Anda di halaman 1dari 9

I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Etika


Kata Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” atau La Ethos yang mempunyai banyak arti seperti
watak, kebiasaan atau adat, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tata susila, sopan santun, cara
berpikir dan lain-lain. Sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha yang berarti adat kebiasaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kata etika lalu diartikan sebagai ilmu tentang sesuatu
kebiasaan yang dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan, dan etika juga diartikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral ( W.J.S. Purwadarminta : 1966).
Menurut sejarahnya, istilah etika itu mula-mula digunakan oleh Montaigne (1533 – 1592 ) seorang
penyair Prancis dalam syairnya yang terkenal pada tahun 1580 (Fr, Etika = Ethiqeu). Penilaian
etika yaitu menitik beratkan pada suatu ilmu ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak
susila.
Perkataan Etika dalam bahasa Indonesia yaitu kesusilaan atau tata susila yang terdiri dari kata su =
baik, sesuai dan sila = dasar. Dalam kata su tersimpul pengertian baik, benar, sesuai. Kata susila
mengandung pengertian sopan santun, kaidah, perintah, norma. Jadi kesusilaan mengandung 2
pengertian :
1. Pengertian tentang norma dan menerangkan bahwa norma itu baik.
2. Pengertiannya menunjukkan sikap terhadap semua norma itu dan menegaskan bahwa tingkah
laku manusia harus sesuai dengan norma atau perintah agama yang berasal dari wahyu (sabda Ida
Sang Hyang Widhi Wasa).
Ilmu pengetahuan ini tidak membahas kebiasaan yang semata-mata berdasarkan adat, melainkan
juga membahas adat yang berdasarkan sifat-sifat dasar dan intisari kemanusiaan ialah adat istidat
yang berhubungan dengan pengertian kesusilaan.
Agar kita memperoleh gambaran serta makna dari etika yang mempunyai implementasi arti
sebagai ilmu, adat kebiasaan, filsafat moral dan sistem nilai, lebih jelasnya dapat kita lihat
penjelasan berikut:
Etika ialah ilmu pengetahuan yang membahas tentang asas-asas akhlak-moral.
1. Etika adalah sebuah tindakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi
maupun sebagai kelompok.
2. Etika merupakan suatu ilmu tentang keusilaan yang menentukan bagaimana seharusnya
manusia hidup dalam masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
3. Etika juga dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin, atau kecendrungan batin untuk
melakukan sesuatu kebaikan.
4. Etika mempelajari tingkah laku manusia, bukan saja untuk menemukan kebenaran, tetapi
juga kebaikan atas perilaku manusia.
5. Etika memperhatikan serta mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral. Sehingga etika menghubungkan penggunaan akal budi individu dengan suatu o
bjektivitas sebagai penentu kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang
lain.
6. Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang disebut filsafat moral, yang berhubungan apa
yang seharusnya secara moral dikatakan baik atau buruk, tentang karakter seseorang sebagai suatu
studi untuk membedakan yang benar dari yang salah, dan yang baik dari yang buruk.
7. Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang disebut filsafat moral, yang berhubungan apa
yang seharusnya secara moral dikatakan baik atau buruk, tentang karakter seseorang sebagai suatu
studi untuk membedakan yang benar dari yang salah, dan yang baik dari yang buruk (Wiranta :
2005)
Dari penjelasan diatas banyak sekali kita dapatkan tentang makna etika, baik secara bahasa
maupun secara istilah dan definisi. Pada intinya etika merupakan tatanan pergaulan yang
melandasi tingkah laku manusia seperti bagaimana seseorang harus bersikap, berprilaku, serta
bertanggung jawab, untuk dapat mencapai hubungan yang harmonis antar umat manusia.

