Anda di halaman 1dari 11

Etika dan Moralitas

            Kata etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang mempunyai banyak arti seperti watak,
perasaan, sikap, perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila, sopan santun, cara berpikir dan lain-lain.
Sementara itu bentuk jamak dari kata “ethos adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan.
Sedangakan moralitas dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal
dari bahasa Latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi pengertiaannya
sama dengan “ta etha” atau ethos yaitu adat kebiasaan. Dengan latar belakang pengertian yang
sama seperti itu, maka sudah zaman dahulu etika dipakai untuk menunjukakan filsafat moral. Etika
lalu diartikan sebagai ilmu tenang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau
sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral.

 Disamping pengertian termaksud diatas, makna lain mengenai etika dan moralitas dapat pula
dijelaskan seperti dibawah ini:

Etika yang mempunyai makna hampir sama dengan moral yaitu kebiasaan atau adat. Dalam hal ini
moral mengandung makna berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk, atau memahami
perbedaan antara yang baik dan yang buruk. Disamping itu dikenal pula konsep moralitas, yaitu
sistem nilai yang terkandung dalam petuah, nasihat, perintah atau aturan yang diwariskan secara
turun tumurun melalui agama kebudayaan, tentang bagaimana manusia harus hidup agar menjadi
benar-benar baik.

            Moralitas memberikan manusia petunjuk atau aturan tentang bagaimana harus hidup,
bertindak yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga bisa diartikan sebagai
kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan seseorang dapat dikatakan baik atau buruk, salah
atau benar. Disini dapat dikatakan bahwa moralitas itu bersifat universal dalam arti terlepas dari
budaya, suku, agama maupun tingkat perbedaan masyarakatnya.

            Dalam hal ini dikatakan bahwa moralitas itu bersumber dari hati nurani. Sedangkan etika
berdasarkan kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma berlaku
dimasyarakat.

                                                           

                                                                                   

Pengertian Etika dalam Agama Hindu


           Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak/moral, sebuah refeksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.

            Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam kamus besar bahasa indonesia edisi tahun
1988 (bertens,2004) kamus termaksud membedakan tiga makna mengenai etika yaitu :

a.       Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).

b.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

c.       Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.

Dalam agama Hindu, etika dinamakan sebagai susila yang diartikan sebagai kebiasaan atau
tingkahlaku manusia yang baik, karena itu dalam agama hindu, etika dikatakan sebagai ilmu yang
mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, sihingga muncul suatu situasi
yang singkron antar sesame manusia, antar manusia dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu
aspek yang dibahas dalam etika adalah tentang moral. Etika juga diartikan sebagai rasa cinta, kasih
sayang. Dimana seorang yang menerima etika itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan
menghargai orang lain, sifat tidak egoistis melaikan humanistis (pudja, 1984:57-58)

            Pengertian etika  dalam agama hindu adalah bagaimana menentukan sikap, tingkah laku
yang seharusnya dilakukan berdasarkan ajaran agama hindu, yang mana dalam ajaran agama
hindu  merupakan ajaran kebenaran, kebaikan atas perintah Tuhan itu sendiri, yang berkaitan
dengan sebuah tujuan mulia yaitu untuk mencapai tujuan hidup dalam ajaran agama hindu.
(Moksartam jagat hita ya caiti dharma).

 
                                                                                                                                               

Etika dan Moralitas Dalam Kerangka Dasar Agama Hindu

            Dalam kerangka agama hindu yaitu terdiri dari :

1) Tattwa atau filsafat agama hindu

2) Susila atau Etika,

3) Upacara atau Ritual Agama Hindu.

 Dengan demikian etika merupakan salah satu dari ketiga kerangka Agama Hindu, yang merupakan
pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari walaupun ketiganya tidak dapat dipisah-
pisahkan karena merupakan suatu kesatuan yang utuh. Etika adalah pengetahuan tentang
kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-
suruhan untuk berbuat sesuatu. Tentunya etika yang didasari oleh ajaran agama hindu begitu juga
moralitas yang merupakan implementasi dari ajaran agama hindu dalam berhubungan dan
berhadapan dengan sesama beserta ciptaannya secara harmonis.  

