Anda di halaman 1dari 62

ETIKA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

Mirza Shahreza
mirzashahreza@gmail.com

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan-Nya),


maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya”
(Al-Qur’an: As-Syams: 7-8)

A. Pengertian Etika
Istilah etika mungkin saja sering kita dengar dalam pergaulan sehari-hari,
apalagi di Indonesia. Seorang anak bila mengatakan kata ‘gue’ kepada orang tua,
guru, atau siapapun yang lebih tua umurnya dan dihormati dianggap tidak ber-
etika. Di dunia barat hal ini memang tidak berlaku seperti dalam bahasa Inggris
kita berbicara kepada orang tua dengan kata ‘I’ dan ‘you’, penggunaan kata ‘gue’
di etnis Betawi mungkin biasa saja mengucapkannya kepada orang lebih tua
karena memang kebiasaan budayanya. Begitu pula bila di dunia politik ada
pejabat negara yang mengadakan pertemuan dengan pengusaha secara informal
(illegal) dan membahas masalah urusan yang berkaitan kepentingan negara tidak
sesuai jalurnya bisa juga dikatakan tidak ber-etika politik. Ternyata masalah etika
bisa dikatakan masalah pantas atau tidak pantas atau sesuatu itu dilakukan bisa
jadi karena melanggar suatu norma-norma budaya, adat istiadat, norma hukum
atau suatu suatu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat.

Etika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang manusia. Etika
berasal dari dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang artinya kebiasaan. Etika
membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut arti tata-
adat, melainkan tata-adab, yaitu berdasarkan pada inti atau sifat dasar manusia;
baik-buruk.1 Jadi dengan demikian etika adalah teori tentang perbuatan manusia

1
Austin Fagothey, Ethics in Theory & Practice, from right & reason, hlm 5 (dalam Mudlor Achmad, Drs,
Etika dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, hlm 15).

1
ditimbang menurut baik-buruknya.2 Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan,
tidak berdiri sendiri. Sebagai ilmu yang membahas tentang manusia, ia
berhubungan dengan seluruh ilmu tentang manusia. Ia bersangkut paut dengan
Antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, hukum dan juga komunikasi. Namun,
perbedaannya terletak pada sudut pandangnya (point of view), yaitu baik-buruk.
Dalam bahasa percakapan, orang sangat biasa menggunakan kata “baik” sebagai
lawan kata “buruk” dalam berbagai hal, misalnya: pedapatnya baik, tulisannya
buruk, penghidupan si Rudi baik, tingkah laku si Fulan buruk, dan sebagainya.
Terkait pemakaian tersebut sedemikian umumnya, maka agar tidak sampai
membawa kesalah-pahaman tentang artinya dalam persoalan etika, perlu
difahami bahwa yang dimaksud dengan baik-buruk di sini adalah kebajikan dan
pelanggaran dimana lebih mencerminkan nilai ethis.3

Bila dikatakan “si Fulan telah berbuat suatu kebajikan” atau sebaliknya,
mengandung suatu implikasi bahwa ada hubungan antara nilai “kebajikan” pada
perbuatan itu dengan “apa” yang menjadi dasarnya. Diputuskan perbuatan tadi
sebagai suatu kebajikan adalah karena ia ternyata terikat oleh sesuatu, di atas
mana penilaian itu mendasar. Nilai kebajikan dan perbuatan terikat dengan
sesuatu yang berlaku sebagai aturan itulah yang disebut dengan norma. Norma
disini menjelma dalam bentuk undang-undang negara, adat istiadat, hukum
agama, kode etik suatu lembaga dan sebagainya. Jadi perbuatan si Fulan
dikatakan baik, oleh karena ada hubungan persesuaian antara perbuatannya
dengan norma etika yang berlaku. Setiap norma atau aturan pada intinya meminta
kepada siapa sajayang berada di dalam daerah hukumnya untuk berpikir,
bersikap dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Apabila seseorang
bertindak menyalahi ketentuan-ketentuannya, pada dirinya akan dikenakan
“sangsi”. Jadi norma itu bersifat memaksa, karena itulah penyesuaian diri
terhadapnya bersifat “harus”.4

Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan.5 Tetapi dalam
perkembangannya studi ini tidak hanya membahas kebiasaan yang semata-mata
yang berdasarkan tata cara (manners), melainkan membahas kebiasaan (adat)
yang berdasarkan pada sesuatu yang melekat dalam kodrat manusia (inherent
in human nature) yaitu suatu kebiasaan yang terikat pada pengertian baik atau
buruk dalam tingkah laku manusia.6 Secara terminologi etika menurut Franz

2
M.J. Langeveld, Dr; Menuju ke Pemikiran Filsafat; terj. G.J. Claessen, PT. Pembangunan, Jakarta, cet III,
1959, hlm 185 (dalam ibid, hlm 15).
3
Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, (tanpa tahun), hlm 16
4
Ibid hlm 16.
5
K Bertens, Etika, Cet. 5, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm 3
6
Agus Makmurtono dan Munawir, Etika (Filsafat Moral), Cet. 1, Jakarta: Wira Sari, 1989, hlm 10

2
Magnis Suseno adalah filsafat mengenai bidang moral, etika merupakan ilmu atau
refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma dan istilah moral. Dalam
arti luas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya.7 Menurut M. Amin Syukur mengutip pendapat Robert C
Soimon, etika merupakan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai hidup
manusia yang sesungguhnya dan hukum tingkah laku. Dengan demikian,
menurut Amin Syukur, etika adalah ilmu yang berisi kaidah baik dan buruk suatu
perbuatan dan aktivitas.8 Dalam rangka menjernihkan istilah, perlu juga disimak
perbedaan antara etika dengan etiket, etika dengan moral dan akhlak, karena
kerapkali istilah–istilah tersebut dicampur adukkan.

1. Etika dan etiket


Etika dengan etiket keduanya memang menyangkut perilaku serta
mengatur perilaku manusia secara normatif (memberi norma pada perilaku
manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan manusia). Perbedaannya adalah etiket menyangkut ‘cara’ suatu
perbuatan harus dilakukan manusia (cara yang tepat) artinya cara yang
diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu. Sedangkan etika tidak
terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan, etika memberi norma pada
perbuatan itu sendiri, apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. 9

Selain itu etiket bersifat relatif, sesuatu yang dianggap tidak sopan dalam
satu kebudayaan, bisa saja diangap sopan dalam kebudayaan lain. Sedangkan
etika lebih bersifat absolut semisal jangan mencuri, jangan berbohong merupakan
prinsip- prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar. 10

2. Etika dan moral


Menurut Franz Magnis Suseno etika dibedakan dari ajaran moral. Ajaran
moral langsung mengajarkan bagaimana orang harus hidup, berupa rumusan
sistematis terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta
kewajiban-kewajiban manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang nilai-
nilai ajaran moral. dalam pengertian yang sebenarnya berarti filsafat mengenai

7
Franz Magnis Suseno, Etika dasar, Cet. 6, Jakarta: Kanisius, 1993, 17
8
M Amin Syukur, Etika Keilmuan, dalam Jurnal Theologia, Semarang, Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo,
Edisi No 28, Juni Tahun 1999, hlm. 2
9
K Bertens, Op,cit, hlm. 8
10
Ibid, hlm. 9

3
bidang moral, jadi etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran yaitu refleksi
sistematik mengenai pendapat-pendapat, dan istilah-istilah moral. Jadi etika dan
ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita
harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa
kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. 11

3. Etika dan akhlak


Istilah etika dalam Islam disinonimkan dengan perkataan akhlak dalam
bentuk jamak khuluq yang berarti adab atau batas antara baik dan buruk, terpuji
dan tercela.12 Akhlak secara istilah adalah sistem nilai yang megatur pola sikap
dan tindakan manusia diatas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran
Islam, dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad
sebagai metode berfikirnya.13

Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengartikan akhlak yaitu:


“Khuluk (akhlak) ialah haihat atau sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya lahir
perbuatan-perbuatan yang dengan musuh dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.”14

Memperhatikan beberapa uraian diatas, bisa dipahami jika sering terjadi


penyamaan arti antara etika dengan etiket, maupun etika dengan moral dan
akhlak. Karena antara keempat istilah tersebut meskipun mempunyai perbedaan
arti yang cukup mendasar akan tetapi keempat istilah tersebut sama-sama
menjadikan “baik dan buruk” perbuatan manusia sebagai obyeknya. Pengertian-
pengertian yang telah dijabarkan diatas adalah bersifat teori dan hikmah. Masalah
etika atau akhlak bisa dikatakan misi penting dan utama berdasarkan ucapan nabi
Muhammad Saw:

‫ ان َما بُ ِعث ُْت ُﻻت َ ِّم َم َم َﲀ ِر َم ا َﻻ َْﻼ ِق‬:‫قال النﱯ ص م‬


“Sesungguhnya aku diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak yang
mulia”.

Hadits ini menunjukkan bahwa tugas dan misi kerasulan adalah


menyempurnakan akhlak. Artinya akhlak memang menjadi risalah diutusnya

11
Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Jakarta: PT. Gramedia, 1993, hlm.31-32
12
Barmawei Umary, Materia Akhlak, Cet. 11, Solo: Ramadhani, 1993, hlm. 1
13
Muslim Nurdin, dkk. Moral dan Kognisi Islam, Bandung: CV Alfabet, hlm. 205
14
Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi wa Sirkahu, t.th, hlm 52

4
Nabi Muhammad saw, selaku khotamul anbiya’ wal mursalin; penutup para nabi
dan rasul. Menyempurnakan akhlak bisa dikatakan menjadi megaproject yang
yang menjadi pertaruhan dari segala perjuangan beliau di dunia. Tentu berbicara
akhlak haruslah dimulai dari diri sendiri seperti yang telah dicontohkan oleh para
Nabi dan Rasul sepanjang sejarah. Akhlak tidak muncul seketika ada proses
dalam pembentukannya. Maka menyempurnakan akhlak, tentu saja merupakan
tugas berat. Dalam mengemban tugas ini tidak serta merta hanya dengan
memerintahkan atau dengan memberi arahan atau himbauan, tapi harus dengan
memberikan contoh atau suri tauladan. Akhlak baik perlu ditunjukkan kepada
orang lain sehingga menjadi sebuah pesan yang akan ditiru atau menjadi rujukan.
Akhlak memang merupakan satu-satunya ukuran dan menjadi garis pemisah;
antara mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik. Artinya, prilaku
manusia disebut berkualitas, jika prilaku tersebut disertai dengan akhlak yang
baik, sebaliknya jika suatu perbuatan tidak dibarengi dengan akhlak, maka
perbuatan itu merupakan perbuatan yang hina dan tidak berkualitas, baik
menurut manusia apalagi dimata Tuhan Pencipta alam semesta.

Di tengah-tengah masyarakat kita, istilah akhlak kadang-kadang disebut


dengan istilah adab. Maka dari itu orang yang baik akhlaknya, biasanya disebut
orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk prilakunya, disebut tidak
beradab. Selain istilah adab ini, istilah sopan santun juga sering kita temui. Jika
ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerja dengan cara-
cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu disebut dengan masyarakat
yang santun atau yang mempunyai sopan santun (civil society). Secara sederhana
bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik, setidaknya harus mengandung dua
hal; pertama harus baik niat dan tujuannya, dan kedua harus baik dan benar
prosesnya, sehingga output-nya adalah sesuatu yang baik dan benar pula agar
bermanfaat bagi sesama. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik atau tidaknya
akhlak seseorang.

Ketidaktahuan atau kekaburan terhadap dua hal ini, menyebabkan kita


menjadi salah dalam memahami apa maksud dengan akhlak ini. Misalnya, ingin
menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga,
memberi sumbangan pada masjid atau madrasah, semua ini jelas merupakan
tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang
salah, seperti: bermain judi, mencuri, korupsi, menipu, dan sebagainya, tentu
semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak. Ini adalah
sebuah contoh dari suatu perbuatan yang tujuannya baik, tetapi cara atau
prosesnya salah. Sekali lagi, yang demikian ini, tidak bisa disebut perbuatan yang
berakhlak. Contoh yang lain, misalnya, orang yang selalu giat bekerja, selalu jujur,
tidak pernah mencuri, tetapi jika tujuan bekerja ini ternyata tidak baik, misalnya:

5
untuk pesta miras, pesta narkoba dan lainnya, jelas semua ini juga salah dan tidak
bisa disebut berakhlak. Begitulah, tujuan dan proses, keduanya menjadi kriteria
akhlak kita, sekaligus sebagai ukuran kualitas usaha kita. Sebagaimana Nabi telah
menjelaskannya:

ِ ‫ِان َما ا ْ ْ َﲻ ُال ِ لنِّ َي‬


ِّ ُ ِ ‫ات َواِن َما‬
‫ﲁ ا ْم ِرئٍ َما ن ََوى‬
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan bagi setiap amal manusia tergantung pada
apa yang diniatkan.”

Berdasarkan hadits ini, menata tujuan sebelum berbuat merupakan hal


yang penting. Karena kualitas amal-usaha kita sangat tergantung dengan apa
yang kita niatkan atau tergantung dengan tujuan kita. Dengan kata lain, tujuan
merupakan ukuran berakhlak atau tidaknya seseorang, malah menjadi ukuran
diterima atau/tidak amal kita. Mengerjakan shalat misalnya, membayar zakat
atau pergi haji, jelas ini baik, tetapi jika dikerjakan dengan tujuan pamer, kepingin
dipuji orang, hal ini namanya riya’ dan riya’ termasuk perbuatan syirik, meski
namanya syirik khofi. Maka dari itu perbuatan yang demikian ini, tidak hanya
jelek menurut manusia, tetapi juga menjadikan amal kita tidak diterima, malah
menjadi berdosa. Sebagaimana telah kita sampaikan di atas, bahwa tujuan baik
saja, masih belum cukup, tetapi juga harus melalui proses dan cara-cara yang baik
juga. Karena kualitas amal kita juga sangat tergantung dengan prosesnya
sebagaimana Firman Allah:

Qs An-Najm, 53/39:

‫َو َا ْن ل َ ْ َس ِل ْﻼ ْ َس ِان ِاﻻ َما َس َعى‬


“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”.

Qs Al-Imran, 3/25:

َ ‫اﱒ ِل َي ْو ٍم ﻻ َريْ َب ِف ِه َو ُو ِف ّ َ ْت ُﰻ ن َ ْف ٍس ما َك َس َ ْت َو ُ ْﱒ َﻻ ي ُ ْظلَ ُم‬


‫ون‬ ْ ُ َ‫فَ َك ْ َف ا َذا َ َﲨ ْعن‬
“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada
keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang
diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)”.

6
Aayat ini menunjukkan bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari
apa yang mereka usahakan di dunia. Akan berbeda antara orang yang
menggunakan cara-cara yang halal, dengan orang yang menggunakan cara-cara
yang haram, hasilnya adalah merupakan balasan bagi perbuatan masing-masing.
Demikian juga cara-cara yang sportif dan jujur, tentu tidak sama dengan
perbuatan yang penuh dengan tipu muslihat.

Pemahaman etika dan akhlak adalah masalah yang sangat penting untuk
dikaji, terlebih di era sekarang dimana dunia politik praktis kerap terjadi
perbuatan atau tindakan yang mempertontonkan konflik kepentingan diantara
kubu-kubu yang berseberangan dalam orientasinya di dunia politik. Masing-
masing merasa benar atau melakukan pembenaran, peristiwa ini akhirnya
menjadi tontonan oleh rakyat di mana persoalan mana yang benar dan mana yang
salah, telah kabur atau dikaburkan. Maling berteriak maling, orang yang biasa
korupsi malah bicara paling keras akan berantas korupsi. Hampir semua lembaga
negara sudah ada perwakilannya dari pejabat tinggi yang menjadi tersangka
kasus korupsi. Pada zaman seperti ini, kita terkadang kesulitan membedakan
mana orang yang berakhlak dan mana orang yang sejatinya merusak akhlak. Jika
memang demikian keadaannya, berarti kita sekarang hidup di tengah-tengah
bangsa yang jauh dari akhlak. Peraturan dan Undang-undang dibuat, tidak untuk
dijalankan, tetapi kadang untuk disiasati demi kepentingan politik tertentu.

Kerusakan akhlak atau krisis etika, memang sudah sedemikian parah di


negeri ini. Perbuatan yang menunjukkan akhlak atau etika yang rendah sudah
semakin berani tampil ke muka publik, sehingga bisa dikatakan urat malunya
sudah putus. Mulai dari tindakan korupsi para pejabat yang tidak habis-habisnya
karena selalu saja muncul kasus baru, perbuatan asusila yang merajalela apalagi
yang kalau yang melalukan adalah publik figur. Suap-menyuap sudah terjadi
secara sistematis, terstruktur dan masif mulai dari kalangan rakyat biasa sampai
pejabat tinggi di negeri ini. Dengan ukuran akhlak, kita juga tidak akan bisa
dipaksa-paksa, meski dalam keadaan terdesak. Bagi kita, sudah jelas bahwa
akhlak menuntut adanya sikap atau perbuatan yang baik dalam hal ini, yaitu
tujuan dan prosesnya. Tujuan baik harus diwujudkan dengan cara-cara yang baik,
begitu juga cara-cara yang baik harus dengan tujuan yang baik.

Kita semua sudah tentu mendambakan masyarakat kita ini menjadi


masyarakat yang berakhlak, mendambakan menjadi bangsa yang santun dan
beradab. Masyarakat dan bangsa yang demikian ini, jelas tidak mungkin
dibangun dengan cara-cara yang tidak baik, karena semata-mata kepentingan
hawa nafsu kekuasaan yang penuh dengan tipu muslihat dan ketidakjujuran. Jika
hal ini semakin menjadi di bumi khususnya di negeri kita yang tercinta ini, maka

7
bisa diprediksi bagaimana nasib bangsa dimasa depan. Berdasarkan Kalam Ilahi
bumi ini hanya diwariskan kepada orang yang berprilaku baik atau sholeh, seperti
yang dikatakan dalam Kalam Illahi, Qs Al-Anbiya, 21/105:

‫َول َ َق ْد َك َت ْ َا ِﰲ الزب ُ ْو ِر ِم ْن ب َ ْع ِد ا ِّ ْك ِر َان ْا َﻻ ْر َض َ ِر ُ َا ِع َبا ِد َي الصا ِل ُح ْو َن‬


“Telah Kami tulis di kitab Zabur setelah Kami tulis pada laukh Makhfud, bahwa bumi
ini hanya diwariskan kepada hamba-Ku yang sholeh”.

Bumi akan selamat, sejahtera dan damai dengan tegaknya keadilan di


seluruh negeri bila karakteristik orang sholeh tersebut yang berkuasa di bumi ini.
Adapun karakter sosok penguasa yang sholeh sesuai petunjuk Kalam Ilahi adalah
sebagai berikut dalam Qs Ali Imran, 3/114:

َ ‫وف َو َ ْﳯَ ْو َن َع ِن الْ ُمن َك ِر َو َُسا ِر ُع‬


‫ون‬ َ ‫ون ِ ّ ِ َوالْ َي ْو ِم ا ٓ ِخ ِر َوي َ ُم ُر‬
ِ ‫ون ِ لْ َم ْع ُر‬ َ ُ ‫ي ُ ْؤ ِم‬
‫ِﰲ الْ ْ ََﲑ ِات َو ْول َ ئِ َك ِم َن الصا ِل ِ َﲔ‬
“Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang
ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh”.

Orang yang shaleh adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, dasarnya adalah keimanan yang karena keyakinannya kepada
Tuhan membuat segala aktivitasnya berdasarkan pantauan Tuhan walalupun dia
tidak melihatnya secara indrawi, sehingga niatpun sudah tertuju karena sebuah
pengabdian kepada Tuhan. Lalu meyakini hari akhir bisa menjadi kontrol diri
dalam melaksanakan aktivitas di dunia, bahwa apapun, dimanapun kita
beraktivitas pasti ada akhirnya, ada waktu penghabisannya, sehingga waktu yang
diberikan harus bermanfaat, efektif dan efesien dalam beribadah. Jangan sampai
lupa diri hanya melakukan niat sampai tindakan jahat dan akhirnya justru
kehabisan waktu sedangkan jalannya sudah menyimpang dari jalan yang lurus
sehingga menjadi penyesalan yang tidak berguna. 15 Tujuan hidupnya adalah
menyuruh kepada kebaikan (ma’ruf) dan otomatis harus dapat mencegah dari
sesuatu yang buruk (munkar) serta selalu bersegera dalam mengerjakan berbagai
kebajikan. Dengan ukuran keshalihan tersebut pastilah terwujud sebuah tatanan

15
Qs, Fathir, 35/37: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya
kami akan mengerjakan amal yang shaleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami
tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan
(apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada
bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun”.

