Anda di halaman 1dari 22

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

a. Capaian Pembelajaran

Mahasiswa mampu menganalisis dan mengimplementasikan pancasila sebagai Sistem Etika


(C5, A5,P4)

b. Pokok-Pokok Materi
1. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
2. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
3. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
4. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem etika
5. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
c. Uraian Materi

Berbagai persoalan dekadensi moral pada saat sekarang ini dapat timbul karena mahasiswa
tidak paham dan mengimplementasikan etika dalam kehidupannya sehari-hari. Persoalan
seperti: korupsi, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), pengaruh budaya asing
berdampak bagi gaya hidup mahasiswa pada umumya. Padahal, mahasiswa berkedudukan
sebagai makhluk individu dan social sehingga setiap keputusan yang diambil tidak hanya
terkait dengan diri sendiri, tetapi juga berimplikasi dalam kehidupan sosial dan lingkungan.
Disinilah letak pentingnya pancasila sebagai system etika, yaitu sebagai moral guidance yang
dapat diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam
putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan
moral-akademis. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengembangkan karakter yang
Pancasilais melalui berbagai sikap yang positif, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab,
mandiri, dan lainnya.

1. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti
yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4-6).
Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu
yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia
dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau
etika (Sastrapratedja, 2002: 81). Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan
sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak (Kattsoff, 2004). Etika
adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Kaelan, 2008).

Etika di dalam filsafat merupakan cabang aksiologi yang membicarakan masalah nilai ‘betul’
(right) dan ‘salah’ (wrong) dalam arti ‘susila’ (immoral). Berbicara mengenai masalah nilai,
Frondizi menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu
tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (Frondizi,
2001:7). Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah
nilai mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa
paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai
berikut:
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau pemenuhan
karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai
pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara
berbagai kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku
bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus
membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai
mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi,
lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri (Lacey, 1999: 23).

Berdasarkan pengertian nilai di atas, maka standar fundamental yang menjadi


pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk
mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang
diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya
dapat dikategorikan etis atau tidak.

Perbedaan etika dan etiket

Etika berarti moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun,
adat istiadat. Seperti yang telah dijelaskan dia tas, jika dilihat dari asal usul katanya,
etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket berasal dari kata “etiquette”.
Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara normatif. tetapi Etika lebih
mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis tentang baik dan buruk,
sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang diharapkan, serta ditentukan
dalam suatu komunitas tertentu. Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak
penting apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya
terkait dengan tata cara berperilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan
kanan dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens, 1997: 9).
 Etika Pancasila

Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk
perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan
mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia
kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu
upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta
tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang
lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain,
kesediaan membantu kesulitan orang lain.

Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan,
meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis termuat pula
di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila
tercermin dalam empat sikap, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan
keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh
kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak
yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan
memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.

Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal
kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas
dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib
kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala
sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).

Sementara itu, apabila kita berbicara tentang Pancasila sebagai sistem etika, hal itu
berarti bahwa Pancasila merupakan kesatuan sila-sila Pancasila, sila-sila Pancasila itu
saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Pancasila sebagai sistem etika,
bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
bebangsa, dan bernegara.

Pancasila bagi bagsa Indonesia merupakan sistem etika. Artinya manusia Indonesia
harus dapat membedakan antara yang boleh dan tidak boleh, walaupun hal tersebut
dapat dilakukan. Manusia Indonesia harus menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri
bila berhadapan dengan perbuatan baik atau buruk (Adnan, 2003). Sebagai suatu sistem
etika, Pancasila memberi pandangan, memberi prinsip-prinsip tentang harkat
kemanusiaan dan kultur dapat dijamin berhadapan dengan kekuasaan negara modern,
menghadapi era globalisasi dalam dinamika Era Reformasi saat ini. Pancasila dapat
dijadikan tolak ukur suatu perbuatan manusia sebagai manusia yang baik atau buruk,
dengan pedoman moral langsung yang bersifat objektif dan subjektif, dan juga pedoman
moral tidak langsung yang mendalam dari Ilahi (Adnan, 2003).

