Anda di halaman 1dari 12

ETIKA MORAL DAN AKHLAK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok


Mata kuliah : Filsafat Kemuhamadiyahan
Dosen Pengampu : Dr Farihen, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Nuraida : 20210520100024
2. Amin Husein : 20210520100007
3. Rahma Nursyinsah : 20210520100020

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM
2021-2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, sering muncul gejala kurang baik sehingga menimbulkan kegoncangan
dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa. Kenakalan remaja, tawuran, pelecehan,
perampokan, dan korupsi adalah bentuk yang sering terjadi di masyarakat. Faktor penyebab
timbulnya kenakalan remaja salah satunya karena minimnya perhatian orang tua, sekolah dan
masyarakat terhadap anak, terutama dalam pembinaan akhlak. Pembinaan akhlak sangatlah
penting sehingga akhirnya membedakan makhluk manusia dan makhluk hewani. Fitrah
diturunkannya manusia adalah sebagai hamba Allah dan menjadi Khalifah di muka bumi.
Sehingga tanpa akhlak mulia dalam diri manusia, kedudukannya sebagai makhluk mulia akan
hilang.

Bersamaan dengan itu, kehidupan manusia juga menunjukkan gejala yang bersifat
materialistik, aspek lahiriah selalu menjadi tolak ukur kehidupan, termasuk didalamnya pada
kasus-kasus yang berkenaan dengan hukum. Kebenaran hanya dapat diungkap dengan
melihat fakta dan data, sehingga kebenaran hakiki, kejujuran dan keadilan bahkan
moral/akhlak menjadi terabaikan. Ketiadaan kejujuran serta kehadiran Tuhan sudah tidak ada
dalam diri, maka dengan ini menyebabkan perilaku seseorang hanya bersandarkan pada
kebenaran yang kemudian dibuktikan dan didukung oleh fakta, jika kebenaran itu tidak dapat
dibuktikan dengan fakta dan data, maka kejahatan yang besar, bahkan keji, bisa terbebas dari
hukuman meskipun benar-benar telah dilakukan.

Dalam hukum Islam, manusia wajib mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya


di hadapan Allah. Setiap perbuatan, sekecil atau sebesar apapun perbuatan yang dilakukan
memiliki tanggungjawab, baik perbuatan baik ataupun buruk. Dalam surat Al Zalzalah ayat
7-8 Allah berfirman :

             

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia
akan melihat (balasan)nya pula”.

Dalam keseluruhan ajaran islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan
sangat penting. Di dalam Al Quran saja ditemui lebih kurang 1500 ayat yang berbicara
tentang akhlak, baik tang teoritis maupun yang praktis. Belum terhitung lagi hadits-hadits
Nabi baik perkataan maupun perbuatan, yang memberikan pedoman akhlak yang mulia
dalam aspek kehidupan.
Akhlak dalam islam bukanlah moral yang kondisional san situasional, akan tetapi
akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak. Nilai-nilai baik dan buruk, terpuji dan
tercela berlaku kapan dan dimana saja dalam segala aspek kehidupan, tidak dibtasi oleh ruang
dan waktu. Kejujuran dalam ekonomi sama dengan kejujuran dalam politik, kejujuran
terhadap non muslim sama dituntutnya dengan kejujuran terhadap sesama muslim. Kadilan
harus ditegakkan, sekalipun terhadap diri dan keluarga sendiri. Kebencian kita terhadap
musuh tidak boleh menyebabkan kita tidak berlaku adil.
Ajaran akhlak dalam islam sesuai dengan fitrah manusia. Manusia akan mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki -bukan semu- bila mengikuti nilai-nilai kebaikan yang diajarkan
oelh Al Qur’an dan As Sunnah, dua sumber akhlak dalam islam.
Persoalan akhlak menjadi salah satu dimensi penting bagi manusia dan kehidupanya
baik lahir ataupun batin. Orang mukmin yang mulia adalah orang yang memiliki akhlak
terpuji (akhlak mahmuudah). Sebaliknya hidup tanpa akhlak (memiliki akhlak madzmuumah)
maka hidup ini menjadi tidak bermakna. Di dalam Al Quran ada dua ayat dalam surat yang
berbeda secara tegas menyatakan:
Pertama, dalam surat Al Qalam ayat 4 :

    

"Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung."

