Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Etika administrasi publik merupakan salah satu wujud kontrol


terhadap administrasi negara/publik dalam melaksanakan apa yang
menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya.
Manakala administrasi publik menginginkan sikap, tindakan dan
perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi
publik. Etika administrasi publik selain digunakan sebagai pedoman,
acuan, referensi administrasi publik, dapat pula digunakan sebagai
standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat
dikatakan baik atau buruk.
Etika mempunyai peran yang sangat strategis karena etika dapat
menentukan keberhasilan atau pun kegagalan dalam tujuan organisasi,
struktur organisasi, serta manajemen publik.
Etika berhubungan dengan bagaimana sebuah tingkah laku manusia
sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan tugas-
tugas yang ada di dalam administrasi publik, maka seorang administator
harus mempunyai tanggung jawab kepada publik.
Dalam perwujudan tanggung jawab inilah etika tidak boleh
ditinggalkan dan memang harus digunakan sebagai pedoman bertingkah
laku. Lebih jelas mengenai etika administrasi publik akan kami jelaskan
di bawah ini

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika

1. Definisi
Dalam Ensiklopedi Indonesia, etika disebut sebagai “Ilmu
tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia
hidup dalam masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk”.
Sedangkan secara etimologis, Etika berasal dari kata ethos (bahasa
Yunani) yang berarti kebiasaan atau watak. Etika menurut bahasa
Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup
(sila) yang lebih baik (su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong,
2007:190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah etika
selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai
individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan/watak yang
baik maupun kebiasaan/watak buruk. Watak baik yang
termanifestasikan dalam perilaku baik, sering dikatakan sebagai sesuatu
yang patut atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang
termanifestasikan dalam perilaku buruk, sering dikatakan sebagai
sesuatu yang tidak patut atau tidak sepatutnya.
Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang
artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah
morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian
asalnya. Moril bisa berarti semangat atau dorongan batin. Di samping
itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin. (norma:
penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau
kaidah. Dalam kaitannya dalam perilaku manusia, norma digunakan

2
sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga
untuk menakar atau menilai sebelum perilaku dilakukan.

Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti


rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak
terdapat dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan moralitas
mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika.
Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas.
Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap
sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti
tidak bermoral, namun menyiksa anak disebut tindakan tidak bermoral.
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Etika sering dipersamakan
atau dipergunakan secara bergantian dengan istilah Moral, Norma dan
Etiket. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam
filsafat yang mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan
moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan
tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma.
Beberapa pakar tidak membedakannya secara prinsip, sedangkan
sebagian lain memberikan pembedaan-pembedaan sebagai berikut
(Utomo, 2000:4):

1. Judistira K. Garna, (Materi Kuliah Etika Kebijakan Publik,


LANUNPAD,1997) dan Wahyudi Kumorotomo (Etika Administrasi
Negara, Rajawali, 1994 : 9).

Moral menyatakan tindakan/perbuatan lahiriah seseorang, atau


daya dorong internal untuk mengarah kepada perbuatan baik dan
menghindari perbuatan buruk. Sedangkan Etika tidak hanya
menyangkut tindakan lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia
bertindak demikian. Etika tumbuh dari pengetahuan seseorang yang
3
diberi makna kesepakatan sosial, dan dijadikan acuan/tolok ukur
moralitas masyarakat.

2. Robert C. Solomon (Etika : Suatu Pengantar, Erlangga : 1987 : 2-18)

Moral menekankan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang


khusus (misalnya rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa), di luar
ketaatan pada peraturan. Sedangkan Etika berkenaan dengan dua hal
: 1) disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut
manusia beserta pembenarannya, dan 2) hukum yang mengatur
tingkah laku manusia.

