harus mengatur perilakumu sesuai dengan standar moral ini, dan yang sesuai dengan aturan,
adalah benar. Dan yang hasilnya pantas, dalah baik. Agama memberi kita data atau keterangan akhir, di
atas mana ilmu susila dapat dibentuk.
Benar dan salah, atau dharma dan adharma, adalah istilah yang sifatnya relatif. Amat sulit untuk
mendefinisikan istilah ini secara tepat. Bahkan para bijaksana kadang-kadang dibingungkan dalam
mendapatkan makna apakah sesungguhnya benar dan salah itu pada beberapa keadaan tertentu. Itulah
sebabnya mengapa Sri Krsna menyabdakan dalam Bhagawadgita “apakah kerja? Apakah tidak kerja itu?
Bahkan orang bijak disini dibingungkannya. Oleh karena itu Aku akan menjelaskan kepadamu kegiatan
dengan mengetahuinya, engkau akan bebas dari kejahatan. Dalam hal ini sangat diperlukan untuk
membedakan kegiatan melanggar hukum dan membedakan tanpa kegiatan; sangatlah rahasia jalan
kegiatan itu. Ia yang melihat tiada kegiatan dalam kegiatan dan kegiatan dalam tiada kegiatan, ia adalah
orang bijaksana di antara manusia; ia dalam keselarasan walaupun sementara itu melaksanakan segala
kegiatan” (Bhagawadgita IV-16, 17, 18)
2.2.4 Gambaran dari Benar dan Salah
Benar dan salah selalu relatif sifatnya terhadap keadaan sekelilingnya. Apa yang benar pada satu situasi,
menjadi tidak benar pada situasi lainnya. Benar dan salah sangat tergantung pada waktu, situasi khusus,
warna (kedudukan atau golongan) dan asrama (tahapan kehidupan). Moralitas merupakan istilah yang
sifatnya relatif dan berubah. Seorang laki-laki yang penuh nafsu, yang menganiaya istrinya yang sah secara
berulang-ulang untuk memuaskan nafsunya, lebih tak bermoral daripada laki-laki yang mengunjungi
rumah saudara perepuannya yang bermental bobrok, sekali dalam enam bulan. Orang yang memiliki
pikiran tak bermoral, secara terus-menerus merupakan orang yang sangat tak bermoral. Apakah sekarang
kamu memperhatikan dengan jelas perbedaan halus itu?. Membunuh seorang musuh adalah benar bagi
seorang raja ksatria. Seorang Brahmana dan Sanyasin tidak boleh membunuh siapapun, walaupun untuk
mempertahankan dirinya ketika dalam bahaya. Mereka harus berlaku sabar dan pngampun secara tegas.
Berkata bohong untuk menyelamatkan kehidupan seorang mahatma, atau gurunya yang telah dituduh
secara tidak adil oleh pemimpin pemerintah yang tidak adil, adalah benar. Dalam kamus tertentu semacam
ini, ketidakbenaran menjadi benar. Berbiacara suatu kebenaran yang membuat kecurigaan orang banyak
merupakan ketidakbenaran semata. Membunuh seorang anggota tentara yang membunuh para pelancong
setiap hari adalah ahimsa. Himsa menjadi ahimsa pada situasi tertentu.
Pengampun atau Ksama, cocok bagi seorang pertapa atau sanyasin yang mengalami kehidupan niwrtti
marga atau penyangkalan. Ia tak cocok bagi seorang pemerintah. Pemerintah dapat mengampuni
seseorang yang telah merugikannya, tetapi ia tak dapat mengampuni orang yang telah melakukan
kejahatan besar terhadap masyarakat.
Ada dharma khusus selama masa kritis dan berbahaya, yang disebut apad-dharma. Rsi Wiswamitra
mengambil daging terlarang dari seorang Candala atau di luar golongan, ketika terjadi suatu bahaya
kelaparan yang parah, dan mempersembahkannya dalam upacara kurban kepada para Dewa. Usasti,
seorang pendeta terpelajar, mengambil kacang yang tercemar dari tangan seorang pengendara gajah,
ketika ia menderita kelaparan kronis dan tak dapat memperoleh makanan dari manapun.
2.3 Etika dan Moralitas dalam Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu memiliki kerangka dasar yang dapat dipergunakan oleh umatnya sebagai landasan untuk
memahami, mengalami dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka dasar
tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu:
1. Tattwa atau filsafat Agama Hindu,
2. Susila atau Etika, dan
3. Acara atau Ritual Agama Hindu
Untuk dapat memahami, mengalami dan mengamalkan ajaran Agama Hindu secara utuh dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari maka setiap umat Hindu memiliki kewajiban menjadikan kerangka dasar sebagai
pedoman. dengan demikian mereka dapat mewujudkan hidup dan kehidupan ini menjadi sejahtera dan
bahagia. (Sudirga, 2007:36)
Susila dalam Agama Hindu merupakan kerangka dasar yang kedua. Susila berasal dari kosa kata bahasa
Sanskerta yang artinya tingkah laku yang baik atau menunjukkan kebaikan. Dalam Wrhaspati Tattwa 26
dinyatakan sebagai berikut:
“Sila ngaranya angraksa acara rahayu”.
(Wrhaspati Tattwa.26)
Artinya :
Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.
Susila adalah istilah lain dari kata etika dan moral. Etika dan moral merupakan dua kata yang
dipergunakan silih berganti untuk maksud yang sama. Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami
bahwa etika merupakan ajaran perilaku atau perbuatan yang bersifat sistematis tentang perilaku (karma).
Ajaran susila hendaknya diterapkan dalam kehidupan kita di dunia ini karena dunia inilah tempat kita
berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas utama di samping pembenahan diri dalam