Kedua, dalam surat As Syuaara’ ayat 137 :

     

137. (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.

Dalam ayat pertama (QS AL Qalam : 4) disebutkan dalam konotasi yang bersifat memuji dan
merupakan ukuran bagi perilaku yang patut diperbuat. Sedangkan dalam ayat kedua (QS As
Syuara’ : 137) disebutkan dalam konteks gambaran atau ilustrasi perilaku yang telah dijalani
orang dahulu, mengenai atau sebagai keterangan apa yang telah terjadi.
Didalam hadits, perkataan ini ada yang disebutkan dalam bentuk mufrad dan ada pula dalam
bentuk jamak. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzy disebutkan
Rasulullah SAW bersabda :

‫اﻟﺒﺮ ﺣﺴﻦ اﻟﺨﻠﻖ‬


“ Kebaikan itu adalah akhlak yang baik”

‫إﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎرم اﻷﺧﻼق‬


“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Penggunaan kata-kata akhlak sering dikaitkan dengan istilah etika dan moral. Ketiga kata
tersebut memiliki keterkaitan dan berhubungan dalam kedudukan hukum islam. Maka dalam
pembahasan ini kita akan coba memahami perbandingan etika, moral dan akhlak serta
implikasinya dan hubungannya dalam hukum.

B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi yang dipaparkan pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: “ Etika, moral dan akhlak implikasinya dan hubungannya dalam hukum”
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Etika Moral dan Akhlak

“Etika” berasal dari bahasa yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian watak,
kesusilaan atau adat istiadat (kebiasaan). Dalam kamus umum bahasa Indonesia etika
diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini
terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Istilah
"etika" pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dalam Ethica Nichomacheae, yang
kemudian dianggap sebagai awal lahirnya etika. Etika kemudian berkembang menjadi
"peraturan". Pada hari ini etika telah menjadi nama bagi satu cabang ilmu dalam filsafat,
yaitu ilmu etika, filsafat etika.
Adapun etika secara istilah diungkapkan oleh para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.
Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.
H Devos mengartikan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan, ini
berarti bahwa etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah.
Asmaran As mengataakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut baik dan buruknya, sedangkan ukuran
untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan tentang moral atau kesusilaan yang berbicara tentang penilaian baik dan buruk
pada diri manusia.
“Moral” berasal dari bahasa latin mores kata jamak dari mos yang berarti adat
kebiasaan. Didalam kamus bahasa indonesia dikatakan moral adalah penentuan baik buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan.
Widjaja (1985 : 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sementara itu WilaHuky, sebagaimana dikutip oleh
Bambang Daroeso (1986:22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensif
dengan rumusan formalnya sebagai berikut:
1). Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu,
2). Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu, dan
3). Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungannya.
Norma-norma moral sering menjadi acuan yang dipakai masyarakat untuk mengukur
kebaikan seseorang. Moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas sebagai sikap hati
orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil
sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia
mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa
pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (Budiningsih, 2004:24).
Menurut Burhanuddin Salim (1997:3) Moralitas memiliki dua arti:
1). Sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagaimana manusia.
Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan,
peraturan, perintah dsb, yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau
kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar
menjadi manusia yang baik.
2). Tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang perilaku yang baik
dan buruk. Moralitas member manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia
harus hidup, bagaimana ia harus bertindak sebagai manusia yang baik, dan bagaimana
menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Jadi moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia (sifat, perangai, kehendak, pendapat, perbuatan) mana yang baik dan buruk, mana
yang wajar yang sesuai dengan ukuran kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Akhlak secara etimologi adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku dan tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar
dengan kata khaliq (pencipta), makhluq ( yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan
akar kata diatas mengisyaratkan bahwa akhlaq mencakup pengertian terciptanya keterpaduan
antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia).
Akhlak secara terminologis dicukupkan dengan 3 definisi dibawah ini:

Imam al-Ghazali

‫ﺴﮭُﻮْ ﻟَ ٍﺔ وَ ﯾُﺴ ٍْﺮ ﻣِ ﻦْ َﻏﯿ ِْﺮ ﺣَﺎ َﺟ ٍﺔ‬


ُ ِ‫ﺼﺪ ُرُ ْاﻻَ ْﻓﻌَﺎ ُل ﺑ‬
ْ َ‫ﻋ ْﻨﮭَﺎ ﺗ‬
َ ‫ا ْﻟ ُﺨﻠُﻖْ ِﻋﺒَﺎرَ ة ٌ ﻋَﻦْ َھ ْﯿﺌ َ ٍﺔ ﻓِﻰ اﻟﻨﱠﻔ ِْﺲ رَ ا ِﺳ َﺨ ٍﺔ‬
‫اِﻟﻰ ﻓِﻜ ٍْﺮ وَ رَ ِوﯾﱠ ٍﺔ‬
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Ibrahim Anis

‫ﻏﯿ ِْﺮ ﺣَﺎ َﺟ ٍﺔ‬


َ ْ‫ﺼﺪ ُرُ اﻷﻋﻤﺎل ﻣﻦ ﺧﯿﺮ أو ﺷﺮ ﻣِ ﻦ‬
ْ َ‫ا ْﻟ ُﺨﻠُﻖْ ِﻋﺒَﺎرَ ة ٌ ﻋَﻦْ َھ ْﯿﺌ َ ٍﺔ ﻓِﻰ اﻟﻨﱠﻔ ِْﺲ رَ ا ِﺳ َﺨ ٍﺔ َﻋ ْﻨﮭَﺎ ﺗ‬
‫اِﻟﻰ ﻓِﻜ ٍْﺮ وَ رَ ِوﯾﱠ ٍﺔ‬
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.

Abdul Karim Zaidan

‫ وﻓﻲ ﺿﻮﺋﮭﺎ وﻣﯿﺰاﻧﮭﺎ ﯾﺤﺴﻦ اﻟﻔﻌﻞ ﻓﻲ‬،‫ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺎﻧﻲ واﻟﺼﻔﺎت اﻟﻤﺴﺘﻘﺮة ﻓﻲ اﻟﻨﻔﺲ‬
‫ وﻣﻦ ﺛ َ ﱠﻢ ﯾﻘﺪم ﻋﻠﯿﮫ أو ﯾﺤﺠﻢ ﻋﻨﮫ‬،‫ﻧﻈﺮ اﻹﻧﺴﺎن أو ﯾﻘﺒﺢ‬
“Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan
timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian
memilih melakukan atau meninggalkan”.
Ketiga definisi yang dikutip diatas sepakat menyatakan bahwa akhlak atau khuluq itu adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana
diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak
memerlukan dorongan dari luar. Dalam mu’jam al wasith disebutkan min ghoiri haajah ila
fikr wa ru’yah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Sifat spontan dari akhlak
tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam
jumlah besar untuk pembangunan masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da’i ( yang
memotovasi sedekah dengan ayat-ayat al Quran dan hadits tentang keutamaan membangun
masjid didunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan pemurah , karena sifat pemurahnya
lahir setelah mendapat dorongan dari luar dan belum tentu muncul pada kesempatan lain.
Tetapi bilamana tidak ada doronganpun dia menyumbang, kapan dan dimana saja, barulah
dikatakan dia memiliki sifat pemurah. Maka dari pengertian dan contoh diatas jelaslah bahwa
akhlak harus bersifat konsisten, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan serta dorongan dari luar.

B. Perbandingan Etika, moral dan Akhlak Dan Implikasinya

Dari berbagai macam bahasan pengertian baik secara etimologi atau terminologi maka etika,
moral dan akhlak memiliki perbedaan dan persamaan

Perbedaan etika,moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk
menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat
akal pikiran, perasaan, keinginan (cipta, rasa, karsa) yang itu bersumber dari manusia itu
sendiri. Moral berdasarkan adat istiadat kebiasaan yang berlaku secara umum dimasyarakat.
Maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah
bedasarkan Al Quran dan Al Hadits, yang itu semua bersumber dari Tuhan.