8
hidup yang harmonis, aman, penuh dengan keselamatan, kedamaian dan
pastinya tegaknya keadilan di dunia.

B. Etika dalam Politik


Pada prinsipnya politik adalah alat bagi ummat manusia untuk
menentukan nasibnya hari ini dan masa yang akan datang. Sebelum muncul era
dimana kehendak kolektif rakyat mempunyai tempat untuk berkuasa
(demokrasi), manusia sebagai mahluk sosial, hidup berkelompok (berkoloni) dan
secara naluri akan menentukan pemimpin diantara mereka (homo politicus)16,
seperti yang terjadi di alam kawanan singa, gajah ada pemimpinnya, bahkan di
dunia serangga seperti lebah dan semut pun ada hierarki kepemimpinannya yang
dipimpin oleh ratu lebah dan semut. Pemimpin atau sekelompok orang yang
terpilih adalah mereka yang mempunyai kesadaran, kepedulian dan mengambil
tanggungjawab lebih dari kebanyakan yang lainnya, serta konsekuensinya adalah
harus menyumbangkan tenaga, pikiran dan jiwa raga bukan saja untuk diri
sendiri dan keluarganya tapi untuk orang banyak. Maka bisa dikatakan
pemimpin adalah orang-orang yang berani mengorbankan kepentingan dirinya
sendiri demi rakyat.

Politisi kadang diplesetkan dengan istilah ‘politikus’ (baca: dianalogikan


tabiatnya seperti tikus) oleh banyak kalangan karena beberapa tahun belakangan
ini. Media sering menampilkan tokoh-tokoh politik (komunikator politik)
tersandung oleh kasus hukum, mulai dari penyalahgunaan wewenang, korupsi,
gratifikasi, asusila dan sebagainya. Perbuatan penyimpangan yang tidak
selayaknya dilakukan oleh pemimpin bangsa tersebut kadang dianalogikan
seperti tikus yang suka memakan dan tinggal di tempat yang kotor. Padahal para
politisi mempunyai sumpah jabatan yang diikrarkan dengan didampingi saksi
dari pemuka agama, para politisi atau para pimpinan dan juga dibawah kitab suci
yang mereka yakini masing-masing.

Di era informasi sekarang ini, sumpah jabatan juga disaksikan oleh rakyat
di seluruh nusantara bahkan sampai dunia melalui siaran “live” televisi. Maka
kembali ke hati (qalbu) dan keyakinannya masing-masing sebenarnya kepada
siapa sumpah itu di ucapkan. Pada hakekatnya sumpah itu adalah komitmen
seseorang kepada Tuhan sang Pencipta karena kekuasaan adalah simbol amanah

16
Aristotle, Man is by nature a political animal, http://vault.hanover.edu/~smithr/Politicus.pdf

9
Sang Pemilik Kekuasaan. Pertanggung jawaban utamanya seharusnya kembali
kepada Sang Pencipta. Bagi orang yang beriman pasti mempunyai keyakinan
bahwa pekerjaannya selalu dimonitori oleh Tuhan yang Maha Esa. Ada fungsi
kontrol dengan keimanan kita, disaat manusia bersembunyi dari manusia lain
untuk melakukan kejahatan dan kemaksiatannya. Jabatan di dunia politik adalah
sangat mulia karena sangat menentukan masa depan nasib bangsa dan Negara.
Para aktor politik juga akan menjadi contoh dan panutan bagi rakyatnya. Namun,
karena kehidupan manusia itu memiliki jaringan atau relasi yang berjenjang maka
semua kelakuan dan tabiát pemimpin akan ditiru oleh bawahan secara jalur
vertikal dan akan menular juga kepada rekan sejawatnya secara horizontal.

Selanjutnya yang sangat membuat hati rakyat mengeluskan dada adalah


kenapa sering sekali rakyat disajikan berita mengenai kegaduhan para politisi
yang tidak bermoral. Mulai dari cara mereka berdebat, sampai ada yang berkelahi,
menggulingkan meja di gedung yang menjadi simbol rumah rakyat, lalu ada pula
pejabat yang tersandung kasus hukum seperti korupsi, gratifikasi, kolusi,
nepotisme, dan juga ada kasus pelanggaran masalah etika mulai dari kasus yang
berkaitan dengan rumah tangga, sampai dengan pertemuan-pertemuan non
formal yang tidak layak dan tidak semestinya seperti pada tahun 2015 terjadi
pertemuan Ketua dan wakil ketua DPR, Setia Novanto dan Fadli Zon dengan
Donald Trump sebagai kandidat presiden Amerika. Akhirnya pun dilaporkan
oleh anggota DPR lainnya yang tentunya dari partai koalisi lawannya (KIH)
tentang pelanggaran etika berkaitan tugas dan wewenang, yang akhirnya
disidangkan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) walaupun tidak dihadiri
mereka berdua dan menetapkan sebagai pelanggaran ringan.

Selanjutnya beberapa bulan kemudian Setia Novanto dilaporkan kembali


oleh Mentri SDM Sudirman Said yang terkait kasus pencatutan nama Presiden
dan juga menyebut beberapa nama pejabat lainnya yang terkenal dengan istilah
kasus “papa minta saham”, karena dari rekaman yang diserahkan ke MKD dan
Kejaksaan terkandung adanya bahasa yang mengarah terkait dengan saham PT.
Freeport. Keunikannya yang terjadi pula adalah sidang yang awalnya terbuka
untuk publik mulai dari kesaksian Sudirman Said lalu Presiden Direktur PT.
Freeport Ma’aruf Syamsudin, ketika pemanggilan Setia Novanto akhirnya
menjadi sidang tertutup. Entah manufer dan trik politik apa yang terjadi
didalamnya akhirnya menjadi teta-teki, keganjilan yang penuh kebisuan oleh
logika publik dan berlalu begitu saja. Ini menjadi contoh terkini dari sekian kasus
yang mungkin sangat banyak rentetannya yang berkait dengan masalah etika
dalam dunia politik di Indonesia.

10
Menurut Yudoyono dan Husri17, pemerintah yang baik pada hakekatnya
adalah suatu berkah bagi rakyatnya. Walaupun kata good governance itu baru
berkembang dalam abad ke-20, tetapi hakekat maknanya telah diungkap oleh
Aristoteles dalam bukunya berjudul Politica, jauh sebelum Masehi yaitu
diperkirakan pada tahun 342-323 SM, yang mengemukakan bahwa negara itu
dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya mereka itu dapat
hidup baik dan bahagia. Untuk mengatur kepentingan umum itu, maka dibuatlah
undang-undang dan peraturan-peraturan apabila orang hendak memperbaiki
moral manusia. Orang banyak itu menahan diri dari perbuatan jahat bukan karena
disebabkan malu, melainkan karena takut pada kejahatan dan hukuman atasnya.
Dan dikemukakan pula bahwa kecakapan membuat undang-undang itu adalah
bagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Atas pemikiran inilah,
maka Aristoteles menutup bagian akhir bukunya yang membahas tentang
Ethica.18 Berbicara pemerintahan memang tidak ada pemimpin yang sempurna
namun rakyat membutuhkan pemimpin yang baik, boleh jadi dia kasar secara
verbal atau mungkin lembut terkesan lembut, terlepas dari apapun
karakteristiknya yang terpenting tegas dalam kebijakan yang mendidik,
membina, mengamankan dan mensejahterakan rakyatnya. Sehingga output proses
kinerja pemimpin tersebut untuk keselamatan, kedamaian dan kemakmuran di
seluruh negeri.

Plato dalam bukunya “The Republic” menggambarkan keadilan sebagai


suatu kebajikan yang menyeluruh pada setiap individu dan juga pada seluruh
masyarakat (overarching virtue of individuals and of societies) 19, yang berarti bahwa
setiap hal yang setiap orang anggap sebagai sebagai ethical
atau etika bermula dari konsep keadilan. The Republic
intinya adalah menjelaskan hubungan antara political
morality dengan individual morality, hubungan antara politik
dengan etika yang digambarkan melalui analogi soul dan
city.20 Plato menggambarkan bawah jiwa (Soul) terdiri dari
tiga struktur appetitive, rational, dan spirited. Appetitive
adalah bagian jiwa terkait dengan fisik; menginginkan
sesuatu bahkan yang tidak tidak bermoral. Appetitive tidak memiliki
kesadarannya sendiri sehingga membutuhkan bagian lain dari jiwa yang lain
untuk mengendalikannya, atau untuk mampu membedakan yang baik dan buruk,

17
Susilo Bambang Yudhoyono, Komunikasi Politik dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: Galang
Press, 2002, hlm. 7
18
Ibid, hlm 8
19
George Klosko, History of Political Theory: An Introduction, Volume I: Ancient and Medieval, Oxford
Unvinersity Press, 2012, hlm 66-72
20
G. R. F. Ferrari, City and Soul in Plato's Republic, University of Chicago Press, 2003, hlm. 59-62

11
yaitu rational. Bagian yang ketiga, sprited, yang memiliki ciri ciri berani, kuat, dan
berkemauan keras.

Pembagian jiwa (soul) yang terdiri dari fisik (tubuh), rasional (logika), dan
semangat (nafsu) yang dianalogikan dengan negara (republic) yang pada saat itu
istilahnya adalah polis atau kota (City), yang juga memiliki 3 (tiga) bagian atau
struktur, yaitu workers, soldiers, dan rulers. Workers adalah masyarakat
sebagaimana umumnya (pekerja). Tugasnya adalah menyediakan makanan,
pakayan dan kebutuhan negara lainnya. Workers harus mematuhi perintah Ruler.
Sedangkan Soldiers adalah struktur negara yang bertugas berperang dengan sikap
yang patriotik untuk mempertahankan negara dari serangan musuh baik dari
dalam maupun dari luar. Rulers adalah struktur negara (pemerintah) yang
memiliki kebijaksanaan. Rulers tidak boleh mencari ketenaran dan kemuliaan.
Rulers adalah orang-orang yang mencintai negaranya, mengerti aturan dan oleh
karenanya akan melakukan apapun dalam kekuasaannya untuk
mempertahankannya. Rulers bahkan tidak memiliki private life karena segala
sesuatu bagian dari rulers bersifat publik.

Menurut Plato bahwa Worker (masyarakat umum) dengan kelemahannya


yang harus dijaga oleh Soldier (aparat kemanan) dan diayomi oleh Ruler
(Pemerintah), sebagaimana jiwa seseorang, nafsu, keinginan (appetite) harus dijaga
atau dikontrol oleh perasaannya (spirit) dan diayomi oleh pikiran dan logikanya
(Rational). Plato mengatakan masing-masing bagian ini harus melaksanakan apa
yang menjadi tugasnya sehingga dia mendukung defenisi keadilan sebagai doing
one’s own work dan semuanya harus bekerja sebagaimana mestinya sehingga
harmonis (harmony). Ketika harmonisasi ini sudah terwujud, maka “keadilan”
pasti akan terwujud.

Akhirnya muncul sebuah pertanyaan, siapa yang layak atau tepat menjadi
penguasa atau pemerintah (Rulers)? atau siapa yang dapat cukup bijaksana
mengatur dan mengelola negara? Plato menjawab: “justice will not exist in its full
until the philosophers became kings and the kings became philosophers”. Raja dapat
mengatur dengan sikap yang adil dengan sendirinya mempertahankan keadilan.
Menurutnya hanya raja yang memiliki pengetahuan atau mengerti tentang
tentang keadilan yang sebenarnya. Plato sebagaimana disampaikan di atas
mengatakan bahwa raja yang filsuf yang terlatih secara intelektual memahami
kebenaran (theory of form / theory of ideas).

12
C. Etika Komunikasi Politik
Etika (ethics) adalah bagaimana cara memandang atau persepsi akan benar
atau salahnya suatu tindakan atau perilaku. Etika adalah merupakan suatu tipe
pembuatan keputusan yang bersifat moral (Englehardt, 2001), dan menentukan
apa yang benar atau salah dipengaruhi oleh peraturan dan hukum yang ada
dalam masyarakat. Kita mulai bertanya mengapa kita perlu memahami etika,
kemudian menjelaskan hubungan etika dengan masyarakat.

Mengapa mempelajari etika? Jawaban terhadap pertanyaan ini mungkin


dapat berupa pertanyaan lain: mengapa tidak mempelajarinya? Etika melampaui
segala cara kehidupan dan melampaui gender, ras, kelas sosial, identitas seksual,
agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, kita tidak dapat menghindari prinsip-
prinsip etis dalam kehidupan kita. Donald Wright (1996) berpendapat bahwa etika
merupakan bagian dari perkembangan umat manusia, dan seiring dengan
bertambahnya usia kita, kode moral kita juga mengalami perubahan menuju
kedewasaan. Elaine Englehardt (2001) mengamati bahwa “kita tidak menciptakan
sistem etika kita sendiri”,21 yang berarti bahwa kita biasanya mengikuti kode
budaya dan moralitas. Dari sudut pandang komunikasi, isu-isu mengenai etika
muncul ke permukaan setiap kali pesan-pesan memiliki kemungkinan untuk
mempengaruhi orang lain.

Komunikasi merupakan proses sosial di mana individu-individu


menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan
makna dalam lingkungan mereka. Lima (5) istilah kunci dalam perspektif
komunikasi yaitu: sosial, proses, simbol, makna dan lingkungan.

1. Komunikasi secara sosial (social), adalah komunikasi selalu melibatkan


manusia serta interaksi. Artinya, komunikasi selalu melibatkan dua orang,
pengirim dan penerima. Ketika komunikasi dipandang secara sosial,
komunikasi selalu melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan
berbagai niat, motivasi dan kemampuan.
2. Komunikasi sebagai proses (process), hal ini berarti komunikasi bersifat
kesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi juga dinamis,
kompleks, dan senantiasa berubah. Selain itu, karena komunikasi
merupakan proses, banyak sekali yang dapat terjadi dari awal hingga akhir
dari sebuah proses pembicaraan. Orang-orang dapat memiliki sikap yang
sama sekali berbeda ketika sebuah diskusi dimulai.

21
Richard West & Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Introducing
Communication Theory: Analysis and Application), Jakarta: Salemba Humanika, 2008, hlm 2

13
3. Komunikasi sebagai simbol (symbol) adalah sebuah label arbitrer atau
representasi dari fenomena. Kata simbol adalah simbol untuk konsep dan
benda, misalnya; kata cinta merepresentasikan sebuah ide mengenai cinta;
kata kursi merepresentasikan benda yang kita duduki. Label dapat bersifat
ambigu, dapat berupa verbal dan nonverbal, dan dapat terjadi dalam
komunikasi tatap muka dan komunikasi dengan menggunakan media.
Simbol juga terdiri dari dua jenis; (1) Simbol konkret (concrete symbols);
simbol yang merepresentasikan benda atau sebuah objek; (2) simbol
abstrak (abstract symbols); symbol yang merepresentaskan sebuah ide atau
pemikiran.
4. Makna juga memegang peranan penting dalam definisi komunikasi.
Makna adalah yang diambil orang dari suatu pesan. Dalam episode-
episode komunikasi, pesan dapat memiliki lebih dari satu makna dan
bahkan berlapis-lapis makna. Judith Martin dan Tom Nakayama (2002)
menyatakan bahwa makna memiliki konsekuensi budaya. Contohnya;
Orang Amerika pada umumnya tidak menyukai hari Senin, hari pertama
dalam satu minggu, dan menyukai hari Jumat. Martin dan Nakayama
menegaskan bahwa ungkapan seperti TGIF (Thanks God It’s Friday-
Syukurlah Ini Hari Jumat), tidak akan mengomunikasikan makna yang
sama pada semua orang, seperti hal yang sama dengan OMG (O My God).
5. Lingkungan (environment) adalah situasi atau kondisi di mana komunikasi
itu terjadi. Lingkungan terdiri dari beberapa lemen seperti; waktu, tempat,
periode sejarah, relasi, dan latar belakang budaya pembicara dan
pendengar. Lingkungan juga dapat dihubungkan. Maksudnya,
komunikasi dapat terjadi dengan adanya bantuan dari teknologi. Misalnya;
komunikasi yang difasilitasi oleh media seperti; email, facebook, chat room
atau internet.

Maka dari ilustrasi yang telah dijabarkan sebalumnya, selanjutnya penulis


akan membahas mengenai etika dalam komunikasi politik. Etika akan di analisis
mulai dari perspektif komunikator, pesan, saluran dan komunikan, efek, umpan
balik berikut gangguan (noise) dari proses komunikasi yang dapat
mendeskripksikan mengenai etika dalam berkomunikasi di ranah politik. Dalam
pemahaman ini penulis juga menggunakan model untuk lebih memahami,
komunikasi sebagai aksi, Interaksi, dan Transaksi dalam proses komunikasi
politik. Teoritikus komunikasi menciptakan model-model (models), atau
representasi sederhana dari hubungan-hubungan kompleks di antara elemen-
elemen dalam proses komunikasi, yang mempermudah kita untuk memahami
proses yang rumit. Di sini akan dibahas tiga yang paling utama:

14
1. Model Komunikasi Sebagai Aksi: Model Linear;
Pandangan satu arah mengenai komunikasi yang berasumsi bahwa pesan
dikirimkan oleh suatu sumber melalui penerima melalui saluran. Pendekatan
pada komunikasi manusia ini terdiri atas beberapa elemen kunci, seperti; sumber
(source), atau pengirtim pesan, mengirimkan pesan (message) pada penerima
(receiver) yang akan menerima pesan tersebut. Si penerima adalah orang yang
akan mengartikan pesan tersebut. Semua dari komunikasi itu terjadi dalam
sebuah saluran (Channel), yang merupakan jalan untuk berkomunikasi. Saluran
biasanya berhubungan langsung dengan indra penglihatan, perasa, penciuman,
dan pendengaran. Dalam komunikasi politik seperti memasang poster, banner,
atau menyebarkan brosur yang tujuannya memperkenalkan kandidat atau
simbol-simbol partai. Saluran visual tersebut akan ditangkap oleh masyarakat
yang akhirnya menjadi saluran tactile (persepsi secara nyata) sebagai informasi.
Kepentingan kandidat agar mulai dikenal atau populer walaupun belum ada
umpan balik langsung. Begitu pula sebagai karakternya komunikasi media massa
yang linear merupakan sarana untuk mempromosikan, iklan, publikasi dalam
politik, mulai dari visual (media cetak), audio (radio) dan audio visual (televisi).

Komunikasi juga melibatkan gangguan (noise), yang merupakan semua hal


yang tidak dimaksudkan oleh sumber informasi. Ada 4 jenis gangguan. Pertama,
gangguan semantik (semantic noise) berhubungan dengan slang, jargon, atau
bahasa-bahasa spesialisasi yang digunakan secara perseorangan atau kelompok.
Misalnya saja; ketika salah satu dari kita menerima bahasa-bahasa atau simbol-
simbol politik bisa berupa istilah yang berasal dari bahasa asing yang tidak
difahami oleh masyarakat umum, seperti istilah reklamasi, proposial terbuka,
parlemantary treshold, hak interpelasi, abstain, aklamasi, demisioner dan
sebagainya. Ini adalah contoh gangguan semantic karena merupakan istilah yang
jarang dibicarakan dalam kalangan menengah kebawah, kata-kata ini memiliki
sedikit atau bahkan tidak memiliki makna sama sekali, apalagi bahasa yang
digunakan adalah bahasa Inggris. Kedua, gangguan fisik (eksternal)-physical
(external) noise; yang berada di luar penerima. Ketiga, gangguan psikologis
(psychological noise) merujuk pada prasangka, bias, dan kecenderungan yang
dimiliki oleh komunikator terhadap satu sama lain atau terhadap pesan itu
sendiri. Terakhir, gangguan fisiologis (physiological noise) adalah gangguan yang
bersifat biologis terhadap proses komunikasi. Gangguan semacam ini akan
muncul apabila kita sebagai pembicara sedang sakit, lelah atau lapar.