3. William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7)

Etika mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran


filosofis. Moralitas merupakan instrumen kemasyarakatan yang
berfungsi sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola
tingkah laku yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas
akan serupa dengan hukum disatu pihak dan dengan etiket di pihak
lain. Bedanya dengan etiket, moralitas memiliki pertimbangan yang
jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan’. Di samping
itu, moralitas juga dapat dibedakan dengan hukum, sebab ia tidak
dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Demikian pula sanksi dalam moralitas tidak melibatkan paksaan fisik
atau ancaman, melainkan lebih bersifat internal misalnya berwujud
rasa bersalah, malu, dan sejenisnya.

4
2. Konteks Etika

Etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan


moral yang menentukan perilaku seseorang dalam hidupnya. Etika
merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma
moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku
baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Sebagai suatu subyek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki
oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-
tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena
segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok itu sendiri.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia
ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma
hukum, norma moral, norma agama, dan norma sopan santun. Norma
hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama
berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma
sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang
tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan
orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu
memerlukan keterampilan etika agar dapat memberikan orientasi, tak
sekadar indoktrinasi.
Sebagai aliran etis, tradisionalisme dapat berpegang pada tradisi
budaya/kultural yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek
moyang, atau pada tradisi keagamaan yang bersumber pada wahyu
keagamaan. Tradisi etis itu tampak juga dalam bahasa, seperti petuah,
nasihat, pepatah, norma dan prinsip, dalam perilaku, seperti cara hidup,
bergaul, bekerja, dan berbuat, serta dalam pandangan dan sikap hidup

5
secara keseluruhan. Bentuk bahasa, perilaku, pandangan, dan sikap
hidup merupakan tempat menyimpan nilai-nilai etis, wahana
pengungkapan, dan sarana mewujudkannya.
Dalam penerapannya, etika melandasi lahir dan berkembangnya
berbagai teori ilmu pengetahuan dan terapannya di berbagai bidang,
yakni: hukum, profesi, ekonomi, administrasi, seni, sosial, dan politik.

3. Aliran dalam Etika

a. Teologisme
Prinsip/asas etika menurut aliran ini, sesuatu yang baik, susila
atau etik, adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan
sebaliknya.
b. Naturalisme
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan
hukum alam.
c. Hedonisme (Hedone = perasaan akan kesenangan)
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan
kesenangan, kenikmatan atau rasa puas kepada manusia.
Sempalan dari ajaran ini adalah aliran Materialisme yang
mengajarkan bahwa alat pokok untuk memenuhi kepuasan
manusia adalah materi.
d. Eudaemonisme (Eudaemonismos = bahagia)
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan
kebahagiaan kepada manusia. Bedanya dengan hedonisme,
kebahagiaan lebih bersifat kejiwaan. Dengan kata lain,
kebahagiaan merupakan kebaikan tertinggi (prima facie).
Sempalan dari ajaran ini adalah aliran Stoisisme yang
mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia
harus menggunakan akal pikirannya; bukan mencari

6
“kebijaksanaan” dengan cara menyendiri atau mengendapkan
perasaan seperti seorang pengecut.
e. Utilitarianisme
Perbuatan yang dianggap baik secara susila ialah
“guna/manfaat”. Penganjut utamanya adalah Jeremy Bentham
yang mengatakan bahwa the greatest happiness of the greatest
number, dan John Stuart Mill. Sempalan dari ajaran ini antara lain
adalah aliran pragmatisme, empirisme, positivisme, dan neo
positivisme (scientisme).
f. Vitalistis
Norma perbuatan baik adalah yang mempunyai kekuatan
paling besar. Jadi, orang/kelompok yang paling kuat dan dapat
menguasai orang/kelompok lain dianggap sebagai
orang/kelompok yang baik. Atau menurut Nietzsche, perilaku
yang baik adalah yang menambah daya hidup, sedangkan perilaku
yang buruk adalah yang merusak daya hidup.
g. Idealisme
Pusat pengertian aliran ini ialah kebebasan atau penghormatan
kepada pribadi manusia. Ajaran ini terdiri dari 3 komponen, yaitu
idealism rasionalistik (akal pikiran sebagai penuntun tingkah
laku), idealism estetik (kehidupan manusia dilihat dari perspektif
karya seni), dan idealisme etik (menentukan ukuran moral dan
kesusilaan terhadap kehidupan manusia).

