Anda di halaman 1dari 8

A.

Konsep dan Makna Etika


WJS. Poerwadarminta (1986:278) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
mengemukakan pengertian etika sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
(moral). Etika Secara etimologis, istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu
ethos, ethics: dalam bahasa Inggris, Akhlaq: dalam bahasa Arab. Dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, yakni tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adat kebiasaan. Istilah “etika” sudah dikenal lama pada masa Aristoteles
(384-322 SM) etika sudah dikenal untuk menunjukkan filsafat moral1. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)2.
Secara etimologi etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum
tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan
moral (mores: dalam bahasa Latin), akhlak atau kesusilaan, berkaitan masalah nilai, etika
pada pokoknnya membicarakan masalah-masalah predikat nilai susila atau tindak susila
baik dan buruk3. Jika merujuk kepada istilah latin Ethos atau Ethikos selalu disebut dengan
mos sehingga dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan
dengan perkataan moral. Namun demikian, apabila dibandingkan dalam pemakaian yang
lebih luas makna kata “etika” dipandang sebagai lebih luas dari perkataan moral4. Dalam
hal ini, etika termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan
dengan baik-buruk perbuatan manusia.
Menurut Hook, etika berkait dengan soal pilihan (moral) bagi manusia. Keadaan etis
adalah pilihan antara yang baik dan yang buruk, kadang‐kadang juga pilihan di antara
keburukan‐keburukan. Dalam proses mengambil keputusan untuk memilih itulah terletak
situasi etis. Bagi Thompson, etika merupakan dunia prinsip dan diatur oleh imperatif-
imperatif moral.5 Etika merupakan konsepsi tentang baik atau buruknya perangai atau
perilaku seseorang. Sedangkan moral adalah perilaku yang baik atau buruknya seseorang.
1
Heriyono Tardjono, “Urgensi Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Di
Indonesia,” Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 2, no. 2 (2021): 51., hlm. 6
2
Salma, “Urgensi Etika Profesi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,” JPPI (Jurnal Pendidikan
Islam Pendekatan Interdisipliner) 1, no. 1 (2016): 46–55,
https://jppi.ddipolman.ac.id/index.php/jppi/article/view/7., hlm. 46
3
Tardjono, “Urgensi Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Di Indonesia.”,
hlm. 6
4
Farid Wajdi, Buku Ajar: Etika Profesi Hukum, ed. M.Kn Rahmat Ramadhani, S.H., M.H dan Ummi Salamah
Lubis, S.H., Pustaka Prima (Medan: CV. Pustaka Prima, 2020)., hlm. 3
5
Ika Atikah, “Fungsi Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang Berkeadilan,” Etika dan
Hukum 1, no. 2 (2014): 171–185., hlm. 175
Etika merupakan ide-ide, cita-cita tentang dambaan kebaikan perbuatan atau perilaku
manusia. Etika senantiasa memberikan contoh-contoh yang baik, sementara moral selalu
memberi penilaian terhadap pelaksanaan dari contoh-contoh yang diberikan oleh etika.
Oleh karenanya, orang yang beretika adalah orang yang memberi contoh perilaku
keteladanan, sedangkan yang bermoral adalah orang yang lakoni keteladanan itu6.
Dr. Hamzah Ya’kub (1983:13) dalam bukunya Etika Islam, merumuskan etika
sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. 7 Menurut K
Bertens etika dapat dibedakan dalam tiga arti: Pertama, dalam arti nilai atau norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya.
Dari pengertian ini etika disebut juga sebagai “sistem nilai”. Misalnya etika dalam agama,
etika dalam adat. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai-nilai moral contohnya
kode etik suatu profesi advokat, kode etik hakim. Ketiga, etika sebagai ilmu baik dan
buruk artinya etika termasuk cabang filsafat.8
Mengutip pendapat Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H. dalam bukunya berjudul
Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, yang dimaksud dengan “etika” adalah:9
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, juga tentang hakdan kewajiban moral,
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau masyarakat.
Dalam arti yang lebih khusus, etika adalah tingkah laku filosofi. Dalam hal ini, etika
lebih berkaitan dengan sumber atau pendorong yang menyebabkan terjadinya tingkah laku
atau perbuatan ketimbang dengan tingkah laku itu sendiri. Dengan begitu, etika dapat
merujuk pada perihal yang paling abstrak sampai yang paling konkret dari serangkaian
proses terciptanya tingkah laku manusia10. Sebagai subjek, etika akan berkaitan dengan
konsep yang dimilki seseorang individu atau kelompok untuk menilai apakah tindakan-
tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Dalam bahasa Indonesia perkataan etika ini kurang begitu populer dan lazimnya
istilah ini lebih sering dipergunakan dalam kalangan terpelajar. Kata yang sepadan dengan

