Anda di halaman 1dari 8

BAB III

KAJIAN TEORITIS TENTANG AGAMA

A. Pengertian Agama

Menurut sejarahnya, masalah agama adalah masalah sosial, karena

menyangkut kehidupan masyarakat yang tidak bisa terlepas dari kajian ilmu-ilmu

sosial. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu agama hakikatnya merupakan rumpun bagian

dari ilmu Sosiologi, Psikologi dan Antropologi. Sosiologi menjadi akar dari semua

ilmu yang berkaitan dengan masyarakat; maka lahirlah semacam ilmu sosiologi

agama, sejarah agama, filsafat agama, publikasi agama, dan lain-lain. Francisco

Jose Moreno menegaskan bahwa “sejarah agama berumur setua sejarah manusia.

Tingkatan dien (agama) itu ada tiga; Islam, yaitu berserah diri kepada

Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan

serta berlepas didi dari syirik, Iman, yaitu percaya kepada Allah, Malaikay-Nya,

Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya hari akhir dan takdirnya, Ihsan, yaitu menyembah

kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.

Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk

agama. Seluruh agama merupakan perpaduan kepercayaan dan sejumlah upacara

yang diselenggarakan oleh masyarakat.” Hal itu karena masalah agama adalah

juga masalah pribadi, yang menyangkut hak azasi setiap manusia dalam

berhubungan dengan Tuhan, seperti ungkapan James Freud dkk, yang menegaskan

“agama sebagai manifestasi perasaan dan pengalaman manusia secara

individual ketika berhubungan dengan zat yang dianggap Tuhan”, maka kajian
Psikologi turut andil mendukung lahirnya ilmu-ilmu agama, seperti psikologi

agama, pendidikan agama, akhlaq, tasawuf, dan sebagainya. Begitu pula

Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia dan latar belakang

budayanya, baik kepercayaan, pengetahuan, maupun norma dan nilai-nilai yang

dianut manusia, jelas menjadi sumber aspirasi bagi kelahiran ilmu-ilmu agama.

Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh

sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok

persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan. Tuhan dan hubunga

manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai

makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika. Dengan

demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika. Namun, titik

tekan pembahasan filsafat agama lebih terfokus pada aspek metafisiknya

ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan dalam ilmu

alam, seperti biologi dan psikologi serta antropologi.

Agama berasal dari bahasa Sankskrit. Ada yang berpendapat bahwa kata

itu terdiri atas dua kata, a berarti tidak dan gam berarti pergi, jadi agama artinya

tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai

sifat yang demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau

kitab suci. Selanjutnya dikatakan bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga

mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci.

Secara etimologi, istilah agama banyak dikemukakan dalam berbagai

bahasa, antara lain Religion (Inggris), Religie (Belanda), Religio (Yunani), Ad-

Din,4 Syari’at, Hisab (Arab- Islam) atau Dharma (Hindu). Menurut Louis Ma’luf
dalam Al- Munawar pengertian agama dalam Islam secara spesifik berasal dari

kata “ad-Din” (Jamak: “Al-Adyan” yang mengandung arti “Al-Jaza wal Mukafah,

Al-Qada, Al-Malik-al-Mulk, As-Sulton, At-Tadbir, Al-Hisab”). Moenawar Cholil

menafsirkan kata “Ad- Din sebagai mashdar dari kata kerja “‫َن َدا‬- ‫ ” ن ْي ِد َي‬yang

mempunyai banyak arti, antara lain: cara atau adat kebiasaan, peraturan,

undang-undang, taat dan patuh, meng-Esa-kan Tuhan, pembalasan, perhitungan,

hari kiamat, nasihat, agama”. Dari pengertian yang khas itu, maka Ad-Dien dalam

Islam sesungguhnya tidak cukup diartikan hanya sekedar agama yang mengatur

hubungan antara manusia dengan zat Maha Pencipta (Tuhan yang dianggap

kuasa). Lebih dari itu, Dienul Islam juga mengatur kehidupan antar umat manusia,

bahkan dengan lingkungan alam sekitarnya.

Menurut Majduddin al-Fairuzabady, kata din berasal dari dain. Sebab,

dalam tata bahasa Arab suku kata yang setimbangan dengan fa’al, seperti dain

lebih banyak terdapat dalam praktik sastra Arab daripada kata yang setimbangan

fi’il, seperti din. Disamping itu, kata yang setimbangan dengan fa’al lebih mudah

dan praktis dituturkan daripada menyebut kata yang setimbangan fi’il. Kata dain,

demikian al-Fairuzabady, menunjukkan sesuatu yang tidak hadir, seperti dain

dalam arti utang. Utang adalah suatu takaran harga yang belum hadir pada waktu

pembayaran dilakukan. Agama pada dasarnya memiliki masalah yang tidak hadir

pada waktu kita sedang berada dalam alam yang hadir (dunia). Dan agama akan

hadir nantinya setelah hancurnya alam dunia dalam bentuk pahala dan siksaan.