 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian
hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah
perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devatà, yakni manusia
berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Maharsi Manu peletak dasar hukum yang
mesti ditegakkan, dalam mengembangkan pendidikan moralitas baik dalam rumah tangga, di
sekolah maupun dalam masayarakat, setiap anggota masyarakat hendaknya dapat merealisasikan
10 jenis pelaksanaan Dharma, yaitu:   “Sepuluh macam bentuk pelaksananan Dharma hendaknya
dilaksanakan oleh seseorang, yaitu:

(1). Dhritih (merasa puas, bersyukur atas apa yang diperoleh),

(2). Ksama (mampu dan mau memberi maaf),

(3). Dama (rendah hati),

(4). Asteyam (tidak mencuri/mengambil milik orang lain),

(5). Saucam (hidup suci),

(6). Indriyangraha (mengendalikan nafsu indria),

(7). Dhìh (mengembangkan intuisi dan kecerdasan),

(8). Vidya (mencari & menambah ilmu pengetahuan),


(9). Satyam (senantiasa hidup jujur),

(10). Akrodha (mampu mengendalikan emosi/ kemarahan)”

Manavadharmasastra VI.92.                                                                                      

2.4. Etika Sebagai Aturan Tingkah Laku Yang Baik

            Untuk dapat melaksanakan etika sebagai aturan tingkah laku yang baik, dapat dengan
menerapkan ajaran-ajaran Hindu seperti, catur marga yaitu empat jalan kesempurnaan hidup, Tri
kaya Parisudha yaitu tiga perilaku yang baik, Panca yama brata yaitu lima cara pengendalian diri,
dasa yama brata yaitu sepuluh cara pengendalian diri, dasa dharma yaitu sepuluh perbuatan baik
berdasarkan agama, catur purusa artha yaitu empat cara untuk memenuhi hidup, catur paramita
yaitu empat berbuat luhur, tri hita karana yaitu tiga cara mencapai kebahagiaan hidup, asta brata
yaitu delapan cara pengendalian dan mengikuti sifat-sifat para dewa.

            Etika sebagai aturan tingkah laku yang baik adalah merupakan aturan-aturan yang harus
diterapkan dalam hal melakukan sesuatu sehingga dapat berguna baik untuk diri sendiri maupun
untuk orang lain, oleh karena etika dapat memberikan pelajaran tentang tingkah lalu manusia bukan
saja untuk menentukan kebenaran, tetapi juga memahami kebaikan atas perilaku manusia.

            Ada beberapa sumber hukum etika dalam ajaran agama Hindu yang dapat dijadikan
pedoman dalam bertingkah laku yang baik. Adapun sumber hukum etika Hindu yaitu sebagai
berikut:

“Yang perlu dibicarakan sekarang Sruti yaitu catur Veda dan Smerti yaitu Dharmasastra, Sruti dan
smrti kedua-duanya harus diyakinkan, dituruti ajaran-ajarannya pada setiap usaha, jika telah
demikian, maka sempurnalah kebaikan tindakan anda dalam bidang dharma.”

Sarasamcucaya, sloka 37

“Susila itu adlah yang paling utama(dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilakau
(tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya,
dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya ( hidup, kekuasaan dan
kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan(praktek susila)”

Sarasamuccaya, sloka 160

Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, lalu
tingkahlaku yang terpuji dari orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda, juga tata cara
kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasam pribadi.

 
                                                                                                                                   

Manava Dharmasastra II.6

Menurut Pudja(1973:64) sloka dalam Menava Dharmasastra tersebut merupakan gagasan yang
menyatakan sumber hukum etika Hindu yang diatur secara kronologis. Sruti-Smerti-Sila-Acara-
Atmanastusti. Jadi untuk mendapatkan kebenaran, untuk mengetahui baik-tidaknya suatu tingkah
laku sseorang dan untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan, maka
memahami Hukum etika diatas merupakan hal yang bijaksana untuk melaksanakan.

Globalisasi yang mempengaruhi Moralitas dan Etika.

Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal
dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat
tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan
adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi
telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat
menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang luhur selama ini telah mengalami
perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan
masyarakat.

Agama Hindu sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku
sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan
kepada umatnya. Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
yang terdapat dalam Visnu Purana, sebagai berikut:                                             

“Masyarakat hancur karena  harta  benda  hanya berfungsi meningkatkan status sosial/kemewahan
bagi seseorang, materi menjadi dasar kehidupan kepuasan  hidup  hanyalah  kenikmatan  seks
antara laki-laki dan wanita, dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya
sumber  kenikmatan  dan  kesalahan  merupakan  hiasan  bagi  kehidupan spiritual”.

Begitu juga yang dijelaskan, di dalam kitab Vanaparva, Mahabharata (CLXXXVIII) dijumpai
keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut.