1.2 Pengertian Moral


Moral berasal dari kata Latin “Mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika dijadikan kata
keterangan atau kata nama sifat lalu mendapat tambahan pada belakangnya sehingga misalnya
kebiasaan menjadi moris. Moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi
moralis. Seperti kata sifat tidak akan berdiri sendiri, dalam kehidupan sehari-hari selalu
dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu dihubungkan sciensia
dan berbunyi sciensis moralis, atau philosophia moralis.
Seperti disebutkan di atas, kata moral berasal dari bahasa Latin mores berasal dari kata mos yang
berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Dengan demikian moral dapat diartikan ajaran kesusilaan.
Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.
Moral berasal dari bahasa Belanda misalnya dalam hubungan mooreleverplichtingen morele
deugden artinya kewajiban = susila. Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dari WJS
Poerwadarminto (1999 : 278) terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik dan
buruk perbuatan dan kelakuan sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan asas-asas ahlak (moral).
Dari beberapa keterangan tentang moral dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai
pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran baik buruknya perbuatan.

1.3 Etika dan Theologi


Dipandang dari sudut ilmu, etika termasuk ilmu normatif. Etika menunjukkan tentang apa yang
tidak baik, perbuatan yang harus dilakukan dan larangan mana yang harus dihindari. Hal mana
yang disebut baik atau buruk. Menurut Sruti dan Smrti yang disebut baik adalah apa yang
dikehendaki Hyang Widhi dalam sabdanya. Etika memikiran tentang ketaatan dan Sradha (iman)
kepada Hyang Widhi. Dilihat dari sudut ini dapat dikatakan bahwa etika termasuk mata pelajaran
sistimatika.
Pokok dogmatik Hindu adalah Brahma Atma Aikyam yang berarti bahwa pada hakekaknya
brahma dan atma itu sesungguhnya tunggal yaitu esa adanya. Disebut demikian oleh karena atma
itu merupakan pancaran sinar suci Hyang Widhi yang menjadikan kekuatan bagi segala mahluk
hidup. Pada hakekatnya atman pada segala mahluk hidup. Pada hakekatnya atman pada segala
mahluk hidup adalah sama, maka itu dasar etika adalah pergaulan dalam masyarakat /tatwam asi
yaitu mengasihi manusia, maka itu manusia harus menaruh kasih kepada-Nya. Kasih manusia
kepada Hyang Widhi merupakan belas kasih dan tidak dapat dipisahkan dari pada kasih Hyang
Widhi, yang dilandasi rasa bhakti. Di dalam bhakti itulah tingkah laku yang harus diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari
1.4 Kedudukan Etika
Etika bergerak dalam lapangan kesusilaan artinya bertalian dengan norma yang seharusnya
berlaku dan ketaatan bathin kepada norma itu. Jadi etika kedudukan sebagai ilmu pengetahuan,
tata susila yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
manusia, dan alam sekitarnya, agar perbuatannya tidak menyimpang dari sabda Hyang Widhi.
Maka dari itu Etika merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Agama Hindu yang mengatur dan
menentukan tingkah laku manusia, hubungan dengan sesamanya dan hubungan dengan Tuhan
serta alam semesta beserta isinya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa etika mempunyai kedudukan yang amat
penting dalam theologi hindu sebab dengan demikian dapat menyatakan kasih sayang Hyang
Widhi. Karena itu ethika merupakan landasan dan pedoman bagi umat manusia dalam mengarungi
lautan hidup dan kehidupan di dunia ini untuk memdapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan di
dunia fana (jagathita) dan akhirat (moksa).
Manusia bersifat jasmani dan rohani. Kesatuan itu disebut monodualis karena jasmani manusia
adalah mahluk badani dan harus menjalankan hidup di dunia ini, dia harus bertindak, bersikap,
bergerak dan bekerja. Untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia tidak hanya memerlukan
makanan, tetapi juga harus mengerti apa yang dimakannya dan bagaimana cara makan yang benar.
Dalam membuat sesuatu, manuia tidak saja memikirkan apa yang mungkin, tetapi harus mengerti
serta memikirkan yang baik dan benar.
Hakekat kerohanian mendorong manusia untuk selalu berbuat suci yaitu segala tindakan,
perkataan dan pikiran tidak menyimpang dari ajaran suci (Weda). Kesucian itu merupakan tangga
untuk mendapatkan kebahagiaan abadi (suka tanpa wali duka) yaitu bersatunya Atma dengan
Brahman.