Walaupun pandangan mengenai proses komunikasi ini sangat dihargai


beberapa tahun lalu, pendekatan ini sangat terbatas untuk beberapa alasan.
Pertama, model ini berasumsi bahwa hanya ada satu pesan dalam proses

15
komunikasi. Kita semua pasti dapat mengingat saat-saat tertentu di mana kita
mengirimkan lebih dari satu pesan sekaligus. Kedua, sebagaimana telah dipelajari
sebelumnya, komunikasi tidak memiliki awal dan akhir yang jelas. Model
Shannon dan Weaver didasarkan pada orientasi yang mekanistik. Selain itu,
beranggapan bahwa komunikasi terjadi hanya ketika satu orang berbicara pada
orang lainnya terlalu menyederhanakan proses komunikasi yang kompleks.

2. Model Sebagai Interaksi: Model Interaksional


Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau
penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap
partisipan-partisipan dalam proses komunikasi. Oleh karenanya, Wilbur
Schramm (1954) mengemukakan bahwa kita juga harus mengamati hubugan
antara seorang pengirim dan penerima. Ia mengonseptualisasikan model
komunikasi interaksional (interactional model of communication), yang menekankan
proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan kata lain,
komunikasi berlangsung dua arah; dari pengirim kepada penerima dan dari
penerima kepada pengirim.

Satu elemen yang penting bagi model komunikasi interaksional adalah


umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan. Umpan balik dapat
berupa verbal atau nonverbal, sengaja atau tidak sengaja. Umpan balik;
komunikasi yang diberikan pada sumber pesan oleh penerima pesan untuk
menunjukkan pemahaman (makna). Elemen terakhir dalam model interaksional
adalah bidang pengalaman (field of experience) seseorang, atau bagaimana budaya,
pengalaman dan keturunan seseorang mempengaruhi kemampuannya untuk
berkomunikasi dengan satu sama lain. Setiap orang membawa bidang
pengalaman yang unik dalam tiap episode komunikasi, dan pengalaman-
pengalaman tersebut sering kali mempengaruhi komunikasi yang terjadi. Sebagai
contohnya, ketika dua orang saling mengenal dan mulai berkencan, mereka akan
secara mutlak membawa bidang pengalaman mereka ke dalam hubungan ini.

Dalam dunia politik model ini terjadi pada saat pembicaraan untuk
mempengaruhi secara personal kepada preferensi politik tertentu, bisa kepada
partai atau kandidat. Hal ini bisa terjadi di lingkaran keluarga, sahabat, kerabat
atau membangun hubungan personal baru (berkenalan) untuk kepentingan
politik. Sehingga faktor kedekatan personal membuat pilihan politik bisa jadi
bukan sekedar masalah ideologi, tapi masalah siapa yang paling dahulu
mendekat, menyapa, dan mempengaruhi. Model intraksional juga berkembang di

16
era digital atau internet. Dengan semaraknya berbagai media sosial membuka
ruang baru (publik) untuk dapat berinteraksi langsung seperti banyaknya partai
dan kandidat mempunyai akun facebook, twitter, Instagram, youtube dan lain-lain.
Hal ini membuka ruang dimana komunikator politik dapat memantau,
mendapatkan umpan balik (feedback) dari masyakarat bisa berupa tanggapan,
respon, reaski dan opini dari para netizen.

3. Komunikasi Sebagai Transaksi: Model Transaksional


Model komunikasi transaksional (transactional model of communication)
(Barnlund, 1970) menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang
berlangsung secara terus menerus dalam sebuah episode komunikasi.
Komunikasi bersifat transaksional berarti mengatakan bahwa proses tersebut
kooperatif; pengirim dan penerima sama-sama bertanggung jawab terhadap
dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Dalam model ini, satu pesan
dibangun dari pesan sebelumnya; karena itu ada ketergantungan antara masing-
masing komponen komunikasi. Model transaksional juga juga berasumsi bahwa
saat kita secara terus menerus mengirimkan dan menerima pesan, kita berurusan
baik dengan elemen verbal maupun nonverbal dari pesan tersebut. Dengan kata
lain, para komunikator menegosiasikan makna. Contohnya; ada istilah politik
transaksional, yaitu dimana terjadi lobi-lobi politik, negosiasi, yang sifatnya
seperti jual-beli. Apalagi pada saat ingin mengusung kandidat eksekutif baik
presiden, gubernur atau kepada daerah, akan terjadi kesepakatan sebuah koalisi
untuk dapat mengusung dan memenangkan kandidat hasil pilihan bersama.
Begitu pula dalam proses merancang, menetapkan Undang-Undang di legislatif,
yang merupakan bentuk dari model transaksional.

Harold Lasswell, seorang Ilmuwan Politik memberikan formulasi


sederhana dalam komunikasi politik yakni Who, Say what, In which channel, to
whom, with what effect. Lasswell memberikan uraian, bahwa hal yang wajar bahwa
komunikasi politik (yang melingkupi tindakan dan perkataan) oleh para politisi
mempunyai akibat yang luas, sebab pernyataan (pesan) adalah tindakan
interpretatif sinambung dengan sosial dan politik. Artinya dalam formulasi
komunikasi politik Lasswell tersebut, yang perlu dicermati apa akibat yang akan
terjadi dari pesan tersebut (with what effect) baik secara personal maupun
komunal22. Dalam komunikasi politik berlaku hukum aksi-reaksi dan kausalitas
dari komunikasi itu sendiri. Selanjutnya etika mengenai komunikasi politik akan

22
dalam Nimmo, 2005:13

17
dijabarkan sesuai komponen-komponen proses komunikasi, agar terlihat
gambaran etika komunikasi politik secara konfrehensif, mulai dari komunikator,
pesan, saluran, komunikan, efek, timbal balik termasuk ganguan. Berkaitan
komunikasi politk akan terlihat sebuah realitas dan dinamika alur proses
perpolitikan, arah tujuan serta niat akan tercermin dari bagaimaa cara politisi
berkomunikasi satu sama lainnya.

Model-model komunikasi akan memberikan gambaran dari proses


komunikasi politik dan juga akan menggambarkan sebuah etika komunikasi
politik. Analoginya penulis mengajukan perspektif kamar-kamar (rooms) dalam
menempatkan diri dilingkungan (situasi dan kondisi) terhadap khalayak
komunikasi politik. Khalayak tersebut mulai dari elit opinion (para aktor / pejabat
politik), publik atentif (yang mempunyai perhatian terhadap politik) dan
masyarakat umum (general public). Ibarat sebuah rumah, rumah itu ada beberapa
ruang atau kamar, yaitu mulai dari ruang tamu (open public) dimana hanya orang
yang baru kenal, atau tidak akrab hanya bisa masuk sebatas ruang ini, ada ruang
makan yang merupakan lapisan yang lebih kepada keakbraban, ada ruang tidur
yang merupakan privasi khusus, ada dapur, ada kamar mandi dan sebagainya.
Bila kita makan di kamar tidur atau di kamar mandi, maka hal tersebut bisa
dikatakan melanggar suatu nilai kepatutan (etika). Bersikap dan bertindak harus
menyesuaikan tempat atau ruangan sesuai fungsinya. Bila salah tempat dalam
membicarakan atau mengkomunikasikan suatu permasalahan, maka otomatis
akan merusak citra (image) dari seseorang. Etika membuat kita harus
menyesuaikan bagaimana kita harus berbicara dan bertindak menyesuaikan diri
dengan ruang-ruang tersebut. Sebagai contoh ketika urusan dapur Kabinet
pemerintah atau perseteruan atau beda pendapat antar mentri mucul bahkan
sampai seperti berbalas pantun di media massa. Seharusnya hal tersebut cukup
terjadi dalam ruang rapat kabinet dan saat keluar ruangan harus merupakan dari
kesepakatan yang menjadi suara bulat yang akan menjadi cerminan sikap
pemerintah. Begitu pula dengan kasus ketidak kompakan atara Kepala
Pemerintah dan mentri berkaitan suatu kebijakan, seperti pencabutan izin ojek
online dikeluarkan oleh Mentri Perhubungan di pagi hari dan langsung dianulir
oleh Kepala Pemerintahan saat sore harinya, mungkin itu sebabnya dimunculkan
humas pemerintahan agar terjadi satu pintu informasi keluar dari istana. Bila
terus-menerus hal tersebut terjadi maka dapat menjadi penilaian yang buruk
terhadap citra pemerintah dari masyarakat.

Maka selaras dengan konsep Johari window saat kita akan mengenal
seseorang (self disclosure) digambarkan seperti jendela-jendela dimana kita akan
dapat mengetahui dan memahaminya melalui proses dibuka satu persatu.
Pertama, ada jendela yang memang terbuka (open) dapat teramati oleh panca

18
indra atau diamati oleh orang lain. Kedua, ada jendela yang tersembunyi (hidden)
jadi perlu penggalian, pendalaman dan penemuan. Ketiga, ada jendela yang
memang sangat dirahasiakan (secret) seperti kekurangan dan aib atau masa lalu
yang negatif. Keempat, ada juga jendela yang ternyata tidak disadari oleh
seseorang atau ada sesuatu yang ternyata dapat diamati oleh orang lain sementara
bisa jadi luput dari kesadarannya (unknown) bisa jadi sesuatu yang merupakan
kekurangan atau bahkan kelebihan. Maka dalam hal etika komunikasi politik
akan dapat ditelaah melalui dimensi yang terbuka (publik punya hak untuk tahu)
dan juga masalah apa saja yang memang harus ditutup (khawatir akan menjadi
polemik dan membuat kecemasan masal). Bahkan, sudah menjadi kebiasaan saat
menjelang pemilihan umum (Pemilu) ada kandidat memiliki cara untuk mencari-
cari kekurangan atau sisi negatif dari kandidat pesaingnya dengan tujuan agar
menghancurkan citra atau pembunuhan karakter pesaingnya seperti kampanye
negatif bahkan sampai kepada kampanye hitam. Ada pribahasa mengatakan,
“tidak ada gading yang tidak retak”, biasanya ada saja temuan berkaitan sisi
negatif dari seorang kandidat.

Dalam membahas etika dalam komunikasi politik maka kajiannya pun


akan melihat dari lima komponen dari proses komunikasi yang terjadi, mulai dari
komunikator, pesan, saluran, komunikan dan efek serta umpan baliknya
(feedback). Kaitan etika antar komponen ternyata ada noise yang sengaja
dilakukan. Tidak ada permasalahan etika yang tidak disengaja terjadi. Mulai dari
pejabat korupsi, gratifitasi, skandal, perceraian, permufakatan jahat, kasus rumah
tangga dan masalah kasus-kasus asusila yang pernah terangkat di media massa
dan media sosial. Begitu pun konflik kepentingan yang terjadi di elit politik,
sehingga memperkuat sebuah argument bahwa, tidak ada teman dan musuh yang
abadi selain kepentingan yang abadi. Akhirnya akan berdampak terhadap makna
dari nilai-nilai kesetiaan, loyalitas, dan keteguhan pendirian (istiqamah) dalam
dunia politik. Proses komunikasi politik juga akan memberikan sebuah gambaran
apa yang diperjuangkan para elite, apakah mereka memperjuangkan kepentingan
rakyat atau hanya kepada kepentingan golongan dan nafsu politiknya saja
(individual).

Maka komunikasi politik harus dilakukan dengan baik dan benar


maksunya sesuatu yang natural, tulus apa adanya agar dapat dipahami dan
dimengerti oleh semua kalangan. Memang tidak dipungkiri mengkomunikasikan
masalah politik pasti juga berkaitan dengan suatu setting situasi atau dikenal
dengan istilah pencitraan sehingga akan sulit membedakan kemurnian dan
kepasluan (psedo/ semu) niat politiknya. Substansi komunikasi politik adalah
masalah bagaimana cara mengkomunikasikan masalah politik oleh para aktor-
aktor (komunikator politik) yang menjadi penentu arah kebijakan dari kewenagan

19
para pemegang kekuasaan, tentunya adalah demi mewujudkan tujuan politik
yaitu kesejahteraan rakyat. Memperbaiki komunikasi politik menjadi lebih baik
harus berawal dari memahami etika dalam berkomunikasi politik.

D. Prinsip Etika Barat dan Timur

Barat diwakili oleh Aristoteles yang dianggap banyak ahli sebagai pendiri
disiplin ilmu komunikasi.23 Aristoteles percaya bahwa etika berhubungan dengan
karakter moral dan perilaku luar (yang tampak oleh kasat mata). Pertengahan
emas (golden mean) adalah konsep filsafat yang sering dikutip sebagai sebuah
pemikiran Aristoteles. Menurut Aristoteles, moralitas harus dibangun dalam
moderasi.24 Aristoteles memandang kebajikan-kebajikan moral sebagai pilihan-
pilihan atau jenis-jenis pilihan. Ia menganggap setiap kebajikan sebagai
pertengahan, jalan tengah antara dua ekstrem (kelebihan dan kekuarangan). Kita
dapat melihat hal ini paling jelas dalam kesederhanaan makan, antara makan
terlalu sedikit dan makan terlalu banyak. Serupa dengan itu, keberanian adalah
pertengahan antara rasa takut (kekurangan) dan keyakinan berlebihan
(kelebihan). Kebenaran adalah pertengahan antara kerendahatian yang palsu dan
kesombongan; keadilan adalah pertengahan antara penyaluran barang (atau
hukum) yang terlalu sedikit dan terlalu banyak. 25

Sebagian orang menafsirkan Aristoteles berkata bahwa, “yang baik” adalah


“yang menyenangkan” bagi dirinya sendiri, dengan
kata lain, ia merupakan tujuan dalam dirinya sendiri.
Karena Aristoteles seorang biolog, ia juga tertarik pada
kajian-kajian modern yang menunjukkan bahwa orang-
orang yang melaporkan telah melakukan lebih sedikit
tindakan yang mereka anggap immoral juga melaporkan
menderita lebih sedikit stres; juga ada temuan-temuan
bahwa yang sukarela membantu orang-orang lain

23
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1996, hlm. 269
24
Moderasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk memandu, mengatur, dan menengahi komunikasi
interaktif, lisan atau tulis. Tujuan moderasi adalah agar komunikasi interaktif berlangsung secara jujur, adil,
dan sesuai dengan koridor hukum, tatakrama, serta kesantunan. Editing merupakan kegiatan menyunting
tulisan baik menyangkut bahasa maupun isi tulisan. Tujuannya agar tulisan itu mudah dipahami dan juga
tidak melanggar hukum, tatakrama, serta kesantunan (http://suara.um.ac.id/?p=6241).
25
Aristotle, 1947, hlm. 333-337, dalam ibid hlm. 269

20
sebenarnya hidup lebih lama.26 Aristoteles menekankan apa yang terdapat dalam
rentang kemungkinan manusia, penting untuk tidak salah menafsirkan prinsip
pertengahan emas. Dengan menyokong moderasi bukan berarti bahwa kita
menerima semua prilaku. “Tidak ada pertengahan bagi perzinahan,
pembunuhan, perjudian, mabuk-mabukkan, perampokan”, “Tidak setiap
tindakan atau setiap kehendak memiliki pertengahan.27 Serupa dengan itu,
Aristoteles mengutuk kebohongan seraya berkata bahwa, “kebenaran adalah
mulia dan terpuji”.

Tujuan etika bagi Aristoteles adalah kebahagiaan individu sementara


tujuan politik adalah kesejahteraan seluruh komunitas (rakyat). Meskipun
Aristoteles mempercayai bahwa kepentingan etika pribadi lebih rendah daripada
kepentingan politik, hal ini tidak menimbulkan konflik kesetiaan:
Prinsip ini tidak menuntut bahwa individu harus mengorbankan kepentingannya
bagi kepentingan masyarakat, kecuali dalam beberapa kondisi luar biasa seperti
perang, karena ia menganggap bahwa kebutuhan kedua pihak bertepatan.
kepentingan kita, kata Aristoteles, biasanya selaras dengan kepentingan
masyarakat. 28

Etika mengandung pembahasan mengenai nilai-nilai keutamaan yang


perlu dipedomani dan kejahatan yang harus dipantangi. Nilai-nilai keutamaan
yang dimaksud oleh Aristoteles adalah:

1. Berani (courage);
2. Sabar dan mampu mengendalikan diri (temperance);
3. Liberal (bijak menggunakan kebebasannya);
4. Agung (menjunjung tinggi etika/ ahklaq yang baik);
5. Kehormatan diri (pride);
6. Watak dan Emosi yang baik dan stabil (good temper);
7. Ramah tamah (friendliness);
8. Jujur dan suka kebenaran (truthfulness);
9. Arif dalam berpikir dan berbicara.29

Dalam perkembangannya terkini, nilai-nilai keutamaan yang diajarkan


dalam literatur modern adalah: 30

1. Penghormatan kepada hidup manusia dan hak-hak asasi manusia;

26
Schuller, 1991, hlm. 97, dalam ibid hlm. 270
27
Aristotle, 1947, hlm. 341, dalam ibid hlm. 270
28
Abelson, 1967, hlm. 85, dalam ibid hlm. 270
29
Yudhoyono & Husri, Op, Cit, hlm 9
30
Ibid, hlm 9

21
2. Kejujuran (honesty), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama
manusia;
3. Keadilan dan kepantasan (sikap yang utama harus diperlakukan
terhadap kelompok lain).
4. Ketabahan (kekuatan moral dan berani karena benar terhadap godaan
dan nasib).
5. Kesederhanaan dan pengendalian diri.

Bilamana nilai-nilai keutamaan itu melekat pada pribadi (individu)


penyelenggara negara (Penguasa), maka dia akan terpuji dan memungkinkan
terciptanya hubungan-hubungan sosial yang harmonis dan bahagia. Sebaliknya
bila kualitas pribadi tidak terpuji maka akan menimbulkan kondisi yang tidak pas
secara etis. Sebagai contoh bila komunikasi politik sudah didominasi oleh tujuan
untuk memenangkan kepentingan suatu golongan tertentu. Maka memang benar
yang dikatakan Dan Nimmo bahwa komunikasi politik akan bersinggungan
dengan kata kunci “konflik” yang terjadi antara dua atau lebih kepentingan
politik. Konflik memang sulit untuk dihindari, tapi kalau tidak dikelola dengan
baik akan menyebabkan komunikasi politik yang damai akan berubah menjadi
komunikasi peperangan para politisi.

Selanjutnya Timur diwakili oleh ajaran teori politik Lao Tzu (Taoisme)
yang didasarkan pada ajaran utama tentang Tao. Orang Taios memandang bahwa
semua perubahan di alam adalah manifestasi-manifestasi
proses dinamis saling mempengaruhi antara oposisi-oposisi
kutub Yin dan Yang. Oleh sebab itu, mereka percaya bahwa
setiap pasangan yang berlawanan memiliki hubungan
polar, dimana masing-masing kutub terkait secara dinamis
satu sama lain. Maka, kapanpun kita ingin mencapai
apapun, kita harus memulainya dengan lawannya. Di sisi
lain, kapanpun kita ingin mempertahankan apapun, kita
harus membiarkan di dalamnya ada lawannya. Inilah jalan
hidup orang bijak yang telah mencapai sudut pandang lebih tinggi, suatu
perspektif dimana relativitas dan hubungan polar dari semua hal yang
berlawanan dapat dipersepsi dengan jelas. Memahami metafisik Yin dan Yang,
maka kita fahami dalam uraian dibawah ini:

1. Konsep Yin Yang atau Yinyang (Hanzi) berasal dari filsafat Cina dan
metafisika kuno yang menjelaskan setiap benda di alam semesta
memiliki polaritas abadi berupa dua kekuatan utama yang selalu
berlawanan tapi selalu melengkapi.

22
2. Yin bersifat pasif, sedih, gelap, feminin, responsif, dan dikaitkan dengan
malam.
3. Yang bersifat aktif, terang, maskulin, agresif, dan dikaitkan dengan
siang. Yin disimbolkan dengan air, sedangkan Yang disimbolkan
dengan api.
4. Yin (feminin, hitam, bersifat pasif) dan Yang (maskulin, terang, bersifat
aktif) adalah dua elemen yang saling melengkapi.
5. Setiap kekuatan di alam dianggap memiliki keadaan Yin dan Yang.
6. Kemungkinan besar teori Yin dan Yang berasal dari ajaran agama
agraris zaman kuno.
7. Konsep Yin Yang dikenal dalam Taoisme dan Konfusianisme,
walaupun kata Yin Yang hanya muncul sekali dalam kitab Tao Te Ching
yang penuh dengan contoh dan penjelasan tentang konsep
keseimbangan.
8. Konsep Yin Yang merupakan prinsip dasar dalam ilmu pengobatan
tradisional Cina yang menetapkan setiap organ tubuh memiliki Yin dan
Yang.
9. Segala sesuatu tampak merupkaan dualitas, Yin dan Yang, tetapi
apabila kita perhatikan didalam simbol Yin Yang itu sendiri, terdapat
Yin didalam Yang dan terdapat Yang didalam Yin, hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada segala sesuatu yang mutlak Yin atau mutlak Yang.
10. Kedua nya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang
pada akhir nya akan menyadarkan kita bahwa tidak ada Yin dan Yang,
hanya Kekosongan.

