Anda di halaman 1dari 6

Menurut pendapat Roscoe Pound tentang Hukum menunjukkan bahwa ketentuan agama di

akui sebagai hukum dalam pengertian hukum umum. Ini terjadi pada masa yang sangat awal,
dimana hukum selalu berasal dari Tuhan. Hukum, moralitas, dan agama sering dianggap saling
tidak dapat dipisahkan. Kalau hukum merupakan langsung dari tuhan, maka di akui pula adanya
hukum yang mengandung nilai suci, karena muncul dari orang yang mendapatkan inspirasi dari
Tuhan. Ketika hukum itu di anggap sebagai berasal dari tuhan yang mempunyai akar atau sumber
dari agama maka jenis hukum tersebut mempunyai nilai dan sanksi yang bersifat ketuhanan pula
atau setidaknya setengah ketuhanan. Oleh karena itu keterkaitan dengan agama seperti ini yang
kemudian semestinya mempunyai akar yang sangat kuat untuk menghasilkan kewajiban moral agar
tunduk atau patuh terhadap hukum karena keberadaan hukum itu sekaligus mengandung nilai
agama.[4]
Menurut Bernard Weiss, menjelaskan bahwa di dalam Islam, hukum dan agama dalam
praktek lembaga peradilan dan dalam kehidupan tidak dapat dipisahkan, namun sekaligus memberi
argumentasi bahwa budaya masyarakat islam tidak lepas dari ajaran agamanya, artinya; dalam
kehidupan umat Isam, adat kebiasaannya pasti mengandung nilai-nilai hukum Islam, meskipun
ukuran kuantitasnya tidak selalu sama. Ini juga akan membantu untuk memberi penjelasan
mengenai suatu tradisi bagi masyarakat Islam dan mengenai kebiasaan dalam sistem nasional yang
tidak dapat lepas dari kebiasaan yang bernilai hukum islam.
Secara keseluruhan, bagi negara Indonesia, yang dengan tegas disebutkan secara resmi
bahwa nilai atau hukum agama menjadi salah satu bahan baku hukum nasional, hukum dan agama
ini tidak dapat semata-mata dipisahkan. Hukum yang tertulis di dalam perundang-undangan tidak
dapat selalu dipertentangkan dengan hukum agama, meskipun secara bagian-bagiannya mungkin
ada perbedaan. Keduanya dapat menjadi satu kesatuan, seperti hukum perkawinan, dll.
Dalam pembicaraan mengenai hukum, ada konsep hak dan kewajiban yang tidak dapat
dilepaskan. Kedua hal ini sangat penting dalam oprasinya hukum di tengah-tengah masyarakat. Jika
terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan. Kalau semua hak
dan kewajiban itu mengandung nilai moral dan agama namun kemudian dapat diberlakukan sanksi
hukuman. Disinilah hukum positif berbicara, dan disinilah perbedaan antara hak dan kewajiban atas
dasar nilai-nilai agama, moral, atau konvensi sosial (sebelum menjadi hukum positif) yang tidak
mempunyai perangkat untuk memaksa lewat pengadilan, di satu sisi serta hak dan kewajiban yang
dapat dipaksa oleh hukum melalui pengadilan di sisi lain.
Dennis Lloyd berpendapat tentang melaksanakan kewajiban melalui pendekatan moral. Jika
moral disini berupa nilai-nilai agama, maka berarti pelaksanaan hukum sekaligus juga mempunyai
nilai melaksanakan ajaran agama. Namun, pendekatan seperti ini tidak selalu berjalan dengan
mulus, sehingga diperlukan penegakan hukum lewat pengadilan yang melalui pemaksaan
penerapan sanksi dengan perangkat penegak hukum yang ada.

Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2004),hlm. 80    


2.1.2. Pengertian Agama
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan
manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak
mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori
menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun
dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam,
Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari
langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi.
—-dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya
yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu,
Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu Illahi dengan budaya, karena
pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar
Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi,
sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak
dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam
jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata “Agama” pada umumnya; berdasarkan
Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari
kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan
akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman
hidup yang kekal”
Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA,
agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang, kosong atau hampa”,
GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga
agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan, sedangkan istilah
UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata
GA atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga
dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air,
api, kidung kemenyan atau mantra.
Berdasarkan kitab SADARIGAMA dari bahasa sansekerta IGAMA yang mengandung arti
I atau Iswara, GA berarti Jasmani atau tubuh dan MA berarti Amartha berarti “hidup”,
sehingga agama berarti Ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan keberadaan
Tuhan.
2.1.3. Pengertian Hukum
Di kalangan ahli hukum, bila ditanyakan apa itu hukum, akan lahir jawaban yang berbeda-
beda. Paling tidak, ada 8 rumusan dalam menjelaskan definisi hukum. Hukum adalah
suatu ilmu pengetahuan tentang hukum; hukum adalah sistem ajaran tentang kenyataan;
hukum adalah norma atau kaidah; hukum adalah peraturan yang tertulis; hukum adalah
keputusan pejabat; hukum adalah petugas; hukum adalah perilaku yang teratur; dan
hukum adalah terjalinnya suatu nilai-nilai.
Di Indonesia, hukum dikatakan sebagai “rangkaian kaidah, peraturan, tata aturan, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan antara
para anggota masyarakat.”