“Pada jaman Kaliyuga para Brahmana tidak lagi melakukan upacara yajña dan mempelajari kitab
suci Veda. Mereka meninggalkan tongkat dan kulit  menjangannya  dan  menjadi  pemakan segala
(sarvabhàkûa). Para Brahmana  berhenti  melaksanakan pemujaan dan para Sudra menggantikan
hal itu (32-33)”.

“Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi oleh wanita yang
reputasinya jelek. Setiap perempuan bertengkar/bermusuhan dengan suaminya dan tidak memiliki
sopan santun (42)”
 “Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan menerima sedekah dari para
pemimpin yang tidak jujur (43)”

                                                                                                                                                7

“Pada  jaman  itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai moralitas, mereka
kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan penyiksaan walaupun di tempat tidur
gurunya. Mereka sangat terikat oleh keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi
terutama daging dan darah (48)”

“Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang berdosa dan orang-orang
angkara murka yang malang yang selalu mengabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)”

“Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatannya karena mereka  iri 
hati  dan  dengki.  Bumi  ini dipenuhi oleh orang-orang yang penuh dosa dan tidak bermoral
(51)”.                   

 “Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk penipuan, menjual barang -
barangnya  dengan  ukuran dan timbangan yang tidak benar (53)”.

                      “Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umurnya pendek.
Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memiliki umur panjang (55)”.

 “Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan anak-anak laki berumur 10
atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)”.

 “Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah itu ajalpun menjemput
(61)”

 “Para wanita mudah celaka,  melakukan perbuatan yang tidak pantas dan melakukan  perbuatan 
yang  tidak  terpuji,  menipu suami-suami mereka yang berbudi pekerti luhur, melupakan mereka
bahkan berhubungan dengan pelayannya dan atau dengan binatang sekalipun (63)”

  

Bila nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh
masyarakat, maka ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-
nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali
lebih menekankan pleasure oriented , maka hal itu akan mudah ditinggalkan.

 
Dengan demikian perlulah pengembangan budhi pekerti yang akan mencegah segala sesuatunya
dapat membawa pengerusak atau kehancuran kekacauan atau ketidak teraturan, yang akibat dari
keyakinan untuk berperilaku yang tidak diharapkan.                                        

Susila dalam Pendidikan Hindu

Dalam sarasamuscaya sloka 159 disebutkan :

“Sebab triloka ini sekalipun, pasti akan kalah dan dikuasai oleh orang yang teguh imannya
melaksanakan kesusilaan, karena tidak ada sesuatu yang tidak tercapai oleh orang yang
susila(susilawan)”.

Landasan susila adalah : Tat Twam Asi berarti Dikau itu, semua mahluk adalah Engkau. Trikaya
Parisudha artinya tiga perbuatan yang harus disucikan antara lain : manacika, wacika dan kayika,
Catur Paramita artinya empat sifat yang harus dikembangkan seperti : maitri cinta kasih yang
universal, karuna : sifat kasih sayang sesama untuk menolong mahluk lain dari kesusahan, mudita :
meninbulkan rasa simpati dan ramah tamah, upeksa:mawasdiri. Panca Sraddha yaitu percaya
adanya: Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan Moksa.

Adapun tujuan susila atau etika dan moralitas Agama Hindu :

ü  Untuk membina agar umat hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis
dengan keluarganya ataupun dengan orang lain.

ü  Untuk menghindarkan adanya hukum rimba, dimana yang kuat menindas atau memperalat yang
lemah.

ü  Untuk membina umat hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudhi luhur.

ü  Untuk membina agar umat hindu selalu bersikap dan bertingkah laku baik, termasuk selalu
berbuat baik dengan siapapun (Suhardana, 2006 : 21)

Demikian pula disebutkan dalam sastra suci “sesungguhnya bahwa apapun tingkah laku ciptaan itu,
demikian pula kedudukannya menurut kelahirannya, saya akan sampaikan berikut ini dengan
sesungguhnya”. (Pudja, Menawadharmasastra I.42:39)

Ajaran susila memiliki arti: su adalah indah, baik dan sila artinya perbuatan, tingkah laku, jadi susila
artinya perbuatan (laksana, tingkah laku) yang baik. Lawan kata susila adalah asusila tingkah laku
yang tidak baik (dursila). Susila adalah juga disebut dengan etika hindu, etika sangat dekat
maknanya dengan kata moral. Kata moral yang berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari
kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988)
disamakan maknanya dengan kata etika.
 

 Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama
dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan,
misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksudkan bahwa kita
menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya
mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral,
hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya,
segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (Berten, 1997:7).