Tindakan-tindakan orang bijak Taois muncul dari kebijakan intuitifnya,


secara spontan dan dalam keselarasan dengan lingkungannya. Ia tidak perlu
memaksakan dirinya sendiri, atau apapun di sekitarnya, namun sekedar
menyesuaikan tindakannya dengan gerakan Tao. Inilah yang disebut Wu-Wei. Wu
Wei berarti non-aksi (berbuat tidak berbuat). Arti dari ungkapan ini adalah alam
dan segala isinya telah memiliki irama geraknya sendiri-sendiri. Manusia dalam
menghadapi alam dan hidup sehari-hari tidak perlu banyak campur tangan,
biarkan alam dalam peristiwa berkembang menurut iramanya masing-masing.
Manusia jangan memaksakan kehendaknya sendiri dan ingin bertindak, karena
dengan demikian merusak irama alam dan hasilnya justru keserakahan,
kemarahan dan malapetaka.

Menurut Lao Tzu, negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang
manusia bijaksana. Kewajiban penguasa bijaksana adalah adalah membiarkan
atau tidak melakukan apapun. Bagi Lao Tzu berkaitan dengan dinamika sosial
dan politik adalah:

23
1. Kekacauan di dunia muncul bukan karena banyak hal yang belum
dikerjakan tetapi karena banyak hal yang dikerjakan.
2. Makin banyak batasan dan larangan yang terdapat di dalam dunia maka
makin banyak rakyat yang akan menjadi lebih miskin.
3. Makin banyak senjata tajam yang dimiliki rakyat, maka negara akan
makin kacau.
4. Makin banyak terdapat pengrajin ahli yang cerdik maka makin banyak
terdapat rekayasa yang busuk.
5. Makin banyak hukum yang ditetapkan, makin banyak pencuri dan
penjahat yang akan bermunculan.

Maka tindakan seorang penguasa bijaksana yang pertama adalah


meniadakan semua itu. Lao Tzu berkata:
” Campakan kearifan, singkirkan pengetahuan maka rakyat akan memperoleh
manfaat seratus kali lipat. Campakan rasa kemanusiaan, singkirkan rasa
keadilan, maka rakyat akan menjadi penurut dan memiliki rasa kebersamaan.
Campakan keahlian, singkirkan keuntungan, maka pencuri dan perampok akan
lenyap. Jangan mengagung-agungkan orang-orang terhormat maka rakyat tidak
akan bertengkar lagi. Jangan memandang tinggi benda-benda berharga yang sulit
diperoleh, maka pencuri tidak akan ada lagi. Jika rakyat tidak pernah melihat benda-
benda yang membangkitkan keinginan, maka pikiran mereka tidak akan rancu”.

Itulah sebabnya manusia bijaksana memerintah rakyat dengan mengosongkan


pikiran mereka serta mengencangkan syaraf mereka dan senantiasa membuat
rakyat tanpa pengetahuan dan tanpa keinginan.

Gambar 8.2: simbol Ying dan Yang

Penguasa akan meniadakan semua hal yang menyebabkan kekacauan di


dunia. Setelah itu dia akan memerintah dengan jalan tanpa melakukan perbuatan.
Dengan cara tanpa melakukan perbuatan maka ia tidak melakukan apapun,
24
namun segala sesuatunya akan terselesaikan. Tanpa melakukan tindakan apapun
dari seorang pemimpin, rakyat sendiri akan berubah. Jika pemimpin suka
ketenangan maka rakyat akan menjalani kehidupan dengan sopan. Ketika sang
pemimpin tidak mempedulikan apapun rakyat dengan sendirinya akan makmur.
Ketika sang pemimpin tidak memiliki keinginan maka rakyat dengan sendirinya
akan bersikap sederhana. Jangan melakukan apapun maka tidak ada suatupun
yang tidak akan dikerjakan. Tao secara tetap tidak melakukan apapun namun
tidak ada sesuatupun yang tidak dikerjakan. Tao adalah sesuatu yang
menyebabkan terjadinya segala sesuatu. Tao bukanlah sesuatu maka ia tidak
dapat melakukan seperti apa yang dibuat oleh sesuatu. Meskipun demikian,
segala sesuatu menjadi ada. Tao membiarkan segala sesuatu itu melakukan apa
yang bisa dikerjakan sendiri.

Seorang pemimpin negara harus mengikuti Tao yang tidak melakukan


apapun dan hendaknya membiarkan rakyat melakukan apapun yang dapat
mereka kerjakan sendiri. Seorang pemimpin negara harus menjadi seperti anak-
anak, karena kehidupan anak-anak lebih dekat dengan kehidupan ideal. Anak-
anak memiliki pengetahuan terbatas dan sedikit keinginan. Jiwa mereka masih
ibarat kertas putih yang masih bersih, sesuatu yang asli, murni tidak ada
kepalsuan. Keserdehanaan dan keteladanan mereka yang tanpa dosa merupakan
karakteristik yang hendaknya sedapat mungkin dipertahankan oleh setiap orang.
Manusia bijaksana memperlakukan setiap orang seperti anak-anak. Ia tidak
menjadikan mereka memperoleh pencerahan tetapi membuat mereka tetap dalam
keadaan tidak berpengetahuan.31 Keadaan tidak berpengetahuan merupakan
terjemahan kata China Yu yang maksudnya tidak tahu menahu dalam arti
kesederhanaan serta keadaan tanpa dosa. Pikiran seorang bijaksana adalah
pikiran seorang yang tidak berpengetahuan. Dalam taoisme, Yu bukanlah suatu
kejahatan melainkan suatu kebajikan besar.

Yu sebagai manusia bijaksana merupakan hasil pemupukan jiwa secara


sadar. Yu ini merupakan sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pengetahuan, sesuatu yang melebihi bukan sesuatu yang kurang dari itu. Yu
seorang manusia bijaksana merupakan kearifan besar dan bukan yu seorang anak
atau orang kebanyakan. Yu seorang anak atau yu kebanyakan merupakan
pemberian kodrat, sedangkan yu seorang manusia bijaksana merupakan hasil

31
Manusia semakin pintar, semakin tahu dan banyak informasi ada potensi untuk menjadi sombong,
bangga pada diri sendiri, merasa paling benar, tidak menghargai orang lain, iri dengki dan berpotensi
melakukan kecurangan atau kelicikan terhadap orang yang lemah (tidak tahu), istilah popular adalah
“mengkadali”. Inilah yang membuat manusia akhrinya berpecah-belah, saling menjatuhkan dan ingin
menguasai. Pemenang adalah yang menguasai informasi dan bijaksana menggunakannya sebagai hikmah
dan ilmu. Semakin matang keilmuannya semakin merunduk (rendah hati) seperti ilmu padi. Kesombongan
karena ‘tahu’ (mengetahui) terjadi bila Id (nafsu) lebih berkuasa daripada superego (hati nurani).

25
yang dicapai oleh jiwa. Dalam Taoisme, alam dan segala isinya telah memiliki
irama gerak masing-masing. Semuanya akan berkembang baik kalau dibiarkan
mengikuti irama geraknya masing-masing. Oleh sebab itu, seorang pemimpin
tidak perlu bertindak maka rakyat akan mengubah sendiri. Orang bijak Taois,
tidak berjuang membabi buta untuk kebaikan, namun lebih berupaya untuk
mempertahankan keseimbangan dinamis antara yang baik dan yang buruk. 32

Menurut Basuki Tjahya Purnama (Ahok), teori filsuf Lao Tse, menjelaskan
bahwa sebuah negara yang berhasil harus memiliki 5 unsur, yaitu wilayah,
pertahanan, makanan, rakyat, dan kepercayaan. Apabila unsur wilayah dibuang,
masih bisa terbentuk sebuah negara. Seperti Indonesia yang masih sempat dijajah
wilayahnya oleh Belanda. Kemudian apabila makanan dan pertahanan juga
dibuang, tidak akan menjadi persoalan karena Indonesia juga pernah mengalami
kelaparan. Begitu juga apabila tanpa rakyat. Namun, jika kepercayaan yang
dihilangkan maka sebuah negara bisa hancur. Sebaliknya, apabila hanya tinggal
rasa percaya antar rakyat dan pemerintah, keempat unsur yang hilang dapat
dibangun kembali.
"Yang penting pemerintahnya bisa membuat rakyatnya percaya, menciptakan
kepercayaan warga. Saya jadi ingat, quote Abraham Lincoln yang bilang gini,
'Kalau mau menguji karakter sejati orang, kasih dia kekuasaan'. Jadi orang bisa
dinilai dari bisa tidaknya dia memimpin. Seperti kepala daerah, bagaimana dia
menggunakan kekuasaannya, dapat dipercaya atau tidak”.33

E. Model Etika Komunikasi Politik Ibnu Sina


Sebelum diberikan amanah sebagai nabi dan rasul, Nabi Muhammad
sudah mempunyai gelar Al-’Amin yang artinya orang yang dipercaya. Ini
merupakan modal sosial dan modal politik bagi beliau saat terjun berda’wah ke
masyarakat. Sebutan atau gelar tersebut merupakan bentuk kepercayan
masyarakat di Mekah pada saat itu karena cerminan dari sikap, akhlak dan etika
beliau dalam kesehariannya. Komunikator merupakan aktor atau subyek dari
kajian etika. Komunikator politik adalah yang memulai atau memunculkan pesan
komunikasi, hal ini berkaitan dengan niat atau tujuan dari komunikator, apakah

32
Disadur dari beberapa sumber: Reksosusilo, Dr. S., Diktat Kuliah Filsafat Cina, Malang: STFT Widya Sasana,
2005; Yu-Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina (terj. John Rinaldi, S. Fil), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007; Bam,
Archie J., Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius,2003,
Hlm. 26.
33
Liputan6.com, 19 Agustus 2013, diakses 5 Mei 2016,http://news.liputan6.com/read/668261/ahok-dan-teori-filsuf-
lao-tse

26
niat seseorang (komunikator) itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh akan
dilakukan? Beberapa peneliti dalam bidang komunikasi mendukung pandangan
bahwa hanya perilaku yang disengaja saja yang komunikatif. Contohnya; Greald
Miler dan Mark Steinberg (1975) menginterpretasikan proses komunikasi sebagai
berikut:
“Kami telah memutuskan untuk membatasi diskusi mengenai komunikasi pada
transaksi simbolik yang disengaja: mereka yang berada pada satu pihak
mengirimkan pesan pada pihak lainnya dengan tujuan untuk mengubah perilaku
orang tersebut. Karenanya dalam definisi kami, niat untuk berkomunikasi dan niat
untuk memengaruhi merupakan hal yang sama. Apabila tidak ada niat, tidak ada
pesan.”34
Komunikator politik (politisi, profesional dan aktivis) ketika
berkomunikasi tidak dimaknai sebagai pernyataan individual atau pribadi an sich,
namun seorang komunikator politik merupakan wakil dan respesentasi dari
khalayak yang diwakili. Menurut Nimmo35 politisi sebagai komunikator politik
memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini
publik. Politisi atau politikus berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan
pesan-pesan politikus itu adalah untuk memajukan dan atau melindungi tujuan
kepentingan politik. Jadi, komunikator politik posisinya adalah mewakili
kepentingan kelompok, sehingga jika dirangkum maka politisi mencari pengaruh
lewat komunikasi.

Pentingnya komunikasi dalam pencapaian sasaran politik karena sebagian


besar aktivitas politik adalah menggunakan kata-kata, bahasa dan intonasi
permainan kata-kata. Politisi berhasil meraih kekuasaan karena keberhasilannya
berbicara secara persuasif kepada para pemilih pada saat pemilihan umum
(election) dan kepada elit politik pada saat negosiasi dan lobi-lobi. Bahasa yang
digunakan dalam konteks politik bukanlah karena bentuk atau kosa kata,
melainkan karena substasi informasi yang dihadirkan sehingga membuat bahasa
verbal maupun nonverbal menjadi politis. Informasi dibangun dan dirancang
sedemikian rupa dan disebarkan maupun karena fungsi yang dijalankan.
Sehingga komunikator politik terutama para politisi berada pada posisi strategis
untuk memainkan peran politik dalam suatu rangkaian peristiwa politik yang
terjadi secara natural (alami) atau yang dapat direkayasa / dirancang (agenda
setting).

34
West & Turner, Op, Cit, hlm 15
35
Nimmo, Op, Cit, hlm 72

27
Ibnu Sina dalam karyanya “Kitab Us Syifa”, Bab V dengan Judul “Akhlak
dan Adat (kebiasaan) yang Baik”, menjabarkan mengenai etika yang berimplikasi
dengan masalah negara, kekuasaan dan undang-undang. Ibnu Sina memang lebih
popular dengan bidang kedokteran karena temuan-
temuannya yang terkenal dan bermanafaat sampai hari ini.
Namun ternyata ia memiliki pengalaman dibidang politik
yang cukup matang. Berbeda dengan gurunya Al-Farabi
yang tidak pernah terlibat dalam politik praktis, Ibnu Sina
dalam kisah hidupnya melakukan penyelidikan (penelitian)
dengan cara menjadi seorang ilmuan pengembara, dia sudah
mengunjungi kurang lebih 18 buah daerah yang berbeda-
beda pemerintahannya. Ada dua golongan yang menjadi sasaran tujuannya yaitu
ahli-ahli ilmu dan rakyat banyak. Ibnu Sina berbicara langsung dengan kedua
golongan itu dari hati ke hati, terutama mengenai pengalaman dan penderitaan
mereka sebagai rakyat dari setiap pemerintahan. Selanjutnya dalam rangka
memperkaya pengalaman politiknya, sewaktu umur 20 tahun, dia telah
melakukan perjalanan ke 8 daerah yang memakan waktu 3 tahun lamanya, yaitu
pada 390 Hijriyah atau 1000 sampai 1003 Masehi.36

Hasil dari interaksi langsung dengan rakyat, Ibnu Sina mempunyai


semangat kerakyatan yang dalam sekali. Didalam setiap kali terjadi kemelut yang
memaksa dia harus memilih, maka pilihannya selaku kepada “rakyat”. Sewaktu
Angkatan bersenjata memaksanya memilih, apakah tetap menjadi Perdana Mentri
dengan syarat, mengikuti aliran mereka ataukah memihak Rakyat tetapi harus
meninggalkan jabatan tinggi itu, maka Ibnu Sina menjatuhkan pilihannya kepada
rakyat, dengan melepaskan jabatannya dan hidup ditengah rakyat jelata. Lalu dia
juga pernah menjadi penonton yang aktif, yaitu pada masa Ibnu Sina
meningkatkan pengalamannya menjadi seorang penonton yang aktif 37,
maksudnya walaupun dia sudah berada diatas panggung pemerintahan, tetapi
hanya merupakan penonton terhormat, tidak boleh langsung mengerjakan
pemerintahan. Pekerjaan ini dilakukannya pada saat dia menjadi penasehat
pribadi dari Sultan Nouh II bin Mansur dari Samaniyah di Bukhara pada 387 H,
dan kemudian sebagai penasehat agung dari Sultan ‘Alaud Dawlah di Isfahan
selama 15 tahun pada 413 H sampai dengan 428 H, yaitu sampai hari wafatnya.

Menjadi penonton yang aktif selama waktu yang panjang itu, memberikan
bahan-bahan yang cukup banyak baginya untuk menyusun teori politik yang

36
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur, Menurut Ibnu Sina, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974,
hlm 105
37
Ibid, hlm 106 (penonton aktif bisa disetarakan sebagai staf ahli atau pengamat akademisi, istilah yang
digunakan penulis pada tahun 1974).

28
dianutnya. Untuk jelasnya, sebagai penasehat pribadi adalah pengalaman yang
pertama kali untuk terjun ke gelanggang politik, dan hal itu berjalan setahun
lamanya. Sebagai Penasehat Agung dia melakukannya sesudah dua kali gagal
dalam pekerjaan politik di jabatannya yang tinggi karena adanya pertentangan
terkait gagasannya.

Selanjutnya Ibnu Sina menjadi atau berperan sebagai ‘Pemain’ yang


bertanggung jawab, dengan kedua pekerjaannya diatas belumlah merupakan
keistimewaan baginya, kalau tidak disertakan dengan pengalamannya yang
ketiga ini, yaitu ikut memainkan peranan penting sebagai pemegang
pertanggungan jawab. Ibnu Sina telah memegang jabatan penting sebanyak 3 kali,
pertama, sebagai Administrator Daerah pada 390 H untuk melanjutkan pekerjaan
ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Pekerjaan ini dijalankannya hanya
selama satu tahun. Kedua, sebagai Mentri Pertama di Hamadhan 38 yang
dipangkunya selama 5 tahun, pada 397 sampai dengan 402 H (1.005 – 1.010 M).
sebagai seorang penguasa tertinggi, dipraktekkanlah prinsip-prinsip politik yang
dianutnya, yaitu politik “Kerakyatan-kemasyarakatan”.

Tetapi sayang sekali, ide yang dijalankannya mendapat perlawanan hebat


dari angkatan bersenjata, sehingga mereka melakukan demonstrasi kerumahnya,
menangkapnya, dan memintakan “hukuman mati” atasnya, dan yang ketiga,
menjadi Perdana Mentri di Hamadan yang dijabat olehnya selama 9 tahun, pada
403 s/d 412 H (1.012 s/d 1.021 M). Jabatan ini dipegangnya kembali, sesudah
melalui “kompromi” dengan angkatan bersenjata (militer). 39

Dr. Abdul Haliem Mahmud menerangkan mengenai kedudukan Ibnu Sina


sebagai berikut:
“Ibnu Sina didalam kedudukan politiknya telah mencapai jabatan yang tertinggi,
hanya setingkat dibawah Kepala Negara. Tetapi dia juga telah mengalami
penderitaan dan kerendahan, menjadi orang buangan dan bersembunyi diri, atau
dijebloskan kedalam penjara. Tuhan telah menganugerahkan kepadanya kecerdasan
yang luar biasa, yang dipergunakannya untuk pekerjaan politik negara, bahkan
juga untuk kepentingan ilmiah”.40

38
Hamedan adalah sebuah kota di barat laut Iran. Kota ini merupakan ibukota Provinsi Hamadān, kota ini
telah dihuni manusia sejak ke 3000 SM sehingga merupakan salah satu kota tertua di dunia. Nama kuno
kota ini adalah Ecbatana dan Hegmatana yang pernah menjadi ibukota Kekaisaran Media. Hamedan adalah
titik penyeberangan untuk rute perdagangan antara Mesopotamia dengan Persia.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Hamadan)
39
Ibid, hlm 107
40
Abdu Haliem Hammud, At Tashawuf ‘inda Ibni Siena, hlm 16

29
Menyebutkan pengalaman politiknya belumlah lengkap kalau tidak
diterangkan pula tentang penderitaannya sebagai pemimpin suatu aliran politik.
Disamping jabatan yang diembannya sebagai yang telah dijelaskan diatas, Ibnu
Sina telah mengalami pula akan kepahitan-kepahitan yang sudah diterangkan
secara rinci dalam kisah hidupnya, yaitu: 41

1. Menjadi “orang buruan”, selama 40 hari, yaitu sewaktu angkatan


bersenjata menuntunya supaya dihukum “mati”, tetapi Sulthan Syamsud
Dawlah hanya menjatuhkannya hukuman “buangan”, pada 402 H. Dia
bersembunyi selama 40 hari dirumah Syeikh Abi Sa’ied Dakhduk.
2. Menjadi “orang tahanan” selama 4 bulan, sewaktu Amir Samaud Dawlah
menuduhnya bersekutu secara rahasia dengan Amir ‘Alaud Dawlah dari
Isfahan, pada 413 H (1.022 M) dipenjara Ferdajan.
3. Menjadi “orang pelarian”, sewaktu melarikan diri dari Hamadhan menuju
kota Isfahanm pada 413 H (1.022 M), dengan menyamar sebagai seorang
“shufi”.