1.5 Tujuan Etika Agama Hindu


Manusia diciptakan Hyang Widhi untuk berbuat baik (subha karma) agar mendapatkan
kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman. Kewajiban manusia sebagai karmanan (pekerja
Tuhan) adalah selain bekerja, bertingkah laku baik, sedangkan harinya diserahkan kepada Hyang
Widhi yang menentukan. Hyang Widhi bersifat Maha Ada, Maha Kasih. Karena itu ia selalu
melimpahkan anugrahnya dan memberi pahala kepada setiap orang sesuai dengan perbuatannya
(karmanya). Karena Hyang Widhi selalu mengasihi manusia,
maka manusiapun harus berterima kasih kepada Hyang Widhi. Berterima kasih dan bisa membalas
jasa kepada orang yang berjasa merupakan perbuatan baik (susila).
Perbuatan, tingkah laku manusia adalah baik dan benar, jika hal itu membawa manusia pada
kesempurnaan kebaikan. Kebaikan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh segalanya. Manusia
menentukan sikapnya, mengatur tingkah lakunya untuk mencapai sasaran antara (kebahagiaan dan
kesejahteraan duniawi) dan sasaran pokok (sasaran akhir). Untuk semua manusia, tujuan akhir itu
sama, sebab tujuan akhir (moksa) merupakan kebaikan tertinggi. Perbuatan baik, tingkah laku baik
disebut pula kebaikan moral. Tingkah laku manusia mendapat kebaikan susila dan moral dari
tijuan akhir. Ini berarti bahwa tingkah laku manusia di dunia harus dikendalikan agae tercapainya
tujuab akhir yang dicita-citakan itu. Rsi Wararuci menegaskan demikian :

“Susila adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia. Apabila perilaku
titisan manusia itu tidak baik, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, kekuasaan dan
kebijaksanaannya. Semua itu akan sia-sia apabila tidak ada penetapan kesusilaan pada
perbuatannya”.
(Sarasamuscaya 160)

Hidup sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan Dharma, sehingga
nantinya mengalami kelahiran kembali. Jadi tujuan ethika adalah untuk membina susila (moral
manusia) agar menjadi manusia yang berbudi luhur dan berpribadi mulia, yang menggejala pada
tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Ethika menghendaki kehidupan harmonis dan selaras.
Manusia merupakan homo-homini-socius yaitu mahluk yang hidup bermasyarakat dan merupakan
bagian dari alam semesta. Sebagai anggota masyarakat, manusia mempunyai bermacam-macam
hubungan yang harus dilaksanakan secara baik (susila).
Sebagai bagian dari alam semesta, manusia harus dapat harus dapat memelihara lingkungan
hidupnya yaitu lingkungan tempat tinggal (desa, kampung). Sri Sankara mengharapkan agar setiap
orang senantiasa bekerja atas dasar bhakti (bhakti marga) kepada Hyang Widhi, cinta kasih kepada
sesama manusia, sesama mahluk hidup dan lingkungannya. Seorang insan hamba Hyang Widhi
yang kuat sraddhanya, memandang segala perintah agama sebagai kebutuhan. Karena itu akan
selalu merasa wajib untuk melaksanakannya. Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka
akan timbul penyesalan, rasa dosa, karena keharusannya akan perlindungan Hyang Widhi tidak
terpenuhi.

Tujuan diperintahkannya untuk menjalankan antara lain:


1. Untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan
harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat.
2. Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah laku yang baik, kepada
setiap orang tanpa pandang bulu.
3. Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur.
4. Untuk menghindarkan adanya hukum rimba di masyarakat, dimana yang kuat selalu
menindas yang lemah.
Dengan tujuan-tujuan tersebut diharapkan umat Hindu menjadi manusia yang berbudi luhur, cinta
kedamaian, dan hidup rukun dalam negara dan bangsa.