hubungannya dengan orang lain. Kelahiran ini merupakan tangga untuk naik ke surga. Oleh karena itu,
kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan agar tidak jatuh ke neraka. Untuk
dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada
dirinya. Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik
dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna dalam Kitab Bhagawadgita telah membagi kecenderungan
budi manusia atas dua bagian yaitu:
1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan
2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antar sesama manusia. Sifat-
sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan dalam kitab Bhagavadgita XVI, syair 1, 3, dan 5 yang berbunyi
sebagai berikut:
Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih
danamdama ca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam
(Bhagavadgita XVI. 1)
Artinya :
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, bergiat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma,
menguasai indriya, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.
Tejah ksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita
bhawanti sampadam daiwim abhijatasya bharata
(Bhagavadgita XVI. 3)
Artinya :
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa keombongan, ini tergolong
pada orang yang lahir dengan sifat_sifat dewata, oh Arjuna.
Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwin abhijato si pandawa
(Bhagavadgita XVI. 5)
Artinya :
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatakan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah
ikatan. Jangan bersedih hati, oh Pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Demikianlah, beberapa sloka dalam kitab Bhagavadgita yang menjelaskan dan menuntun kita untuk
meniru sifat-sifat dewa (sifat-sifat yang baik). Kemudian, mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat
yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab bhagavadgita XVI, 4, 7, dan 12 yang berbunyi
sebagai berikut:
Tambho darpo bhimanas krodnah parusyam eva ca
ajnanam cabhijatasya parta sampadam asurim
(Bhagavadgita, XVI, 4)
Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang
dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad), oh Arjuna
Atma sambawitha stabdha dhana mana madanwitah yajante
manayajnais te dambhena widhipurvakam
(Bhagavadgita, XVI, 7)
Artinya :
Menganggap diri yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat
pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.
Trividham narakye dam
dvaram nasanam atmanah
kamah krodhas tatha lobhas
tasmad etat trayam tyajet
(Bhagavadgita, XVI, 12)
Artinya :
Ada tiga pintu yang meruntuhkan atma, yaitu nafsu, sihat pemarah, dan loba. Oleh karena itu orang harus
menghindari ketiganya itu
Perkembangan kecenderungan sifat-sifat Daiwi Sampad dan Asuri Sampad pada manusia tersebut ada
yang timbul karna faktor luar dan ada pula faktor dari dalam diri sendiri serta ada pula dari kedua faktor
tersebut.
Pengertian tentang susila dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Susila atau etika adalah upaya mencari kebenaran. Sebagai filsafat ia mencari informasi yang sedalam-
dalamnya secara sistematis tentang kebenaran yang bersifat absolut maupun relatif.
2. Susila atau etika adalah upaya untuk mengadakan penyelidikan atau mengkaji kebaikan manusia,
sebagai manusia bagaimana seharusnya hidup dan bertindak di dunia ini agar hidup menjadi bermakna.
3. Susila atau etika merupakan upaya (karma) manusia mempergunakan keterampilan fisiknya
(angga/raga) dan kecerdasan rohani (suksma sarira). Suksma sarira manusia terdiri atas pikiran (manas),
kecerdasan (buddhi), dan kesadaran murni (atman) yang dapat berfungsi sebagai sarana untuk
memecahkan berbagai masalah tentang bagaimana manusia hidup dan berbuat baik (suputra).
Kitab Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu
samavistam subhesveva varakayet.
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwangjuga wenang
gumawaya-kenikang subha-subhakarma, kuneng paneentas
akena ring subhakarma juga ikang asubhakarma phalaning dadi wwang
(Sarasamuscaya, 2)
Artinya:
Dari sedemikian banyaknya semua makhluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang
dapat berbuat perbuatan baik-buruk itu, adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan
baik juga manfaatnya menjadi manusia.
Demikianlah manfaat hidup menjadi manusia sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Veda, manusia
hendaknya selalu mengupayakan perilaku yang baik terhadap sesamanya. Memperlakukan orang lain
dengan baik sesungguhnya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri yang baik (Tat Tvam Asi).
Perilaku seperti itu selamanya patut diupayakan dan dilestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai
manusia. Setiap individu hendaknya selalu berpikir dan bersikap profesional menurut guna dan karma.
2.3.1 Tujuan Etika dan Moralitas dalam Agama Hindu
Landasan dasar etika dan moralitas bagi umat Hindu adalah agama Hindu, sedangkan pedoman yang