Dengan segala penderitaan yang dilaluinya, cukuplah sudah pengalaman


Ibnu Sina dalam politik. Dia bukan saja seorang “negarawan” (politician) yang
memegang jabatan-jabatan resmi dalam negara, tetapi dia juga seorang
“pemimpin politik” (political leader) yang telah melalui berbagai penderitaan dan
pengorbanan. Demikianlah Ibnu Sina melengkapi bahan-bahan politiknya,
disamping faham Plato dari Yunani, dan kaedah-kaedah umum ajaran Islam,
secara “empirical” dia telah mendapatkan bahan-bahan dari pengalamannya, baik
sebagai negarawan maupun sebagai pemimpin politik. Pengalamannya yang
mengkaitkan hubunguan politik dan etika akan penulis paparkan dengan
mengutip salah satu bab dalam bukunya “As-Syifa”, yang terjemahannya adalah
sebagai berikut:42
“Kitab Us Syifa”,
Bab V
“Akhlak dan Adat (kebiasaan) yang Baik”

1. Undang-undang harus mengatur akhlak dan kebiasaan yang baik bagi


rakyat, yaitu bersifat “adalah” (pertengahan yang baik), tidak berlebihan
dan tidak pula kekurangan.

41
Abidin Ahmad, Op, Cit, hlm 107
42
Ibid, hlm 286

30
“Badan perundang-undangan harus pula menyusun undang-undang tentang
akhlak dan adat bangsa, yang ditujukan kepada sifat “‘adalah”, yaitu
pertengahan yang baik. Sifat pertengahan baik didalam akhlak dan adat,
dimintakan berlakunya dalam dua hal: pertama, memecahkan keganasan
kekuatan-kekuatan, untuk maksud membersihkan jiwa khususnya dan untuk
menggunakannya bagi kebesaran jiwa, dan juga untuk membebaskan diri
dari (keinginan-keinginan) jasmani; kedua, memakai segala kekuatan-
kekuatan, untuk kepentingan duniawi. Adapun pemakaian kekuatan nafsu,
adalah untuk kepentingan badan dan untuk keturunan; sedang pemakaian
sifat berani adalah untuk kepentingan negara. Harus dijauhi sifat berlebihan
(pada kedua kekuatan itu, nafsu dan semangat berani), karena besar
bencananya kepada kepentingan kemanusiaan; dan begitu pula sebaiknya
(harus dijauhi) sifat kekuarangan (pada keduanya), karena sangat merugikan
bagi negara”.

2. Kekuatan akhlak yang ketiga yaitu “pengertian”, sangatlah dibutuhkan


untuk mempertinggi tingkat kecerdasan rakyat dan masyarakat.
‘Sifat’ pengertian yang baik, yang menjadi kekuatan ketiga disamping
kesucian nafsu dan keberanian, maka bukanlah maksudnya “ilmu
pengetahun” (pengertian yang luas), sebab mengenai ilmu pengetahuan
tidaklah diperintahkan bersifat “pertengahan” padanya. Tetapi maksudnya
ialah pengertian yang praktis mengenai tindakan-tindakan didunia dan
urusan-urusan duniawi. Sesungguhnya ‘’keterlauan’’ dalam memakai
pengertian dan sangat bernafsu untuk mengerti tentang jalan-jalan keduniaan
itu, dan sangat menjauhi segala sebab bahaya sehingga menimbulkan sifat-
sifat sebaliknya baik terhadap dirinya maupun terhadap manusia dalam
masyarakatnya, atau menyebabkan dia tidak dapat mengusahakan sifat-sifat
baik yang lainnya, maka demikian dinamakan sifat ‘’jarbazah’’ yang tercela.

3. Sifat ‘’kikir’’ dalam harta benda, adalah sangat merugikan, bukan saja
terhadap orang lain, bahkan juga terhadap dirinya sendiri.
“Perbuatan kikir dengan mengikatkan tangan kepundak belakangnya, adalah
membuang percuma akan dirinya sendiri, akan umurnya, dan segala alat
kebaikan dan kebangkitan yang membawanya kepada kesempurnaan”.

31
4. Ada 3 sifat yang menjadi kekuatan yang hebat didalam diri manusia, dan
ketiganya harus dinetralisir.
“kekuatan-kekuatan pendorong (yang terdapat dalam diri manusia) ialah:
nafsu syahwat, semangat berani, dan pengertian mempergunakan. Maka
sifat-sifat yang utama (dari ketiganya) adalah tiga macam pula: pertama,
pertengahan yang baik tentang nafsu, misalnya nafsu berani, nafsu makan,
nafsu pakaian, nafsu senang, dan segala macam keinginan nafsu, baik yang
nyata maupun dalam angan-angan pikiran; kedua, pertengahan dalam
keberanian, misalnya antara penakut dan pemarah, antara rendah diri dan
sombong, antara dendam, iri hati dan sebaliknya, dan begitulah lainnya lagi
dan; ketiga, sifat pengertian yang baik dalam mengatur dan mempergunakan
segala benda duniawi ini”.

5. Pokok-pokok mempertegas satu persatu kekuatan-kekuatan moral yang


terdapat pada manusia, dan bagaimana pula menempuh jalan yang terbaik
terhadap segala kekuatan itu.
“Pokok-pokok sifat-sifat utama ini ialah sifat suci nafsu, pengertian yang
baik, dan keberanian. Kumpulan semuanya itu ialah sifat ‘adalah’ (jalan
tengah yang terbaik). Ini belum dimasukkan atau diluar dari soal ilmu
pengetahuan (theoretical wisdom). Siapa yang memiliki ketiga akhlak itu serta
mempunyai pula ilmu pengetahuan yang tinggi, dialah seorang yang
beruntung. Tetapi, disamping semuanya itu dipunyainya pula sifat-sifat ke-
Nabi-an, maka dia bagaikan menjadi Manusia Dewa, dan dijunjung ditaáti
rakyat sesudah (disamping) berbuat pengabdian (ibadah) kepada Tuhan,
Dialah yang berhak menjadi Maharaja dibumi ini, menjadi Khalifah (Wakil/
Staf) dari Tuhan”.

32
Berdasarkan pemikiran Ibnu Sina tersebut maka sifat ‘adalah’ atau adil
merupakan wujud keseimbangan. Sehingga untuk dengan menjaga keseimbagan
tersebut manusia akan memancarkan cahaya akhlak yang baik atau beretika. Ini
akan menjadi modal ketika seseorang ingin terjun ke dunia politik. Lalu beliau
juga memperkuat seorang politisi atau pemimpin harus mengarah atau merujuk
kepada sifat ke-Nabi-an karena dengan sunnahnya merupakan contoh atau
suritauladan bila kita ingin mewujudkan pemerintah yang adil dan makmur
sesuai dengan teorinya mengenai politik dan kenegaraan. Selanjutnya berkaitan
dengan komunikasi politik penulis memadukan sifat-sifat ke-Nabi-an dengan
komponen-komponen komunikasi yang tergambarkan pada model berikut ini:

Gambar 2: Model Etika Komunikasi Politik Ibnu Sina

Penjelasannya adalah menjadikan Rasulullah sebagai suritauladan dengan


sifat-sifatnya yang mulia, yaitu Sidiq, tabliq, fathanah, amanah dan fathanah.

1. Komunikator, sebagai sumber pembawa pesan harus mempunyai sifat shidiq


atau kejujuran (honesty), baik kepada diri sendiri maupun terhadap sesama
manusia. Selalu benar mulai dari apa yang diniatkan dalam hati, lalu
diucapkan dengan lisan dan perbuatan harus sesuai. Begitu pula dalam segala
hal harus tulus dan murni bukan sesuatu yang direkayasa (kesemuan) demi
mendapatkan simpati agar berkuasa. Lawan dari jujur adalah khizib (bohong)
yang merupakan perbuatan tercela bahkan termasuk dosa besar, tidak boleh
bersaksi palsu.

2. Pesan harus segera disampaikan (Tabligh), pesan adalah informasi yang bisa
jadi berisi sebuah tugas (perintah / larangan) dan tanggung jawab baik dalam
33
bentuk verbal dan nonverbal. Seperti bagaimana seorang Nabi dan Rasul yang
berjuang agar pesan Tuhan (Wahyu) sampai kepada ummat manusia agar
menjadi petunjuk yang benar (menyelamatkan) dan terhindar dari jalan yang
salah. Pesan adalah informasi yang harus disampaikan kepada yang berhak
mengetahuinya, bisa diantara sesama lembaga, atau kepada khalayak luas
(rakyat). Dalam menjalankan tugas-tugas pokok pemerintahan mutlak
diperlukan partisipasi publik yang akhirnya juga untuk kepentingan publik
juga. Menggalang dan mengarahkan opini dan partisipasi publik itu
diperlukan komunikasi yang membangun keselarasan visi agar terwujudnya
kekompakan atau keterpaduan disegala elemen bangsa, mulai dari antar
lembaga, dan yang terpenting dukungan rakyat dalam pelaksanaan tugas-
tugas pemerintahan. Agar dapat diterima dengan baik dan dipercaya oleh
publik maka kandungan dasar informasi mutlak harus memuat etika dan
realitas kebenaran (fakta). Kenyataannya, apa yang kita terima sebagai
informasi seringkali sangatlah berbeda dengan realita sesungguhnya (distorsi
informasi). Distorsi informasi itulah akan berdampak munculnya public
distrust, sehingga komunikasi politik menuntut keharusan mencari informasi
yang sesuai keadaan sebenarnya dan juga didukung dengan informasi data
yang memadai. Kualitas informasi yang dikomunikasikan sangat dipengaruhi
oleh:43 a) Kebenaran (reliability); b) Ketepatan (accuracy), kesesuaian antara
kondisi atau keadaan yang sesungguhnya dengan yang dikomunikasikan; c)
Konsistensi informasi yang sesungguhnya; d) Tingkat berlakunya (validity); e)
kemuktahirannya, sejauh mana informasi atau data itu masih sesuai; f)
Kemurnian, yaitu tidak dikotori oleh informasi atau data yang tidak
diperlukan.

3. Saluran (media) merupakan amanah, pesan yang akan disampaikan adalah


sesuatu yang harus dijaga dan tidak boleh dirubah secara substansinya.
Saluran adalah proses terjadinya transisi penyampaian pesan. Saluran
merupakan penghubung atara komunikator yang telah membentuk pesan
(encoding) dengan komunikan yang akan menafsirkan pesan (decoding), tanpa
saluran (media) maka pesan tidak akan pernah sampai ke komunikan. Jadi
komunikator dapat dikatakan menjalankan amanah bila proses berjalan
sampai pada fase di saluran (media) yang langsung tersalurkan kepada
komunikan. Amanah juga diartikan dipercaya (kepercayaan), melalui saluran
akan teruji apakah dalam perjalanannya pesan sampai kepada komunikan
dalam kondisi asli (original) atau telah bergeser, bahkan berubah dari

43
Susilo Bambang Yudhoyono & Andi Amri Husni, Komunikasi Politik dan Demokratisasi di Indonesia,
Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm 10.

34
substansinya. Bila terjadi perubahan atau tidak pernah dikirim kepada
komunikan berarti komunikator tersebut telah berkhianat. Jadi potensi
terjadinya pelanggaran (khianat) ada pada bagaimana saluran digunakan.
Tindakan yang mencerminkan suatu amanah adalah ‘disiplin’, karena disiplin
merupakan gambaran kominten antara janji, ucapan dan perbuatan. Contoh
setelah berjanji bertemu disuatu tempat jam 06.00 pagi maka tindakannya
bahkan jam 05.30 sudah hadir karena ingin menjaga ucapannya (janji),
bukanlah budaya “jam karet” yang akan membuat integritas dan kredibilitas
seseorang menjadi luntur. Saluran yang paling kuat adalah pertemuan tatap
muka (face to face) karena semua pesan baik verbal maupun nonverbal dapat
disampaikan atau diterima secara utuh dan komunikasi tatap muka
merupakan fase awal terjadinya hubungan yang sifatnya personal. Dengan
intensitas atau frekuensi pertemuan yang terus bertambah maka otomatis
komunikator akan mempersuasi (mempengaruhi) komunikan dengan
kedekatan dan ketulusan komunikator. Namun dalam konteks komunikasi
antarpribadi tidak semua tahap demi tahap berakhir dengan kedekatan
hubungan semakin dekat dan akrab, karena pandangan, ideologi dan
kepentingan yang berbeda, berseberangan berakhir dengan perpisahan
(sepakat untuk tidak sepakat). Selanjutnya pesan yang berkualitas akan
disampaikan kepada seluruh khalayak umum melalui jaringan persaudaraan,
kekerabatan baik formal (struktur lembaga formal) dan nonformal (kelompok
/paguyuban). Pertemuan tatap muka bila berkaitan dengan masalah
pembicaraan untuk kepentingan negara dan rakyat banyak (umum), tidaklah
etis bila dilakukan dengan pertemuan nonformal dan rahasia seperti di hotel,
rumah pribadi atau bukan di tempat yang benar seperti ruang sidang, ruang
rapat di lembaga negara, karena akan berpotensi terjadinya permufakatan
jahat yang akan memancing perbuatan pelanggaran hukum seperti suap-
menyuap, korupsi, gratifikasi dan sebagainya. Saluran bermedia (media
massa), baik media visual (cetak), audio (radio) dan audio visual (televisi)
terkadang menjadi alat yang dapat merekayasa pesan, terutama pesan yang
terkesan “seolah-olah” peduli, perhatian padahal itu dilakukan dengan
pamrih. Media masa juga kerap digunakan sebagai media propaganda politik
sebagai alat untuk pencitraan, membunuh karakter lawan politik dengan
menyebarkan isu-isu tertentu. Lalu di era digital (media baru) muncul
rekayasa informasi semakin parah terlebih dalam bentuk kampanye hitam
(black campaign). Sosial media juga sudah menjadi kanal baru bagi para politisi
untuk menyebarkan gagasan dan ide (publisitas), sosialisasi, sarana sindiran,
bahkan curahan hati (curhat) politik. Orang yang amanah adalah orang
(pemimpin) yang dapat dipercaya dan dia menjaga dirinya dari perbuatan
maksiat terlebih berbuat fitnah yang bahayanya lebih besar dari pembunuhan.

35
Lawan dari amanah adalah khianat atau menyalahi atau meninggalkan
perintah, melanggar apa yang menjadi larangan mulai dari larangan Tuhan,
Undang-undang, aturan dan kode etik yang berlaku, dan termasuk khianat
dari perjanjian sesama manusia, contoh janji-janji politik selama kampanye.
Amanah kekuasaan adalah amanah Tuhan dan sebuah kepercayaan rakyat,
jadi kalau terjadi pelanggaran atau penyimpangan seperti menyuap, korupsi,
tindakan asusila berarti pelakunya adalah pemimpin yang berkhianat kepada
Tuhan dan rakyat.

4. Khalayak atau publik (rakyat) akan menjadi cerdas (Fathanah) dalam


berpikir, bertindak dan partisipasinya pun meningkat. Rakyat sebenarnya
bagaimana para pemimpinnya. Semakin adil dan bijaksana pemimpin akan
membuat kenyamanan dan kesejahteraan bagi rakyat. Kecerdasan rakyat
merupakan pantulan (cerminan) dari prilaku elite yang baik. Pemimpin akan
menjadi contoh bagi prilaku rakyat. Bila rakyat selalu disuguhi berita
berkaitan pemimpinnya yang korupsi, menyuap, gratifikasi, gaya hidup
bermewah-mewahan, bahkan sampai berbuat asusila (maksiat) bisa jadi akan
membuat rakyat menjadi apatis (apolitik), terbukti dari beberapa tahun
terakhir baik Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2014 dan Pilkada Serentak 2015
terdapat angka Golput (golongan putih) yang cukup besar. Lawan dari cerdas
adalah baladah (bodoh), perbuatan tercela pimpinan / atasan akan mendapat
ruang dukungan secara terstruktur dan sistematis diikuti bawahannya sampai
ke level akar rumput (rakyat), inilah cikal bakal munculnya zaman yang dahulu
disebut Jahiliyah (zaman kebodohan), sebenarnya secara intelktual pada
zaman para Nabi dan Rasul sudah canggih dibuktikan adanya bangunan besar
dan karya-karya sastra yang tinggi. Tapi yang bodoh itu adalah moral, akhlak
atau etikanya. Mereka membuat Undang-Undang / Peraturan tapi mereka
sendiri yang melakukan pelanggaran hukumnya, seperti yang terjadi
dikalangan eksekutif, legislatif bahkan yudikatif semua berpartisipasi dengan
berbagai kasus-kasus pelanggaran hukum.

5. Efek merupakan dampak, sebuah akibat dari suatu sebab. Penyebabnya


adalah bagaimana para komunikator politik berbuat dan bertindak. Dampak
positif mulai dari pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif) dan dukungan
(konatif) akan terjadi bila penyebabnya berbuat positif, bekerja bukan karena
nafsu jahat, dan demi kepentingan orang banyak bukan semata-mata
kesenangan individunya. Begitupun sebaliknya dampak negatif karena
bersumber penyebab yang berenergi negatif dan akhirnya menyebarkan hawa
negatif ke seluruh negeri terutama ketidak percayaan (distrust) rakyat terhadap
para politisi/ pemimpin.

36
Berdasarkan ketiga perspektif mulai dari Aristoteles, Lou Tze, dan Ibnu
Sina yang semuanya sama-sama membahas mengenai masalah etika atau moral
yang berkolerasi dengan politik (kekuasaan, Negara dan kepemimpinan).
Aristoteles menggunakan istilah Golden Mean (pertenganan emas), Lou Tze
dengan konsep Ying dan Yang yaitu sebuah pola keseimbangan yang ada di alam,
dan Ibnu Sina menggunakan istilah ‘Adalah’ (keadilan). Keseimbangan yang ada
di alam, di prilaku manusia akan menyebabkan keselamatan manusia dan
kelestarian alam berserta isinya baik flora dan fauna. Menurut filosofi Ying dan
Yang keburukan atau kejahatan bukanlah sesuatu yang dapat dibinasakan atau
dihilangkan dalam kehidupan di dunia ini. Maka harus ada daya dari kebaikan
yang mengimbangi kekuatan jahat. Iblis (simbol kejahatan) tidak akan hilang dari
dunia ini dengan melakukan perannya untuk menghasut dan mempengaruhi
manusia untuk berbuat jahat (salah) menyimpang dari jalan yang lurus, maka
harus ada sisi lain yang berjuang untuk menegakkan kebenaran sebagai
penyeimbangnya. Bila terjadi ketidakseimbangan di dunia ini, dimana kekuatan
kejahatan yang berpotensi merusak moral dan alam mendominasi bisa jadi itulah
cikal-bakal kehancuran, bencana alam (pemanasan global) dan bencana
kemanusiaan di dunia. Penindasan, kekerasan, kriminalitas, penyimpangan
prilaku, akan merajalela mulai dari kalangan elite politik sampai kepada rakyat
bawah. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan, memilih dan berbuat
apapun di muka bumi, tapi manusia tidak bisa bebas untuk mendapatkan
konsekuensi dari segala perbuatannya.

Maka Etika atau akhlak yang menjadi tujuan utama untuk diperbaiki dan
disempurnakan oleh semua misi para Nabi dan Rasul yang pernah
memperjuangkannya di dunia ini sebagai pembawa berita dan utusan dari Tuhan.
Sudah seharusnya apa yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul menjadi
contoh dan pedoman bagi manusia sepanjang zaman. Orang yang beretika
(berakhlak) adalah orang yang mau menyelaraskan niat, pandangan, ucapan dan
perbuatannya dengan kehendak Sang Maha Pencipta yang terpancar dari
perbuatan baik dan benar. Perbuatan baik biasanya merupakan cerminan nilai
yang secara universal diterima oleh semua suku, bangsa di dunia. Namun istilah
“benar” atau kebenaran bisa bersifat subjektif, karena manusia dibumi ini sudah
terbelah-belah atau terkotak-kotak dengan perbedaan agama, budaya, bahasa,
adat kebiasaan dan sebagainya. Memiliki keyakinan (belief) berdasarkan
pandangan yang berbeda mengenai kebenaran yang diyakininya akan memiliki
kesulitan untuk disamakan atau disatukan, bahkan hal ini bisa menyebabkan
pertumpahan darah. Perbuatan tidak baik (jahat) atau amoral juga bisa dikatakan
selaras dengan perbuatan baik yang yang akan dinilai bersifat universal (objektif)

37
oleh manusia, dan juga perbuatan salah selaras dengan perbuatan benar yang
akan dinilai bersifat subjektif oleh manusia.