Susila Smster II Teologi


ETIKA DAN MORALITAS DALAM AGAMA HINDU

dayu bintang
Apr 22
Pengertian Etika Dan Moralitas Dalam Agama Hindu
Etika dan moralitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengendalian sikap dan
tingkah laku manusia. Fungsi etika adalah membimbing orilaku manusia agar dapat menjadi orang
yang baik. Etika dan moralitas dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa arahan, garis, patokan atau
pedoman kepada manusia bagaimana sebaiknya bertingkah laku dalam masyarakat. Tuntunan,
bimbingan ataupun petunjuk itu sangat diperlukan agar pergaulan manusia dapat berjalan dengan
baik dan harmonis. Etika dan moralitas memberikan petunjuk apakah perbuatan itu baik atau
buruk, salah atau benar, boleh dilakukan atau tidak. Etika dan moralitas juga menunjukkan
larangan yang patut diikuti. Dalam hubungan ini masyarakat tentu harus mengikuti norma-norma
yang berlaku.
Pada umumnya masyarakat tidak menyadari bahwa mereka hidup dalam jaringan norma. Kata
norma semula berarti penyiku yaitu alat yang digunakan oleh tukang kayu. Norma kemudian
berkembang menjadi pedoman, aturan atau ukuran yang pada gilirannya menjadi petunjuk bahkan
perintah (Rinjin, 2004). Pendapat berikut juga menyatakan seperti itu. Kata norma berasal dari
bahasa latin

2.2 Penentuan Tingkah Laku

Apakah manusia perlu menentukan tingah lakunya ? Jawabannya : perlu. Manusia perlu
menentukan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan dan memiliki jalan untuk melaksanakannya.
Tingkah laku manusia ditentukan oleh moral, tujuan akhir, keserasian.

1. Moral sebagai patokan tingkah laku.


Bagaimana dapat mengetahui tingah laku itu baik atau buruk ? Perbuatan manakah yang di
katakan baik atau buruk ? Untuk dapat menentukan sikap, maka harus ada patokan tetap, patokan
langsung dan patokan akhir. Patokan moral adalah kodrat manusia. Manusia berkewajiban
mengatur sekumpulan sifat kodratnya dan mengerjakan semua tugas dengan sempurna dan
harmonis. Manusia hanya bisa di pandang sebagai manusia dan makhluk Tuhan, jika di dalam
hidupnya melaksanakan hukuman moral itu adalah dari manusia sendiri, yang berisikan bahwa
manusia harus adil, harus cinta kasih kepada sesamanya, hidup ber-tat twam asi, harus jujur dan
bhakti kepada Hyang Widhi. Cinta kasih kepada sesama berarti membantu sesama manusia dalam
menyempurnakan dirinya. Maka itu manusia tidak hanya harus menjaga Moral diri sendiri, tetapi
juga moral masyarakat (orang lain). Manusia di kehendaki secara moral baik. Moral baik adalah
yang selalu benar-baik, manusia disebut moral baik apabila hidupnya dijuruskan ke arah tujuan
terakhirnya dan perbuatannya disebut moral baik, karena perbuatan itu membawa manusia ke arah
tujuan akhir. Ini berarti bahwa tingkah laku susila meluhurkan manusia. Keseimbangan,
ketenangan hati, kehalusan budhi pekrti, keluhuran pandang tentang dunia dan sesama manusia
hanya dapat di capai dalam ketinggian moral, sebagai umat beragama, orang berhubungan dengan
Tuhan. Sebagai makhluk sosial, orang harus berhubungan dengan sesama manusia. Sebagai
makhluk sosial, orang harus berhubungan dengan sesama manusia. Sebagai pemilik, manusia
berhubungan dengan benda perantaraan kodrat yang telah di anugrahkan Tuhan kepadanya. Oleh
karena itu tingkah laku manusia adalah baik, apabila perbuatan itu tetap mengandung keseleraan
dalam seluruh bagiannya dan dalam hubungannya dengan manusia. Jadi tingkah laku manusia
adalah baik, apabila tetap bagi makhluk berbudi dan berindra yang bersifat rohani dan jasmani
yang di ciptakan tuhan, hidup dengan manusia sesamanya dan memelihara diri sendiri dengan
benda-benda dunia secara harmonis. Kodrat manusia ditinjau secara lengkap adalah patokan
langsung kesusilaan, karena tidak ada yang lain dapat menentukan kodratnya.