Etika dan moralitas dalam pendidikan Hindu adalah hal yang sangat penting karena merupakan
aktualisasi konsep ajaran veda yang nyata dalam kehidupan sehari hari. Aneka perubahan budaya
sebagai akibat terjadinya kontak belajar budaya antara lain :

(a)    Internalisasi adalah proses penanaman budaya yang menyangkut kepribadian, seperti


perasaan, hasrat, nafsu, dan sebagainya.

(b)   Enkulturasi adalah pembudayaan atau lebih tepatnya pemberdayaan yang ke arah positif,


misalkan membudayakan tradisi selamatan, gotong royong, sumbangan, dan sebagainya.

(c)    Akulturasi  adalah kontak budaya satu dengan yang lain sehingga terjadi penyatuan budaya.

(d)   Asimilasi adalah campuran kental dari dua budaya atau lebih, misalkan saja  terjadinya
sinkritisme antara Hindu-Jawa menjadi kaum abangan.

(e)    Invensi adalah temuan-temuan baru budaya sehingga menghasilkan inovasi (pembaharuan)


yang meyakinkan, dan

(f)     Inovasi  adalah langkah strategis untuk memperbaharui budaya tertentu agar lebih fungsional
bagi pendukungnya, inovasi juga sering disebut invention of tradition.    

Sejalan dengan tujuan agama adalah untuk mencapai “Jagadhita” dan “Moksa” yang diformulasikan
dalam sebuah kalimat sanskerta sebagai berikut: “Atmano Moksartham Jagadhitaya ca” maka
tujuan pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah sama dengan formulasi tujuan agama tersebut di
atas, yakni untuk mencapai “Jagadhita” (kesejahtraan dan kebahagiaan di dunia ini) dan “Moksa”
(kebahagiaan abadi, bersatunya Atma dengan Brahman. Di Indonesia, tujuan pendidikan dinyatakan
untuk mengantarkan seorang anak didik menuju tingkat kedewasaan. Kata dewasa berasal dari kata
“devasya” (bahasa Sanskerta) yang berarti seseorang memiliki sifat-sifat dewa. Di dalam
Bhagavadgìtà sifat-sifat atau kecenderungan seperti sifat-sifat dewa disebut “Daivi-Sampat”, yaitu
semua sifat dan prilaku yang mulia. Swami Sivananda dalam All About Hinduism menjelaskan
tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan,
yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong
seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Atma), dan
dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti
tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.

Sejalan dengan penjelasan di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang
falsafah dalam pendidikan menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia)
meningkat kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat manusia yang
memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan yang tinggi, tidak sebaliknya
“manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki
dan berbagai sifat buruk lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniûad (7) dapat ditemukan tentang
kewajiban seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara
benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta tidak lalai dan
membuang waktu (satyavada-dharmacara-svadhyaya-na pramada).

Dengan memahami hakikat dan tujuan pendidikan menurut ajaran suci Veda yang merupakan
sabda Tuhan Yang Maha Esa, kiranya kita dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam sistem
pendidikan tersebut, mengingat ajaran suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha” yakni tidak
berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku sepanjang masa. Dalam
Konsepsi Desa, Kala, dan Patra, yaitu :  manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan
serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal
Ika.                                                                                                     

 Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar,
sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.Namun nama yang paling agung yang pernah
diberikan oleh manusia pada Tuhan adalah Kebenaran. Kebenaran adalah buah dari kesadaran;
oleh karena itu carilah di dalam jiwa.

Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif
yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana, seorang yogi besar dewasa ini,  seorang guru spiritual
yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri
dari:

1)      Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang
dianutnya.
2)      Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik
dan benar.

3)      Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih
kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.

4)      Shanti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan
membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.

5)      Ahimsa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan
kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang

 Pengembangan Budhi Pekerti dalam Pendidikan

            Usaha pengembangan budhi pekerti dalam pendidikan adalah suatu pengembangan yang
dilakukan terhadap perilaku-perilaku yang mulia dalam pendidikan. Agar pengembangan budhi
pekerti dalam pendidikan, dapat selalu menjadi pedoman atau tuntunan berperilaku bagi seseorang,
maka pengembangan budhi pekerti ini haruslah memiliki acuan yang jelas. Dalam hal ini
pengembangan budhi pekerti mengacu pada ajaran suci agama hindu (dharma).