Maka disimpulkan sesuatu yang beretika atau berakhlak adalah bila segala
sesuatunya berjalan dengan seimbang dan terwujudnya keadilan bagi semua
yang terkait dalam sebuah interaksi dalam sistem kehidupan (manusia, hewan,
tumbuhan di dunia), dunia adalah sistem yang kompleks dimana kelestariannya
karena adanya keseimbangan didalamnya. Interaksi tersebut juga termasuk
proses komunikasi dimana ada komponen-komponen yang berinteraksi mulai
dari komunikator, pesan, saluran, komunikan yang akan menghasilkan dampak
(effect) dan umpan balik (feedback). Dalam konteks komunikasi politik akan dilihat
sebagai jembatan metodolgis antara disiplin komunikasi dan politik. Maka objek
formal komunikasi politik adalah proses penciptaan kebersamaan dalam makna
tentang fakta dan peristiwa politik.

Etika komunikasi politik adalah keseimbangan dari proses penyampaian


pesan dari komunikator politik kepada khayalak (komunikan politik) melalui
saluran yang seimbang dan berkeadilan (tidak manipulatif), tidak ada tendensi
atau kepentingan individu atau golongan tertentu. Selanjutnya simpulan diatas
akan diperkuat dengan Wahyu Ilahi yang meminta hamba-Nya (manusia) untuk
berulang-ulang memperhatikan, mengamati apakah ada yang tidak seimbang
dengan penglihatan kita baik mata kepala maupun mata hati (qalbu). Sampai
dapat dipastikan tidak ada cacat sedikitpun (dikoreksi, dievaluasi, dan diperbaiki
selalu). Apa yang dilakukan oleh manusia hanyalah berupaya untuk menuju
sempurna walaupun mungkin itu adalah suatu yang sangat mustahil. Karena
kesempurnaan hanyalah milik Sang Khaliq Maha Pencipta.
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan
payah (Al-Mulk, 67: 3-4).

Etika mengharuskan aktor, pelaku atau sang komunikator untuk


memastikan kondisi yang stabil, seimbang dan adil mulai dari niat, ucapan dan
perbuatan. Jangan kita serba berlebih-lebihan dan kekurangan dalam segala hal
dalam kehidupan ini. Orang yang diberi karunia dengan kerupawanan,
kesuksesan, kemakmuran, kaya harta jangan menjadikan kesombongan, dan yang
serba kekurangan, miskin, tidak rupawan dan lainnya janganlah menjadi pesimis.
Barangsiapa yang berhasil menjaga dengan berupaya untuk menjadi seimbang
itulah orang yang selamat dan aman, seperti yang digambarkan dalam Kalam
Ilahi berikut ini.

38
‘’Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke
hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang
sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka
dapatkah kamu menghindarkan daripada kami adzab Allah (walaupun) sedikit
saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami,
niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita
mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk
melarikan diri" (Qs: Ibrahim, 14: 21).

Ayaat tersebut menggambarkan sebuat dialektika perdebatan antara orang lemah


yang menyalahkan orang yang sombong. Orang lemah yaitu pesimistis yang
akhirnya tidak mempunyai motivasi apapun sehingga membunuh kreatifitas,
inovasi, pasrah terhadap kondisi dan keadaan yang diterimanya. Seharusnya dia
harus menerima dan menjadikan kekurangan (krisis) yang ada menjadi kekuatan
(power) yang akan membuatnya menjadi orang yang kritis dan mampu keluar dari
masalahnya dengan sebuah solusi. Orang lemah hanya pasrah (putus asa)
dikendalikan oleh orang yang sombong (berlebih-lebihan) 44, contohnya seperti
rakyat yang akhirnya “nrimo” dengan dominasi penguasa yang dzalim, melihat
kondisi tersebut menerima mungkin karena takut.
Penguasa dzalim dengan kesombongannya ternyata berdampak hanya
mementingkan hawa nafsunya terhadap kedudukan dan harta benda yang
akhirnya bertanggung jawab penuh terhadap kerusakan moral dan akhlak
rakyatnya secara global dan masal. Kesombongan dan kedzaliman akan
membutakan mata hatinya dan membinasakan mereka sendiri walaupun mereka
sebenarnya meyakini kebenaran.45 Akhirnya yang paling bertanggung jawab
dengan ketidakseimbangan tersebut adalah orang yang berilmu (‘ulama) bila
hanya membiarkan hal tersebut sementara dia mempunyai ilmu yang merupakan
kekuatan yang besar untuk meluruskan suatu peradaban di dunia. 46 ‘Ulama tidak
boleh menyembunyikan ilmunya hanya karena kepentingan pribadinya sendiri,
orang berilmu jangan hanya mengomentari (komentator) dan hanya mengamati,
membuat studi analitis untuk mengejar nilai akademis saja, tapi tantangannya
adalah bagaimana bisa sebagai kontrol sosial dan kontrol moral (akhlak) bagi
aktor politik dimana saja dia berada, karena bila pimpinan politik atau pemimpin
yang berkuasa berbuat kesalahan, siapa yang mempunyai kekuatan untuk

44
Qs: Al-Isra, 17/83: “Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan
membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”.
45 QS: An Naml, 27/14: “Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”.
46 QS: Al-Baqarah, 2/159-160: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan

berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-
Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang
telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima
tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”.

39
mengingatkan kecuali orang yang berilmu. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Imam Ghazali dibawah ini.

“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para


penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan
ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan
kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak
akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-
lah tempat meminta segala persoalan ”. 47

Orang terpuji adalah karena dia melakukakan perbuatan


yang terpuji, dan orang yang tercela karena dia melakukan
perbuatan yang tercepa pula. Orang yang rusak adalah orang melakukan
perbuatan yang merusak dirinya, orang yang baik adalah orang yang selalu
memperbaiki dirinya sendiri. Orang yang berilmu adalah orang yang
mempraktekkan ilmunya dan bermanfaat bagi sesama manusia yang akhirnya
terwujud suatu keseimbangan di alam, yaitu keselamatan, kesejahteraan,
keadilan, kedamaian, dan keamanan (MS).

F. Objek Etika
Menurut Mudlor Achmad48, obyek dari etika adalah perbuatan manusia
itu sendiri, kapankah nilai etis-kebijakan dan pelanggaran itu berlaku? Apakah ia
hanya berlaku dalam ke-apriori-an an sich daripada pengalaman ataukah
diperlukan pengalaman bagi berlakunya? Pertanyaan di atas secara tidak
langsung lalu membawa orang kepada usaha memahami keadaan sebenarnya
dan tempat asal daripada nilai itu.

Nilai etis dan begitu juga setiap nilai, adalah hasil kegiatan rohani; yakni
akal dan perasaan. Perasaan memberikan bahan-bahannya, akal mengolah bahan
tersebut yang diterimanya. Rasa nilai ini dikerdilkan, diperkembangkan maupun
dipunahkan. Semakin rumit putusan yang dihadapi perasaan, semakin luas
lapangan kerja akal, namun sebaliknya semakin kecil peranan yang dipegangnya.
Dikatakan semakin luas lapangan kerjanya, oleh karena akal dalam menghadapi
putusan yang muskil itu harus diteliti, menganalisa, membanding-bandingkan
dan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah pertama tadi sebelum ia
memberi putusan nilai tertentu terhadap masalah tersebut. Dengan demikian di
lain pihak ia terbatas peranannya. Ia tidak bisa melaksanakan wewenangnya

47 Ihya ‘Ulumuddin II, hlm. 381


48 Ahmad, Op.cit, hlm. 20

40
habis-habisan; ia harus memperhatikan dan memperhitungkan hal-hal yang
banyak itu. Karenanya ia harus mengekang dirinya.

Sampai disini nyatalah bahwa ketika didapat kesimpulan tentang nilai


manakah yang akan diberikan, nilai itu sendiri masih berada dalam keputusan
batin. Barulah sesudah ia dinyatakan melalui bahasa terhadap masalah tersebut
(kenyataan obyek) ia lalu dapat dipahami, ia lalu menjelma pula nilai etis tidak
bisa berlaku pada ketiadaan. Untuk berlakunya ia memerlukan sesuatu kejadian
yang dapat di amati. Ia tidak melayang-layang dalam ruang hampa, tetapi menuju
kepada sasaran pengalaman. Maka dalam hubungannya dengan nilai etis ini,
berlakunya menjurus pada perbuatan. Perbuatanlah merupakan bahan tinjauan,
tempat nilai etis diterapkan. Dia menjadi obyek pada mana etika menguji teori-
teori nilainya.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam ruang akal kita betapa


harmonisnya hubungan antara nilai (a priori) dengan perbuatan (a posteriori). Nilai
sebagai dasar dan bentuk bagi perbuatan sebagai isi. Sebagai dasar dan bentuk, ia
baru dapat dipahami dengan jelas, bila isi diikut sertakan bersama. Keduanya
saling mengisi dan merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Paduan antara nilai etis dan perbuatan sebagai pelaksanaannya menghasilkan
sesuatu yang disebut: moral/kesusilaan.

Walaupun sudah dinyatakan bahwa perbuatan merupakan obyek etika,


namun yang masih perlu diperhatikan selanjutnya ialah: perbuatan apa saja yang
bisa dan boleh dihubungkan dengan nilai etis?
1. Perbuatan-ditinjau oleh diri sendiri: tindakan yang dilakukan oleh
diri sendiri dalam situasi bebas. Perbuatan ini dibagi dua:
a) perbuatan sadar;
b) perbuatan tidak sadar.
2. Perbuatan oleh orang luar: tindakan yang dilakukan oleh karena
pengaruh orang lain atau lingkungan dimana dia berada yang sangat
mendominasi.
Perbuatan sadar dimaksudkan sebagai tindakan yang benar-benar
dikehendaki oleh pelakunya, yaitu tindakan yang telah dipilihnya berdasar pada
kemauan sendiri: kemauan bebasnya. Jadi suatu tindakan yang dilakukan tanpa
tekanan atau ancaman.

41
Perbuatan tak sadar ialah tindakan yang terjadi begitu saja diluar kontrol
dirinya (jiwa/ sukmanya). Perbuatan tak sadar ini bisa terjadi pada waktu:
1. Subyek dalam keadaan sadar, maka perbuatan tersebut dinamakan
gerak refleks.
2. Subyek dalam keadaan tak sadar, misalnya dalam mimpi, sakit dan
sebagainya.
Adapun perbuatan yang terjadi akibat pengaruh orang luar mempunyai
corak/pola yang berlainan. Pengaruh ini dilancarkan berkaitan dengan adanya
berbagai alasan yang dianggap perlu oleh pihak yang mempangaruhi. Kuat-
lemahnya alasan menentukan bentuk pengaruh yang ditanamkan. Pengaruh ini
lalu bisa berupa saran, anjuran, nasehat, tekanan, paksaan, peringatan, sampai
dengan ancaman.

Pengaruh-pengaruh tersebut selain tekanan (paksaan) dan peringatan


(ancaman), masih memberikan keleluasaan pada subyek untuk memilih
perbuatan yang dikehendaki. Jadi padanya masih ada hak melaksanaan kemauan
bebasnya. Paksaan dan ancaman tidak memberikan pada subyek hak pilih secara
bebas. Ia harus melaksanakan sesuatu di luar keinginannya. Berarti ia terpaksa
berbuat.

Menghadapi berbagai macam perbuatan sebagaimana tersebut diatas,


berdasarkan pendapat Dr. Achmad Amin49 yang mengemukakan bahwa
perbuatan yang dimaksud sebagai obyek etika adalah perbuatan sadar baik oleh
diri sendiri atau oleh pengaruh dari orang lain yang dilandasi kehendak bebasnya.
Jadi kesimpulannya, objek etika adalah perbuatan sadar dan berdasarkan
kebebasannya. Sehingga perbuatan itu disertai dengan niat dalam hatinya (batin).

Lalu bila perbuatan sadar dan bebas sebagai obyek etika, dapatkah ia
menjamin kebenarannya sebagai satu-satunya obyek etika? Dengan kata lain,
“dapatkah dikatakan bahwa setiap perbuatan sadar-bebas yang dinilai secara etis
itu disebut perbuatan moral? Mungkinkah ada obyek etika selain hal tersebut?
Dan bagaimanakah dengan contoh dibawah ini:
1. Bila kita mempertahankan kesetiaan terhadap raja atau penguasa
yang dzalim?
2. Bertingkah laku baik agar dipercaya orang atau untuk maksud-
maksud tertentu?
Apakah perbuatan tersebut diatas atau yang serupa dapat disebut etis? Berkaitan
dengan etika dalam menentukan perbuatan sadar-bebas sebagai obyeknya, fakta

49
Achmad Amin, Dr; Akhlak (Cairo-Mesir), pent: I Bachtiar Affandie, Jembatan, Jakarta: 1957, hlm 59.

42
yang terjadi adalah orang luar lebih cenderung hanya melihat dari tampilan
luarnya saja (lahiriyah) perbuatan tersebut. Sikap setia memang sangat mulia, tapi
bila harus menghadapi pemimpin yang dzalim maka ada dua pilihan, yaitu
apakah dia pasrah seolah-olah membenarkan tindakan tersebut, atau melakukan
perbaikan atau meluruskan penguasa tersebut. Tapi untuk pilihan yang kedua
memang bukan lah hal yang mudah. Begitu pula dengan kepura-puraan adalah
akar dari mental kemunafikan atau bermuka dua, apalagi di dalam dunia politik
kadang untuk meraih tujuannya dapat melakukan segala cara. Semua itu tidak
akan dipandang sebagai suatu kebajikan atau tidak beretika.

Untuk memahami lebih mendalam mengenai suatu tindakan sebagai


obyek dari etika, maka dapat dipahami melalui penjabaran komponen-komponen
sebagai berikut:
1. Subyek yang berbuat: pelaku.
2. Obyek yang diperbuat: tindakan itu sendiri.
3. Obyek yang terkena perbuatan: penderita.
4. Obyek yang dituju: tujuan.
5. Objek yang dipergunakan: alat.
Ada dua faktor yang dapat menggambarkan nilai etika, yaitu adanya Subyek dan
Obyek dari etika tersebut. Subjek adalah pelaku yang dalam istilah komunikasi
disebut sebagai komunikator. Obyek terdiri dari empat komponen yaitu: pertama,
tindakan (perbuatan) itu sendiri atau bisa dikatakan dengan istilah ámal
perbuatan. Perbutan atau tindakan biasanya melalui tahap mulai dari niat dalam
hati dan diekspresikan dengan verbal dan nonverbal, lalu barulah muncul sebuah
tindakan atau perbuatan yang akan terkena kepada objek yang kedua, yaitu
penderita atau komunikan. Objek ketiga, adalah obyek yang dituju atau tujuan
yang merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh hati (niat). Terakhir yang
keempat, adalah obyek yang dipergunakan yang merupakan alat atau dalam
istilah komunikasi terbagi dua, yaitu pesan dan media (saluran) yang digunakan.

43
Selanjutnya untuk dapat memahami etika komunikasi politik maka
berangkat dari komponen-komponen diatas akan dijabarkan melalui model
dibawah ini.

Gambar 3: Model gambaran Obyek Etika (perbuatan)

Berdasarkan gambar diatas, ada empat tipologi etika komunikasi politik, yaitu:

1. Tipe Murni (pure), walaupun sulit mengukur niat seseorang tapi dapat terlihat
dari proses komunikasi. Komunikator sebagai subjek etika mempunyai niat
yang baik menyampaikan pesan politik dengan cara yang baik dan langsung
dapat dirasakan oleh khalayak, sehingga secara otomatis perbuatan atau
tindakan sebagai obyek dari etika merupakan amal yang baik. Tipe
komunikator ini mempunyai keteguhan pendirian dan idealisme yang kuat
dalam memegang prinsip dan tidak mudah dipengaruhi. Mempunyai landasan
keimanan yang kuat, yaitu adanya keselarasan antara niat yang sudah teguh di
dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan dan diwujudkan dengan tindakan
(perbuatan). Konsistensi hatinya bicara A, ucapan A, dan tindakan A, tidak
berubah bahkan diperjuangkan untuk mencapainya. Hal ini bisa terjadi bila
komunikator sudah mencapai fase ke-ikhlasan (murni, bersih hati) dalam
menjalani sebuah amanah atau tugas dan tidak ada kepentingan apapun
kecuali pengabdian kepada Tuhan (ibadah).

44
2. Tipe Bayangan (shadow), orang yang dasarnya memiliki niat yang baik tapi
dalam prosesnya mulai dari penyampaian pesan, lalu menggunakan saluran
(media) yang tidak baik (buruk) menurut penilaian mata kepala manusia atau
khalayak umum. Tapi niat yang baik akan mendorong perbuatan yang baik,
walaupun cara penyampaian yang buruk bisa jadi dikarenakan beberapa faktor
seperti watak dan karakteristik bawaan, contoh tipikal koleris yang karakternya
lekas marah, garang, bisa jadi sangat tidak disukai oleh orang lain dan juga bisa
jadi karena faktor gaya kepemimpinan. Komunikator tipe ini tetap teguh
dengan niat yang baik walaupun ada resiko tidak disukai, tidak didukung,
tidak dipilih dan sebagainya, bisa dikatakan berpegang prinsip untuk
melakukan “Pencitraan kepada Tuhan”, tidak ambil pusing apa penilaian
seluruh manusia dimuka bumi ini. Sudah konsekuensi terkadang berbicara
kebenaran bisa terasa sangat pahit50, harus mengesampingkan faktor “tidak
enakan”, masalah pertemanan, rasa kekeluargaan, siapapun yang bersalah
tetap harus diluruskan/ ditegur.51 Lalu karakter ini juga anti disuap atau
diiming-imingi sesuatu yang menggiurkan. Bila ada sesuatu yang salah berani
menegur dengan tegas tapi seharusnya jangan kasar. Khalayak mungkin akan
melihatnya sangat buruk dan menjadi tidak respek terhadap cara
menyampaikan pesan tipikal komunikator seperti ini. Tapi akhirnya
dibuktikan dengan tindakan atau output yang positif (baik), inilah yang
dikatakan obyek dari etika. Niat yang baik berkolerasi dengan tindakan yang
baik dan khalayak dapat menilai dan merasakan pada akhirnya.

3. Tipe Topeng (mask), tipe komunikator ini didasari pada niat yang buruk, niat
buruk dalam konteks dunia politik adalah niat yang pada dasarnya karena
nafsu untuk berkuasa semata atau karena suatu kepentingan yang tidak
berpihak untuk amanah dalam sebuah kekuasaan, yaitu kepentingan rakyat
atau orang banyak. Niat buruk adalah karena mengejar kedudukan, kekuasaan
dan harta belaka. Dalam upaya untuk mencapai tujuannya, dalam proses
penyampaian pesan dan penggunaan media (saluran) dilakukan dengan
melakukan manipulasi image (citra). Agenda setting dijalankan dengan
menggunakan konsultan politik, Public Relation Politik, dan Marketing politik.
Penggunaan profesional dalam politik bukanlah suatu yang tidak boleh atau

50
Al-Hadist: ‫ " قل الحق وإن كان مرا‬: ‫ قال‬.‫ زدني‬:‫ قلت‬: " katakanlah yang benar walaupun kebenaran itu pahit".
(HR. Ahmad, At T abrani, Ibnu Hibban dan Al Hakim)
51
QS: An-Nisa, 4/135: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan”.