dipergunakan adalah Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab suci lainnya.
Adapun tujuan susila atau etika dan moralitas agama Hindu adalah:
1. Untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan dengan baik.
2. Untuk menghindarkan adanya hukum rimba, dimana yang kuat menindas atau memperalat yang lemah.
3. Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur.
4. Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah laku baik, termasuk selalu berbuat
baik dengan siapapun juga.
Ajaran tentang susila agama bukan saja penting untuk dipahami, tetapi yang lebih penting lagi adalah
untuk diamalkan, untuk dilaksanakan dalam pergaulan hidup sehari-hari, untuk diamalkan sesuai dengan
petunjuk-petunjuk agama, sehingga dapat terbentuk masyarakat yang berbudi luhur dan mulia.
Manusia diciptakan Hyang Widhi untuk berbuat baik (subha karma) agar mendapatkan kebahagiaan,
kesejahteraan dan ketentraman. Kewajiban manusia sebagai karmanam (pekerja Tuhan) adalah selalu
bekerja, bertingkah laku baik, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Hyang Widhi untuk menentukannya.
Hyang Widhi bersifat maha ada, maha kasih, karena itu Ia selalu melimpahkan anugrahnya dan
memberikan pahala kepada setiap orang sesuai dengan perbuatannya (karmanya). Karena Hyang Widhi
selalu mengasihi manusia, maka manusia pun harus berterima kasih kepada Hyang Widhi. Berterima kasih
dan bisa membalas jasa kepada orang lain yang berjasa merupakan perbuatan baik (susila).
Perbuatan, tingkah laku manusia adalah baik dan benar, jika hal itu membawa kesempurnaan kebaikan,
kebaikan merupakan suatu yang diinginkan oleh segalanya. Manusia menentukan sikapnya dan mengatur
tingkah lakunya untuk mencapai sasaran antara (kebahagiaan dan kesejahteraan duniawi) dan kemudian
sasaran pokok (sasaran akhir). Untuk semua manusia, tujuan akhir itu sama, sebab tujuan akhir (moksa)
merupakan kebaikan dan kebebasan tertinggi. Perbuatan baik, tingkah laku baik disebut pula kebaikan
moral. Tingkah laku manusia mendapatkan kebaikan susila dan moral dari tujuan akhir.ini berarti bahwa
tingkah laku manusia di dunia harus dikendalikan agar tercapainya suatu tujuan akhir yang dicita-citakan
itu. Rsi Wararuci menegaskan demikian:
“Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia. Apabila prilaku titisan
manusia itu tidak baik, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, kekuasaan dan kebijaksanaannya.
Semua itu akan sia-sia apabila tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan”
(Sarasamuscaya. 160)
Hidup sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan dharma, sehingga nantinya
tidak mengalami kelahiran kembali. Jadi tujuan Etika adalah untuk membina susila (moral manusia) agar
menjadi manusia yang berbudi luhur dan berpribadi mulia yang mengejala pada tingkah laku dan
perbuatan sehari-hari. Etika menghendaki kehidupan harmonis dan selaras. Manusia merupakan homo-
homini-socius yaitu makhluk yang hidup bermasyarakat dan merupakan bagian alam semesta. Sebagai
anggota masyarakat, manusia mempunyai bermacam-macam hubungan yang harus dilaksanakan secara
baik (susila). Sebagai bagian dari alam semesta, manusia harus dapat memelihara lingkungan hidupnya,
yaitu lingkungan tempat tinggal. Sri Sankara mengharapkan agar setiap orang senantiasa bekerja atas
dasar bhakti (bhakti marga) kepada Hyang Widhi yang kuat Sradhanya, memandang segala perintah
agama sebagai kebutuhan. Karena itu akan selalu merasa wajib untuk melaksanakannya. Apabila
kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka akan timbul penyesalan, rasa dosa, karena kehausannya akan
perlindungan Hyang Widhi tidak terpenuhi.
Tentu saja etika dalam agama Hindu norma agama yang dijadikan titik tolak berpikir. Demikianlah pola-
pola kepercayaan, paham-paham filsafat agama Hindu mempunyai kedudukan yang amat penting dalam
etika Hindu.
Kepercayaan agama Hindu berpangkal dari kepercayaan kepada Tuhan yan berada di mana-mana, yang
mengetahui segala. Ia adalah saksi agung yang menjadi saksi segala perbuatan manusia. Karena itu
manusia tidak dapat menyembunyikan segala perbuatannya terhadap Tuhan baik perbuatan itu
perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.
yas tisthati carati yasca vancati
yo nilayam carati yah prantankam
dvau sannisadya yan mantrayete
raja tad veda varunas trtiyah
(Atharva Veda 11. 16. 2)
Artinya:
Siapapun berdiri,berjalan, bergerak dengan sembunyi-sembunyi, siapapun yang membaringkan diri atau
bangun, apapun yang dua orang yang duduk bersama bisikkan satu dengan yang lainnya, semuanya itu
Tuhan, Sang Raja mengetahui, Ia adalah yang ketiga hadir disana.
Aditya Sanghyang Surya, Candra Sanghyang Wulan, Anilanala Sanghyang Angin muang Apuy. Tumut ta
Sanghyang Akasa Prethivi mwang Toya, muwah Sanghyang Atma, Sanghyang Yama tamolah ring rat
kabeh. Nahan tang rahina wengi mawang sandhya, lawan sanghyang Dharma sira, sang dewata mangkana
tiga welas kwehnira, sira ta mengawruhi ulahning wwang ring jagat kabeh, tan kena byapara nireng rat.
(Adiparwa I. 36)