2. Kebersihan sebagai patokan tingkah laku.


Sudah disebutkan bahwa manusia adalah mahluk badani. Badan itu merupakan pra-sarana atau
infra struktur dari perkembangan rohani. Manusia itu berkembangan sebagai manusia, jika
badannya memungkinkan. Tata sopan santun, hormat, cinta kasih, kebaktian (puja astawa), semua
itu dilaksanakan dalam kehidupan manusia, jadi dengan badan. Dalam pendidikan, manusia adalah
badan yang dirohanikan dan merupakan penjelmaan kerohanian. Manusia hanya mungkin
menjalankan hidupnya dan menempatkan diri dalam keadaannya, bila berada dalam kesatuan atau
totalitas yaitu manusia sebagai jasmani dan rohani. Manusia dapat berkembang sebagai manusia,
jika jasmani dab rohaninya tumbuh secara sehat dan dalam kepantasan.
a. Kesehatan
Atas dasar kedua aspek manusia itu, yakni rohani dan jasmani, kita berkata
tentang badan sehat dan jiwa sehat. Apakah sesungguhnya kesehatan itu?. Dalam pengertian biasa,
sehat itu berarti tidak sakit. Akan tetapi dalam pengertian yang lebih luas, sehat itu berhubungan
dengan kebudayaan. Bila orang tidak bisa mengatasi diri dalam keadaannya, maka dia sakit mntal
atau jasmani. Dilihat dari sudut psiko-analisa, maka nampaklah bahwa dalam menghadapi
manusia sakit, yang dilihat bukan badannya saja, bukanlah hanya macam-macam fungsinya, tetapi
juga jiwanya. Kesehatan itu melekat pada cara kita berada sebagai manusia atau sifat dasar dari
kita berada. Maka itu dapat dikatakan bahwa kesehatan adalah keserasian yang kita bangun pada
diri kita agar kita sanggup melaksanakan nilai-nilai kesosialan, kebudayaan, kesusilaan dan
keagamaan.

b. Kepantasan
Kepantasan adalah kesehimbangan pribadi, ketenangan batin, kehalusan budhi pekerti, keluhuran
pandangan tentang dunia dan sesama manusia, ketinggian moral dan akhirnya hidup yang sedapat
mungkin merupakan penyerahan dan pemujaan kepada Tuhan, misalnya orang yang berpakaian
compang-camping tidak akan merasa luhur, tidak tidak akan merasakan pantas dihadapan orang
banyak, lebih-lebih dihadapan Tuhan. Maka itu dapat dikatakan bahwa manusia menggejala pada
cara nyandang atau berpakaian. Dalam hidup keagamaan, sandang bisa juga menjadi tanda
penyerahaan diri kepada Tuhan seperti selendang/kampuh yang dililit di pinggang.

2. Tujuan akhir sebagai patokan tingkah laku.


Yang dapat merupakan patokan akhir hanyalah kodrat manusia. Jalan yang di tempuh dalam
kehidupan ini harus dinilai dengan tujuan akhir atau tujuan akhirnya menjadi patokan untuk
memilih jalan hidup jalan hidupnya. Tujuan akhir ini harus ada pada jiwa manusia supaya ia dapat
menentukan tindakan pertama. Kalau tidak demikian manusia supaya masing-masing dan juga
bersama dalam masyarakat mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan karna itu mendapatkan
kebahagiaan di atas bumi dan kelak di akhirat (moksha).

“ Kelahiran menjadi manusia ini amat pendek dan cepat keadaanya, tidak ubahnya dengan
gerlapan kilat dan amat sukar untuk mendapatkannya, oleh karna itu pergunakanlah ssebaik-
baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melaksanakan dharma, yang menyebabkan
hentinya proses lahir dan mati serta akhirnya mendapatkan moksha”.
(Sarasamuçcaya8).
Berapa ada tujuan akhir itu ? untuk setiap orang hanya ada satu tujuan akhir, karna sebagai
kebaikan tertinggi lagi sempurna dan yang memahkotai seluruhnya haruslah pula tujuan akhir itu
memenuhi selengkapnya. Apabila kita telah menemukan sesuatu yang merupakan tujuan akhir,
maka kita tidak perlu lagi mencari yang lain diluarnya. Tujuan akhir hanya ada satu, akan tetapi
usaha dan upaya serta jalan yang ditempuh untuk mencapainya amat banyak.
“Yang disebut dharma adalah jalan untuk pergi ke sorga, ibaratnya perahu yang sesungguhnya
merupakan alat bagi para pedagang untuk mengarungi lautan”.