6
Achmad Asfi Burhanudin, “Peran Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang Baik,” El-
Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 4, no. 2 (2018): 50–67., hlm. 52
7
Wajdi, Buku Ajar: Etika Profesi Hukum., hlm. 4
8
M.H Rahmat Ramadhani, S.H., Buku Ajar: Hukum & Etika PROFESI HUKUM, Cet. 1. (Sumatera Utara: PT.
BUNDA MEDIA GRUP, 2020)., hlm. 8
9
MH. Dr. Fithriatus Shalihah, SH., ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM, Cet. 1., vol. 21
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2019), http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203.,
hlm. 25-26
10
Suparman Marzuki, Etika & Kode Etik Profesi Hukum, Cet. 1. (Yogyakarta: FH UII Press, 2017)., hlm. 70
itu serta lazim dipergunakan di tengah-tengah masyarakat adalah perkataan “susila” atau
“kesusilaan”.11 Kesusilaan berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu terdiri dari kata su dan
sila. Kata “su” berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan “sila” berarti adab, kelakuan,
perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), akhlak, moral.
Dengan demikian perkataan “susila” atau “kesusilaan” dapat berarti; Adab yang
baik, kelakuan yang bagus, yaitu sepadan dengan kaidah-kaidah, norma-norma atau
peraturan-peraturan hidup yang ada.
Dalam bahasa "agama Islam" istilah etika ini adalah merupakan bagian dari Akhlak.
Dikatakan merupakan bagian dari Akhlak, karena Akhlak bukanlah sekadar menyangkut
perilaku manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, akan tetapi mencakup hal-hal yang
lebih luas, yaitu meliputi bidang akidah, ibadah dan syari'ah.
Karena itu akhlak Islami cakupannya sangat luas yaitu menyangkut etos, etis, moral
dan estetika. Karenanya:
1. Etos; yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya, al ma'bud bi haq serta
kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah, seperti terhadap rasul-rasul Allah, Kitab-Nya
dan sebagainya.
2. Etis; yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam
kegiatan kehidupan sehari-harinya.
3. Moral; yang mengatur hubungan dengan sesamanya, tetapi berlainan jenis dan atau
yang menyangkut kehormatan tiap pribadi.
4. Estetika; rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan keadaan
dirinya serta lingkungannya, agar lebih indah dan menuju kesempurnaan. (Abdullah
Salim, 1985:12).12
Dari uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa Akhlak adalah ilmu yang
membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan
perbuatan jahat yang harus dihindari dalam hubungan dengan Allah SWT, manusia dan
alam sekitar dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.
B. Asal Mula Etika
Sumber muculnya etika sebagai pedoman perilaku dapat bersumber dari internal dan
eksternal. Internal bersumber dari dalam diri seseorang hasil dari proses pendidikan orang

11
S.H. Suhrawardi K. Lubis, ETIKA PROFESI HUKUM, Cet. 1. (Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1994)., hlm. 2
12
Ibid., hlm. 3
tua semenjak dalam kandungan hingga contoh-contoh berkata dan berperilaku yang baik
selama seseorang berada dalam lingkungan keluarga13.
Sumber eksternal, yaitu dari ajaran agama yang dianut seseorang, bisa juga
bersumber dari lingkungan masyarakat yang telah memiliki kaidah-kaidah perilaku baik
yang diharuskan untuk dilakukan serta perilaku tidak baik yang harus dihindari; dari
lingkungan sekolah yang diajarkan dan dicontohkan oleh para guru, dan bisa juga
diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara kolektif, misalnya sumpah
jabatan, disiplin, hidup bersih, tertib dan sebagainya.
Etika pribadi yang bersumber dari pendidikan keluarga, lingkungan dan sekolah
merupakan sumber dasar etika yang sangat penting dan menentukan kualitas integritas
personal seseorang. Pribadi demikian ini akan tetap berperilaku baik meskipun tidak ada
orang lain atau berada dalam sistem yang buruk. Oleh sebab itu menanamkan nilai-nilai
agama, moral dan etika semenjak dini (semenjak dalam kandungan), dalam keluarga,
dalam masyarakat dan lembaga pendidikan melalui pengajaran dan contoh-contoh ucapan
dan perilaku yang baik, merupakan landasan dasar bagi bangunan peribadi beretika atau
berintegritas.
Pola hidup tertib, disiplin dan teratur dalam berlalu lintas, antri, tidak membuang
ludah sembarangan, buang sampah pada tempatnya dan seterusnya pada masyarakat
Eropa, Amerika atau Singapura misalnya, bersumber dari perpaduan pendidikan internal
dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan sekolah serta dari kebijakan negara dengan
hukum yang mengharuskan dan memberi sanksi tegas terhadap siap saja yang
melanggar14.
Perpaduan sumber etika yang terus dipelihara dan diperkuat itu pada akhirnya
tumbuhkembang menjadi budaya hidup pribadi dan masyarakat yang secara reflektif
memunculkan sikap dan perilaku teratur, disiplin, yang pada akhirnya berdampak luas
terhadap perilaku di tempat kerja, termasuk saat menjalankan profesi. Dengan demikian
memperkuat sumber etika pada aspek pendidikan dan pengajaran semenjak dini (semenjak
dalam kandungan) pada anak harus semakin dimasyarakatkan dan diperkuat oleh setiap
keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan lingkungan kerja atau profesi.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah model dan tahap pendidikan yang
sangat penting membentuk pribadi-pribadi etis15. Dalam masa pendidikan tersebut anak-