7
4. Empat Hirarki Etika
a. Moralitas Pribadi
b. Konsep baik-buruk, benar-salah yang telah terinternalisasi dalam
diri individu.
c. Produk dari sosialisasi nilai masa lalu.
d. Moralitas pribadi adalah superego atau hati nurani yang hidup
dalam jiwa dan menuntun perilaku individu.
e. Konsistensi pada nilai mencerminkan kualitas kepribadian
individu.
f. Moralitas pribadi menjadi basis penting dalam kehidupan sosial
dan organisasi.

5. Etika Profesi
a. Nilai benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan pekerjaan
profesional.
b. Nilai-nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip profesionalisme
(kapabilitas teknis, kualitas kerja, komitmen pada profesi).
c. Dapat dirumuskan ke dalam kode etik profesional yang berlaku
secara universal (cth:PP No. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik PNS).
d. Penegakan etika profesi melalui sanksi profesi (pencabutan
lisensi).

6. Etika Organisasi
a. Konsep baik-buruk dan benar-salah yang terkait dengan
kehidupan organisasi.
b. Nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan
organisasi modern (efisiensi, efektivitas, keadilan, transparansi,
akuntabilitas, demokrasi).
c. Dapat dirumuskan ke dalam kode etik organisasi yang berlaku
secara universal.
8
d. Dalam praktek penegakan kode etik organisasi dipengaruhi oleh
kepentingan sempit organisasi, kepentingan birokrat, atau
kepentingan politik dari politisi yang membawahi birokrat.
e. Penegakan etika organisasi melalui sanksi organisasi.

7. Etika Sosial
a. Konsep benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan
hubungan-hubungan sosial.
b. Nilai bersumber dari agama, tradisi, dan dinamika sosial.
c. Pada umumnya etika sosial tidak tertulis, tetapi hidup dalam
memori publik, dan terinternalisasi melalui sosialisasi nilai di
masyarakat.
d. Etika sosial menjadi basis tertib sosial [Jepang, tidak boleh
mengganggu dan merepotkan orang lain].
e. Masyarakat memiliki mekanisme penegakan etika sosial, yaitu
melalui penerapan sanksi-sanksi sosial [diberitakan sebagai
tersangka].

8. Pembentukan dan Implementasi Etika


Terbentuknya etika administrasi publik tidak terlepas dari kondisi
yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan
aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat
dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan
berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang
nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi
aparat birokrasi itu sendiri.
Munculnya etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat
terbentuk dalam dua macam proses, yaitu :

9
Secara alamiah terbentuk dari dalam (internal) diri manusia
karena pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai tertentu
(khususnya agama/religi).
Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara
kolektif, misalnya: sumpah jabatan, disiplin, dan sebagainya. Sumpah
jabatan dan peraturan disiplin PNS, pada gilirannya akan membentuk
etika birokrasi. Contoh di Singapura menunjukkan bahwa etika
berdisiplin (antri, membuang sampah) dibentuk oleh denda sangat besar
bagi pelanggar.
Sementara, implementasi etika sebagai suatu pedoman bertingkah
laku juga dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, yakni internal (ke
dalam) dan eksternal (keluar). Aspek ‘kedalam’, seseorang akan selalu
bertingkah laku baik meskipun tidak ada orang lain di sekitarnya.
Dalam hal ini, etika lebih dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam
aspek ‘keluar, implementasi Etika akan berbentuk
sikap/perbuatan/perilaku yang baik dalam kaitan interaksi dengan orang
lain.

B. Etika Administrasi Publik

Definisi

Ethics is the rules or standards governing, the moral


conduct of the members of an organization or management profession
(Chandler & Plano, The Public Administration Dictionary, 1982).

10
Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi
publik (Pasolong, 2007 :193) diartikan sebagai filsafat dan professional
standar (kode etik) atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang
benar) yang sehatursnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau
administrasi publik.