45
haram, tapi kalau dilakukan hanya rekayasa semata karena sang komunikator
tetap dengan berniat yang buruk, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk
manipulasi kesan “seolah-olah” semata. Seperti memberikan bantuan korban
bencana dengan embel-embel lambang Parpol, turun kebawah (turba) pada
saat menjelang pemilihan, agar terkesan merakyat. Apakah murni karena
peduli, tulus atau mengharapkan sesuatu karena kepentingan politik? Maka
khalayak atau masyarakat semakin peka dan cerdas untuk menilai suatu
ketulusan atau kepalsuan saja. Saluran yang digunakan mulai dari face to face
atau terkenal dengan istilah “blusukan”, pendekatan melalui struktur organisasi
biasanya mendekati secara struktural organisasi massa, strukur adat, dan
struktrur di masyarakat mulai dari pendekatan kepada tokoh-tokoh yang
berpengaruh, melalui media massa dan media sosial (internet). Politik memang
dinamis mengikuti kepentingan yang berkembang untuk tujuan meraih atau
mempertahankan kedudukan atau kekuasaan. Tindakan tersebut bisa
dikatakan sebuah kebohongan politik. Saluran yang digunakan untuk
mencapai keberhasilan pengaruh biasanya ada yang melakukannya dengan
cara penggunakan instrumen “pelican/ pelancar” atau biasa dikenal dengan
politik uang (money politic). Politik uang terjadi mulai dari pemilihan ketua
umum Partai Politik (mahar politik), di lembaga-lembaga tinggi negara untuk
mempengaruhi kebijakan dan keputusan, dan yang terjadi secara masif adalah
saat PEMILU (election) baik legislatif ataupun eksekutif, bisa berupa pemberian
uang langsung, janji-janji material bahkan adanya serangan fajar menjelang hari
H pemilihan. Perbuatan atau tindakan tipe topeng adalah pasti cepat atau
lambat akan terlihat dari kinerjanya di politik, bila dia terpilih ataupun tidak
terpilih. Niat buruk akan tercerminkan dari perbuatan yang buruk pula. Kita
bisa saksikan kenapa ada pejabat baik legislatif, ekskutif bahkan yudikatif
terjerat kasus korupsi, suap dan gratifikasi. Pada saat modal banyak keluar
untuk kepentingan politik, ada sebuah konsekuensi harus mengembalikan atau
mendapatkan keuntungan lebih dari modal yang dikeluarkan. Dalam
terminologi agama tipe ini bisa dikatakan dengan istilah “munafik” 52, apa yang
ada dihati dan diucapan (pesan dan saluran) berbeda. Namun, sudah menjadi
hukum alam bahwa niat yang buruk akan terpancar dari tindakan yang buruk
pula.

4. Tipe Jahat (evil), tipe komunikator ini adalah tipe yang paling ekstrim, dia jujur
mulai dari niat yang buruk, menggunakan pesan dan media (saluran) yang
buruk dan perbuatannya juga sangat buruk. Apakah ada tipe orang seperti ini

52
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia
berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat" (Hadits Shahih Bukhari ke-
33).

46
dalam dunia politik? Jawabannya ada. Kita bisa melihat kembali sejarah
bagaimana pernah ada pemimpin atau penguasa dzalim dan bengis, seperti
Firáun, Hitler, Musolini, kalau di Indonesia pernah terjadi peristiwa
pembunuhan para Jendral pada kasus G 30S PKI sekalipun kasus tersebut
masih menjadi kontroversi di Indonesia. Seperti Iblis yang pernah menantang
Tuhan karena sudah dihukum tersesat karena tidak mau mematuhi perintah-
Nya, dan ia bersumpah dengan lantangnya akan menghalang-halangi manusia
dari jalan yang lurus.53 Tipe Jahat ini telah dan akan melakukan segala cara
untuk mencapai tujuannya, bahkan dilakukan secara terang-terangan mulai
dari niat jahat, ucapan-ucapan yang propokatif, hujatan, makian, adu domba
dan tindakan yang memang secara empiris dapat mudah dinilai dengan hati
nurani dan akal sehat sangat buruk. Bentuk-bentuk cara merebut kekuasaan
dengan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah atau membunuh
lawan politiknya, seperti kasus kudeta militer di Myanmar, pembunuhan PM
Pakistan Benazir Butto di Pakistan. Komunikator yang memiliki niat jahat bisa
terjadi dalam skala internasional dan merupakan konspirasi tingkat tinggi
dengan melakukan propaganda yang bisa jadi secara halus (silent operation),
justru ini lebih berbahaya karena dirancang agar siapapun yang mendapatkan
terpaan pesan propaganda tersebut tidak menyadarinya dan telah tertanam
pengaruhnya secara turun-menurun, dari generasi ke generasi. Bukan tidak
mungkin akan muncul kalangan elite atau pemimpin tipe ini bila terjadi terus-
menerus sistem pendidikan yang tidak lagi mementingkan masalah etika
(akhlak) dan keimanan (trandensental). Contoh-contoh buruk yang ditampilkan
para elite politik dalam dekade terakhir ini bisa menjadi pemicu apatisme
khalayak umum (rakyat) terhadap politik. Di negara otoriter atau diktaktor
adalah negara yang berpotensi menerapkan model komunikator politik tipe ini.
Pesan dari penguasa adalah untuk menanamkan rasa takut dan akhirnya
kepatuhan karena terpaksa karena takut, seperti yang terjadi di Korea Utara,
atau gerakan ekstrim seperti ISIS yang selalu menerbar rasa takut dengan
hukuman yang berat (mati) bila ada pelanggaran atau penghianatan
berdasarkan kode etik atau peraturan versi mereka atau sekedar pesan teror
yang kerap dilakukan oleh ISIS dengan menggunakan media sosial.
Pengkerdilan moral yang terjadi dengan masuknya budaya luar yang negatif
akan menciptakan pemikiran individual, materialism, hedonism, suatu budaya
kecintaan dan kepuasan duniawi yang berlebihan. Sehingga akan putuslah
budaya malu terhadap pelanggaran hukum, etika dan norma. Nilai etika dan

53
QS: Al-Isra, 7/16-17: Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka
dari muka dan dari bel akang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”.

47
estetika sudah berubah yang baik dikatakan buruk, dan buruk dikatakan baik.
Kebenaran dikatakan suatu kesalahan, yang salah dikatakan kebenaran atau
istilahnya adalah melakukan pembenaran.

Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah mungkin orang yang berniat baik


tapi melakukan perbuatan yang buruk? Dan sebaliknya apakah orang yang
berniat buruk pada akhirnya melakukan perbuatan baik? Hal tersebut bisa saja
terjadi yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Kalau yang semula berniat
baik akhirnya berbuat buruk (jahat) adalah karena adanya pengaruh eksternal
yang sifatnya mempersuasi (membujuk) 54, contoh ada teman yang berperangai
buruk mempengaruhi agar mengikuti kebiasaan buruk orang tersebut atau
adanya tekanan dari suatu kekuatan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan
jahat, seperti yang terjadi pada perang dimana pemerintah bisa saja
memerintahkan hal yang buruk seperti membunuh orang yang tidak bersalah
karena alasan bela negara. Lalu ada orang yang berniat buruk (jahat) bisa berubah
dan berbuat baik, bisa jadi karena adanya tindakan persuasi atau pemahaman
(edukasi) terhadap hakekat, nilai-nilai yang baik. Bisa juga karena faktor lain
seperti terbukanya hidayah karena mengalami musibah atau kejadian apapun
yang menjadi sebuah pelajaran sehingga membuatnya mengurungkan niat
buruknya. Contohnya pada saat sahabat Umar Ibnu Khatab dengan pedang yang
terhunus mencari Nabi Muhammad untuk dibunuh, namun setelah
mendengarkan beberapa Wahyu Ilahi yang dibaca oleh adiknya Fatimah, hatinya
jadi teduh dan berbalik malah tunduk kepada Cahaya Ilahi. Begitu pula bila
terjadi pada seseorang yang sedang berniat ingin berbuat maksiyat, tiba-tiba ada
semacam pertanda yang boleh jadi wujud kasih sayang Ilahi dengan suatu
peristiwa yang terjadi atau memori seperti nasehat orang bijak yang ada
dibenaknya. Sehingga orang tersebut menghentikan niat buruknya dan
menyesalinya. Sebagai orang yang beriman memang selain paradigma yang bisa
teramati oleh pancaindra ternyata ada pula hal lain yang memang hanya bisa

54
Persuasi atau bahasa bujukan adalah peristiwa yang telah diabadikan di Kitab Suci dimana upaya Iblis
dengan sumpahnya menggoda, membujuk agar Adam dan Hawa memakan buah larangan (Quldi),
keberhasilan Iblis adalah dengan cara teknik bujukan dan tipu daya untuk mempengaruhi, seperti pada Qs:
Al-‘Araf, 7/20-22: Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada
keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak
melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak
menjadi orang yang kekal (dalam surga)". Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya
saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua", maka syaitan membujuk
keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu,
nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.
Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu
itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"

48
difahami melalui sebuah keyakinan (iman), yaitu kekuatan Ilahi yang Maha
Mengatur segala ciptaan-Nya.

G. Kesimpulan

Etika komunisi dalam politik merupakan tata nilai dalam berkomunikasi


pada peristiwa politik. Masalah politik adalah aktivitas pada hierarki tertinggi
dalam kehidupan sosial. Maka kajian ini akan fokus kepada komunikator politik,
pesan politik dan saluran politik. Komunikator politik sebagai pelaku utama atau
yang mengawali pembentukan pesan sampai dengan menggunakan saluran
tertentu yang ditujukan kepada penerima pesan politik (khalayak politik).
Masalah politik tidak saja terjadi secara linear (satu arah), atau interaksional
sebatas adanya aksi-reaksi berupa umpan balik (feedback) saja, tapi terjadi suatu
yang terus-menerus (transaksional). Secara transaksional terwujud dengan adanya
“pembicaraan yang krusial”. Diawali dari tahapan pertama, yaitu pembicaraan
ringan berupa konsultasi dan kordinasi minimal diantara dua atau lebih
komunikator politik, suasana ini dikarenakan diantara mereka masih sama dalam
hal pandangan dan kepentingan. Tahap kedua, yaitu pembicaraan sedang dalam
bentuk diskusi, negosiasi atau lobi-lobi politik antara dua orang atau lebih
kompromi untuk menentukan solusi secara teknis, karena tahap ini terjadi
perbedaan pandangan namun masih satu kepentingan. Tahap ketiga, yaitu
pembicaraan krusial dimana terjadi perbedaan pandangan dan perbedaan
kepentingan. Percakapan krusial merupakan sebuah diskusi antara dua orang
atau lebih ketika (1) Taruhan tinggi, (2) pendapat berbeda, dan (3) Emosi tinggi. 55
Kondisi seperti ini biasanya diselesaikan dengan voting atau dengan cara walkout.
Dalam menghadapai percakapan krusial kita bisa dapat melakukan tiga hal, yaitu:
menghindari, menghadapi dengan cara yang baik, dan menghadapi dengan cara
yang buruk. Selanjutnya berikut gambaran atau simpulan dari ketiga komponen
etika komunikasi politik.

1. Komunikator Politik, untuk memahami masalah ini dapat digunakan dari


pandangan sosiopsikologi. Komunikator adalah manusia yang akan dilihat
dari sisi psikologi atau yang disebut komunikasi intrapersonal, karena apa
yang dilakukan atau tindakan komunikator bermula dari perintah yang
muncul dari sistem saraf dan otaknya. Ilmu psikologi adalah jembatan yang
mempertemukan ilmu biologi anatomi menuju ilmu sosial. Sigmund Freud 56,

5555
Kerry Patterson, Joseph Grenny, Ron McMillan, dan Al Switzler, Crucial Conversations, Strategi
Menghadapi Percakapan Berisiko Tinggi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 3.
56
Ahmad, Op.cit, hlm. 42

49
dalam menganalisis pribadi manusia mempunyai tiga unsur kepribadian,
yaitu Id-Ego-Superego.

a. Id adalah sumber segala naluri atau nafsu. Semuanya berada dalam


ketidak-sadaran (bawah sadar). Tujuannya adalah pemuasan jasmaniah.
Jadi yang menjadi prinsip baginya ialah kesenangan. Dia tidak mengenal
nilai, terutama nilai moral, oleh karenanya ia disebut bersifat immoral.
b. Ego atau akal rasio dan logika (aqlu) adalah tempat dimana Superego
dianalisa, dipertimbangkan, untuk kemudian dilakukan atau tidak
dilakukan. Dia merupakan pihak pengotrol agar keseimbangan pribadi
seseorang tetap ada. Jadi disini seseorang itu sadar terhadap kemauan-
kemauan Id atau Superego. Sebagai pengontrol, maka ia tidak dapat
memperhatikan dan memperhitungkan realitas dunia luar.
c. Superego atau qalbu (hati nurani) adalah sumber segala nilai, termasuk nilai
moral. Di sini ia pun sebagaimana Id, berada dalam alam bawah sadar.
Hanya saja dia lebih menuju kearah prinsip kesempurnaan rohaniah
karena disinilah dasar keimanan tertanam (trandensental).

Seseorang yang berkepribadian yang sehat, ketiga sistem kepribadian itu


bekerja secara harmonis. Bila terjadi pertentangan-pertentangan akibat
dorongan Id ataupun Superego, sedangkan Ego tidak mampu mengatasi, maka
akan hilang keseimbangan diri seseorang, dan disitulah akan lahir gejala-gejala
abnormal. Id, Ego dan Superego, masing-masing mempunyai daya pendorong
yang disebut cathexis. Sedangkan untuk Ego dan Superego juga memiliki daya
penahan yang disebut anti-cathexis. Daya-daya ini dapat pula disebut sebagai
“kehendak” atau “kemauan”. Kehendak inilah yang mula-mula menimbulkan
kegoncangan dalam keseimbangan pribadi, yang akhirnya menjelma dalam
bentuk pertentangan batin. Apabila kehendak itu muncul dari pihak Id, maka
akan datang penekanan dari Ego, tapi pun secara tidak langsung bisa jadi
datang juga dari Superego. Anti-cathexis yang datang dari Ego dengan dua
tahap, yaitu: pertama, berupa penahanan secara sementara berhubung Ego
perlu memperhatikan mungkin dan tidak mungkinnya kehendak
direalisasikan dalam kenyataan dunia luar (empiris). Kedua, ialah
pelaksanaan atau penggagalan terhadap cathexis Id. Sedangkan anti cathexis
Superego dilancarkan berhubung cathexis Id bertentangan dengan nilai-nilanya.
Bila cathexis Id demikian kuatnya sehingga bisa menerobos pertahanan Ego dan
Superego, maka yang Nampak ialah perbuatan yang bersifat impulsif.
Demikian pula sebaliknya bila kehendak tersebut timbul dari Superego, akan
terjadi hal yang serupa. Hanya saja jika cathexis Superego bisa mengalahkan
rintangan-rintangan di depannya, tingkah lakunya akan bersifat idealistis.

50
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa kadangkala Id menggunakan Superego
sebagai alat untuk mencapai maksudnya. Sebagai contoh adalah tindakan
rasialisme terhadap kulit hitam atas dasar bahwa hitam adalah lambang
kejahatan. Juga tindakan sadis terhadap pihak yang bersalah. Jika kehendak
datang dari Ego, maka hal ini disebabkan adanya rangsangan dari dunia luar
yang dapat ditangkap oleh pancaindra dan diteruskan pusat kesadaran. Apa
yang ditangkap oleh Ego, akan menimbulkan getaran-getaran pada Id dan
Superego. Di sinilah cathexis Ego akan menghadapi kemungkinan-
kemungkinan seperti yang tersebut di atas.57 Maka jelaslah bahwa perbuatan
baik dan buruk itu hasil dari pergolakan yang terjadi di dalam (internal)
komunikator politik. Akhirnya pertempuran ummat manusia di dunia yang
terbesar adalah yang terjadi di dalam dirinya, yaitu menaklukkan hawa
nafsunya sendiri. Namun manusia tidak akan mungkin menghilangkan nafsu
karena nafsu adalah bagian dirinya, tapi harus mengarahkan nafsu tersebut
kepada hal yang baik atau positif (spirit/ semangat/ motivasi). Berikut ini
tingkatan nafsu dari yang negatif sampai yang positif.

a. Nafsu Ammarah, adalah nafsu manusia yang terendah tingkatannya,


dimana orang tersebut di dalam golongan ini adalah orang yang sangat
jelek sifat dan wataknya. Ciri-cirinya adalah gampang tersinggung, selalu
marah-marah, tidak mau kalah, ringan tangan, nafsu seks yang tidak
terkendali, dan tidak mempunyai kontrol diri (rem) atau mengendalikan
dirinya (norma dan etika) (Qs: Yusuf, 10 ayat 53).
b. Nafsu Lawwamah, setingkat lebih baik daripada nafsu ammarah, namun
dia belum stabil betul, karena terkadang dia kembali kepada tingkat nafsu
ammarah. Ciri-cirinya tidak stabil, setelah menjadi baik bahkan mengajak
orang lain untuk baik pula, setelah datang ujian atau godaan sedikit saja
masih kembali ke asal perbuatan maksiat dan tidak sabar (Qs: Al-Qiyamah,
75 ayat 2).
c. Nafsu Mulhimah, telah cukup mengetahui dan memahami tentang baik/
buruk dan benar (al-haq) dan salah (bathil), namun belum mampu untuk
melaksanakannya dengan baik, dikarenakan kelemahannya. Ciri-cirinya
telah mengetahui atau faham tentang sesuatu yang salah (kebathilan/
kemaksiatan), tapi tetap saja melakukannya dengan kesadaran, telah
mengetahui kebenaran tapi tiadk ada kemauan untuk melaksanakannya
(Qs: Asy-Syam, 91 ayat 8).
d. Nafsu Muthmainah, tingkatan ini adalah orang telah dijanjikan oleh Allah
SWT untuk masuk ke dalam Syurga-Nya (Al-Jannah). Ciri-cirinya adalah
jiwanya tenang, kembali kepada Rabbnya dengan hati yang puas,

57
Ibid, hlm 44

51
kepribadian yang mantap mengerjakan perintah Allah, meninggalkan
larangannya, tidak mudah terpengaruh godaan dan rayuan jahat
(istiqamah) (Qs: Al-Fajr, 89 ayat 27-30).
e. Nafsu Radhiah, tingkatan ini berada setingkat diatas nafsu Muthmainah,
ditambah dengan rasa ikhlas dan penyerahan total kepada Allah SWT,
kesusahan, musibah, tantangan menjadi nikmat baginya. Ciri-cirinya
adalah penuh dengan ketaqwaan, menerima segala ujian, musibah, dan
tantangan dengan keikhlasan (murni) dan penuh dengan kesabaran (tidak
lemah, lesu dan menyerah) (Qs: Al-Baqarah, 2 ayat 45 dan Ali Imran, 3 ayat
146).
f. Nafsu Mardhiah, tingkatan ini berada setingkat lagi diatas nafsu radhiah,
sesuatu yang Sunnah menjadi wajib dan yang subhat menjadi haram. Ciri-
cirinya adalah semua yang dimiliki pada tingkatan nafsu Radhiah
ditambah mempunyai daya amar ma’ruf nahi munkar sejati, menjadi
pemberi peringatan dan kabar gembir otomatis mencegah perbuatan yang
ingkar (Qs: Ali Imran, 3 ayat 104 dan Maryam, 19 ayat 97).
g. Nafsu Kamilah, tingkatan nafsu yang sempurna, ini hanya dimiliki oleh
setingkat para Nabi dan Rasul, penyerahan diri secara totalitas (100%)
pengabdian kepada Allah SWT. Ciri-cirinya adalah sifat Nabi dan Rasul:
Shiddiq (benar/ jujur), tabligh (menyampaikan), amanah (dipercaya),
fathanah (cerdas), inilah contoh, suritauladan dan rujukan bagi ummat
manusia dalam berakhlaq (etika) (Qs: Ali Imran, 3 ayat 110 dan Al-Ahzab,
33 ayat 21).