(Sarasamuçcaya 14).

“Pada hakekatnya, jika mencari artha dan kama, maka seharusnya dharmalah terlebih dahulu
dilaksanakan, pasti akan mendapatkan artha dan kama, tidak ada artinya jika artha dan kama di
dapat dengan jalan menyimpang dari dharma”.

(Sarasamuçcaya 12).

Tujuan akhir itu merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan itu harus disebut kebaikan akhlak dalam
arti mutlak. Sebab itu perbuatan atau tingkah laku menjadi baik dalam arti akhlak, apabila berada
dalam kepantasan, sehingga mendapatkan tujuan akhir yang membuatnya orang nampak sebagai
manusia budaya.

“Semua orang, baik golongan rendah, menengah atau tinggi, selama kerja baik menjadi
kesenangannya, maka akan tercapai apa dicita-citakannya”.

(Sarasamuçcaya 1).

Bahwa tujuan akhir manusia dapat dicapai sebagai kebahagiaan sempurna, disebabkan oleh karna
manusia memiliki Tuhan. Hal itu tidak terjadi dalam hidup di dunia ini, melainkan dalam hidup di
dunia baka (akhirat). Maka itu hidup di dunia ini harus menjadi jembatan yang menghubungkan
manusia dengan tujuan akhir.

Bagi orang yang tidak bimbang hatinya, bahkan hatinya tetap teguh untuk mengikuti jalan
pelaksanaan dharma, orang itu sangat bahagia dan tindakannya menyebabkan kaum kerabat dan
handaitolan tidak bersedih hati”.

(Sarasamuçcya 19).

“Seperti prilaku matahari yang terbit menghilangan gelapnya dunia, demikianlah orang yang
melakukan dharma, adalah untuk memusnahkan segala macam dosa”.

2.3 Tingkah Laku yang Baik (Subha Karma)


Çubha Karma adalah dari kesusilaan yaitu segala tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras
dengan ketentuan dharma. Bentuk-bentuk çubha karma yang sesuai dengan dharma dimaksud,
sebagaimana disebutkan dalam ajaran agama Hindu ada beberapa ketentuan yang merupakan
jabaran daripada pelaksanaan açubha karma tersebut yaitu

2.3.1 Tri Kaya Parisudha


Trikaya Parisudha adalah tiga laksana yang baik (kayika, wacika, manacika). Tiga laksana yang
baik ini dapat dipelihara dengan Karma Patha yaitu pengendalian. Dengan akal atau rasio
dikaruniakan Tuhan kepada kita, maka kita harus dapat mengendalikan tingkah laku dan perkataan
melalui analisa logis tentang yang baik dan yang tidak baik.
Rsi Wararuci mewejangkan :
“Ada Karma Patha namanya yaitu pengendalian hawa nafsu sepuluh banyaknya yang patut
dilaksanakan dengan perincian : gerak pikiran tiga banyaknya, perilaku perkataan empat
banyaknya dan gerak tindakan tiga jumlahnya. Jadi ada sepuluh banyaknya perbuatan yang
menimbulkan/timbul dari gerak badan, perkataan dan pikiran, yang patut diperhatikan”.
(Sarasamuscaya 73)

Ada tiga macam pengendalian yaitu

a. Melalui Tingkah Laku


1. Tidak melakukan Himsa Karma yaitu tidak melakukan penyiksaan atau pembunuhan
terhadap mahluk yang tidak bersalah. Himsa Karma hanya diperkenankan untuk kepentingan
yajña misalnya potong ayam untuk bhuta yajña
2. Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda atau tidak mencuri. Mencuri termasuk
perbuatan yang disebut dosa.
“Pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang
amat sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi kesorga. Segala sesuatu yang
menyebabkan tidak jatuh lagi (kedalam neraka) itulah hendaknya dilakukan”.
(Sarasamuçcaya 6)