Dapat disimpulkan etika administrasi publik adalah aturan


atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau
pekerjaan manajemen; aturan atau standar pengelolaan yang merupakan
arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan tugasnya
melayani masyarakat.Aturan atau standar dalam etika administrasi
negara tersebut terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan,
ketatausahaan, dan hubungan masyarakat.

2. Unsur Administrasi Publik

Unsur administrasi adalah bagian-bagian yang harus ada


dalam kegiatan administrasi. Tanpa adanya unsur-unsur tertentu,
administrasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

Menurut The Liang Gie (1978), bahwa dalam proses


penyelenggaraan administrasi mempunyai unsur-unsur yang merupakan
pola perbuatan manusia dalam bidang administrasi, yakni: 1) organisasi,
11
2) manajemen, 3) komunikasi, 4) kepegawaian, 5) keuangan, 6)
perbekalan, 7) ketatausahaan, dan 8) hubungan masyarakat.

Organisasi, sebagai unsur pertama dari administrasi merupakan


rangka atau wadah di mana usaha kerjasama itu diselenggarakan. James
D. Money (1947) menyebutnya sebagai bentuk perserikatan manusia
untuk pencapaian suatu tujuan bersama. (the form of every human
association for the attainment of a common purpose). Sejalan dengan
ini, maka proses mengorganisir (organizing) ialah penyusunan rangka
itu dengan membagi-bagi dan menghubung-hubungkan orang,
wewenang, tugas dan tanggungjawab menjadi kesatuan yang laras.
Termasuk pula proses mengorganisir organisasi ini ialah penentuan
tujuan yang hendak dicapai.

Penelaahan terhadap rangka di mana administrasi itu berlangsung


menimbulkan sekelompok pengetahuan yang disebut:

teori organisasi (theory of organization)

analisis organisasi dan methode (organization and methods


analysis – O & M analysis)

tingkah laku administratif (administrative behavior), perilaku


keorganisasian (organizational behavior)

hubungan manusia (human relations)

Manajemen, sebagai suatu proses yang menggerakkan kegiatan


dalam administrasi itu sehingga tujuan yang telah ditentukan benar-
benar tercapai. Sarjana Oliver Sheldon (1957) mengatakannya sebagai

12
“the process by which the execution of a given purposes is put into
operation and supervised” (proses dengan mana pelaksanaan dari suatu
tujuan tertentu dijalankan dan diawasi). Manajemen mempunyai fungsi-
fungsi yang sebagian sarjana berbeda klasifikasi. Menurut Henry Fayol,
yaitu: Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pemberian komando (comanding), pengkoordinasian (coordinating),
pengawasan (controlling). G.R. Terry dengan akronim POAC
(Planning, Organizing, Actuating, Controlling). The Liang Gie dengan
fungsi perencanaan, pengambilan putusan, pembimbingan,
pengkoordinasian, pengendalian dan penyempurnaan.

Dalam perkembangan manajemen telah muncul berbagai


pengetahuan sepertinya: Total quality management (manajemen mutu
terpadu), management by objectives (manajemen berdasarkan sasaran),
Management Information System (Sistem Informasi Manajemen),
Manajemen Stratejik, Manajemen Sumber Daya Manusia dan banyak
pengetahuan ekonomi yang memakai istilah manajemen seperti
manajemen pemasaran, manajemen keuangan, manajemen koperasi,
dan manajemen akuntansi, bahkan pada lembaga pendidikan di bidang
ekonomi terbentuk jurusan/program studi manajemen.

Komunikasi, Ini merupakan urat nadi yang memungkinkan orang-


orang dalam usaha bersama itu mengetahui apa yang terjadi atau
diinginkan oleh masing-masing. Tanpa komunikasi yang baik, tak
mungkin kerjasama dapat terlaksana dengan baik. Pengetahuan yang
merupakan segi-segi komunikasi ini misalnya: reporting techniques
(tehnik pelaporan) Sistem informasi (information system),