13
Suparman Marzuki, Etika & Kode Etik Profesi Hukum., hlm. 72
14
Ibid., hlm. 72-73
15
Ibid., hlm. 73
anak yang sedang dalam masa penanaman nilai dan norma-norma diajari tentang
kerajinan, kedisiplinan, kebersihan, kecintaan pada sesama dan taat janji melalui pelbagai
instrument dan pendekatan dapat diharapkan akan melahirkan generasi manusia
berintegritas.
Begitu selanjutnya saat memasuki pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK),
Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menangah Pertama (SMP), Sekolah Menang
Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi, pendidikan Pancasila, etika, budi pekerti, agama,
bahasa, budaya, dan kewarganegaraan harus ditanamkan dengan kuat aspek etika;
termasuk saat mengajarkan ilmu hukum di fakultas-fakultas hukum harus diisi dengan
muatan etika (profesi) sehingga kelak ketika lulus menyandang gelar sarjana hukum dan
bergelut dengan profesi hukum tertentu telah dibekali dengan modal social yang besar,
yaitu etika.
C. Sejarah Etika
Manusia sebagai individu yang menjadi salah satu unsur dengan peran yang sangat
penting dalam kehidupan selain memiliki kelebihan yakni akal pikiran dari buah hasil
kecerdasannya, namun realitanya seorang manusia pada hakikatnya tidak dapat hidup
sendiri. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh salah satu filsuf asal Yunani yakni
Aristoteles, menurutnya manusia itu zoon politicon yang selalu hidup bermasyarakat dan
membutuhkan satu sama lain16.
Implikasi yang muncul karena saling membutuhkan satu sama lain adalah
adakalanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain tersebut tidak sesuai atau
menyimpang dari yang seharusnya. Permasalahan yang sangat sering muncul di tengah-
tengah masyarakat Indonesia adalah terkait permasalahan keluarga. Yang mana dalam
suatu keluarga tidak hanya terdiri dari satu individu saja namun terdapat ayah selaku
kepala keluarga dan ibu serta anak-anak sebagai anggotanya (contoh keluarga secara
sederhana). Dalam menjalin hidup berkeluarga sering muncul permasalahan-permasalahan
keluarga.
Dapat dimisalkan, A merupakan warga di desa Sendang Biru dengan kemampuan
ekonomi kurang mampu. A merupakan istri dari B, A dan B telah menikah sejak tahun
2000 dan telah dikaruniai anak 2. Dalam 3 tahun awal pernikahan mereka harmonis,
sampai akhirnya A menemukan fakta bahwa suaminya telah memiliki wanita lain dan
sering melakukan kekerasan pada A. A akhirnya mengajukan gugatan pada pengadilan,
namun A tidak memiliki uang untuk menggunakan jasa advokat. C merupakan Advokat
16
Serlika Aprita, ETIKA PROFESI HUKUM, Cet. 1. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2020)., hlm. 12
yang memegang teguh kode etik Advokat, maka C membantu A untuk menyelesaikan
masalah hukumnya dengan biaya perkara cuma-cuma tanpa membedakan perlakuan
kepada klien lain dari C yang membayar dengan biaya.
Dari salah satu alasan tersebut maka munculah peran dari etika suatu profesi. Etika
profesi muncul pertama kali di Inggris pada abad ke 18, dalam bidang kedokteran
(medical ethic). Seorang physician Inggris bernama Thomas Percival merancang sebuah
naskah kode etik “code of medical ethics”17. Dalam rancangannya tersebut dia
memperkenalkan istilah medical ethics dan medical jurisprudence. Yang dibeberapa tahun
kemudian untuk pertama kalinya Pemerintah Inggris mengesahkan Undang-undang
tentang Apoteker yang lebih tepatnya pada tahun 1815. Semenjak saat itu Negara mulai
memperhatikan dan membuat peraturan mengenai kedokteran dan kesehatan yang mana di
dalamnya diatur pula mengenai etika profesinya. Kemudian pada tahun 1846 Amerika
Serikat mulai mengembangkan dan membuat susunan naskah tentang kode etik organisasi
yang di dalamnya mengatur mengenai kewajiban-kewajiban maupun hak-hak dari seorang
physician oleh karenanya dibentuklah American Medical Association (AMA). Kemudian
pada tahun 1847 naskah tersebut disahkan menjadi Code of Medical Ethics.
Profesi akuntan menjadi profesi kedua yang memiliki sistem etika profesi. Pada
tahun 1494, Luca Pacioli yang disebut sebagai “the father of accounting” menulis buku
tentang tentang etika akuntasi untuk pertama kali (Summa de Arthmetica, Geometri,
Proportione, et Proportionalita)18. Pada tahun 1887 didirikan organisasi American
Association of Public Accountant (AAPA) yang sekaligus memperkenalkan kode etik
akuntan secara modern. AAPA sekarang berubah nama menjadi American Institute of
Certified Public Accountants (AICPA). Sedangkan pada tahun 1905 kode etik yang
disahkan dan kemudian dijadikan pedoman untuk mendidik para anggotanya. Dua tahun
kemudian dalam anggaran dasar (bylaws) kode etik tersebut mengalami perbaikan dan
menjadi lebih efektif.
Profesi hukum menduduki posisi ketiga dalam perkembangan kode etik. Seorang
Hakim di Amerika Serikat bernama George Sharswood membuat tulisan beebentuk essai
dengan judul “legal ethics”. Dari tulisan Hakim George Sharswood tersebut lahirlah ide
untuk membuat suatu susunan kode etik yang diterapkan di Negara bagian Amerika.
Alabama pada tahun 1887 menjadi Negara bagian pertama di Amerika yang mengesahkan