3. Tidak berbuat zinah, curang. Hal ini dilarang karena akan menimbulkan kerusakan hubungan
keluarga lain.
Didalam kitab suci disebutkan :
“ini yang tidak patut dilaksanakan yaitu membunuh, mencuri, berbuat zinah. Ketiganya itu tidak
boleh dilaksanakan terhadap siapapun, baik secara berolok-olok, bersenda gurau, baik dalam
keadaan dirundung malang ketiganya itu harus dihindari”. (Sarasamuçcaya 7)

“perbuatan tanpa kekerasan disebut bertapa dalam tindakan. suci murni dalam pikiran, sopan
santun, dapat menguasai diri dan lurus hati disebut bertapa dalam pikiran”
(Bhagavadgita XVII, 14-16)

b. Melalui Perkataan
1. Tidak mencaci maki, mengumpat, mengata-ngatai orang adalah perbuatan tercela lebih-lebih
dilakukan dihadapan orang banyak atau terhadap orang tua. Para Rsi mengajarkan agar setiap
orang menghindari perbuatan tercela itu.
2. Tidak berkata-kata kasar terhadap orang lain. Para Rsi mengajarkan agar setiap orang selalu
berbuat baik dan kebajikan.
3. Tidak memfitnah. Ajaran Tat Twan Asi menegaskan agar setiap orang hidup atas dasar saling
asuh, saling asah dan saling asih.
4. Tidak ingkar terhadap janji (ucapan). Apa yang telah diucapkan atau dijanjikan harus ditepati.
Marilah kita renungkan ajaran berikut :
“kata-kata menyebabkan kamu selamat, kata-kata pula menyebabkan menuai ajal, kata-kata pula
menyebabkan mendapatkan upah, kata-kata menyebabkan mendapat sahabat”.
(Kekawin Nitisastra)

“inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik,
memfitnah dan berkata bohong. Itulah keempatnya harus disingkirkan jauh-jauh. Hal yang tidak
baik itu janganlah diucapkan dan jangan pula dipikirkan dalam hati”.
(Sarasamuçcaya 73)

c. Melalui Pikiran
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal. Tujuan dalam menjelma kedunia ini adalah
untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dan rohani (Moksartham Jagathita). Karena itu
janganlah mengikatkan diri kepada hal yang bersifat fana, yang akhirnya dapat menimbulkan
penderitaan. Hal ini mengandung pengertian bahwa orang tidak boleh lobha atau rakus.
2. Tidak berpikir buruk terhadap orang lain. Apa yang dikerjakan dan dikatakan bersumber pada
pikiran. Agar supaya perkataan dan perbuatan selalu baik, maka pikiran hendaknya senantiasa baik
pula. Kenyataan telah menunjukkan seperti kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang
pikirannya kusut sering mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh.
3. Tidak mengingkari hukum karma phala. Hukum karma phala mengatakan bahwa segala
perbuatan atau tindakan tertentu menimbulkan akibat yaitu akibat yang sesuai dengan macam
perbuatan itu. Fakta telah menunjukkan bahwa segala sesuatu dalam alam ini timbul dan
berkembang menurut kodratnya, misalnya bila kita menanam jagung, maka sudah dapat dipastikan
jagung akan tumbuh, tidak akan tumbuh kelapa atau ketela pohon.
“Tindakan dari gerak pikiran tiga banyaknya, yaitu tidak ingin dan tidak dengki kepada kepunyaan
orang lain, percaya akan kebenaran hukum karma
phala. Itulah ketiganya perilaku pikiran yang merupakan pengendalian hawa nafsu”.
(Sarasamuçcaya 4)

“Mata tidak dapat melihat dengan terang jika tidak diikuti dengan pikiran, maka itu pikiranlah,
yang memegang peranan utamanya”

(Sarasamuçcaya 82)

“Kesimpulannya, pikiranlah merupakan unsur yang paling menentukan ; jika penentuan hati telah
terjadi, maka mulailah orang berkata atau melakukan perbuatan.

Oleh karena itu jelaslah bahwa pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya tindakan (perbuatan)”

(Sarasamuçcaya 79)

Anda mungkin juga menyukai