Kepegawaian, Ini merupakan segi yang berkenaan dengan sumber


tenaga manusia (working force) yang harus ada pada setiap usaha

13
kerjasama. Penelaahan terhadap unsur ini menimbulkan sekelompok
pengetahuan yang dicakup dengan nama Administrasi Kepegawaian
(Personnel Administration) yang dewasa ini kecenderungan
menggunakan istilah sumber daya manusia. Administrasi ini pada
pokoknya mempelajari segenap proses penggunaan tenaga manusia itu
dari penerimaannya (recruiting) sampai pemberhentiannya (retirement).
Termasuk pula di sini ialah analisis dan klasifikasi jabatan (job analysis
and classification) serta pengembangan tenaga itu melalui latihan-
latihan (training)

Keuangan, Ini merupakan segi pembiayaan (financing) dalam


setiap administrasi. Dari sini timbullah Administrasi keuangan yang
mencakup penganggaran belanja (budgeting), pembukuan (accounting),
pemeriksaan (auditing) serta tindakan-tindakan lainnya dalam bidang
keuangan.

Perbekalan, Istilah lainnya perlengkapan, persediaan, logistik, dan


urusan rumah tangga. Ini merupakan segi yang mengurusi kebutuhan-
kebutuhan kebendaan dan kerumahtanggaan yang juga tentu ada dalam
setiap usaha bersama. Pada bidang ini berkembanglah pengetahuan
tentang administrasi perlengkapan (supply administration), pembelian
(procure-ment), persediaan, pergudangan, klasifikasi dan standardisasi
alat-alat, pengendalian harta benda (inventory and property control)

Ketatausahaan, yaitu rangkaian kegiatan merencanakan,


mengada-kan, mengirim, dan menyimpan pelbagai keterangan yang
diperlukan dalam usaha kerjasama. Pada bidang ini berkembang
pengetahuan tentang administrasi perkantoran (office administration)
atau manajemen perkan-toran (office management), kesekretarisan, tata
persuratan, kearsipan, dan dokumentasi.

14
Hubungan Masyarakat, Ini merupakan segi yang menggambarkan
pada pihak luar segala sesuatu yang berlangsung mengenai usaha
kerjasama itu, demikian pula sebaliknya menyalurkan sesuatu hasrat,
cita atau pendapat dari luar ke dalam sesuatu usaha bersama, dengan
demikian tercapai pengertian yang sebaik-baiknya antara suatu
administrasi dengan keadaan sekelilingnya. Aspek ini justru amat
pentingnya bagi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun perusahaan agar mendapat dukungan dari rakyat
bagi pemerintah dan kesukaan konsumen bagi perusahaan. Pada akhir-
akhir ini timbullah pengetahuan dalam bidang ini, yaitu hubungan
masyarakat (publik relation), keprotokolan, dan dalam bidang
perusahaan dengan periklanan (advertising).

3. Prinsip Administrasi Publik

Ada 3 prinsip yang harus dipegang agar sebuah Administrasi


dapat dikatakan baik yakni:

Prinsip Pelayanan kepada Masyarakat

Prinsip utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat.


Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, dari sini
dapat dipahami bahwa pemerintah ada memang untuk memberi
pelayanan kepada masyarakat.

15
Prinsip Keadilan Sosial dan Pemerataan

Prinsip ini berhubungan dengan distribusi pelayanan yang harus


sesuai, tidak “pilih kasih” dan relatif merata di seluruh wilayah sebuah
negara/ pemerintahan.

Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Maksudnya adalah setiap pejabat pemerintah harus memiliki


komitmen dan untuk peningkatan kesejahteraan dan bukan semata mata
karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan karena
mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara
pada umumnya.

4.Posisi Etika dalam Administrasi Publik

Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa


klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik
(Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada
pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator
hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari
secara efisien.

16
Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun
tidak hanya harus efisien, tapi juga harus dapat mendefinisikan
kepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan
kebijakan atau tindakan secara bertanggungjawab. Padahal etika
merupakan dimensi yang penting dalam administrasi publik.

5.Urgensi Etika Administrasi Publik

Pentingnya etika administrasi publik tersebut adalah sebagai


berikut (Henry, 1995: 400). Alasan pertama, adalah adanya public
interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah
karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab. Dalam
memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, kapan, dan
sebagainya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak
memiliki tuntunan kode etik atau moral secara memadai.

Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah


teruji selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih

17
tinggi justru mendikte perilaku seorang aparatur. Birokrat dalam hal ini
tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata
lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

Alasan kedua, lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam


birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Alasan ketiga,
berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang
begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip
“kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip
yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan
menghasilkan ketidakadilan, di mana calon yang dipekerjakan hanya
berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.

Alasan keempat, adalah peluang untuk melakukan tindakan yang


bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan
publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana
dibayangkan. Begitu kompleks sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik
pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan
ketiakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil
langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan
bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah
untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku
yang ada.

18
6. Implementasi Etika Administrasi Publik

Etika administrasi publik dapat digunakan sebagai rujukan atau


referensi bagi para birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya yaitu American Society for Administration (ASPA).

Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas pelayanan


kepada diri sendiri;

Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi


pemerintah dan pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat

Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah

Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi


birokrasi

Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-


asas iktikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan

Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik


kepentingan, penyuapan, hadiah, atau faviritisme yang merendahkan
jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak diterima

Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan


ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi
dan kasih sayang

19
Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah
tindakan

Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal


yang tidak etis, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui
pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada
waktunya.

Etika administrasi tersebut di atas belum cukup untuk menjamin


untuk menghapus perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme pada birokrasi
publik.

Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika


kehidupan berbangsa. Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas
pada kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan kebijakan
pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja – putting
the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih jauh dari itu, administrasi
negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya untuk menaruh
perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang
upaya membuatnya.

Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika


administrasi negara yang tujuannya adalah untuk menyelengarakan
kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara
digunakan dengan baik oleh para penyelenggara negara (administrator)
maka etika kehidupan berbangsa pun dapat berlangsung dengan baik,
sebaliknya, apabila etika administrasi negara tidak secara benar
melandasi setiap pergerakan dalam administrasi negara maka dapat
20
diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada
kehidupan berbangsa.

Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam


kehidupan berbangsa. Khususnya Etika Politik dan Pemerintah. Etika
ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien,
dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang
bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi
rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan
untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per
orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar aparatur memiliki rasa


kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap
mundur apabila dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai, atau
tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan


sebagaimana mestinya, maka tercipta suatu ketidakseimbangan yang
berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit diselesaikan di
Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang
menganut sistem demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif dari
rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ternyata harus terpuruk karena pada
kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan pemerintah hanya
memikirkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya.

21
Adanya ‘budaya’ korupsi yang telah sejak lama menodai
penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia menunjukkan bahwa
etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para
penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang
berhubungan langsung dengan kegiatan negara dilanggar inilah maka
dapat dipastikan etika politik dan pemerintah sama sekali tidak
diperhatikan.

Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran bagi


seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara
yang mendasari baik buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan
kemudian etika administrasi negara tersebut sangat menentukan
bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan
pemerintah.

Namun pada kenyataannya, banyak sudah contoh kasus yang ada


di Indonesia berkaitan dengan etika administrasi negara/publik. Mulai
dari hal terkecil saat pembuatan KTP, karena organisasi pemerintah
tidak melangsungkan hidupnya dengan etika, maka dengan mudah
terjadi praktek pungutan liar yang merugikan masyarakat. Hal itu
membuat penilaian tentang buruknya manajemen pemerintahan yang
ada.

Seharusnya, dalam keberlangsungan negara, adanya komunikasi


sesuai etika dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat
pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun antara rakyat dan

22
pemerintah agar tercipta suatu koordinasi yang kontekstual dan
berdampak positif bagi rakyat dan pemerintah.

Dalam etika administrasi negara yang dapat dikatakan harus


melingkupi semua proses penyelenggaraan negara. Namun, pada
prakteknya, kepegawaian di Indonesia seringkali berjalan tidak sesuai
dengan etika yang ada. Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah
mengindikasikan adanya kecurangan misalnya dengan adanya kasus
penyuapan untuk diterima sebagai PNS. Kecurangan ini kemudian
berdampak buruk, karena dengan kecurangan ini akan timbul sumber
daya manusia yang kurang berkualitas.