Karena pengembangan budhi pekerti, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan
manusia sehari-hari, maka perlulah dilakukan peningkatan berperilaku yang mulia. Ini semua
dilakukan untuk pencapaian sebuah tujuan. Melalui pendidikan-pendidikan inilah yang akan dapat
menghasilkan perubahan perilaku-perilaku dalam kehidupan ini.

Pelaksanaan Budhi Pekerti adalah merupakan pelaksanaan yang sangat diharapkan karena
merupakan pelaksanaan yang baik dan luhur dapat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang
berguna bagi sesama manusia dan beserta ciptaannya. Pendidikan Agama Hindu berwawasan
multikultural merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan di Indonesia guna
sedini mungkin mencegah hal-hal yang dapat merupakan potensi konflik yang berbau agama, suku,
ras dan antar golongan dalam masyarakat (SARA). Untuk mencegah hal tersebut di masa yang
akan datang pendidikan multikultural dapat dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat dengan penekanan, seperti halnya peendidikan pada umumnya adalah keteladanan
dari orang tua di rumah, para guru di sekolah, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di
masing-masing komunitas masyarakat.                

Penerapan pendidikan multikultural di sekolah dimulai dengan revisi kurikulum dan bahan ajar,
pengadaan bahan ajar yang memadai, serta peningkatan kualitas guru dan dosen dalam
meningkatkan pemahaman terhadap pendidikan multikultural ini.

Pendidikan Agama Hindu multi berwawasan kultural hendaknya ditanamkan sejak dini kepada
setiap  anak didik dengan demikian pada masanya generasi muda ini akan mudah beradaptasi
dengan lingkungan bersama yang terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama. Berhasilnya
pendidikan Agama Hindu berwawasan  multikultural ini dikembangkan di Indonesia bila didukung
oleh Pemerintah dan semua komponen bangsa, untuk itu sosialisasi pendidikan multikultural ini
sangat perlu lebih ditingkatkan. Salah satu upaya untuk hal tersebut adalah mengadakan berbagai
seminar, dialog, lokakarya, sarasehan  dan diskusi untuk menyatukan visi dan menyamakan misi
dalam membangun dan mengembangkan pendidikan multikultural.       13

Salah satu unsur budaya yang paling rentan mendapatkan tantangan di era globalisasi ini adalah
sistem religi dan upacara keagamaan. Salah satu dari sistem religi tersebut adalah masalah etika
dan sopan santun prilaku anggota masyarakat, karena pengaruh globalisasi, maka sesuatu di masa
silam yang dianggap tabu, kini hal itu tidak lagi  menjadi sesuatu yang tabu. Demikian melalui
berbagai media TV kita dapat menyaksikan hal-hal yang oleh sebagian anggota masyarakat
dianggap sebagai pornografi atau pornoaksi, namun sebagian lainnya menganggap hal tersebut hal
yang biasa. Kini semakin maraknya penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba) di kalangan
generasi muda bangsa merupakan kendala dalam membangun pendidikan multikultural. Sejalan
dengan hal tersebut, dalam berbagai kesempatan Menteri Agama H. Said Agil Husin Al’ Munawar
menyampaikan tentang berbagai tantangan yang dihadapi umat beragama, di antaranya
dirumuskan sebagai empat tantangan besar bagi umat beragama yang patut kita antisipasi yaitu :

1). Mencuatnya fanatisme yang sempit, mengganggap dirinya sendiri yang      paling baik dan benar,
sehingga yang lainnya dianggap sesat

2).  Anarkis, pemaksaan kehendak, sehingga terjadi konflik yang   berkepanjangan.

3). Sadisme, sikap yang kejam di luar tatanan dan batas kemanusiaan.

4). Merosotnya mental moral yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti pornografi,  narkoba dan
lain-lain.

Mengantisipasi empat tantangan umat beragama di atas, sekaligus pula juga merupakan tantangan
budaya, Menteri Agama menetapkan  Program Inti Departemen Agama, yakni:

1)      Terwujudnya masyarakat yang agamis, berperadaban luhur, berbasiskan hati nurani yang
disinari oleh ajaran agama.

2)      Terhindarnya prilaku radikal, ekstrim,  tidak  toleran  dan  eksklusif  dalam kehidupan
beragama, sehingga terwujud masyarakat yang rukun dan damai dalam kebersamaan dan
ketentraman.

3)      Terbinanya masyarakat agar menghayati, mengamalkan ajaran agama dengan sebenar-
benarnya, mengutamakan persamaan, menghormati perbedaan, melalui internalisasi ajaran agama

Anda mungkin juga menyukai