Banyaknya kasus-kasus yang berhubungan dengan etika, seperti: korupsi, terorisme,


pelanggaran HAM, kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin yang
semakin melebar, ketidakadilan dalam proses peradilan di Indnoesia, pengusaha yang
mengelak dari kewajiban membayar pajak, dan lain sebagainya, menjadikan isu etika ini
menjadi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika

Perlunya Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,


dan bernegara bertujuan untuk: (a) memberikan landasan etik moral bagi seluruh
komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek; (b)
menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
dan (c) menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan
moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Terkait dengan permasalahan di atas, beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai
system etika diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia,
adalah: Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama
generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi
muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada
pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka
kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan.
Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain: penyalahgunaan narkoba, kebebasan
tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran,
tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan
nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai
system etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan
karakter di sekolah-sekolah.

Kedua, korupsi yang masih terjadi di Indonesia karena para penyelenggara Negara
tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas
dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait
dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam
Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang
terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya
godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi
pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal
tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm,
”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).

Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran


pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal peranan
pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN. Pancasila
sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar
memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang
tinggi maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat
dijalankan dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan. Berikut ini
diperlihatkan gambar tentang iklan layanan masyarakat tentang pendidikan yang
dibiayai dengan pajak.

3. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika

Sumber Historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai
Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum
ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan
hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai
kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari
(berdiri di atas kaki sendiri).

Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui
penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila
yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-
7.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk pikuk
perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu
bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara
negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau
kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara
negara.
Secara subtantif, etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek etika, yaitu
manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahasan moral.
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral selalu menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Walaupun kedudukan dan sifat manusia selalu
berkaitan dengan masyarakat, bangsa dan negara, etika politik tetap meletakan
dasar fundamental manusia sebagai manusia, bukan sebagai warga masyarakat atau
warga negara. Hal in semakin menegaskan bahwa etika politik mendasarkan suatu
kebaikan kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya
(Suseno, 2001).

Etika politik mempunyai fungsi yang terbatas dalam masyarakat, yaitu hanya
berkutat pada peyediaan alat-alat teoritis yang mempertanyakan serta menjelaskan
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Etika politik tidak berdasarkan emosi,
prasangka dan apriori, melainkan berdasarkan pada aspek rasionalitas, objektivitas
dan argumentasi. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Akan tetapi
etika politik membantu agar pembahasan-pembahasan masalah ideologis dapat
dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan orientasi dan pegangan
normatif bagi setiap orang yang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik
dengan tolok ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebuah
keputusan politik.

Etika politik mempunyai fungsi yang terbatas dalam masyarakat, yaitu hanya
berkutat pada peyediaan alat-alat teoritis yang mempertanyakan serta menjelaskan
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Etika politik tidak berdasarkan emosi,
prasangka dan apriori, melainkan berdasarkan pada aspek rasionalitas, objektivitas
dan argumentasi. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Akan tetapi
etika politik membantu agar pembahasan-pembahasan masalah ideologis dapat
dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan orientasi dan pegangan
normatif bagi setiap orang yang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik
dengan tolok ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebuah
keputusan politik.

Hukum dan kekuasaan merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika
politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif dan kekuasaan
sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif pada dasarnya sesuai dengan
struktur sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hukum
dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hukum tanpa kekuasaan
negara hanya akan menjadi aturan normatif yang kosong dan tidak bisa berbuat apa-
apa atau tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Sedangkan kekuasaan
negara tanpa hukum, akan melahirkan suatu bentuk kekuasaan negara yang absolut,
sehingga akan menimbulkan terjadinya penindasan terhadap manusia.

Oleh karena itu, hukum dan kekuasaan membutuhkan suatu legitimasi atau
pengakuan dan pegesahan secara moral dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum
harus menunjukkan bahwa dirinya berasal dari nilai-nilai moral yang berkembang di
masyarakat, bukan berasal dari kekuasaan belaka dan merupakan suatu bentuk
keputusan bersama. Begitu juga dengan negara, dalam melaksanakan kekuasaannya
harus berdasarkan pada tatanan normatif atau berdasarkan norma etis yang
merupakan kehendak bersama warga negaranya.

Sementara itu, sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan
dalam kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang
Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh,
bulat kata oleh mufakat”. Masyarakat Jawa dengan konsep tepo seliro. Masyarakat
SUnda dengan beberapa konsep seperti: silih asih, silih asah, silih asuh, cageur, bageur,
bener, singer, dan pinter.

Sumber Politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar
(Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-
undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu
norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan
semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2011: 487).

Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang


sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di
bawahnya bersifat konkrit. Etika politik mengatur masalah perilaku politikus,
berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-
struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan,
sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada
kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang
meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan
negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan
dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik.
Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik
dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham
permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).