Kemudian, tampak pula perilaku tidak etis birokrat, seperti:


Bohong kepada public; Korupsi, kolusi, nepotisme; Melanggar nilai-
nilai publik: responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan
lain-lain; Melanggar sumpah jabatan; Mengorbankan, mengabaikan,
atau merugikan kepentingan public; Pungli pembuatan perizinan,
identititas, dan sebagainya.

Sebagai contoh nyata, kita menyaksikan bersama berbagai kasus


pelanggaran etika administrasi yang menjerat para penyelenggara
negara ini: Kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima
suap sebesar 660 ribu dolar AS dari Arthalita Suryani terkait
penanganan kasus BLBI; Kasus kawin siri Bupati Garut yang hanya
bertahan empat hari dan diakhiri talak cerai melalui sms; Kasus
perpajakan Gayus Tambunan; Kasus Hambalang, Andi Mallarengeng
mantan Menteri Pemuda dan Olahraga; Kasus Suap, Rudi Rubiandini
23
mantan Ketua SKK Migas; Korupsi oleh Kepala Daerah (54 orang,
2004-2014, data KPK); Kasus suap Akil Mochtar mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK); Korupsi pengadaan Al-Quran oleh Politisi
dan Pejabat Kemenag, dan lain sebagainya.

C. Faktor Perilaku Tidak Etis

Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya


perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik.
Pertama, faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan
tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang
berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-
administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya
pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan
terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.

Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor


kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh
dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor ini
disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan
keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan
sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan
yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak

24
baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut
ajaran agama mereka.

Namun karena rendahnya sikap mental mereka,


dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada
kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi
dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal banyak pula
dipengaruhi oleh faktor eksternal: faktor kebutuhan keluarga,
kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain
sebagainya.

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri


orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa berupa,
lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan
lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan
tindakan korupsi. Meskipun aturan telah dibuat oleh pihak yang
berwenang, tetapi masih ada pihak yang menyalahgunakan haknya. Hal
ini mengakibatkan tidak terlaksananya proses dan kerja administrasi
publik dengan baik dan benar.

Peraturan perundangan tempat mereka bekerja,


merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi
oleh para pegawai dalam menjalankan tupoksi yang diberikan.
Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk
melakukan tindakan tidak etis dalam pelaksanaan administrasi publik,
karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain

25
sebagainya, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai
untuk melakukan tindakan tersebut.

D. Peraturan Etika

Peraturan etika diperlukan untuk meredam


kecenderungan kepentingan pribadi. Etika bersifat kompleks, dalam
banyak kasus bersifat dilematis, karena itu diperlukan hal yang bisa
memberikan kepastian tentang mana yang benar dan salah, baik dan
buruk. Penerapan peraturan etika dapat membuat perilaku etis
menimbulkan efek reputasi. Organisasi publik sekarang banyak
dicemooh karena kinerjanaya dinilai buruk, karena itu perlu etika.

Etika dan hukum memiliki keterkaitan satu sama lain.


Keduanya mengatur perilaku individu. Namun terdapat perbedaan:
ilegalitas tidak selalu berarti tidak etis. Hukum bersifat eksternal dan
dapat ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang
(sasaran hukum), sementara etika bersifat internal, subyektif,
digerakkan oleh keyakinan dan kesadaran individu.

Hukum dalam konteks administrasi adalah soal


pemberian otoritas atau instrumen kekuasaan. Basis dari hukum adalah
etika, dan ketika hukum diterapkan harus dikembalikan pada prinsip-
26
prinsip etika. Banyak kasus, secara hukum dibenarkan tapi secara etika
dipermasalahkan (trend anak politisi yang jadi calon anggota legislatif).

