PENDAHULUAN
“Susila adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia. Apabila perilaku
titisan manusia itu tidak baik, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, kekuasaan dan
kebijaksanaannya. Semua itu akan sia-sia apabila tidak ada penetapan kesusilaan pada
perbuatannya”.
(Sarasamuscaya 160)
Hidup sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan Dharma, sehingga
nantinya mengalami kelahiran kembali. Jadi tujuan ethika adalah untuk membina susila (moral
manusia) agar menjadi manusia yang berbudi luhur dan berpribadi mulia, yang menggejala pada
tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Ethika menghendaki kehidupan harmonis dan selaras.
Manusia merupakan homo-homini-socius yaitu mahluk yang hidup bermasyarakat dan merupakan
bagian dari alam semesta. Sebagai anggota masyarakat, manusia mempunyai bermacam-macam
hubungan yang harus dilaksanakan secara baik (susila).
Sebagai bagian dari alam semesta, manusia harus dapat harus dapat memelihara lingkungan
hidupnya yaitu lingkungan tempat tinggal (desa, kampung). Sri Sankara mengharapkan agar setiap
orang senantiasa bekerja atas dasar bhakti (bhakti marga) kepada Hyang Widhi, cinta kasih kepada
sesama manusia, sesama mahluk hidup dan lingkungannya. Seorang insan hamba Hyang Widhi
yang kuat sraddhanya, memandang segala perintah agama sebagai kebutuhan. Karena itu akan
selalu merasa wajib untuk melaksanakannya. Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka
akan timbul penyesalan, rasa dosa, karena keharusannya akan perlindungan Hyang Widhi tidak
terpenuhi.
dayu bintang
Apr 22
Pengertian Etika Dan Moralitas Dalam Agama Hindu
Etika dan moralitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengendalian sikap dan
tingkah laku manusia. Fungsi etika adalah membimbing orilaku manusia agar dapat menjadi orang
yang baik. Etika dan moralitas dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa arahan, garis, patokan atau
pedoman kepada manusia bagaimana sebaiknya bertingkah laku dalam masyarakat. Tuntunan,
bimbingan ataupun petunjuk itu sangat diperlukan agar pergaulan manusia dapat berjalan dengan
baik dan harmonis. Etika dan moralitas memberikan petunjuk apakah perbuatan itu baik atau
buruk, salah atau benar, boleh dilakukan atau tidak. Etika dan moralitas juga menunjukkan
larangan yang patut diikuti. Dalam hubungan ini masyarakat tentu harus mengikuti norma-norma
yang berlaku.
Pada umumnya masyarakat tidak menyadari bahwa mereka hidup dalam jaringan norma. Kata
norma semula berarti penyiku yaitu alat yang digunakan oleh tukang kayu. Norma kemudian
berkembang menjadi pedoman, aturan atau ukuran yang pada gilirannya menjadi petunjuk bahkan
perintah (Rinjin, 2004). Pendapat berikut juga menyatakan seperti itu. Kata norma berasal dari
bahasa latin
Apakah manusia perlu menentukan tingah lakunya ? Jawabannya : perlu. Manusia perlu
menentukan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan dan memiliki jalan untuk melaksanakannya.
Tingkah laku manusia ditentukan oleh moral, tujuan akhir, keserasian.
b. Kepantasan
Kepantasan adalah kesehimbangan pribadi, ketenangan batin, kehalusan budhi pekerti, keluhuran
pandangan tentang dunia dan sesama manusia, ketinggian moral dan akhirnya hidup yang sedapat
mungkin merupakan penyerahan dan pemujaan kepada Tuhan, misalnya orang yang berpakaian
compang-camping tidak akan merasa luhur, tidak tidak akan merasakan pantas dihadapan orang
banyak, lebih-lebih dihadapan Tuhan. Maka itu dapat dikatakan bahwa manusia menggejala pada
cara nyandang atau berpakaian. Dalam hidup keagamaan, sandang bisa juga menjadi tanda
penyerahaan diri kepada Tuhan seperti selendang/kampuh yang dililit di pinggang.
“ Kelahiran menjadi manusia ini amat pendek dan cepat keadaanya, tidak ubahnya dengan
gerlapan kilat dan amat sukar untuk mendapatkannya, oleh karna itu pergunakanlah ssebaik-
baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melaksanakan dharma, yang menyebabkan
hentinya proses lahir dan mati serta akhirnya mendapatkan moksha”.
(Sarasamuçcaya8).
Berapa ada tujuan akhir itu ? untuk setiap orang hanya ada satu tujuan akhir, karna sebagai
kebaikan tertinggi lagi sempurna dan yang memahkotai seluruhnya haruslah pula tujuan akhir itu
memenuhi selengkapnya. Apabila kita telah menemukan sesuatu yang merupakan tujuan akhir,
maka kita tidak perlu lagi mencari yang lain diluarnya. Tujuan akhir hanya ada satu, akan tetapi
usaha dan upaya serta jalan yang ditempuh untuk mencapainya amat banyak.
“Yang disebut dharma adalah jalan untuk pergi ke sorga, ibaratnya perahu yang sesungguhnya
merupakan alat bagi para pedagang untuk mengarungi lautan”.
(Sarasamuçcaya 14).
“Pada hakekatnya, jika mencari artha dan kama, maka seharusnya dharmalah terlebih dahulu
dilaksanakan, pasti akan mendapatkan artha dan kama, tidak ada artinya jika artha dan kama di
dapat dengan jalan menyimpang dari dharma”.
(Sarasamuçcaya 12).