Perbedaan lain antara etika, moral dan akhlak terletak pada sifat ruang lingkup pembahasan.
Jika etika lebih banyak teoritis memandang tingkah laku secara umum baik dan buruk. Moral
lebih kepada praktis lokal individual bentuk perbuatan. Maka akhlak dalam bentuk yang
lebih tendendius berupa perintah (al’amr), larangan (an nawahi), yang dibolehkan (mubah)
dan yang bersifat darurat (alidhiror)
Perbedaan etika, moral dan akhlak dipandang dari sisi objeknya, etika dan moral
menitikberatkan perbuatan sesama manusia saja. Sedangkan akhlak menitikberatkan
perbuatan kepada Tuhan.

Bila dipandang dari perbedaan sanksi, maka etika mendapat sanksi dari masyarakat. Moral
mendapatkan sanksi dari masyarakat sesuai hukum masyarakat yang sdh disepakati bersama
(undang-undang pidana perdata). Sedangkan akhlak mendapatkan sanksi dari Tuhan (Al Qura
dan As Sunnah).

Persamaan diantara etika, moral dan akhlak adalah sama-sama menentukan nilai baik dan
buruk sikap dan perbuatan manusia.

Ruang lingkup etika, moral dan akhlak adalah bersifat prbadi, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara.

C. Hubungan Etika, Moral dan Akhlak Dalam Hukum

Antara etika,moral,akhlak memiliki hubungan yang erat dengan hukum. Hukum


membutuhkan moral/akhlak sebagaimana pepatah pada jaman Romawi Kuno, Apa artinya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas (baca: moral dan akhlak, karena sama-sama
menghasilkan perbuatan)?, tanpa moralitas hukum tak bernilai apapun, karena kualitas suatu
hukum sebagaian besar ditentukan oleh kualitas moral/akhlak objeknya, karena itu
pengukuran hukum harus senantiasa melibatkan norma moral/akhlak. Di sisi lain
moral/akhlakpun membutuhkan hukum, karena keberadaan moral/akhlak akan bias tanpa
hukum, sehingga peningkatan dampak sosial dari moralitas dapat didongkrak dengan
keberadaan hukum. Hukum dan moral/akhlak sama-sama mengatur mengenai tingkah laku
manusia, namun hukum membatasi pada tingkah laku lahiriah saja sedangkan moral/akhlak
menyangkut juga sikap batin seseorang.

Agama dapat dipahami sebagai hal yang membicarakan masalah-masalah spiritual


saja. Karena pemahaman itu, sering dianggap berlawanan antara agama dan hukum. Hukum
ada untuk memenuhi kebutuhan sosial sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Sedang agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak
menyimpang dari jalurnya yaitu norma-norma etika yang ditentukan oleh agamanya sendiri.
Agama menekankan moralitas, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk

Hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah
tentang perilaku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua umat beragama Islam. Dalam Islam hukum dan agama, hukum dan akhlak sangat
terikat satu sama lain dan tidak dapat terpisahkan. Berdasarkan fungsi utama hukum Islam
yaitu mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk
yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena hanya Allah yang berkuasa terkait apa
yang benar-benar baik dan buruk.
Idealnya, kehidupan masyarakat Islam harus sesuai dengan kitab hukum sehingga
tidak ada perubahan sosial yang dapat menimbulkan karakter tak berakhlak dalam
masyarakat sehingga timbul kekacauan dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan
sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam
memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan harus menyatu dengan syarat-syarat yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan As Sunnah.

Dalam Islam tolak ukur manfaat atau mudarat, menurut Al-Ghazali kebaikan atau
keburukan tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena rentan akan pengaruh
dorongan nafsu insaniyah namun harus merujuk pada kehendak syara’ (Maqashid as-Syari’),
yang intinya biasa disebut dengan al-Mabadi’u al-Khamsah. Jadi kemaslahatan yang dicapai
harus berkesinambungan dengan universalitas nilai yang dikandungnya dan tidak boleh
bertentangan walaupun hal itu dianggap baik menurut akal manusia. Sebab terkadang yang
terlihat baik menurut akal sebenarnya tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan
manusia itu sendiri dan begitupun sebaliknya apa yang tampak jelek justru terkadang
membawa manfaat besar tanpa disadari.