Etika politik Indonesia adalah berdasarkan ideologinya yakni Pancasila. Etika politik
Indonesia tidak mengenal adanya lawan maupun musuh. Adnan, dkk (2003)
menjelaskan bahwa dalam negara dan masyarakat Indonesia, cara mendapatkan
dan menggunakan kekuasaan tentu diikuti dengan prinsip-prinsip dasar yang
dipolakan dalam nilai-nilai dasar moral yang dianut oleh Pancasila terutama sila
keempat. Hakikat ilmu politik itu adalah kratologi yaitu ilmu tentang kekuasaan. Jadi
etika politik di Indonesia menjurus kepada cara kekuasaan itu didapatkan secara
demokratis dan sekaligus menggunakannya secara demokratis pula. Proses
mendapatkan dan proses penggunaan kekuasaan tersebut adalah dua hal yang
memperlihatkan perbedaan.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agara


kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi
hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan
dijalankan demokratis (legitimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). (Kaelan
2008).

4. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem etika

Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam


penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat
demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai
politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI),
Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem
etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum
pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno
menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.

Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk
penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia
seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde
Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara
kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan
makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi
memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan
tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai
makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera.

Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan
seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).

Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atas


susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk
berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan makhluk individual.

Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan
satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan
pelaku utama dalam budaya Pancasila. (Asdi, 2003: 17-18).

Ketiga, sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi
sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta
machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi,
Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional
Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai berikut:
“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam
arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa
Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar pada sila Ketuhanan Yang
Maha Esa”.

Sementara itu, permasalahan implementasi etika dewasa ini menurut Mahfud MD


(2012) karena adanya pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di
hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses
marginalisasi secara serius sedemikian ruga. Pergeseran nilai akibat transaksi
informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme telah berimbas pada
peminggiran etika. Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Di bidang
pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Di bidang sosial, etika
dalam pergaulan antarsesama warga semakin tergerus oleh berbagai hal, mulai dari
pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus informasi yang tak
terbendung, sampai menyeruaknya kembali politik identitas. Di bidang hukum, yang
terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan titegakkan tanpa bertumpu pada etika,
moral, dan hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan.

Sejak terjadinya krisis multi dimensi, muncul ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan
etika politik, yang melatarbelakangi munculnya TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa. Krisis multi dimensi mengakibatkan terjadinya konflik
sosial yang berkepanjangan, demonstrasi di mana-mana, munculnya keinginan
rakyat untuk integrasi bangsa, dan lain-lain. Hal ini akibat dari menurunnya sikap
sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, menurunnya tingkat kejujuran
dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan
hukum dan peraturan yang dibabkan oleh faktor-faktor dari dalam maupun luar
negeri. Faktor-faktor dari dalam negeri antara lain:

1) Melemahnya penghayatan dan pengamalan ajaran agama di kalangan aparatur,


serta munculnya pemahaman ajaran agama yang sempit dan keliru.
2) Sistem sentralisasi pemerintah di masa lalu yang mengakibatkan terjadinya
penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian kepentingan daerah.
3) Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan
kemajmukan dalam kehidupan berbangsa.
4) Terjadinya ketidak-adilan ekonomi dalam lingkup yang luas dan dalam kurun
waktu yang panjang, sehingga melewati ambang batas kesabaran masyarakat.
5) Kurangnya keteladanan dalam sikap dan prilaku sebagian pemimpin bangsa.
6) Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial
dalam mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika.
7) Terjadinya pembatasan kemampuan budaya lokal, daerah dan nasional dalam
merespon pengaruh negatif dari budaya luar.
8) Meningkatnya prostitusi, pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran dan
penyeludupan narkotika.

Sementara faktor-faktor dari luar negeri meliputi: pengaruh globalisasi dalam hal
gaya hidup dan makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam
perumusan kebijakan nasional.

Pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa mengacu kepada norma-norma agama dan


cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa, kemandirian, keunggulan dan kejayaan
bangsa. Perhatian terhadap nilai-nilai tersebut oleh setiap aparatur sangat erat
kaitannya dengan latar belakang agama, sejarah, budaya dan perkembangan kondisi
sosial dan lingkungan hidup seseorang. Trend dalam pengembangan etika
pemerintahan tampaknya dipicu oleh permasalahan yang relatif sama yaitu korupsi.
Dalam hal ini di negara manapun tidak ada yang menghalalkan korupsi, termasuk
menerima suap.