Tujuan akhir itu merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan itu harus disebut kebaikan akhlak dalam
arti mutlak. Sebab itu perbuatan atau tingkah laku menjadi baik dalam arti akhlak, apabila berada
dalam kepantasan, sehingga mendapatkan tujuan akhir yang membuatnya orang nampak sebagai
manusia budaya.
“Semua orang, baik golongan rendah, menengah atau tinggi, selama kerja baik menjadi
kesenangannya, maka akan tercapai apa dicita-citakannya”.
(Sarasamuçcaya 1).
Bahwa tujuan akhir manusia dapat dicapai sebagai kebahagiaan sempurna, disebabkan oleh karna
manusia memiliki Tuhan. Hal itu tidak terjadi dalam hidup di dunia ini, melainkan dalam hidup di
dunia baka (akhirat). Maka itu hidup di dunia ini harus menjadi jembatan yang menghubungkan
manusia dengan tujuan akhir.
Bagi orang yang tidak bimbang hatinya, bahkan hatinya tetap teguh untuk mengikuti jalan
pelaksanaan dharma, orang itu sangat bahagia dan tindakannya menyebabkan kaum kerabat dan
handaitolan tidak bersedih hati”.
(Sarasamuçcya 19).
“Seperti prilaku matahari yang terbit menghilangan gelapnya dunia, demikianlah orang yang
melakukan dharma, adalah untuk memusnahkan segala macam dosa”.
3. Tidak berbuat zinah, curang. Hal ini dilarang karena akan menimbulkan kerusakan hubungan
keluarga lain.
Didalam kitab suci disebutkan :
“ini yang tidak patut dilaksanakan yaitu membunuh, mencuri, berbuat zinah. Ketiganya itu tidak
boleh dilaksanakan terhadap siapapun, baik secara berolok-olok, bersenda gurau, baik dalam
keadaan dirundung malang ketiganya itu harus dihindari”. (Sarasamuçcaya 7)
“perbuatan tanpa kekerasan disebut bertapa dalam tindakan. suci murni dalam pikiran, sopan
santun, dapat menguasai diri dan lurus hati disebut bertapa dalam pikiran”
(Bhagavadgita XVII, 14-16)
b. Melalui Perkataan
1. Tidak mencaci maki, mengumpat, mengata-ngatai orang adalah perbuatan tercela lebih-lebih
dilakukan dihadapan orang banyak atau terhadap orang tua. Para Rsi mengajarkan agar setiap
orang menghindari perbuatan tercela itu.
2. Tidak berkata-kata kasar terhadap orang lain. Para Rsi mengajarkan agar setiap orang selalu
berbuat baik dan kebajikan.
3. Tidak memfitnah. Ajaran Tat Twan Asi menegaskan agar setiap orang hidup atas dasar saling
asuh, saling asah dan saling asih.
4. Tidak ingkar terhadap janji (ucapan). Apa yang telah diucapkan atau dijanjikan harus ditepati.
Marilah kita renungkan ajaran berikut :
“kata-kata menyebabkan kamu selamat, kata-kata pula menyebabkan menuai ajal, kata-kata pula
menyebabkan mendapatkan upah, kata-kata menyebabkan mendapat sahabat”.
(Kekawin Nitisastra)
“inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik,
memfitnah dan berkata bohong. Itulah keempatnya harus disingkirkan jauh-jauh. Hal yang tidak
baik itu janganlah diucapkan dan jangan pula dipikirkan dalam hati”.
(Sarasamuçcaya 73)
c. Melalui Pikiran
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal. Tujuan dalam menjelma kedunia ini adalah
untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dan rohani (Moksartham Jagathita). Karena itu
janganlah mengikatkan diri kepada hal yang bersifat fana, yang akhirnya dapat menimbulkan
penderitaan. Hal ini mengandung pengertian bahwa orang tidak boleh lobha atau rakus.
2. Tidak berpikir buruk terhadap orang lain. Apa yang dikerjakan dan dikatakan bersumber pada
pikiran. Agar supaya perkataan dan perbuatan selalu baik, maka pikiran hendaknya senantiasa baik
pula. Kenyataan telah menunjukkan seperti kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang
pikirannya kusut sering mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh.
3. Tidak mengingkari hukum karma phala. Hukum karma phala mengatakan bahwa segala
perbuatan atau tindakan tertentu menimbulkan akibat yaitu akibat yang sesuai dengan macam
perbuatan itu. Fakta telah menunjukkan bahwa segala sesuatu dalam alam ini timbul dan
berkembang menurut kodratnya, misalnya bila kita menanam jagung, maka sudah dapat dipastikan
jagung akan tumbuh, tidak akan tumbuh kelapa atau ketela pohon.
“Tindakan dari gerak pikiran tiga banyaknya, yaitu tidak ingin dan tidak dengki kepada kepunyaan
orang lain, percaya akan kebenaran hukum karma
phala. Itulah ketiganya perilaku pikiran yang merupakan pengendalian hawa nafsu”.
(Sarasamuçcaya 4)
“Mata tidak dapat melihat dengan terang jika tidak diikuti dengan pikiran, maka itu pikiranlah,
yang memegang peranan utamanya”
(Sarasamuçcaya 82)
“Kesimpulannya, pikiranlah merupakan unsur yang paling menentukan ; jika penentuan hati telah
terjadi, maka mulailah orang berkata atau melakukan perbuatan.
Oleh karena itu jelaslah bahwa pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya tindakan (perbuatan)”
(Sarasamuçcaya 79)