Dari beberapa ayat dalam Al-Qur’an dapat ditemukan tentang pelaksanaan hukum
Islam yang sangat mengutamakan akhlak, antara lain:

a.Surah An-Nur ayat 2

‫ٱﻟﺰﱠ اﻧِﯿَﺔُ وَ ٱﻟﺰﱠ اﻧِﻰ ﻓَﭑﺟْ ِﻠﺪُو ۟ا ُﻛ ﱠﻞ وَٰ ﺣِ ٍﺪ ِ ّﻣ ْﻨ ُﮭﻤَﺎ ﻣِ ۟ﺎﺋَﺔَ َﺟ ْﻠﺪَةٍ ۖ وَ َﻻ ﺗَﺄ ْ ُﺧ ْﺬﻛُﻢ ِﺑ ِﮭﻤَﺎ رَ أْﻓَﺔٌ ﻓِﻰ دِﯾﻦِ ٱ ﱠ ِ إِن ﻛُﻨﺘ ُ ْﻢ‬
َ‫طﺎ ٓ ِﺋﻔَﺔٌ ِ ّﻣﻦَ ٱ ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ﻨِﯿﻦ‬
َ ‫ﻋﺬَا َﺑ ُﮭﻤَﺎ‬
َ ‫ﺗ ُﺆْ ﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﭑ ﱠ ِ وَ ٱ ْﻟﯿَﻮْ مِ ٱلْ ءَاﺧِ ِﺮ ۖ وَ ْﻟﯿَ ْﺸ َﮭ ْﺪ‬

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman”.

Ayat ini menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat ketentuan bahwa orang yang
melakukan zina (hubungan seksual di luar nikah) diancam dengan pidana cambuk seratus kali
di depan umum (orang banyak). Menurut syari’ah, seks itu sakral penyalurannya harus
berakhlak melalui proses pernikahan. Zina merupakan pelanggaran yang amat tercela
menurut agama. Karena zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa
ada ikatan perkawinan, dilakukan dengan sadar dan sengaja tanpa disertai unsur keraguan
dalam hubungan seksual tersebut. Ayat Al-Qur’an sangat tegas melarang segenap tindakan
mendekati perzinaan. Ayat ini menjelaskan bahwa zina menurut ajaran Islam dinilai sebagai
perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh manusia beradab.

Surah Hud ayat 85:

‫ض‬
ِ ْ‫ﱠﺎس أ َ ْﺷﯿَﺎ ٓ َء ُھ ْﻢ وَ َﻻ ﺗ َ ْﻌﺜ َﻮْ ۟ا ﻓِﻰ ْٱﻷ َر‬
َ ‫وَ َٰﯾﻘَﻮْ مِ أ َوْ ﻓُﻮ ۟ا ٱﻟْﻤِ ْﻜﯿَﺎ َل وَ ٱﻟْﻤِ ﯿﺰَ انَ ﺑِﭑ ْﻟ ِﻘﺴْﻂِ ۖ وَ َﻻ ﺗ َ ْﺒ َﺨﺴُﻮ ۟ا ٱﻟﻨ‬
َ‫ُﻣ ْﻔ ِﺴﺪِﯾﻦ‬
“ Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.

Ayat ini menjelaskan bahwa hukum Islam melarang pedagang mengurangi hak
pembeli, baik dalam takaran, timbangan maupun ukuran. Dengan norma-norma moralitas
kasus hukum Allah meletakkan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karena ada
ukuran yang pasti pada akhlak Islam itulah, maka pergeseran dalam moralitas masyarakat
Islam mempunyai lapangan yang sangat sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang
dari alur-alur yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa
sedikit sekali kemungkinannya. Misalnya, dalam kesusilaan umum, adat berpakaian
senantiasa berubah, dahulu memakai kemban (model pakaian zaman dahulu) dengan
memperlihatkan sebagian dadanya merupakan perbuatan yang terhormat, namun kemudian
perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan akhlak yang
terpuji.