Banyak kasus di berbagai negara maju di Asia, Eropa dan Amerika, di mana salah
seorang Pejabat Tinggi Negara harus mengundurkan diri dari jabatan, karena
terbukti melakukan korupsi atau menerima suap. Selain itu, Kode Etik lain yang juga
sama antara lain: larangan membocorkan rahasia negara, mendahulukan
kepentingan pribadi daripada kepentingan negara dan masyarakat, dan kewajiban
untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan hukum dan peraturan perundang-
undangan, serta ketentuan lain yang berlaku.

Mengapa kecenderungan adanya kesamaan dalam pengaturan mengenai etika


politik tersebut muncul di berbagai negara. Hal ini, tampaknya berkaitan erat
dengan fungsi aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat, dimana kejujuran
(fairness) dan netralitas menjadi persyaratan yang memerlukan tingkat disiplin
tertentu yang kurang lebih sama di berbagai negara.

Melihat gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan


pemerintahan banyak dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pemerintah dan elit
politik itu sendiri. Jika pelaksana pemerintahan memiliki pola tingkah laku yang baik,
jujur, amanah dan dapat dipercaya, maka sudah barang tentu hasil dari
pekerjaannya itu dapat diwujudkan dengan baik, karena tidak ada kecurangan. Apa
yang dikerjakan sesuai dengan amanah rakyat dan dapat dipertanggung jawabkan.

Begitu juga dengan kenyataan sebaliknya, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa


krisis multidimensi adalah menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah,
bentrok dengan pihak keamanan, tawuran antar masyarakat, demonstrasi dimana-
mana, dan sebagainya. Semua hal tersebut akan memberi pengaruh kepada
keberhasilan pembangunan. Apakah mungkin pelaksanaan negara dapat dicapai
dengan baik jika masyarakat tidak menaruh kepercayaan kepada pemerintah. Akibat
pertama yang mungkin muncul adalah hilangnya keseriusan pelaksana
pembangunan di lapangan, dan hal ini bermuara pada kurang serius pelaksanaan
dan tentu berakibat pada rendahnya mutu pekerjaan.
Masyarakat yang sebelumnya dianggap sebagai pengontrol pelaksanaan
pembangunan di wilayahnya, balik menjadi apatis dan tidak menghiraukan
pembangunan yang dilaksanakan. Akibatnya, bukan mustahil akan terjadi
pembangunan dengan mutu seadanya dan bahkan muncul hal yang lebih buruk lagi,
yaitu masyarakat bahkan merusak pembangunan yang dilaksanakan. Kebencian
masyarakat yang tumbuh dan berkembang terhadap pemerintah sangat
berpengaruh terhadap mutu pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah,
bahkan mengancam keberhasilannya.

Solusi menguatkan etika adalah sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan Nomor


VI/MPR/2001 dengan menentukan arah kebijakan untuk memperkuat etika
bernegara sebagai berikut.

1) Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan


pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal,
informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para
pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.
2) Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan
menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang
bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan watak
dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual,
kematangan emosional dan spritiual, serta amal kebajikan.
3) Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas
kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika Pancasila dan akhlak mulia,
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

Atas dasar itu semua harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan
lilitan bahaya dari tidak diperhatikannya etika dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Untuk menyelematkan negara dan bangsa dari
kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan
etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita.

5. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa
Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara
harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap
prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut
memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan
manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan
actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang
mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan
beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang
bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai
warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau
kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas
sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat
memecah belah bangsa.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata
(deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih
menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu
sendiri.
Sementara itu, hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila
sebagai sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, meletakkan sila-sila
Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral
dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga
negara. Kedua, Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga
negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal,
nasional, regional, maupun internasional. Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika
dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara
negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa
Pancasilais. Keempat, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk
menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai
dampak globalisasi yang mempengaruhi pemikiran warga negara.