Dengan demikian, menurut al-Fairuzabady, din itu berpokok pada metafisika dan

berasal dari dain. Dari dasar metafisika inilah kemudian muncul berbagai
ungkapan, seperti taat, pembalasan dan hukuman.

Religi berasal dari kata latin. Menurut suatu pendapat, asalnya relegere,

yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang kumpulan cara-cara

mengabdi kepada Tuhan dan harus dibaca. Pendapat lain mengatakan, kata itu

berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang

memiliki sifat mengikat bagi manusia, yakni mengikat manusia dengan Tuhan.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, melihat dari mana sumber

datangnya ajaran yang disampaikan, agama dapat dibedakan dalam dua kelompok

besar, yakni Agama Samawi (agama yang datang dari langit berlandaskan wahyu

Tuhan: seperti Islam, Yahudi dan Nasrani) dan Agama Wad’iy (agama yang

tumbuh di bumi atas prakarsa dan pemikiran Sidharta Gautama, atau Hindu

sebagai akulturasi budaya bangsa Aria dan Dravida). Ditinjau dari segi motivasi

yang melatarbelakangi lahirnya agama, terdapat Agama Alami (timbul karena

pengaruh kekuatan alam yang dilandasi motivasi untuk melindungi jiwa yang

ketakutan; seperti agama Majusi, animism, dinamisme) dan Agama Etik (tumbuh

berdasarkan motivasi penilaian baik dan buruk; semacam filsafat etika Kong-Hu-

Cu atau Kong-Cu, Shinto, dan lain-lain).

B. Pengertian Addin

Menurut bahasa Indonesia al-dīn diartikan dengan “agama”. Sedangkan

term al-dīn secara redaksional dalam bahasa al-Quran, identik dengan term

millah.

Term al-dīn merupakan bentuk mashdar dari kata dāna-yadīnu, yang

secara generik tanpa memperhitungkan kata jadiannya disebut sebanyak 93 kali


dalam al-Quran. Selanjutnya, term al-dīn dalam bentuk fi’il (dāna- yadīnu) dan

dalam bentuk ism yang di-idhāfat-kan dengan selainnya seperti; dīnukum, dīnihi,

dīnahum, dīnī terungkap dalam al-Quran sebanyak 36 kali. Dengan demikian,

term-term al-dīn dan derivasinya tersebut, terungkap di dalam al-Quran sebanyak

129 kali.

Mengenai term millah dalam al-Quran,baik yang di-idhāfah-kan atau

tidak, disebut 15 kali. Millah menurut bahasa sebagai sunnah (sistem) dan

tharīqah (cara). Menurut al-Rāghib al-Ashfāni, pengertian millah dengan al-dīn

adalah sama dan di sisi lain, ada juga perbedaannya.

Al-Millah yang bila dikaitkan dengan al-dīn, mengandung rumusan bahwa

kedua term ini diterminologikan sebagai syariat yang bersumber dari Allah (baca;

agama samawi).

Upaya pendefinisian kembali pengertian al-dīn menurut perspektfif al-

Quran, terlebih dahulu perlu ditelusuri aspek morfologisnya. Dalam hal ini, al-dīn

berasal dari kata dayana, yadīnu kemudian dibaca dāna, yadīnu.

Dāna ( َ‫ )دَان‬yang arti dasarnya “hutang” adalah sesuatu yang harus penuhi

atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan kata dīn (‫)دي ٌْن‬

“agama” adalah sesuatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh

manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut

untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak

ditunaikan.

Kata al-dīn menurut pandangan sejarah agama-agama mempunyai dua

makna, yaitu makna subyektif dan makna obyektif. Makna yang disebut oertama
adalah makna yang diberikan oleh ilmuan dan pemikir yang menganut al-dīn

(agama tertentu). Sedang makna yang disebut kedua adalah makna yang berkaitan

dengan adat istiadat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam, berupa

pengaruh-pengaruh yang ada atau riwayat-riwayat yang diwarisi. Karena itulah,

maka makna yang disebut kedua mencakup semua prinisp yang dianut sesuatu

umat sebagai pola kehidupan, baik yang berhubungan dengan keyakinan dan

kepercayaan maupun yang berhubungan dengan sikap dan tingkah laku serta amal

perbuatan mereka sehari-hari. berdasarkan makna yang yang disebut kedua, pihak

Islam (Arab) dan pihak Barat (al-garbiyun) seapakat memberi makna terjadap

kata al-dīn sebagai religion.