Terjemahan:
Matahari, Bulan, Angin dan Api. Dan Angkasa, Bumi dan Air, Hyang Atma, Hyang Yama yang berada di
seluruh dunia. Demikian pula siang, malam dan sandhyakala dengan Hyang Dharma. Para dewa itu
tigabelas banyaknya. Semua itu tahu akan tingkah laku orang di seluruh dunia. Tidak dapat diabui Dewa
itu memenuhi dunia.
Disamping keyakinan bahwa Tuhan mengetahui semua perbuatan orang, penganut agama Hindu amat
meyakini adanya hukum karma yang menyatakan bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya. Bila
seseorang berbuat baik maka ia akan memetik buah yang baik dan bila seseorang berbuat buruk ia akan
memetik buah yang buruk.

2.3.2 Etika dan Moralitas Sebagai Aturan Tingkah Laku yang Baik
Etika dan moralitas agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia.
Ajaran tingkah laku yang baik dan mulia terdiri dari:
1. Catur Marga atau empat jalan menuju kesempurnaan hidup.
a. Bhakti Marga
b. Karma Marga
c. Jnana Marga
d. Raja Marga
2. Tri Kaya Parisudha atau tiga perilaku yang baik.
a. Manacika
b. Wacika
c. Kayika
3. Panca Yama Brata atau lima cara pengendalian diri.
a. Ahimsa
b. Brahmacari
c. Satya
d. Awyawahara
e. Asteya
4. Dasa Yama Brata atau sepuluh cara pengendalian diri.
a. Anrsamsa : tidak kejam
b. Ksama : pemaaf
c. Satya : kesetiaan, kebenaran dan kejujuran
d. Ahimsa : tidak menyakiti atau mebunuh
e. Dama : mengendalikan hawa nafsu
f. Arjawa : tetap pendirian
g. Priti : welas asih
h. Prasada : berpikir jernih dan suci
i. Madhurya : ramah tamah
j. Mardawa : lemah lembut
5. Panca Niyama Brata atau lima cara pengendalian diri lanjutan.
a. Akrodha : tidak marah
b. Guru susrusa : hormat kepada guru
c. Sauca : bersih atau suci
d. Aharalaghawa : makan makanan sederhana
e. Apramadha : tidak mngabaikaan kewajiban
6. Dasa Niyama Brata atau sepuluh cara pengendalian diri lanjutan.
a. Dana : pemberian sedekah
b. Ijya : puja dan puji kepada Tuhan
c. Tapa : menghindarkan keduniawian
d. Dhyana : pemusatan pikiran
e. Swadhyaya : belajar sendiri
f. Upasthanigraha : pengendalian hawa nafsu
g. Bratha : pelaksanaan pantangan
h. Upawasa : puasa
i. Mona : tidak berbicara
j. Snana : pemberian sedekah
7. Dasa Dharma atau sepuluh perbuatan baik berdasarkan agama.
a. Dhriti : bekerja sungguh-sungguh
b. Ksama : mudah memberi maaf
c. Dama : dapat mengendalikan hawa nafsu
d. Asteya : tidak mencuri
e. Sauca : bersih dan suci
f. Indryanigraha : dapat mengendalikan keinginan
g. Dhira : berani menbela yang benar
h. Widya : sanggup belajar dan mengajar
i. Satya : kebenaran, kesetiaan dan kejujuran
j. Akrodha : tidak marah
8. Catur Purusa Artha atau empat cara untuk memenuhi tujuan hidup.
a. Dharma : Kebaikan, kebenaran.
b. Artha : materi
c. Kama : hawa nafsu
d. Moksa : kebebasan dunia akhirat.
9. Catur Paramitha atau empat perbuatan luhur.
a. Maitri : bersahabat
b. Karuna : cinta kasih
c. Mudhita : bersimpati
d. Upeksa : toleransi
10. Tri Hita Karana atau tiga cara pencapaian kebahagian hidup.
a. Parhyangan : hubungan harmonis dengan Hyang Widhi Wasa
b. Pawongan : hubungan harmonis dengan sesama manusia
c. Palemahan : hubungan harmonis dengan lingkungan
11. Asta Brata atau delapan cara cara pengendalian diri mengikuti sifat-sifat para dewa.
a. Surya Brata yaitu pengendalian diri menguikuti sifat baik matahari, tanpa pilih kasih
b. Chandra Brata yaitu mengendalikan diri mengikuti sifat bulan yang lembut dan ramah tamah
c. Bayu Brata yaitu mengendalikan diri sesuai sifat angin, hidup dengan penuh toleransi dan rukun
d. Kuwera Brata yaitu mengendalikan diri meniru sifat Dewa kekayaan, memakai harta benda untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
e. Baruna Brata yaitu mengendalikan diri sesuai sifat-sifat Baruna, yaitu menghormati peraturan dan
ketentuan yang berlaku
f. Agni Brata yaitu mengendalikan diri sesuai sifat Dewa Agni, yakni menghancurkan siapa saja yang
hendak berbuat jahat
g. Yama Brata yaitu mengendalikan diri dengan memegang teguh keadilan dan kebenaran
h. Indra Brata yaitu mengendalikan diri dengan melindungi orang kecil dan memerlukan bantuan atau
dalam kesulitan
2.3.4 Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan “Tiga Kerangka Dasar”, di mana
bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi danmerupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati
dan diamalkan guna mencapaitujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.Tiga Kerangka Dasar
tersebut adalah:
1. Tattwa (Filsafat)
Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokohkarena masuk akal
dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat
yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui
beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut
Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapatmenerima kebenaran
hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinandan kepercayaan. Kepercayaan dan
keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi,
disebut Panca Sradha. Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan
hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir danbatin yaitu
Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itudisebut Catur Marga. Demikianlah
tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas
janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu
yang telah disarikan darisastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat
yangmendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.
2. Susila (Etika)
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang
peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitashidup bagi seseorang dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukansampai di mana kadar budi pekerti yang
bersangkutan. la akan memperoleh simpatidari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu
mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi-
sendi kesusilaan. Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk
mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderungkepada pendidikan
sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadimanusia susila demi tercapainya kebahagiaan
lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata: “Su” dan “Sila”. “Su” berarti baik, indah,harmonis.
“Sila” berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusiayang baik terpancar sebagai
cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungandengan lingkungannya. Pengertian Susila
menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis
antara sesama manusia dengan alam semesta(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia
adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lainberarti
menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pulamenyakiti diri sendiri. Jiwa sosial
demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih
kebendaan.
3. Acara (ritual)
Acara agama Hindu merupakan bentuk pelaksanaan ajaran agama yang tercermin dalam kegiatan praktis
bagaimana menunjukkan rasa bhakti dan kasihnya kepada Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa,
kepada leluhur/roh nenek moyang, kepada sesama manusia dan kepada orang-orang suci kepada alam
semesta seisinya
Acara agama sebagai salah satu dari kerangka dasar Agama Hindu tersebut.
Atharwa Weda XXI.1.1 menyebutkan :
Satyambrihadh rtam ugram diksa tapo
Brahma yajna prithivim dharayanti
Artinya :
Kebenaran, hukum abadi yang agung dan penyucian diri pengendalian
diri, doa dan ritus (Yajna) inilah yang menegakkan bumi
2.2.4 Etika dan Moralitas dalam Skema Kerangka Dasar Agama Hindu
Untuk dapat melihat dengan lebih mudah rangkaian Etika dan Moralitas dalam Kerangka Dasar Agama
Hindu, berikut disampaikan schemanya:

Berikut ini adalah schema Etika atau Susila Agama Hindu yang lebih rinci:

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama Hindu memiliki kerangka dasar yang dapat dipergunakan oleh umatnya sebagai landasan untuk
memahami, mengalami dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka dasar
tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu:
1. Tattwa atau filsafat Agama Hindu,
2. Susila atau Etika, dan
3. Acara atau Ritual Agama Hindu
Susila dalam Agama Hindu merupakan kerangka dasar yang kedua. Susila berasal dari kosa kata bahasa
Sanskerta yang artinya tingkah laku yang baik atau menunjukkan kebaikan. Susila adalah istilah lain dari
kata etika dan moral. Etika dan moral merupakan dua kata yang dipergunakan silih berganti untuk maksud
yang sama. Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa etika merupakan ajaran perilaku atau
perbuatan yang bersifat sistematis tentang perilaku (karma). Ajaran susila hendaknya diterapkan dalam
kehidupan kita di dunia ini karena dunia inilah tempat kita berkarma.
Etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu, ilmu tentang apa yang baik dan
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak, atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Bentuk
jamak dari kata “ethos adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan.
Sedangkan moralitas dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari
bahasa Latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi pengertiaannya sama
dengan “ta etha” atau ethos yaitu adat kebiasaan. Dengan latar belakang pengertian yang sama seperti itu,
maka sudah zaman dahulu etika dipakai untuk menunjukakan filsafat moral. Etika lalu diartikan sebagai
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak atau moral.
Etika dan moralitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengendalian sikap dan tingkah laku
manusia. Fungsi etika karena itu adalah membimbing perilaku manusia agar dapat menjadi orang yang
baik. Etika dan moralitas dalam kaitan ini dapat dikatakan memberiakan arahan, garis patokan atau
pedoman kepada manusia bagaimana sebaiknya bertingkah laku dalam masyarakat. Tuntunan, bimbingan
ataupun petunjuk itu sangat diperlukan agar pergaulan manusia dapat berjalan dengan baik dan harmonis.
Etika dan moralitas memberikan petunjuk apakah perbuatan itu baik atau buruk, salah atau benar,
sehingga boleh dilakukan atau tidak. Etika dan moralitas juga menunjukkan larangan yang patut diikuti.
Dalam hubungan
Tentang ini,ini
iklan-iklan masyarakat tentu harus mengikuti norma-norma yang berlaku.
Bagikan ini:

 Twitter
 Facebook7
 Google

Terkait
DHARMA GITAdalam "Agama"
ACARA AGAMA HINDUdalam "Agama"
Makalah Yoga Mengatasi Insomniadalam "Kesehatan"

This entry was posted on 13 Januari 2015, in Agama, Hindu,Pendidikan and tagged Agama, Agama
Hindu, Pendidikan. Bookmark the permalink.Tinggalkan komentar

Navigasi pos
← PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

PENULIS →

TINGGALKAN BALASAN
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Nama *
Surel *
Situs Web
Beri tahu saya komentar baru melalui email.
OROLA KALENDER

S S R K J S M

1 2 3 4

5 6 7 8 9 10 11

12 13 14 15 16 17 18

19 20 21 22 23 24 25

26 27 28 29 30 31

Januari 2015

SENARAI BLOG

 Discover New Voices 0


 Discuss 0
 Get Inspired 0
 Get Mobile 0
 Get Polling 0
OROLA ARSIP

 Januari 2015 (13)

OROLA GALERI

SARASWATI

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Etika dan Moralitas

Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk. Biasanya etika merupakan bagian dari aksiologi, namun ada kalanya
etika itu berdiri sendiri sebagai filsafat moral yang mengatur ada itu harus ada (Endraswara, 2012: 70).
Senada dengan Endraswara, Suriasumantri (2003, 32) dalam bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah pengantar
Populer menyatakan bahwa etika merupakan salah satu pokok permasalahan yang dikaji dalam filsafat
yani berbicara tentang mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk, selain berbicara
mengenai apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), serta apa yang termasuk indah
dan apa yang termasuk jelek (estetika). Sepintas memang antara etika dan moralitas memiliki
pengertian yang serupa, namun sesungguhnya etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas
(Suseno, 1987: 15). Lebih lanjut menurut Suseno, bahwa etika adalah usaha manusia untuk memakai
akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau mau menjadi
baik. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, etika tidak memberikan ajaran,
melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan
moral secara kritis.