2. Pengertian Agama
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan
manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika
secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu
saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan
bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit,
agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. dan agama
Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh
berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu
dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu Illahi dengan budaya, karena
pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar Kitab
Sucinya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-
pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri dari
budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia
berpikir dan berperilaku.
3. Pengertian Hukum

Di kalangan ahli hukum, bila ditanyakan apa itu hukum, akan lahir jawaban yang berbeda-
beda. Paling tidak, ada 8 rumusan dalam menjelaskan definisi hukum. Hukum adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang hukum; hukum adalah sistem ajaran tentang kenyataan; hukum adalah norma
atau kaidah; hukum adalah peraturan yang tertulis; hukum adalah keputusan pejabat; hukum adalah
petugas; hukum adalah perilaku yang teratur; dan hukum adalah terjalinnya suatu nilai-nilai.
Di Indonesia, hukum dikatakan sebagai “rangkaian kaidah, peraturan, tata aturan, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan antara para anggota
masyarakat.”[2]
Pengertian Agama
Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitap upadecatentang
ajaran-ajaran agama hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa sanskerta yang
tersusun dari kata “A” berarti tidak dan“gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu
perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi,diwariskan secara terus
menerus dari generasi ke generasi.
Pada umumnya perkataan agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di
uraikandengan cara di memisahkan kata demi kata yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti kacau
maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengansungguh-
sungguh hidupnya tidak akan kacau.
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang
seringmendifinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang di anutnya.
Menurut “Mukti Ali”, mantan menteri agama Indonesia menyatakan bahwa agamaadalah percaya akan
adanya tuhan yang esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepadakepercayaan utusan-
utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat
Sedangkan menurut  “James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada tuhanyang selalu hidup.
Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta danmempunyai hubungan moral dengan
umat manusia.
Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak daripengetahuan rasional, juga
tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaanketergantungan mutlak kepada
yang tak terhingga (feeling of absolute dependence).
Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukankehidupan, sebagaimana
dalam hadist.“kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu akan tersesat selama-
lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah rasul”
 
Secara sosiologis menurut “  johnstone”
“Religion can be defined as a system of beliefs and practices by which a group of
people interprets and responds to what they feel is sacred and usually supernatural swell” lebih
lanjut johnstune menyatakan that by employing this definition weare, for purposes ofsociological
investigation at least, adopting the position, of the hardnosed relativist and agnostiec (saya kira
dengan jujur kita harus mengakui masih sangat sulit mencari orang ataupakar-pakar yang mengkaji
atau bergulat dengan agama tertentu di Indonesia, tetapi sekaligusmerupakan relativis dan
agnostik).
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atautata
cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur‟an agama
sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaranIslam sehingga
mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada
istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilahagama dan religi.

Pengertian Negara
Istilah negara diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu staat” (bahasa belanda dan jerman)
“state” (bahasa inggris) “etat” (bahasa prancis) kata “staat”(state,etat) itu diambil darikata bahasa
latin yaitu “status” atau statum, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang
memiliki sifat yang tegak dan tetap.
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politk, ia adalah organisasi pokok darikekuasaan
politik negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaanuntuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat.
Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannyasecara sah terhadap semua golongan kekuasaanlainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu negara menetapkan cara-cara dan batas-batas
sampaidimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh
individumaupun golongan atau asosiasi, ataupun juga oleh negara sendiri.

Paradigma Analisis Hubungan Agama dan Negara


Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan
agamayang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma
integralistik,paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)


Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang
danterdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain.Perbedaan
itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, salingmenguatkan dan bersatu.
Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik,antara
negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik jugamerupakan
lembaga keagamaan.
Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi”
(divinesovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan
berada di ”tangan Tuhan”. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)
Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalampaham
teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapatdipisahkan.
Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkanfirman-firman Tuhan,
segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukanatas titah Tuhan. Dengan
demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi
firman Tuhan.

Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9),


menegaskanbahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung
artibahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni
pahamteokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi
langsung,pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di
duniaini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan
pula.Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah
Tuhansendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang
diyakinimemerintah atas kehendak Tuhan.

Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)


Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitasyang
saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama,bahwa
antara negara dan agama saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapatberkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negaradapat berkembang dalam
bimbingan etika dan moral-spiritual.
Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang
untukmewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup
kemungkinanhukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis,yaitu:
Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk kewilayah negara
sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspekagama yang masuk ke
wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusinegara diisi oleh ketentuan
agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%,sehingga negara demikian sangat
mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
adanyakekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang
palingbesar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat
IbnuTaimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitasyang
berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalamparadigma ini
tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai olehhukum Agama. (Agus
Thohir, 2009:4).

Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)


Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigmasekularistik
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negaraatas agama.
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memilikigarapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan
tidakboleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis
ini,maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari
kesepakatanmanusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.
Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak adahubungan
antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusanhubungan
manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalahhubungan manusia
dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dannorma
Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkanAgama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangandengan norma-norma
Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akantetapi pada lazimnya Negara
sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agamaapa saja yang mereka yakini dan
Negara tidak intervensif dalam urusan-urusan Agama (Syari‟at).

Anda mungkin juga menyukai