Fungsi dan Tujuan al-Dīn Menurut al-Quran, dari sederetan ayat al-Quran

yang penulis telusuri, ditemukan beberapa ayat yang terkait dengan fungsi dan

tujuan al-dīn diturunkan oleh Allah swt. Namun, sebelum dijelaskan lebih lanjut,

maka terlebih penulis menetapkan batasan bahwa yang dimaksud al-dīn di sini

adalah “al-Dīn al-Islām” itu sendiri.

1. Fungsi al-Dīn

Antara lain ayat-ayat yang secara tematik berbicara tentang fungsi al-dīn

adalah QS. al-Tawbah: 9/33; QS. al-Shaf: 61/9. Kedua ayat ini, memiliki redaksi

yang “persis sama”, yakni:

ْ ‫ق لِي‬
َ‫ُظ ِه َرهُ َعلَى الدِّي ِن ُكلِّ ِه َولَوْ َك ِرهَ ْال ُم ْش ِر ُكون‬ ِّ ‫هُ َو الَّ ِذي أَرْ َس َل َرسُولَهُ بِ ْالهُدَى َو ِدي ِن ْال َح‬

Terjemahnya: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)

petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala

agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.


Kedua ayat yang disebutkan ini, menjelaskan bahwa Nabi saw diutus oleh

Allah bersama dengan petunjuk al-Quran dan “al-dīn” yang benar untuk

mengalahkan agama-agama lain, sekalipun orang musyrik mem-bencinya.

Keterkaitan (munāsabah) kedua ayat yang redaksinya “persis sama” ini, akan

dapat dibedakan interpretasinya kalau keduanya dikaitkan dengan ayat berikutnya

masing-masing.

Dalam QS. al-Tawbah: 9/34, dijelaskan sifat dan sikap orang-orang

Yahudi dan Nashrani yang cenderung memakan harta orang secara bathil yang

dikaitkan dengan balasan dari perbuatan yang mereka lakukan. Sedang QS. al-

Shaf: 61/10, membicarakan kepada orang-orang yang beriman perniagaan yang

dapat menyelematkan mereka dari azb (siksa) yang pedih. Dari sini dapatlah

ditemukan persamaan dan perbedaan kedua ayat tersebut.

Persamaannya adalah, masing-masing menjelaskan bahwa fungsi agama

adalah sebagai “‫ ”الهدي‬yakni petunjuk dan atau pembimbing ke jalan yang benar.

Sedangkan perbedaannya adalah, terletak pada obyeknya masing-masing. Ayat

pertama menonjolkan sifat dan sikap buruk orang-orang musyrik, dan ayat kedua

menonjolkan sifat dan perbuatan orang-orang yang beriman. Maksudnya, orang-

orang musyrik selalu berbuat buruk dan kelak mereka diazab karena

keenggangannya menerima al-dīn. Sedangkan orang beriman selalu berbuat baik,

misalnya dalam berniaga dan kelak mereka terbebas dari azab karena mereka

menerima al-dīn.

2. Tujuan al-Dīn
Dengan merujuk pada term al-Islam itu sendiri, maka dipastikan bahwa

al-dīn bertujuan untuk memberi “keselamatan”, “kesejahteraan”, dan “kedamaian”

yang abadi kepada penganutnya. Dalam QS. al-Nah: 16/97 Allah swt berfirman:

‫صالِحًا ِم ْن َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُحْ يِيَنَّهُ َحيَاةً طَيِّبَةً َولَنَجْ ِزيَنَّهُ ْم أَجْ َرهُ ْم بِأَحْ َس ِن َما َكانُوا‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل‬

َ‫يَ ْع َملُون‬

Terjemahnya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami

berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri

balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka

kerjakan.

Dalam ayat di atas, memang tidak ditemukan kata al-dīn atau al-islām,

namun kata mu’min dalam ayat tersebut menunjuk kepada “orang yang beriman

kepada al-dīn yang diturunkan Allah”. Adapun tujuan al-dīn bagi pemeluknya

dalam ayat tersebut adalah untuk menggapai “ ً‫ ” َحيَاةً طَيِّبَة‬dan balasan amal yang

lebih baik. Untuk sampai ke tujuan ini, maka haruslah melakukan “‫صالِحًا‬
َ ‫” َع ِم َل‬

sebagaimana yang termaktub pada awal ayatnya.

Anda mungkin juga menyukai