Kata moral berasal dari Bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti : kebiasaan, adat. Dalam
Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988 kata mores digunakan dalam arti yang sama dengan kata etika
yang dijelaskan dalam tiga arti yakni : 1) Ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak); 2) Kumpulan asas atau nilai yan berkenaan dengan akhak; 3) Nilai mengenai
benar dan salahyang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Sedangkan menurut K. Berten
(1997: 6) etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Menurut Suseno (1987: 19), kata
moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia, jadi bukan baik buruknya
begitu saja sebagai profesi tertentu. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul
salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

Etika dan moralitas Hindu merupakan refleksi dari ajaran Agama Hindu itu sendiri. Etika dan
moralitas masih bersifat filosofis, sedangkan tata susila atau budi pekerti merupakan perbuatan yang
sifatnya empirik, artinya merupakan pengejawantahan dari ajaran moralitas. Ajaran moralitas
menuntun umat manusia senantiasa untuk berbuat baik dan benar, menghindarkan diri dari
perbuatan yang salah dan tidak benar (Titib, 2011: 555). Dalam epos Ramayana begitu banyak
dipaparkan tentang etika dan moralitas menurut Hindu tentunya, dan banyak diantaranya sangat
relevan dengan realitas kehidupan sosial dewasa ini. Sri Rama merupakan sosok manusia ideal yang
disebut Maryada Purusottama, yang patut dijadikan teladan umat manusia dalam berbagai
prilakunya, karakternya sebagai anak, suami, raja, saudara, dan sahabat. Etika Sri Rama sebagai
seorang anak yang berbhakti kepada orangtuanya, ketika dia diasingkan ke hutan oleh Dewi Kekayi,
dan ayahnya Raja Dasaratha yang meskipun dengan berat hati demi menepati janjinya kepada
permaisurinya, namun Sri Rama sedikitpun tidak menolak permintaan ayahnya tersebut, karena dia
memiliki prinsip bahwa ayahnya adalah dewa baginya, apapun yang ayahnya katakan atau
perintahkan, pasti akan dipatuhi, demikian idealnya Sri Rama sebagai seorang anak. Kemudian etika
Sri Rama sebagai seorang suami, beliau sangat setia dan menyayangi istrinya, dan ketika beliau
diasingkan ke hutan, istrinya Dewi Sita dilarang untuk turut serta, namun karena bujukan dewi Sita,
akhirnya beliau mengijinkan istrinya untuk turut serta mendampinginya. Sri Rama sebagai seorang
suami rela berkorban demi kebahagiaan istrinya dan berjuang dengan penuh kegigihan untuk
menyelamatkan istrinya dari tangan raksasa Ravana. Demikian sebaliknya etika Dewi Sitha sebagai
seorang istri yang sangat hormat dan setia kepada suaminya, kemanapun suaminya pergi, dia harus
selalu mendampingi suaminya dalam keadaan apapun, meskipun dia tengah disekap oleh Ravana,
namun dia tetap menjaga kesuciannya walaupun diiming-imingi harta berlimpah oleh Ravana.
Laksmana selalu mengikuti kemanapun kakaknya Sri Rama pergi. Dia ingin selalu berada di dekat sang
kakak, menjaganya ketika Sri Rama dan Dewi Sita tertidur lelap di hutan, menjaga Dewi Sita ketika Sri
Rama mengejar kijang emas, meskipun Dewi Sita akhirnya diculik oleh Ravana, namun Laksmana telah
menjalankan perintah kakaknya dengan baik, hanya saja memang karena permohonan Dewi Sita serta
karena kelicikan Ravana, maka Dewi Sita dapat diculik dengan mudah. Bharata sebagai adik dari Sri
Rama sangat menghormati kakaknya, terbukti ketika dia diminta untuk menjadi raja oleh ibunya Dewi
Kekayi, dia menolak keras bahkan menyalahkan sikap ibunya tersebut, dan dia memutuskan untuk
menyusul Sri Rama ke hutan agar beliau berkenan memimpin kerajaan Ayodya, karena Sri Rama yang
lebih berhak. Kemudian ketika kembali dari pengasingan dan dinobatkan sebagai raja Ayodya, Sri
Rama bisa membedakan urusan kerajaan dan urusan pribadinya, dan beliau lebih mementingkan
urusan kerajaan. Etika sebagai seorang raja benar-benar dipegang teguh oleh beliau. Ketika ada desas-
desus dari rakyatnya yang mengatakan bahwa Dewi Sita yang lama disekap Ravana tidaklah suci dan
sudah ternoda. Mendengar hal tersebut, Sri Rama meminta Laksmana untuk membuang Dewi Sita ke
hutan meskipun dalam keadaan hamil. Sekilas memang hal tersebut tidak dibenarkan dalam kodrat
sebagai manusia, namun kiasan yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah seorang pemimpin harus
mengutamakan kepentingan rakyatnya dan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Dalam Kitab
Artah Sastra disebutkan sebagai berikut :

Praja sukha sukham rajanah

Prajanam ca hita hitam

Natman priyam hitam rajanah

Prajanam tu priyam hitam

Artinya :

Kebahagian rakyat adalah kebahagiaanmu raja

Kesejahteraan rakyat adalah kesejahteraan raja

Kesejahteraan raja bukanlah apa- apa yang diinginkan raja,

Tetapi apa yang menjadi kesukaan oleh rakyat


Itulah kesejahteraan raja

Demikian Ramayana menguraikan teladan yang ideal dari Sri Rama, sebagai putra yang baik,
demikian pula hubungannya dengan saudara-saudaranya, keempat putra raja Dasaratha, seperti
halnya Sri Rama adalah merupakan manifestasi yang sama dari Visnu (Mookerji dalam Titib, 2011:
558). Memang sosok Sri Rama adalah sosok yang patut untuk diteladani, selain karakter dari tokoh-
tokoh dharma lainnya. Subramaniam (2004: 126-127) menguraikan karakter Sri Rama sebagai berikut
: ”Mengenai Rama, ia adalah pribadi dengan sifat-sifat tidak tertandingi yang membuatnya menjadi
pribadi yang agung. Ia tampan, sangat menyenangkan, dan menarik untuk dipandang. Ia adalah
pemuda yang sangat pemberani namun keberaniannya itu disertai sifat murah hati. Penampilannya
tenang, tidak tergoyahkan oleh gelombang emosi. Ia selalu ramah dengan siapapun. Ia selalu memulai
pembicaraan jika bertemu dengan seseorang dan kata-katanya selalu lembut dan penuh perhatian.
Bahkan jika suatu saat, orang berbicara kasar padanya, ia tidak pernah melayaninya dengan kasar. Jka
seseorang melakukan kebaikan padanya, meskipun hanya sebuah kebaikan kecil, Ia akan selalu
mengingatnya dengan penuh syukur sedangkan kebaikan yang Ia lakukan pada orang lain selalu
dilupakannya meskipun kebaikan itu seratus kali lebih besar dari kebaikan orang pada dirinya.
Suaranya sangat menyenagkan untuk didengar, meskipun ia seorang petarung sejati, ia tidak pernah
sombong dengan kehebatannya. Baginya adalah suatu kewajiban agama untuk tidak mengatakan
sesuatu yang tidak benar meskipun pada saat yang paling mendesak sekalipun. Ia selalu meghormati
sesepuhnya dan sarjana-sarjana terpelajar. Ia adalah orang yang selalu adil dan merupakan orang
yang telah mampu menundukkan musuh yang terbesar yaitu kemarahan. Ia tidak pernah secara
sengaja menyakiti siapapun dengan kata-katanya dan tidak pernah bisa mengeluarkan kata-kata yang
bertentangan dengan etika hidup. Rama teta berpegang teguh bahwa jalan dharmalah satu-satunya
jalan untuk menuju artha, kama dan moksa. Kata-kata tidak sanggup untuk melukiskan kemuliaan dan
keagungan Sri Rama”. Dalam salah satu sloka berbahasa Sanskerta (Shastri dalam Titib, 2011:
558) dikatakan bahwaRamadivad vartytavyam na Ravanadivat,yang artinya seseorang hendaknya
bertingkah laku seperti Sri Rama dan tidak bertingkah laku seperti Ravana. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pelukisan kehidupan Sri Rama dalam Ramayana adalah untuk menegakkan etika dan
moralitas.

Anda mungkin juga menyukai