Perilaku dan penghayatan hukum dan akhlak telah tertanam oleh para pengikut Nabi
Muhammad ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ pada zaman priode klasik, ini dapat dilihat pada contoh-contoh
peristiwa berikut ini:

Suatu kejadian yang tercatat dalam sejarah, bahwa suatu malam yang agak larut,
Khalifah Umar bin Khattab berjalan masuk kampung keluar kampung untuk memperhatikan
keadaan rakyatnya, kemungkinan ada diantara mereka yang memerlukan perhatiannya.
Menjelang fajar perjalanannya sampai ke ujung kampung, karena keletihan Khalifah
bersandar sebentar pada dinding sebuah rumah. Tiba – tiba dari dalam rumah itu terdengar
suara seorang ibu yang menyuruh anaknya bangun dan mencampur-adukkan air susu
kambing yang diperah bapaknya sore tadi dengan air untuk dijual oleh bapaknya ke pasar.
Berkali-kali sang ibu menyuruh putrinya melaksanakan perintahnya namun anak gadis itu
belum juga bangkit dari tempat tidurnya untuk melaksanakan kehendak ibunya. Akhirnya
sang gadis berkata, “Mengapa Ananda lakukan pekerjaan itu, bukankah Khalifah Umar,
kepala negara melarang perbuatan yang demikian?” Ibunya berkata lagi, “Bangunlah segera
anakku, campurkan air susu itu dengan air. Bukankah kita sekarang berada di tempat yang
tidak dapat dilihat oleh Umar dan oleh pembantu- pembantunya?” Anak gadis menjawab :
menaati Umar dikala di hadapannya dan di muka orang banyak kemudian di belakngnya kita
ingkar kepadanya. Demi Allah, kalaupun Umar tidak melihat perbuatan Ananda dan tidak
mendengar perintah Ibunda, bukankan Allah yang Maha Adil melihat apa-apa yang aku
perbuat dengan mendengar apa yang Ibu perintahkan?” Ibunya terdiam, dan Umar mendengar
semua pembicaraan mereka.

Peristiwa ini merupakan gambaran sisi hukum dan kualitas akhlak, di mana anak
gadis itu mengetahui hukum larangan jual beli yang didalamnya terdapat unsur penipuan,
yang dilarang oleh Rasulullah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ dan Khalifah. Anak gadis itupun mengerti
bahwa sebagai seorang yang beriman harus taat terhadap Rasulullah dan ulil amri. Dan
sebagai seorang mukmin anak ini mengetahui akan penghayatan serta pengamalan dalam
kehidupannya sehari-hari sebagai seorang mukmin yang bertaqwa kepada Allah SWT. Di sini
juga terlihat kesatuan antara perbuatan lahiriah mukallaf yang disebut hukum dengan
akhlaknya, yaitu ketakwaan gadis tersebut terhadap Allah, sehinggaia sadar akan hukum yang
mengikatnya. Kesadaran itu timbul atas dorongan imannya dan ikhlasnya karena peraturan
Khalifah sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam islam.
Pernah terjadi di masa Rasulillah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ seorang laki laki bernama Ma’iz
berzina dengan seorang wanita. Ma’iz datang kepada Rasulullah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ melaporkan
kejahatan yang diperbuatnya. Rasulullah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ memalingkan mukanya kearah lain,
agaknya kurang senang mendengarnya. Kemudian Ma’iz datang lagi melaporkan hal itu.
Rasulullah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ mengatakan, barangkali engkau hanya main-main dengan wanita
itu, pulanglah. Besoknya iya datang lagi melaporkan hal itu juga. Barulah Rasulullah ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬ َ
‫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬menjatuhkan hukuman zina kepadanya, hukuman rajam. Ma’iz menyadari sungguh-
sungguh pelanggaran hukum yang telah dilakukan, ia sadar telah mengerjakan sesuatu yang
seharusnya ditinggalkan. Ia mengaku telah berbuat kesalahan, mengaku telah berbuat dosa
meskipun tidak ada empat orang saksi yang melihatnya. Ia mohon diberi hukuman yang
setimpal menurut ketentual Al- Qur’an atau As Sunnah karena ia beriman kepada kitab suci
Al-Qur’an dan kepada Rasul-Nya. Ia berani bertanggung-jawab atas kesalahannya dan ia
ingin menemui Tuhannya dalam keadaan bersih tanpa berdosa. Menyatu pada diri Ma’iz tiga
perkara, ialah iman, akhlak dan hukum sehingga memiliki kesadaran hukum yang sungguh
tinggi.

Dua hal yang dapat menghubungkan antara hukum dan akhlak, sehingga dapat
terlaksana dengan baik yaitu iman dan amal perbuatan. Keimanan sebagai dasar
moralitas,maka perilaku yang ideal adalah kemampuan melakukan semua tindakan ketaatan
dan menjaga diri dari semua tindakan kemungkaran (al-amr bi al ma’ruf wa al-nahyu
‘anmunkar). Jika keimanan merupakan pengakuan diri terhadap otoritas Yang Maha Agung,
maka al-amr bi al ma’ruf wa al-nahyu ‘an munkar merupakan refleksi keimanan itu yang
diaplikasikan dalam perbuatan di dunia. Oleh karena itu, hampir semua kata-kata iman selalu
dipadukan dan diiringi oleh kata-kata wa ‘amilu al-salihat atau derivasi maknanya yang
serupa. Hubungan symbiosis antara kedua kata-kata itu melahirkan suatu kata yang popular
sebagaimana Iman, Islam serta Ihsan.

Hukum dan akhlak menurut sebagian pakar hukum adalah terpisah sedangkan
sebagian pakar hukum lainnya mengatakan keduanya harus bersatu. Menurut Islam antara
hukum dan akhlak tidak bisa dipisahkan dan harus bersandar pada Al-Quran dan As Sunnah
sebagai rujukan pertama dan utama dalam menentukan dan menetapkan suatu perkara.

Dalam Islam hukum dan akhlak tidak dapat dipisahkan dan merujuk pada satu sumber
yang hakiki yaitu Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi manusia. Oleh karena itu,
moral/akhlak mulia harus terpancar dalam diri seorang muslim dalam menjalankan hukum
untuk mengharap keridhaan Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari seorang
muslim sebaiknya bersandar pada hukum Allah SWT yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As
Sunnah Rasulullah ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ , dan senantiasa mengedepankan moral/akhlak untuk
menyayangi sesama manusia.
DAFTAR PUTAKA

Drs. Zahruddin AR, M. H. (2004). Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Prof. DR. H. Abuddin Nata, M. (2015). Akhlak tasawuf dan karakter mulia. Jakarta: PT Raja
Grafindo.

Prof.Dr H. Yunahar Ilyas, L. M. (2014). Kuliah Akhlaq. Bantul Yogyakarta: LPPI Lembaga
pengkajian dan pengamalan islam.Drs. Zahruddin AR, M. H. (2004). Pengantar Studi
Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Prof. DR. H. Abuddin Nata, M. (2015). Akhlak tasawuf dan karakter mulia. Jakarta: PT Raja
Grafindo.

Prof.Dr H. Yunahar Ilyas, L. M. (2014). Kuliah Akhlaq. Bantul Yogyakarta: LPPI Lembaga
pengkajian dan pengamalan islam.

Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam falsafah hukum
islam),(JakartaDepartemen Agama dan Bumi Aksara, 1992),

Lima hal yang harus dipelihara yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat al-
Ghazali, al- Mustashfa min Ilm al-Ushul, Juz I, (Beirut, Dar al-Fikr t.t),

Yahya Bin Yazid, Sang Legenda Umar bin Khattab: (JakartaMedhatama Restyan, 2012)

Muhammad Asgar Muzakki, Jurnal As- Syukriyah: Hadits-Hadits Rajam Dalam Shahihain,
Vol: 20No. 2, 2019,

Tanthowi, P. U. (2019). Muhammadiyah Dan Politik:


LandasanIdeologiBagiArtikulasiKonstruktif. MAARIF, 14(2), 93-113.

Samad, M. (2018). Etika Bisnis Syariah: BerbisnisSesuaiDengan Moral Islam. Sunrise Book
Store.

Anda mungkin juga menyukai