17
Ibid., hlm. 13
18
Ibid., hlm. 13
kode etik tersebut. Pada tahun 1908 kode etik professional disahkan dan dikenal sebagai
“Conons of Professional Ethics”19.

19
Ibid., hlm. 13
Daftar Pustaka

Achmad Asfi Burhanudin. “Peran Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum
Yang Baik.” El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 4, no. 2 (2018): 50–67.

Aprita, Serlika. ETIKA PROFESI HUKUM. Cet. 1. Bandung: PT. Refika Aditama, 2020.

Atikah, Ika. “Fungsi Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang
Berkeadilan.” Etika dan Hukum 1, no. 2 (2014): 171–185.

Dr. Fithriatus Shalihah, SH., MH. ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM.
Cet. 1. Vol. 21. Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2019. http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203.

Marzuki, Suparman. Etika & Kode Etik Profesi Hukum. Cet. 1. Yogyakarta: FH UII Press,
2017.

Rahmat Ramadhani, S.H., M.H. Buku Ajar: Hukum & Etika PROFESI HUKUM. Cet. 1.
Sumatera Utara: PT. BUNDA MEDIA GRUP, 2020.

Salma. “Urgensi Etika Profesi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia.” JPPI (Jurnal
Pendidikan Islam Pendekatan Interdisipliner) 1, no. 1 (2016): 46–55.
https://jppi.ddipolman.ac.id/index.php/jppi/article/view/7.

Suhrawardi K. Lubis, S.H. ETIKA PROFESI HUKUM. Cet. 1. Jakarta: SINAR GRAFIKA,
1994.

Tardjono, Heriyono. “Urgensi Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang
Berkeadilan Di Indonesia.” Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 2, no. 2 (2021): 51.

Wajdi, Farid. Buku Ajar: Etika Profesi Hukum. Edited by M.Kn Rahmat Ramadhani, S.H.,
M.H dan Ummi Salamah Lubis, S.H. Pustaka Prima. Medan: CV. Pustaka Prima, 2020.

Anda mungkin juga menyukai