2. Pesan Politik, pesan komunikasi politik adalah pesan yang mempunyai


muatan (content) mengenai masalah pengaruh, kekuasaan, kebijakan,
wewenang, konflik, negosiasi, persaingan dan sebagainya. Pesan dikirim dan
diterima oleh proses sistem kerja pancaindra, mulai dari ide atau gagasan yang
ada di benak seseorang, lalu disampaikan dalam bentuk verbal (lisan dan
tulisan) tapi juga dengan nonverbal (tanpa kata-kata). Berdasarkan fungsi panca
indra manusia pesan yang sudah tersusun di benak (pikiran) akan disalurkan
melalui mulut sebagai pintu gerbang dari buah pemikiran. Apa yang sudah
diucapkan melalui mulut bisa juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang
perannya adalah untuk mem-back up memori (ingatan) manusia yang terbatas
(mudah lupa). Tulisan dalam bentuk pelepah qurma, kulit dari kayu, di batu,
dan lainnya merupakan jembatan waktu agar gagasan, ide yang telah menjadi
karya atau ilmu yang bermanfaat dapat disampaikan dari generasi
sebelumnya kepada generasi penerus. Dalam konteks kajian etika komunikasi
politik, mulut sebagai saluran pertama atau gerbang dari apa yang ada di
pikiran dan niat seseorang memiliki potensi pelanggaran yang paling nyata

52
terhadap etika komunikasi politik, yaitu: “Berbohong”. Filosof Sissela Bok58
mendefinisikan suatu kebohongan sebagai “suatu pesan yang sengaja menipu
dalam bentuk pernyataan”. Lalu Paul Ekman, yang meneliti tentang penipuan
dalam bentuk komunikasi nonverbal, juga menghubungkan berbohong dengan
niat pembohong baik untuk menyembunyikan dengan membuang informasi
yang benar atau memalsukan, “menyajikan informasi seolah-olah informasi
itu benar”. Bila komunikator politik melakukan segala upaya termasuk
berbohong, apalagi bila menyangkut kebohongan publik maka akan rusaklah
citra dia dimata publik. Berbohong termasuk pada saat melakukan janji-janji
politik saat kampanye, ada janji yang ditepati, ada juga janji politik yang tidak
terpenuhi atau terlupakan (baca: dilupakan). Sekali berbohong akan sulit
mendapatkan kepercayaan dari rakyat, karena komunikasi itu juga bersifat
irreversible yaitu komunikasi berjalan satu arah dan tidak bisa kembali atau
diulang. Apa yang telah diucapkan tidak bisa dihapus seperti tulisan pensil.
Cap negatif pasti melekat dalam memori publik, namun bisa jadi ada upaya
memperbaiki citra negative dengan langkah-langkah sistematis bisa jadi
dengan menggunakan jasa atau upaya peran Public Relation Politik. Sehingga
harus ditanamkan bahwa manusiawi berbuat salah tapi jangan kita berbohong
untuk menutupi kesalahan tersebut, itu namanya kesalahan ganda. Bila kita
tidak mau berbohong janganlah mencoba untuk berbuat salah (pelanggaran).
Turunan dari kebohongan dalam politik bisa berupa desas-desus, rumor
sampai dengan fitnah yang nyata ini adalah etika komunikasi yang sangat
buruk sekali yang bertujuan membunuh karakter seseorang. Dampak fitnah
ditegaskan dalam kitab suci adalah lebih bahaya dari pembunuhan. 59

3. Saluran Politik, adalah media yang dilalui pesan politik. Saluran awal adalah
mulut60 manusia dalam pengiriman pesan, ucapan yang keluar dari mulut
akan menuju saluran (media) mulai dari antar personal atau tatap muka, lalu
disampaikan melalui kelompok sosial dimasyarakat (struktur tradisional)
yang masih bersifat nonformal. Karena komunikasi politik sangat erat
kaitannnya dengan organisasi atau kelembagaan resmi (legal formal), mulai
dari Parpol, Organisasi Masyarakat (Ormas), lembaga tinggi negara, dan
secara makro masuk dalam ruang lingkup Negara. Komunikasi yang terjadi
dalam saluran organisasi haruslah bersifat legal dan transparan, bahkan rapat-
rapat atau sidang-sidang di DPR/ MPR boleh diliput media massa dan diamati
secara luas oleh rakyat. Pelanggaran etika bila terjadi pertemuan-pertemuan

58
L. Tubbs & Moss, Op.cit, hlm. 273
59
Qs: Al-Baqarah,2/217: …Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh…
60
Qs: Yasin, 36/65: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka
dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

53
nonformal, ditempat-tempat yang dirahasiakan, karena berpotensi terjadinya
permufaktan jahat yang akhirnya memunculkan tindakan korupsi, kolusi,
suap dan gratifikasi.61 Saluran lainnya yang digunakan adalah melalui media
massa. Media massa adalah saluran yang mempunyai potensi mempercepat
jejak penyebaran komunikasi mulai dari media cetak, media audio (radio),
audio visual (televisi, film) yang penyebarannya menggunakan satelit. Media
massa menawarkan peluang bagi penyebaran pesan-pesan kepada populasi
yang luas, menjadikannya sebagai alat propaganda politik. Dalam skala
masyarakat modern yang rumit dan luas, asimetris politik, sosial dan ekonomi
dan berpotensi konfliktual, media massa menjadi sumber komunikasi
propaganda untuk mengatur golongan elit pada logika politik tingkat tinggi,
contohnya kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang asimetris (tidak
seimbang) terhadap kepentingan masyarakat. Bagi Pemerintah (penguasa)
propaganda melalui media massa juga digunakan untuk mengatasi kondisi
krusial yang asimetri dengan menyakinkan masyarakat terhadap isu-isu
asimetris yang sedang menjadi opini publik. Bagi pengusaha yang memiliki
media massa juga dapat menjadikan medaia masa sebagai alat propaganda
untuk kepentingan diri dan golongannya. Sehingga netralitas beberapa media
massa akhirnya dipertanyakan terkait dengan aktivitas yang berbau politik.
Saluran yang terkini adalah melalui media sosial dimana arus informasi tidak
lagi bersifat linear tapi sudah intraksional dan transaksional melalui media
siber (jaringan internet). Hampir kebanyakan para komunikator politik
mempunyai akun sosial media, sehingga dapat dengan cepat publikasi
gagasan, ide dan sebagai alat untuk memantau umpan balik (feedback) dari
masyarakat yang biasanya disebut dengan netizen.

4. Komunikan (Khalayak) Politik, khalayak atau penerima pesan politik


(komunikan) akan mendapatkan berupa efek dari pesan politik. Mulai dari
efek kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif adalah pengetahuan yang
diperoleh dari pesan politik bisa berupa informasi berita politik, iklan politik
melalui media massa, kampanye, sosialisasi politik yang memancing
partisipasi khalayak baik secara emosional (afektif), hingga tindakan (konatif)
seperti umpan baik berupa opini publik. Semakin komunikator politik
menunjukkan kredibilitas dan integritas yang baik semakin mendapatkan

61
QS: Al-Mujaadilah,58/8-10: Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan
pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan
pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka
datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai
yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: "Mengapa Allah tiada
menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?" Cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang akan
mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

54
umpan balik yang positif seperti mengingatnya partisipasi politik mulai
keterlibatan dalam sosialisasi, kampanye, sampai pada hari pemilihan
(PEMILU). Khalayak politik yang baik adalah yang tidak pragmatis, tapi
rasional dalam memberikan dukungan, bukan karena iming-iming material
atau politik uang. Sekalipun realita di lapangan hal ini memang kerap masih
terjadi di kalangan masyarakat tertentu. Angka golongan putih (Golput) juga
merupakan indikator terjadinya apolitik atau sikap yang sudah tidak peduli
dengan politik. Hal ini berpotensi untuk terjadinya kecurangan atau praktek
politik yang jahat, seperti memainkan surat suara Golput yang diarahkan
kepada suara kandidat yang berbuat curang. Selama ada pertemuan rahasia,
tertutup diantara aktor yang terlibat politik maka disana akan terjadi tindakan
yang buruk dan jahat dalam aktivitas politik.

5. Gangguan (Noise), dalam komunikasi politik gangguan terjadi dalam


komunikasi yang mendistorsi pesan politik. Distorsi pesan bisa berbentuk
penyampaikan pesan yang tidak sesuai dengan fakta, dalam bentuk kampanye
hitam yang menyebarkan kabar bohong (fitnah) agar masyarakat terpengaruh
dengan isu tersebut. Adapun kampanye negatif adalah upaya menyebarkan
pesan politik untuk merusak karakter kandidat atau partai lawan (competitor).
Dalam proses kampanye informasi masa lalu yang negatif bisa jadi gangguan
bagi komunikator politik terutama kandidat. Gangguan yang sangat merusak
adalah adanya negosiasi suap-menyuap atau politik uang yang terjadi pada
komunikator politik dan khalayak, terutama yang terjadi di saluran
komunikasi politik. Pemilih tidak lagi memilih berdasarkan hati nurani, rasio
logika tapi karena pengaruh kekuatan uang (money politic).

Demikianlah ulasan mengenai etika komunikasi politik dan bab terakhir ini
penulis akan memberikan pesan moral yaitu tindakan preventif (pencegahan) dari
sebuah pelanggaran etika dalam politik. Larangan Tuhan dalam kitab suci adalah
jangan kita mendekati pohon, bukan memakan buahnya (quldi), seperti dalam
aayat dibawah ini.
"Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah
olehmu berdua di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang
zalim."(Qs: Al-A'raaf, 7/19)
Namun apa yang terjadi adalah:
“Maka syaitan membujuk keduanya dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah
merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
55
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka
menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu
dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu berdua?" (Qs: Al-A'raaf, 7/22)

Larangan yang awalnya adalah jangan mendekati pohonnya bahkan syaithan


mampu mempengaruhi lebih jauh lagi keduanya (adam & hawa) untuk memakan
buah pohon tersebut, suatu tindakan yang lebih jauh dari larangan-Nya, hal ini
pun tertulis juga di dalam kitab Taurat dan Injil. Dalam hal yang sama dalam
politik, dalam perspektif komunikasi ada tahap-tahap proses yang dipelajari.
Politik itu adalah misi yang mulia, maka prosesnya berawal dari niat yang baik
(lurus) dan janganlah kita mencoba mendekati fase-fase yang menyebabkan
pelanggaran dari norma, hukum dan etika, seperti halnya larangan jangan
mendekati zina. Jadi tahap-tahap potensi awal jangan diikuti, seperti jangan
berduaan ditempat sepi yang antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya. Sekalipun suatu hal yang mustahil tidak adanya kejahatan di dunia
tapi setidaknya kita selalu berupaya sekuat tenaga untuk mengimbanginya,
bahkan diperjuangkan untuk membuat kebaikan dan kebenaran mendominasi
peradaban di dunia mendekati apa yang menjadi Kehendak-Nya.

Bagi orang yang mau menjadi baik maka selalulah berkumpul dengan
orang-orang yang baik (sholeh), jangan bergaul dengan orang yang jahat. Karena
kebaikan dan kejahatan bisa menular. Tapi setelah orang yang baik berkumpul
haruslah berupaya memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Bila
sudah berada diatas kebenaran maka janganlah merasa yang paling benar
(sombong) dan menyalahkan orang yang salah atau berbuat salah. Orang baik
bertugas menasehati orang yang jahat, dan melindungi orang lain dari
kejahatannya. Orang yang benar mempunyai tugas untuk meluruskan orang yang
salah bukan menyalahkan orang yang salah. Orang mengetahui (berilmu) punya
tugas menuntun orang yang tidak tahu jalan yang benar. Orang yang kuat harus
menolong orang yang lemah, orang kaya harus mensejahterakan orang yang
miskin. Orang yang berkuasa harus menggunakan kekuasaannya untuk
menciptakan kondisi aman, damai dan sejahtera bagi rakyatnya, bukan
memanfaatkan kekuasaanya untuk mencari kekayaan, kemewahan, kenyamanan
diri dan kelompoknya sendiri. Itulah makna dari keseimbangan alam. Semoga
kita bisa membawa peradaban ini kepada era yang penuh cahaya dan penuh
keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian.

56
Daftar Pustaka

Achmad, Mudlor. (tanpa tahun). Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-ikhlas.


Adji, Oemar Seno. 1973. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Erlangga.
Ahmad, Zainal Abidin. 1974. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina. Jakarta: Bulan
Bintang.
Alfian. 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Al-Ghazali, Imam. 1995. Ringkasan Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani.
Almond, Gabriel dan James S. Coleman [Eds.]. 1960. The Politics of the Developing Areas.
Princeton University Press.
Almond, Gabriel dan Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi
di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Alonso, Sonia. 2011. The Future of Representative Democracy. Cambridge University Press.
Arifin, Anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera.
_______________. 2011. Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan
Komunikasi Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Bahm, Archie J. 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan.
Yogyakarta: Kanisius.
Bambang S. dan Sugianto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: Penerbit Grahadi.
Barker, Ernest. 1962. The Politics of Aristotle. Oxford University Press.
Bastian, Indra. 2007. Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik. Jakarta: Erlangga.
Benedict, Ruth. 2006. Patterns of Culture. Mariner Books.
Berg-Schlosser, Dirk dan Ralf Rytlewski [Eds.]. 1993. Political Culture in Germany. Palgrave
Macmillan.
Bertalanffy, Ludwig Von. 2003. General System Theory: Foundations, Development,
Applications. George Braziller Inc.
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Blake, Reed H. dan Edwin O. Haroldsen. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Terjemahan
oleh Hasan Bahanan. Surabaya: Papyrus.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cangara, Hafied. 2011. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Chilcote, Ronald H. 1981. Theories of Comparative Political Economy. Westview Press.

57
Dahl, Robert A. dan Bruce. 2002. Modern Political Analysis. Pearson.
DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Karisma Publishing.
Diamond, Larry. 2003. Dinamika Konsolidasi Demokrasi. Yogyakarta: IRE Press.
Djafar, Massa. 2015. Krisis Politik & Proposisi Demokratisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Dovring, Karin. 1987. Harold Dwight Lasswell: His Communication With a Future. K. Dovring.
Easton. David. 1965. A Framework for Political Analysis. Prentice-Hall, Inc.
_______________. 1965. Systems Analysis of Political Life. John Wiley & Sons Ltd.
Erikson, Robert dan Kent L. Tedin. 2014. American Public Opinion: Its Origins, Content and
Impact. Routledge.
Fagen, Richard R. 1966. Politics and Communication: An Analytic Study. Little Brown &
Company.
Faturohman, Deden dan Wawan Sobari. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Malang: UMM Press.
Ferrari, G.R.F. 2005. City and Soul in Plato's Republic. The University of Chicago Press.
Han, Sam dan Kamaludeen Mohamed Nasir. 2015. Digital Culture and Religion in Asia.
Routledge.
Hastuti, Sri [Ed.]. 2011. New Media: Teori dan Aplikasi. Surakarta: Lindu Pustaka.
Heryanto, Gun Gun dan Irwa Zarkasy. 2011. Public Relations Politik. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Hikmat, Mahi M. 2010. Komunikasi Politik: Teori dan Praktik (Dalam Pilkada Langsung).
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Jakarta: Gema
Insani Press.
Jefkins, Frank. 2004. Public Relations (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.
Johari, Jagdish Chandra. 1972. Comparative Politics. Sterling Publishers.
Kaid, Lynda Lee (Ed.). 2004. Handbook of Political Communication Research. Routledge.
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Klosko, George. 2012. History of Political Theory: An Introduction: Volume I: Ancient and
Medieval. Oxford University Press.
Langeveld, M.J. 1959. Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.
Lasswell, Harold D. 1936. Politics: Who Gets What, When, How. Peter Smith Pub Inc.
Lasswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. 2013. Power and Society: A Framework for
Political Inquiry. Transaction Publishers.
Lippmann, Walter. 1998. Opini Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

58
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
_______________. 1993. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Makmurtono, Agus dan Munawir. 1989. Etika (Filsafat Moral). Jakarta: Wira Sari.
Manheim, Karl. 1987. Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat.
Jakarta: Bina Aksara.
Masdar, Umaruddin [et al.]. 1999. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik.
Yogyakarta; LKiS.
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication (Communication and
Society). Routledge.
Mulyana, Deddy. 2013. Komunikasi Politik, Politik Komunikasi: Membedah Visi Dan Gaya
Komunikasi Praktisi Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasuka. 2005. Teori Sistem Sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-Ilmu Agama
Islam. Jakarta: Kencana.
Nasution, Zulkarimien. 1990. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nimmo, Dan. 2001. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
_______________. 2006. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Terjemahan oleh
Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurdin, Muslim [et al.]. 1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV. Alfabeta.
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Olii, Helena. 2007. Opini Publik. Jakarta: PT. Indeks.
Pasiak, Taufiq. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Quran
dan Teori Neurosains Mutakhir. Bandung: PT. Mizan Publika.
Patterson, Kerry dan Joseph Grenny. 2005. Crucial Conversations - Strategi Menghadapi
Percakapan Berisiko Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Peter, Laurence J. 1986. Piramida Peter: atau Mungkinkah kita Mencapai Puncaknya. Jakarta:
Erlangga.
Plano, Jack C., Robert E. Riggs dan Helena S. Robin. 1989. Kamus Analisa Politik. Jakarta:
Rajawali.
Purwasito, Andrik. 2011. Pengantar Studi Politik. Surakarta: UNS Press.
R. G. Meadow. 1985. Political Communication Research in the 1980s. Journal of
Communication. Volume 35 Issue 1.
Ranney, Austin. 1992. Governing: An Introduction to Political Science. Prentice Hall College.

59
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun [Eds.]. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Reksosusilo, Stanislaus. 2005. Diktat Kuliah Filsafat Cina. Malang: STFT Widya Sasana.
Rogers, Everett M. 2004. 'Theoritical Diversity in Political Communication'. In Lynda Lee
Kaid (Ed.), Handbook Handbook of Political Communication Research. Routledge.
Rosenthal, Erwin Isak Jakob. 2009. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory
Outline. Cambridge University Press.
Ruck, Anne. 2008. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ruslan, Rosady. 2005. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Sanit. Arbi. 2002. Politik, Demokrasi dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Galang Press.
Sastropoetro, Santoso. 1990. Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Shahreza, Mirza. 2017. Komunikator Politik Berdasarkan Teori Generasi. Journal of
Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 1, 33-48.
Shahreza, Mirza dan Korry El-Yana. 2016. Etika Komunikasi Politik. Tangerang:
Indigomedia.
Sobur, Alex. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama
Press.
Soemarno dan Rochajat Harun. 2006. Komunikasi Politik: Sebagai Suatu Pengantar. Bandung:
Mandar Maju.
Soemarno. 1989. Dimensi-Dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
_______________. 2009. Materi Pokok Komunikasi Politik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2007. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Strauss, William dan Neil Howe. 1991. Generations: The History of America's Future, 1584 to
2069. William Morrow & Co.
_______________. 1993. 13th Gen: Abort, Retry, Ignore, Fail? Vintage.
_______________. 2000. Millennials Rising: The Next Great Generation. Vintage.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik.
Bandung: Nuansa Cendekia.
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Centre For Moderate Muslim
Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Susanto, Astrid, S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta.

60
Suwardi, Arsono [et al.]. 2002. Politik, Demokrasi & Manajemen Komunikasi. Yogyakarta:
Galang Press.
Syah, Sirikit. 2014. Membincang Pers: Kepala Negara dan Etika Media. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Tabroni, Roni. 2012. Komunikasi Politik Pada Era Multimedia. Bandung: Simbiosa Rekatama.
Tamburaka, Apriadi. 2013. Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. Jakarta:
Rajawali Pers.
Thompson, George Carslake. 2012. Public Opinion and Lord Beaconsfield (Volume 1). Ulan
Press.
Tocqueville, Alexis de. 1990. Democracy in America, Volume 1. Vintage.
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss. 2001. Human Communication: Konteks-Konteks
Komunikasi (Buku 1). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umary, Barnawie. 1993. Materia Akhlak. Solo: Ramadhani.
Varma, SP. 1995. Teori Politik Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Weber, Max [et al.]. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. Oxford University
Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
(Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika.
Wibowo, Eddi [et al.]. 2004. Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta: YPAPI.
Wiseman, H. Victor. 1966. Political Systems : Some Sociological Approaches. Praeger.
Young, Oran R. 1968. Systems of Political Science (Foundations of Modern Political Science
Series). Prentice-Hall.
Yu-Lan, Fung. 2007. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

61
Tentang penulis
Mirza Shahreza, S.I.Kom, M.I.K. Lahir di Jakarta, 29 Juli 1976. Bertempat tinggal
domisili di daerah Rempoa, Tangerang Selatan, Banten. Menyelesaikan S1 Ilmu
Komunikasi dari Universitas Terbuka (UT) pada tahun 2012 dan S2 Komunikasi
Politik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada
tahun 2014. Saat ini sebagai dosen tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT).

Pengalaman mengajar pernah mengampu mata kuliah komunikasi politik,


Komunikasi massa, komunikasi antar budaya dan Teori Komunikasi pada
Universitas Muhammadiyah Tangerang (2014 – sekarang) dan FISIP Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta (UPNVJ) (2012-2015). Saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana S3 Komunikasi
Pembangunan Pedesaan dan Pertanian di Institut Pertanian Bogor angkatan 2017.

Keterlibatan dalam organisasi menjadi pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat sebagai
wakil ketua bidang keanggotaan periode 2013 - 2017, dan berlanjut pada kepengurusan ISKI Pusat periode
2018 - 2020 sebagai Ketua Departemen Newsletter. Ketua dewan Pembina Yayasan Desa Hijau (YDH) sejak
2011 – sekarang, dan kordinator Association of The Creator’s Code Breakers (ACCB) sejak 2009 – sekarang.

62

Anda mungkin juga menyukai