Coba kita amati perbedaan pandangan kedua pakar


politik pemerintahan, yakni: Debat Herman Finer Vs. Carl Friedrich.
Kedua ahli tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap birokrat jika
dikaitkan dengan etika, hukum, dan pelayanan publik. Finer (1936)
mengatakan: Untuk menjamin birokrasi yang bertanggungjawab yang
diperlukan adalah penegakan sistem kontrol melalui undang-undang
dan peraturan yang dapat mendisiplinkan para pelanggar hukum.
Sedangkan Friedrich (1940) mengatakan: Birokrasi yang
bertanggungjawab hanya bisa ditegakkan dengan dengan menyeleksi
orang yang benar dengan kriteria profesionalisme yang jelas, dan
menyosialisasikannya ke dalam nilai-nilai pelayanan publik.

E. Menata Ulang Manajemen Pemerintahan

Salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik


di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai
elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal,
dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika
merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik
yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan
pelayanan publik itu sendiri.
27
Law enforcement sangat membutuhkan adanya
akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga
penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat
dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahkan law
enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya
menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan
berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan
nilai-nilai etika administrasi.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan makin


kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi
pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik,
yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule
government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-
undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak
hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi
melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasi, pihak swasta, dan
masyarakat (publik) secara keseluruhan.

Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak


yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau
masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan
bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau
aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki etika yang
baik dalam menjalankan kewajibannya.

28
The Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) dan World Bank mensinonimkan good
governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan
pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Sedangkan UNDP mendefinisikan good governance


sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor
swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan definisi tersebut UNDP
kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling
memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut:

Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam


pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi
institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti
ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.

Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa


perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.

Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus


informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat
diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat
dipahami dan dapat dipantau.
29
Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk
melayani stakeholders.

Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara


kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun
prosedur.

Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan


sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber
yang tersedia sebaik mungkin.

Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan,


sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada
publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

Strategic vision. Pemimpin dan publik harus mempunyai


perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta
jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan
semacam ini.

Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan


bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif,
dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga
domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society).

Oleh karena good governance meliputi sistem


administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga

30
merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi
negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.

Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance,


tampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang
peranan penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi
pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan
masyarakat (society) serta fungsi administratif penyelenggaraan
pemerintahan melekat pada domain ini. peran pemerintah melalui
kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya
mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di
dalam pasar dapat dihindari.

Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good


governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi
penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan
penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

31
A.KESIMPULAN

Penerapan etika administrasi Publik memiliki banyak aspek yang


harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, seperti menjalankan asas-asas
birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan prinsip
demokratis, keadilan sosial dan pemerataan, serta mewujudkan
kesejahteraan umum.

Penerapan etika administrasi dalam pemerintahan perlu kesadaran


aparat birokrasi untuk benar-benar menjalankan tupoksi.

Perlunya aturan-aturan untuk mengatur birokrat demi konsistensi


menerapkan etika dalam administrasi pemerintah.

Melihat fakta yang ada, tak sedikit penyelenggara negara (pejabat


publik) belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi publik
yang baik.

B.SARAN

Menjadikan Pancasila sebagai Etika Penyelenggaraan Negara.

Menyadari hakekat keberadaan Pemerintah sebagai Pelayan


Masyarakat.

Komitmen menerapkan prinsip good governance dalam


menjalankan pemerintahan.

32
Meyakini masih banyak aparatur negara yang bekerja baik sesuai
etika dan aturan, hanya saja tidak cukup seksi untuk disorot media. (bad
news is good news, good news is no news).

Daftar Pustaka

Henry,S. 1995. Kinerja dalam Organisasi. Yogyakarta:Kanisius.

Keban, Yeremias. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi


Publik, Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta. Gava Media.

Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung :


Alfabeta

Rokhman, Ali. Presentasi: Etika Administrasi Publik.

33
Sadhana, Kridawati. 2010. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan
publik. Penerbit Percetakan CV. Citra Malang.

The Liang Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Utomo, Tri Widodo W., 2000. Etika dan Hukum Administrasi


Publik. STIA LAN Bandung.

34

Anda mungkin juga menyukai