d. Rangkuman
Perbedaan antara konsep etika dan etiket berpengaruh terhada pandangan kita dalam
memahami Pancasila sebagai suatu system etika. Etika adalah kajian ilmiah terkait
dengan etiket atau moralitas. Sementara etiket secara sederhana dapat diartikan
sebagai aturan kesusilaan/sopan santun. Etika berhubungan dengan moralitas maka
istilah ‘etika’ dapat dilakukan melalui bermacam-macam pendekatan untuk
memahaminya yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan meta etika.
Pancasila sebagai sistem etika artinya Pancasila sebagai sarana orientasi bagi usaha
manusia Indonesia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental:
bagaimana saya harus hidup dan bertindak dalam berinteraksi dengan sesama manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem etika berarti Pancasila merupakan kesatuan sila-sila Pancasila,
sila-sila Pancasila itu saling berhubungan, saling berja sama untuk suatu tujuan tertentu
dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Pancasila sebagai sistem
etika, bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.
Perlunya Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan
bernegara bertujuan untuk: (a) memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen
bangsa dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek; (b)
menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
dan (c) menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan
moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

e. Latihan

Untuk menguji dan memantapkan pemahaman anda terhadap materi yang telah disajikan
sebelumnya, jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan etika!


2. Jelaskan perbedaan etiket dengan etika!
3. Apa yang dimaksud dengan etika politik!
4. Jelaskan perlunya Pancasila sebagai sistem etika!
5. Jelaskan tantangan implementasi Pancasila sebagai sistem etika!

f. Tes Formatif & Kunci Jawaban

1. Selain norma kesusilaan dan norma kesopanan, dua norma lainnya yang termasuk
dalam empat macam norma dalam masyarakat adalah ….
A. norma agama dan norma hukum
B. norma agama dan norma sosial
C. norma hukum dan norma sosial
D. norma sosial dan norma budaya
E. norma hukum dan norma budaya
Jawab:
A. Norma Agama dan norma hukum
2. Bangsa Indonesia mengembangkan perilaku luhur yang menggambarkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan, sikap adil, seimbang antara hak dan kewajiban,
menghormati orang lain, suka menolong, suka menghargai hasil karya orang lain, dan gemar
ikut dalam kegiatan untuk memajukan masyarakat yang merata dan berkeadilan sosial.
Merupakan pengamalan pancasila sila
a. Sila pertama
b. Sila kedua
c. Sila ketiga
d. Sila keempat
e. Sila kelima
Jawab:
E. Sila kelima

3. Pancasila merupakan sumber cita-cita yang dianggap baik danbenar oleh bangsa Indonesia.
Dalam hal ini Pancasila mempunyai kedudukan sebagai................
a. Sumber dari segala sumber hokum
b. Dasar negara bangsa Indonesia
c. Pandangan hidup bangsa Indonesia
d. Perjanjian luhur
e. Ideologi bangsa Indonesia
Jawab:
D. Perjanjian luhur

4. Pancasila mempunyai nlai-nilai yang dapat berubah sesuai dengan keadaan dan
perkembangan zaman. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Pancasila juga memiliki nilai
a. Fundamental
b. Instrumental
c. Material
d. Spiritual
e. Filsafat
Jawab:
B. Instrumental

5. Pancasila merupakan sistem nilai ideal yang dicita-citakan memberi arah dan tujuan yang
diyakini dan akan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu merupakan
fungsi Pancasila sebagai
a. Pandangan hidup bangsa
b. Ideologi nasional
c. Dasar Negara
d. Falsafah Negara
e. Ideologi terbuka
Jawab:
B.Ideologi Nasional

g. Daftar Pustaka
Asdi, Endang Daruni.2003. Manusia Seutuhnya Dalam Moral Pancasila. Jogjakarta. Pustaka Raja
Bertens, K. Etika. 1997. Seri Pustaka Atmajaya. Jakarta. Gramedia

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Yudi. 2013. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR Republik Indonesia.

M. Sastrapratedja, Etika dan Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2002

Louis A. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Tiara wacana Yogya Tahun : 2004

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan, M.S. (2010, 2012). Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi 2010. Yogyakarta: Paradigma.
Frondizi Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Ali Mudhofir. 2009. Kamus Etika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

M. Fachri Adnan dkk. 2003. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Universitas Negeri
Padang Press

Bahm, Archie. 1984. Axiology: The Science of Values. New Mexico: Albuquerque.

Soeprapto, Bahar , S dan Arianto, L. 1995. Cita Negara Persatuan Indonesia. Jakarta. BP-7 Pusat.

Suseno, Franz Magnis. (2001). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta. Kompas Gramedia. 2003 

Martodihardjo, Susanto, dkk. 1993, Bahan Penataran Pedoaman Penghayatan dan Pengamalan


Pancasila. Jakarta: BP-7 Pusat.

Mahfud MD. (2012). “Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Berdasarkan
Konstitusi”. Makalah Disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Graha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai