Anda di halaman 1dari 29

MATA KULIAH : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KETERKAITAN HUKUM DAN AGAMA

Disusun Oleh :
Rivaldo Akbar Vernando
2010031802100

Dosen Pembimbing :
Yuspidus, M.Pd

TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIK RIAU

SEMESTER I KELAS E - LEARNING

TAHUN AJARAN 2020/2021


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang


Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk
berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia
karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks,
berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan
(melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan
karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah,
membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka
potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini.
Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu
mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah
mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan
ajaran agama. Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk
kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi
di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah
tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau
mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata
itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh
warna aliran yang anti perubahan, pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud
adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks
fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif
ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum
yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam. Munculnya gagasan-
gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi
hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti
Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon
dari masyarakat Muslim secara umum.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami membuat makalah tentang Agama dan Hukum agama ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.
2. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
3. Untuk memberikan manfaat baik untuk para rekan mahasiswa maupun bagi dunia ilmu
pengetahuan pada umumnya.
4. Untuk memberikan gambaran tentang hukum-hukum Islam yang ada.

1.3 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis
memperoleh hasil yang diinginkan, maka  penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah.
Rumusan masalah itu adalah :
1. Apakah pengertian agama ?
2. Apakah pengertian agama islam ?
3. Apakah pengertian hukum islam?
4. Sumber hukum islam?
5. Apakah fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
6. Apa kontribusi umat islam dalam perumusan dan penegakan hukum?
7. Apa fungsi profetik agama dalam hukum dan ajaran islam?
8. Hukum islam dapat dijadikan acuan hukum nasional ?

9. Hubungan hukum dan agama ?


BAB II
AGAMA dan HUKUM

I. Pengertian Agama
Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sansekerta dalam kitab upadeca tentang
ajaran-ajaran agama hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa sansekerta yang
tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu
perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus
menerus dari generasi ke generasi.
Pada umumnya perkataan agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan
dengan cara memisahkan kata demi kata yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti kacau
maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan
sungguh-sungguh hidupnya tidak akan kacau.
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang sering
mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang di
anutnya. Menurut “Mukti Ali”, mantan menteri agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah
percaya akan adanya tuhan yang maha esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada
kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat
Sedangkan menurut “James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada tuhan yang
selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai
hubungan moral dengan umat manusia.
Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan
rasional, juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaan ketergantungan
mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute dependence).
Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukan
kehidupan, sebagaimana dalam hadist “kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu akan
tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan
sunnah rasul”.
Secara sosiologis menurut Johnstone “Religion can be defined as a system of beliefs and
practices by which a group of people interprets and responds to what they feel is sacred and usually
supernatural swell” lebih lanjut Johnstune menyatakan that by employing this definition weare, for
purposes ofsociological investigation at least, adopting the position, of the hardnosed relativist and
agnostiec (saya kira dengan jujur kita harus mengakui masih sangat sulit mencari orang atau pakar-
pakar yang mengkaji atau bergulat dengan agama tertentu di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan
relativis dan agnostik).
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata
cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam Al-Qur’an agama
sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga
mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada
istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.

II. Pengertian Agama Islam


Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu dari sisi
kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam itu dapat dijelaskan sebagai
berikut :
− Menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam berasal dari bahasa arab yaitu kata Salima yang
berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama, yuslimu,
islaman, yang berarti memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga
menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Seseorang yang bersikap sebagaimana yang
dimaksud pengertian Islam tersebut dinamakan Muslim, yaitu orang yang telat
menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa kata salima yang
selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk ke dalam
kedamaian.
Dari uraian tersebut maka ada kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya
mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Hal
demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau
berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai mahluk yang
sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah SWT.
Secara antropologis atau segi kebahasaan perkataan Islam sudah menggambarkan
kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
− Secara istilah (terminologi), Islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Islam adalah ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada masyarakat melalui Nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul Allah. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi, melainkan mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Seluruh
ajaran Islam tersebut diarahkan untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Islam
merupakan ajaran manusia yang lengkap, menyeluruh, dan sempurna yang mengatur
tata cara kehidupan muslim baik ketika ia beribadah atau ketika berinteraksi dengan
lingkungannya. Semua ajaran dalam Al-quran dan Alsunnah berbentuk konsep-konsep
baik yang bersifat global maupun yang bersifat teknis.

Dari segi misi yang dibawa, yaitu kepatuhan dan ketandukan kepada Allah SWT, untuk
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat (human happiness),
Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Islam adalah agama seluruh para nabi dan rasul
yang pernah diutus oleh Allah SWT kepada bangsa-bangsa dan kelompok manusia. Islam itu
agama yang dibawa Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ya'kub, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa
as, dan nabi-nabi lainnya. Islam merupakan agama yang dibawa Nabi Ibrahin dinyatakan dalam
Alquran sebagai berikut :

"Nabi Ibrahim telah berwasiat kepada anak-


anaknya, demikian pula Nabi Ya'kub, Ibrahim berkata: Sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam
sebagai agamamu, sebab itu janganlah kamu meninggal melainkan dalam memeluk agama Islam". (QS, al-
Baqarah, 2:132)

Pengakuan Nabi Yusuf dalam sebuah doanya menunjukan bahwa Islam adalah agamanya :

"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan
mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. Tuhanku, pencipta langit dan bumi. Engkau pelindungku di
dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang
shalih". (QS. Yusuf, 12:10)

Islam juga merupakan agama Nabi Isa as. seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut :
"Maka ketika Nabi Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkata dia: Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan agama Allah (Islam)? Para Hawariyin (sahabat-sahabat
setia) menjawab: Kami penolong-penolong agama Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim". (QS. Ali Imran, 3:52)

Dengan demikian Islam merupakan agama Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasul-
Rasul-Nya untuk di ajarkan kepada manusia, dibawa secara berantai dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Islam adalah rahmat, hidayah, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi
dari sifat rahman dan rahim Allah SWT.
Meskipun Islam sudah diajarkan kepada masyarakat sebelum Nabi Muhammad SAW,
tetapi Islam tersebut sangat berbeda, Islam pada masa itu masih bersifat nasioanal saja hanya untuk
kepentingan bangsa dan suatu daerah dengan misinya yaitu membawa kedamaian, keselamatan,
dan seterusnya. Pada masa Nabi Muhammad lah Islam dikenal sebagai suatu Agama dan tidak
hanya diartikan sebagai sebagai penyerahan diri melainkan sebagai suatu agama yang sempurna.
M. Quraish Shihab mengumpamakan ajaran atau misi Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, seperti suatu bangunan. Jika para Nabi sebelumnya membawa bahan-bahan
bangunan seperti batu kali,semen,pasir, dan lain sebagainya atau nabi lain hanya membangun
bagian tertentu dari sebuah bangunan, maka Nabi Muhammad SAW. mencoba untuk
merekontruksi bangunan tersebut dengan membuang hal yang tidak perlu, mempertahankan
bangunan yang masih relevan dan menambahkan bangunan lain agar terlihat kokoh, artinya Nabi
Muhammad SAW membuang ajaran-ajaran yang tidak perlu seperti paham trinitas dan sebagainya,
dan menyempurnakan ajaran Islam yang dijumpai dari sikap manusia secara wajar dan sesuai fitrah
kemanusiaannya.

"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Kuridai Islam itu menjadi agamamu". (QS. al-maidah 5:3)

"Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran, 3:10)

"Barang siapa yang mencari agama selain Islam, tidak akan diterima dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Ali Imran 3:85)

Islam yang dibawa oleh Rasul terakhir, Muhammad SAW., berisi tentang pengakuan
eksistensi syariat-syariat terdahulu, pelurusan syariat yang sudah melenceng jauh, serta
penyempurnaan syariat tersebut untuk seluruh umat hingga akhir zaman.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. itulah yang tetap berlaku hingga
saat ini dan masa yang akan datang, yaitu agama yang turun dari Allah SWT., yang terangkum
dalam alquran dan Assunnah berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Tujuan Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. ini adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Firman Allah :

"Tidak kamu utuskan engkau melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS.al-anbiya',
21:107)

Tugas Nabi Muhammad SAW. adalah membawa rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran
Islam di dunia bukan untuk menghasilkan bencana dan malapetaka, melainkan untuk keselamatan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia lahir dan batin. Juga untuk memberi petunjuk kepada
manusia dan membebaskan mereka dari segala bentuk kedzaliman. Tugas Islam adalah
memberikan hari depan yang secerah-cerahnya kepada dunia.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi terdahulu berbeda dari segi syariatnya,
kesempurnaannya, masa berlakunya, dan wilatah penyebarannya. Dan Islam tidak akan lengkap
tanpa adanya masukan dari agama sebelumnya itu. Para rasul yang mengajarkan Islam sebelumnya
ibarat mata rantai yang bersambung dan berada dalam satu kesatuan.
Semua agama yang dibawa oleh para nabi adalah monoteisme atau agama yang tauhid yang
mengesakan Allah SWT. Umatnya harus taat oleh semua peraturan Tuhan dan menjauhi
larangannya, agar mereka mempunyai ruh dan jiwa yang suci dan budi pekerti yang luhur. Umat
yang seperti itulah yang akan memperoleh kesenangan baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Nama-nama agama it disandarkan kepada pendiri agama tersebut atau kepada suku bangsa
seperti agama Zoroaster di Parsi, agama ini disandarkan kepada nama pendirinya yaitu Zoroaster
yang meninggal tahun 583 M. Agama Budha berasal dari nama "Sidharta Gautama Budha" lahir di
India tahun 560 SM, Budha adalah gelar bagi Sidharta yang merupakan penerangan agung. Yahudi
merupakan salah satu agama yang dianut oleh orang-orang Yahudi (Jews), asal nama dari negara
Juda (Judea) atau Yahuda. Agama Hindu (Hinduisme) merupakan kumpulan dari macam-macam
agama dan tanggapan tentang hidup dari orang-orang India.
Agama Kristen adalah anma yang berasal dari pengajarnya atau yang dipujanya "Jesus
Christ", dan pengikut Kristus disebut Kristen. Kaum muslimin biasanya menyebut agama Kristen,
seperti yang disebutkan di Alquran adalah agama Nasrani karena disandarkan dari asal daerah
Jesus yaitu Nazareth (Jesus of Nazareth).
Dikalangan masyarakat barat Islam sering diidentifikasikan dengan istilah
Mohammedanism dan Mohammedan. Yang mengandung arti Islam adalah paham Muhammad atau
pemujaan terhadap Muhammad.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka Islam menurut istilah adalah mengacu kepada
agama yang bersumber dari Wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia
bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. tetapi Nabi Muhammad diakui sebagai utusan
Allah SWT untuk menyebarkan agama Islam tersebut kepada umat manusia.

III. Pengertian Hukum Islam


Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa
hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Dalam masyarakat berkembang berbagai istilah sekitar hukum Islam, istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam, fikih Islam, dan hukum Islam. Dalam bahasa Indonesia, istilah syariat Islam
berarti hukum syariat atau hukum syara’, sedangkan istilah fikih Islam berarti hukum fikih atau
terkadang disebut hukum Islam. Menurut Hasby Ash Shiddieqie, hukum Islam yang sebenarnya
tidak lain adalah fikih Islam dan syariat Islam, yaitu koleksi daya upaya para fukaha dalam
menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik sering kali kedua
istilah itu digunakan sama menjadi hukum Islam. Sebenarnya syariat merupakan landasan fikih,
dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syariat. Oleh karena itu, seseorang yang
akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara fikih Islam
dengan syariat Islam.
Menurut Prof. DR. Mahmud Salthut, syariat ialah segala peraturan yang telah disyariatkan
oleh Allah, atau Ia telah menyariatkan dasar-dasarnya agar manusia melaksanakannya untuk
dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhannya, dengan sesama muslim, sesama manusia,
alam semesta, dan kehidupan. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dari fikih, berlaku abadi, dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Apabila dilihat dari segi
ilmu hukum, maka syariat merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-
Nya, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik
dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.
Dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam Al-Qur’an dan di dalam kitab kitab Hadis.
Menurut Sunah Nabi Muhammad SAW, umat Islam tidak akan pernah sesat dalam perjalanan
hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-Qur’an dan
Sunah Rasulullah.
Sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat memahami syariat
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Karena itu, sifatnya instrumental, ruang
lingkupnya terbatas, tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari masa ke masa, serta dapat berbeda
antara satu tempat dengan tempat yang lain. Menurut Azhari, terdapat lima sifat dasar hukum
Islam, antara lain :
− Bidimensional berarti mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (Ilahi).
Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia.
− Adil berarti dalam hukum Islam keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi juga
merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syariat itu ditetapkan.
− Individualistik dan kemasyarakatan, adanya sifat ini karena syariat diikat oleh nilai-nilai
transendental, yaitu wahyu pengaturannya.
− Al-Ahkam al-dauliyah (hukum internasional), hukum ini berkaitan dengan hubungan
antar negara. kerja sama, dan perdamaian.
− Al-ahkam al-iqtishadiyah wal maliyah (hukum perekonomian dan keuangan), yaitu
hukum yang berkaitan dengan pendapatan negara, baitul maal, dan pendistribusiannya
pada masyarakat.

Dilihat dari cakupannya yang sarat dengan muatan religious ethic, fikih bisa diartikan
dengan ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah nas/wahyu, atau lebih
singkat ilmu Islam tentang perilaku manusia. Di samping uraian di atas, dalam membahas fikih
sering ditemui pengertian hukum dalam pengertiannya menurut ilmu hukum (hukum sekuler),
artinya fikih juga memuat pembahasan beberapa ketentuan sanksi terhadap tindak kriminal
(jarimah), bagian-bagian hukum waris (mawaris), hukum perkawinan (munakahat), hukum
perdagangan, hukum pidana (jinayah) dan lain-lain. Meskipun muatan fikih tersebut dalam
beberapa hal masih tampak sederhana, namun sudah bisa dikatakan cukup maju untuk masanya.
Jadi, kesederhanaan itu bukan lantaran ketinggalan jaman, namun sesuai dengan tuntutan waktu
ketika pemikiran fikih dihasilkan.
IV. Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur‘ân dan Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas merupakan hal
yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakikatnya,
sehingga banyak da’i dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.
Padahal sangat jelas kedudukan Ijma’ dalam agama ini. Karena Ijma’ adalah salah satu
dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini
setelah Al-Qur‘ân dan Sunnah. Ijma’ bersumber dari Al-Qur‘ân dan Sunnah, menjadi penguat
kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada di antara manusia dalam semua yang
diperselisihkan.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, Ijma’ adalah sumber hukum
ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama. Seluruh amalan dan perbuatan manusia,
baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama, mereka menimbangnya dengan
ketiga sumber hukum ini. (Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Mushlih, hlm. 203). Ijma’
menjadi sesuatu yang ma‘shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam . Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali.(Qs. an-Nisâ‘/4:115).

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

Umatku tidak berkumpul (sepakat) di atas kesesatan.

Karenanya, Syaikhul-Islamt mengatakan, agama kaum muslimin dibangun berlandaskan


ittiba‘ kepada Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah serta kesepakatan umat (Ijma’). Sehingga
ketiganya menjadi sumber hukum yang ma‘shum. (Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, 1/272).
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatukan hati umat ini dengan Ijma’ sebagai
rahmat dan karunia dari- Nya. Ijma’ umat ini sebagian besar dalam masalah dasar dan pokok
agama. Dan banyak dari masalah furu’nya yang menjadi faktor penyebab bersatunya kaum
muslimin, menyempitkan lingkaran perselisihan dan pemutus perbedaan pendapat di antara orang-
orang yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu, wajib bagi siapapun yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan
untuk mengetahui Ijma’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama, sehingga ia dapat
berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari
penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syariat
serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui Ijma’ tersebut.
Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi
konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama. Bahkan bisa menjadi landasan untuk memberi
vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu. Karena itulah, para ulama juga telah
memperhatikan hal ini secara sempurna, dan kita semua kembali merujuk kepada keterangan
mereka tentang Ijma’ yang benar.
Semoga dengan menimbang semua amalan perbuatan yang berhubungan dengan agama
kepada ketiga sumber di atas, dapat menjadi pendorong bagi kaum muslimin untuk dapat bersatu...
Seperti yang (mungkin) kita ketahui bahwa sumber utama (primary sources) dari Hukum Islam
adalah Alquran dan Sunnah (yang bentuknya adalah dalam teks hadis). Sedangkan sumber lain
bagi Hukum Islam (Secondary sources) adalah tulisan-tulisan atau pendapat-pendapat para
cendekiawan muslim yang diformulasikan pasca wafatnya Rasulullah SAW, yang pada umumnya
ditulis pada masa keemasan keilmuandalam islam, yaitu pada jaman disnasti Abbasiyah (750-950
M), kemudian biasa disebut ilmu fiqih; teks-teks hukum dalam Islam yang ditulis oleh tokoh-tokoh
Islam terkemuka (biasanya terbatas pada madzhabnya masing-masing); dan Fatwa, atau aturan
yang berlaku bagi muslim yang dikeluarkan oleh para ulama dalam rangka menjawab pertanyaan
ummat berkaitan dengan sesuatu hal yang spesifik tergantung situasi, kondisi, waktu dan lokasi
pada saat dibuatnya fatwa tersebut.
− Al-Quran
Al-quran bukanlah tulisan hukum, namun di dalam Alquran terkandung setidaknya
500 perintah Allah SWT yang sifatnya berkaitan dengan hukum. Abdur Rahman i Doi
(Shari’ah: The Islamic Law, 1989) membuat klasifikasi atas aturan-aturan yang terkait
dengan hukum ke dalam empat bagian besar yaitu: a) The concise injunctions, atau
perintah-perintah Allah yang tertulis di dalam Alquran namun tidak ditemui penjelasan
tentang tata cara pelaksanaan atas perintah tersebut. Sebagai contoh adalah perintah Allah
untuk mendirikan shalat, berpuasa atau mengeluarkan zakat; b) The concise and detailed
injunctions, atau perintah-perintah Allah yang secara jelas tertulis dalam Alquran, dan
penjelasan atas ayat-ayat tersebut bisa didapati dari hadis atau sumber hukum Islam lainnya.
Sebagai contoh adalah aturan mengenai hubungan muslim dengan non-muslim; c) The
detailed Injuctions, yaitu dimana Alquran telah memberikan penjelasan yang detail
berkaitan dengan satu perintah Allah SWT, dan tidak diperlukan adanya lagi suatu
penjelasan tambahan. Sebagai contoh adalah hukuma hadd (huddud); dan d) Fundamental
principles of Guidance, prinsip-prinsip ini tidak memiliki penjelasan yang terperinci dan
pasti (clear cut), sehingga untuk menetukan hukum atas hal-hal tersebut perlu diambil
melalui suatu proses yang dinamakan ijtihad.

− Hadis dan Sunnah


Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu
yang disetujui oleh Beliau. Hadis sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang
digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah
dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadis.
Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang
dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung
berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak
dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.
Sunnah sendiri digunakan dalam berbagai keperluan diantaranya adalah untuk
menkonfirmasi hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, untuk memberikan
penjelasan tambahan bagi ayat Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum, untuk
mengklarifikasi ayat-ayat Alquran yang mungkin dapat menerbitkan keraguan bagi ummat,
dan memperkenalkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam alquran. Kompilasi atas
hadis dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang secara umum dikumpulkan
oleh empat periwayat hadis terkemuka yaitu kompilasi hadis yang diriwayatkan oleh Al-
Bukhari (870M), Muslim (875M), Abu Dawud (888M), dan At-Tirmidhi (892M). Mungkin
masih ada hadis yang diriwayatkan oleh selain empat ulama terkemuka ini, namun secara
umum umat muslim mengenal empat kompilasi hadis yang dikumpulkan atau diriwayatkan
ulama di atas. Hadis sendiri diklasifikasikan berdasarkan kualitas dari periwayatnya (bisa
dipercaya) dan kekuatan dari isnad atau bagaimana hubungan antara para periwayat itu
sendiri, sehingga dapat digolongkan dalam tiga jenis: Muwatir, Mashhur, dan Ahad.
Masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri yang menandakan kualitas dari hadis-hadis
tersebut.

− Mazhab
Sumber-sumber bagi Hukum Islam adalah pendapat-pendapat dan tulisan-tulisan
dari para ulama, cendekiawan muslim, atau para hakim yang dibuat setelah Rasulullah
SAW wafat. Ilmu-ilmu yang dikompilasikan oleh para ulama ini merupakan sumber-
sumber hukum Islam yang sangat bernilai bagi umat muslim sebagai hingga saat ini.
Berdasarkan aliran dalam Islam yang ada saat ini, secara umum terdapat dua aliran besar
yaitu Sunni dan Shiah. Empat aliran besar (madhabs) yang tergolong dalam aliran sunni
adalah Madhad Hanafi, Maliki, Hambali, dan Shafii. Sedangkan satu aliran yang terdapat
dalam Shiah adalah Madhab Shiah itu sendiri.
Madhad Hanafi dikembangkan oleh seorang ulama dan cendekiawan muslim yaitu
Imam Abu Hanifa (80-150 H, atau 702-772M), dan muridnya yang terkenal Abu Yusuf dan
Muhammad. Mereka menekankan pada penggunaan alasan-alasan dan shura atau diskusi
kelompok daripada semata-mata mengikuti aturan atau tradisi yang telah ada secara turun
temurun. Madhab ini paling banyak berkembang dan dikuti di India dan Timur Tengah,
serta pernah menjadi mdhab resmi yang digunakan di Turki (dinasti Utsman).
Madhab Maliki mengikuti ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama dan
cendekiawan muslim Imam Malik (lahir 95H atau 717M) yang menitikberatkan pada
praktek-prakte yang diterapkan penduduk di Madinah sebagai suatu bentuk contoh
kehidupan Islam yang paling otentik. Saat ini, ajaran-ajaran Imam Malik atau madhab
Maliki paling banyak ditemui hampir di seluruh bagian wialayah muslim di benua Afrika.
Madhab Hambali dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim yang
bernama Imam Ahmad ibnu Hambali (lahir 164H atau 799M) yang menjunjung tinggi nilai-
nilai tradisi dan ketuhanan serta mengadopsi pandangan yang tegas terhadap hukum. Saat
ini madhab Hambali secara dominan diterapkan di saudi Arabia.
Madhab Syafii didirikan oleh seorang ulama dan cendekiawan bernama Imam As-
Shafii (lahir 150H atau 772M) adalah merupakan murid dari Imam Malik dan pernah
belajar dari beberapa tokoh cendekian muslim yang paling terkemuka pada saat itu. Imam
As-Shafii terkenal karena ke-moderat-annya dan penilaiannya yang berimbang, dan
walaupun Beliau menghormati tradisi, Imam As-Shafii mengevalusinya secara lebih kritis
dibandingkan dengan Imam Malik. Para pengikut madhab Shafii secara dominan diikuti
oleh umat muslim yang berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Madhab Syiah yang dianut oleh sekitar 10% umat muslim saat ini, menurut sebagian
cendekiawan lebih diakibatkan sebagai akibat dari pergesekan politik dalam dunia muslim
terhadap pendapat bahwa pemimpin umat muslim harus selalu merupakan keturunan dari
keluarga Ali, yaitu keponakan dari Rasulullah sekaligus suami dari puteri nabi Fatimah.
Madhab yang masih memiliki sub-madhab (katakanlah seperti itu) seperti Ithna’ashaaris
dan Isma’ilis saat ini ditemui secara dominan di negara Iran, serta memiliki pengikut yang
juga mayoritas di Iraq, India, dan negara-negara kawasan teluk.

− Tulisan-tulisan tentang hukum Islam


Banyak ulama, cendekiawan muslim dan ahli hukum islam telah menulis buku-buku
yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam. Tulisan-tulisan ini juga dipandang
sebagai sumber-sumber hukum yang diakui dan berlaku terutama di dalam kalangan
madhab mereka masing-masing.

− Fatwa
Fatwa adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh seorang ulama atau cendekiawan
muslim yang terkemuka dalam menjawab pertanyaan atau memberikan aturan terhadap hal-
hal yang sifatnya khusus saja. Fatwa juga harus berasal dari sumber dan merupakan
turunan hukum Islam serta dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang
terkemuka (mujtahidin) yang dilakukan melalui proses ijtihad dan diambil hanya jika
sumber hukumnya tidak jelas atau belum ada.

V. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan bermasyarakat


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan
pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika
kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan
kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu
mengandung potensi terjadinya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main.
Agar kepentingan individu dapat dicapai secara adil, maka dibutuhkan penegakkan aturan main
tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebut dengan hukum islam yang dan menjadi
pedomaan setiap pemeeluknya. Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu :
− Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
− Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
− Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).

Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam
kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi,
baik yang berupa hukum- hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al
manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid).
Begitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya.
Maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri. Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan
dalam empat fungsi, yaitu :
− Fungsi ibaadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini fungsi ibadah
tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
− Fungsi amar ma’ruf naahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran).
Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia
yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
− Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi
hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia
dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
− Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan
hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti
masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi
leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering
social.

Keempat fungsi hukumtersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum
tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.

VI. Konstribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum

Hukum Islam ada dua sifat, yaitu :


− Al- tsabat (stabil), hokum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang
masa
− At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai konddisi dan situasi
sosial.

Kontribusi umat islam dalam perumusan dan pengakan hukum pada akhir-akhir ini semakin
nampak jelas dengan diudangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hukum Islam, seperti misalnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik,
Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama, Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. kekuasaan atau penguasa.
Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut kini tertulis dalam Al qur’an. Kegendak
Rasulullah sekarang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, kehendak penguasa sekarang termaktub
dalam kitab-kitab fikih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah orang-orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad karena “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan
ajaran hukum Islam dari dua sumber ytamanya yaitu al qur;an dan al hadist yang memuat sunnah
Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan
jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan
ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum mu’az bin jabal berangkat ke Yaman.
Nabi Muhammad menguji dengan menanyakan sumber hukum yang akan dia pergunakan
untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Perrtanyaan
itu di jawab oleh Mu’az bahwa dia akan menggunakan Al qur’an. Jawaban itu kemudian disusul
oleh Nabi Muhammad dengan pertanyaan berikutnya : ”Jika tidak terdapat petunjuk khusus
(mengenai suatu masalah) dalam Al qur’an bagaimana ? “ Mu’az menjawab ”saya akan
mencarinya dalam Sunnah Nabi Muhammad. Kemudian Nabi bertanya “kalau engkau tidak
menemukan petunjuk pemecahannya dalam sunnah Nabi Muhammad, bagaimana ? “kemudian
Mu’az menjawab : “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya
dengan menggunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi sangat senang atas
jawaban Mu’az dan berkata :” Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-
nya.” (H.M Rasjidi, 1980:456). Dari hadis yang dikemukakan, para ulama menympulkan bawa
sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al qur’an, as Sunnah dan akal pikiran orang yang memenuhi
syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini dalam kepustakaan hukum Islam diistilahkan dengan al
ra’yu, yaitu pendapat konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan
jelas juga disebutkan dalam Al qur’an surat 42:28, yang isinya berupa perintah kepada para
pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya
dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kewenang-wenangan dari
seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Oleh karena itu “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam
dokrin musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka
kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negera (John
L Esposito, 1991:149).
Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yaitu
konsensus atau ijma. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan
hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum.
Namun hampir sepanjang sejarah Islam konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam
cenderung dibatasi pada konsensus para cendikiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan
mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam
pemikiran muslim moderen, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus
akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam dan
menyesuaikan dengan kondisi yang terus berubah (Hamidullah, 1970:130).
Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai
landasan yang efektif bagi demokrasi Islam moderen. Konsep consensus memberikan dasar bagi
penerimaan sistem yang mengakui suara mayoriats (John L Esposito & O Vill, 1999:34). Selain
syura dan ijma, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yaitu ijtihad. Bagi
para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di
suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang
sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka keesaan Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan
maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini
memberikan landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di
dunia kontemporer (John L Esposito & John O Voll, 1999:36)
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke
Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan
VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum
adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya.
Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka
hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali pada saat
proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya Undang-
Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan
hukum islam baggi umat islam berkobar, setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri
melalui teori receptie.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam untuk pertama
kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar
ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya
menjadi “ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukumislam
telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam perumusan dan penegakan hukum sangat
besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat
dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu
kebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinyahukum harus ditegakkan.
Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui
perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan yang wajib menurut islam
menjadi waajib pula menurut perundangan.

VII. Fungsi Profetik Agama dalam Hukum dan Ajaran Islam


Fungsi profetik agama adalah bahwa agama sebagai sarana menuju kebahagiaan juga
memuat peraturan-peraturan yang mengondisikan terbentuknya batin manusia yang baik dan yang
berkualitas. Yaitu manusia yang bermoral (agama sebagai sumber moral) kearifan yg menjiwi
langkah hukum dengan memberikan sanksi hukum secara bertahap sehingga membuat orang bisa
memperbaiki kesalahan (bertaubat kepada Tuhan).
1. Kesadaran Taat Hukum
Pengertian Taat Hukum
Umum - Patuh terhadap aturan perundang-undangan, ketetapan dari pemerintah,
pemimpin yang dianggap berlaku oleh untuk orang banyak. Mematuhi aturan
perundang-undangan untuk menciptakan kehidupan berbangsa bernegara dan
bermasyarakat yang berkeadilan. Islam. Melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadits serta Ijma’ Ulama dengan
sabar dan ikhlas.

2. Asas Hukum
Pengertian Asas Hukum
Kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan berpendapat.
Kebenaran itu bertujuan dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
Asas Hukum Secara Umum
− Asas kepastian hukum
Tidak ada satu perbuatan dapat dihukum kecuali atas kekuatan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku untuk perbuatan itu.
− Asas keadilan
Berlaku adil terhadap semua orang tanpa memandang status sosial, status
ekonomi, ras, keyakinan, agama dan sebagainya.
− Asas kemanfaatan
Mempertimbangkan asas kemanfaatan bagi pelaku dan bagikepentingan
negara dan kelangsungan umat manusia.

Asas Hukum Secara Islam


Asas kepastian hukum
Tidak ada satu perbuatan dapat dihukum kecuali atas kekuatan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku untuk perbuatan itu.
− Qs. Al-Maidah
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-ya yang dibawa sampai ke
Kabah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan member makan orang-
orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan
itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah
memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.QS. al-Mai'dah (5) :95

Asas keadilan
Berlaku adil terhadap semua orang tanpa memandang status
sosial, status ekonomi, ras, keyakinan, agama dan sebagainya.
Qs. Shad : 26
“Allah memerintahkan para penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi ini
menegakan dan menjalankan hukum sabaik-baiknya tanpa memandang status sosial,
status ekonomi dan atribut lainnya”.

Qs. An-Nisa’ : 135 dan Qs. Al-Maidah : 8


Intinya : “Keadilan adalah asas titik tolak, proses dan sasaran
hukum dalam Islam” dan “Siapa yang tidak menetapkan sesuatu dengan hukum
yang telah ditetapkan Allah itulah orang-orang yang aniaya”

Asas kemanfaatan
Mempertimbangkan asas kemanfaatan bagi pelaku dan bagi kepentingan negara dan
kelangsungan umat manusia.

Qs. Al-Baqarah : 178


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka
baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. 2:178)

Asas kejujuran dan kesukarelaan


QS. Al-Mudatsir : 38
“Setip individu terikat dengan apa yang ia kerjakan dan setiap
individu tidak akan memikul dosa orang (individu) lain”.

3. Profetik Agama Dalam Taat Hukum


Pengertian Profetik Agama Dalam Taat Hukum
− Hal-hal yang digambarkan, dan dinyatakan oleh Agama memalui
yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
− Agama yang diajarkan atau dicontohkan oleh para Nabi/ Rasulullah
− Contoh atau tauladan yang telah digariskan / dicontohkan Rasulullah saw.
Fungsi Profetik Agama
− Dalam Mengatasi Krisis Kebudayaan dan Kemanusiaan, menjelaskan dan
mengubah fenomena-fenomena sosial masyarakat yang salah atau kurang
baik.
− Dalam Deideologisasi yang tidak sehat dan merugikan tatanan masyarakat
(Politik atau paham yang tidak sehat)
− Dalam keamanan dan kebebasan yang nyaris menabrak rambu-rambu hukum
dan norma serta nilai yang ada.
− Dalam Reduksionisme (penurunan kwalitas ilmu pengetahuan) Ijazah ilegal
dan aspal.
− Dalam Materialisme (kebendaan), pamer, glamour, poya-poya dsb.
− Dalam Ekologi (lingkungan) ketidakseimbangan kehidupan dalam
masyarakat (Imbalance), baik materi dan non materi, baik lahir maupun
bathin.
− Dalam Kultural (kebudayaan, peradaban) seperti Globalisasi (Ends of
Pluralisme).

Intinya :
− Dalam berpolitik, seperti : Enthnocenterisme = Pemerintahan ditangan satu
orang.
− Dalam Materialisme, seperti : Ekonomi kapitalisme.
− Dalam Ekologi, seperti : Materialisme, Sekularisme (pemisahan antara
pendidikan umum dan pendidikan moral, memisahkan pemerintahan negara
dengan Agama). Agama terasing dari persoalan kehidupan manusia.
− Dalam Reduksionisme, seperti : Penurunan nilai, akhlak, kebenaran, kwalitas
ilmu pengetahuan.
− Dalam Kultural atau Budaya, seperti : Hedonisme (hanya memburu dan
mengejar kesenangan dunia)

Dalam mengatasi atau merevitalisasi keberagaman dalam menjalankan agama dengan


kembali ke Al-Qur’an and Sunnah, maksudnya menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber
dan payung hukum dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Sebagai sumber rujukan
dalam menyelesaikan dan memutuskan suatu hukum QS.Al-Maidah : 48–49 QS. An-Nisa’ ; 59 dsb.
Tidak menjadikan paham, mazhab, aliran sebagai keputusan final yang Undervartable.
Paham, aliran, mazhab tidak termasuk Tasyri’ hanya bayan liat- tasyri’. Memperbolehkan Ikhtilaf,
namun hanya pada masalah Ijtihadiyah. Tidak memandang hal-hal yang bersifat keduniaan yang
tidak ditentukan oleh QS, namun tetap mengacu pada sifat Basyariah Rasulullah sebagai syari’at ->
“antum a’lamubi umuri dunyakum”. Suatu hukum dari Ijtihad bersifat debatable (yang dapat
dibantah, debat) bukan merupakan keputusan final.

Tujuan Profetik Agama Dalam Taat Hukum :


− Mendorong seseorang (manusia) berperilaku dan berbuat sesuai dengan aturan
hukum dan perundang-undangan yang sah serta sesuai surat al-quran, sehingga
tercipta suatu kondisi masyarakat yang sadar dan taat hukum.
− Mendorong seseorang berperilaku yang baik dengan mentauladani pribadi
Rasulullah, agar manusia selamat dan bahagia dunia dan akhirat (antara manusia
dengan manusia, antara manusia dengan Allah serta dengan alam lingkungan).
− Mengeluarkan manusia dari miopik (cara pandang yang sempit) dan Primordial dan
Formalisme sempit yang akan melahirkan berbagai konflik sosial, politik bahkan
menjurus kepada perpecahan dan perperangan.

VIII. Hukum Islam Dapat Dijadikan Acuan Hukum Nasional


Hukum Islam dalam Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia
Secara umum hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama Islam yang
berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam ini baru dikenal di Indonesia setelah
agama Islam disebarkan di tanah air, namun belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia
mengenai ketepatan masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-1 hijriah
atau abad ke-7 masehi, ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13
masehi.Walaupun para ahli itu berbeda pendapat mengenai kapan Islam datang ke Indonesia
hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di Indonesia. Hal ini
terlihat dengan banyaknya hasil studi dan karya ahli hukum Islam di Indonesia sejak dahulu kala.
Jika semenjak agama Islam masuk ke Indonesia hukum Islam di gunakan oleh masyarakat
Indonesia maka dalam sistem hukum yang ada di Indonesia pada saat itu terdapat subsistem hukum
Islam. Karena sebelum datangnya Islam Indonesia sudah mempunyai hukum sendiri yang disebut
hukum adat yang menjadi sistem yang tersendiri. terdapat berbagai teori mengenai hubungan antara
hukum Islam dengan hukum adat ini salah satunya adalah teori receptin in complexu yang
diterangkan oleh Van den Berg yang mengatakan :“selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,
menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga
mengikuti hukum agama itu dengan setia” dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
hukum adat itu juga merupakan bagian hukum agamanya karena merupakan hasil resepsi dari
agama dalam artian hukum Islam merupakan bagian dari hukum adat juga karena mayoritas
masyarakat Indonesia pada saat itu adalah beragama Islam. Menurut Soebardi, juga menunjukan
bahwa terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk
kepulauan nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan
Indonesia.
Pada saat bangsa Belanda melalui organisasi perusahaan dagang belanda (VOC) datang ke
Indonesia dengan maksud yang semula adalah untuk berdagang namun kemudia haluannya
berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk memantapkan tujuannya itu pihak Belanda
harus mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Namun, dalam kenyataannya hukum
Belanda tersebut sangat sulit untuk di terapkan akibat sudah adanya hukum yang hidup telah lama
dalam masyarakat Indonesia. Pihak Belanda-pun harus memahami hal itu jika tidak yang terjadi
hanyalah terdapat perlawanan dari masyarakat Indonesia sendiri. Akhirnya dilakukanlah
penggolongan hukum. dalam hal ini hukum Islam dapat diberlakukan bagi orang-orang yang
menganut agama Islam. Bahkan pada saat itu pihak Belanda meminta kepada D.W Freijer untuk
menyusun suatu compendium (intisari/ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan
dalam Islam.Setelah ringkasan tersebut disempurnakan, ringkasan tersebut diterima oleh
pemerintah Belanda untuk dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
di kalangan umat Islam.
Pada abad 19, banyak orang-orang Belanda sangat berharap segera dapat menghilangkan
pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia. Karena menurutnya Islam ini menghambat
penguasaan Belanda di Indonesia. Namun Mr. Scholten Van Oud Haarlem yang menjadi ketua
komisi dalam rangka penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia
Belanda mengatakan “untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin
juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumi putera dan agama Islam, maka
harus di ikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum)
agama serta adat istiadat”. Pandangan Scholten ini dianggap yang menyebabkan pasal 75 Regering
Reglement menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan “undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan” mereka. Selain itu dalam regering reglement tersebut
mengadakan suatu pengadilan agama di jawa dan Madura.Namun karena alasan-alasan politis yang
didukung oleh pandangan Ter Haar bahwa hukum Islam khususnya kewarisan belum sepenuhnya
di terima oleh masyarakat dan merekomendasikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk
peninjauan kembali kewenangan pengadilan agama maka semenjak itu terdapat usaha-usaha
Belanda untuk merubah kewenangan pengadilan agama yang akhirnya pada tahun 1937, dengan
S.1937 Nomor 116, wewenang mengadili perkara kewarisan di alihkan yang semula di pengadilan
agama ke pengadilan negeri.Akibatnya perihal kewarisan yang semula didasarkan kepada hukum
Islam di pengadilan agama semenjak itu diputuskan berdasarkan pengadilan biasa yang belum tentu
bersandar kepada hukum Islam. Setelah itu penerapan dan penyebaran hukum Islam-pun
mengalami kemandegan akibat keputusan pemerintah Belanda.
Usaha-usaha menempatkan kedudukan hukum Islam dalam kedudukannya semula
dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin Islam. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Jepang
menjelang kemerdekaan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) merumuskan
dasar negara dan menentukna hukum dasar bagi negara Indonesia di kemudian hari, para pemimpin
Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk “mendudukkan” hukum Islam
dalam Negara Republik Indonesia kelak. Pertukaran pemikiran terus dilakukan hingga
menghasilkan persetujuan yang dinamakan piagam Jakarta meny atakan diantaranya bahwa negara
berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.Namun akibat tawar-menawar politik kalimat tersebut digantikan hanya dengan kata
“Ketuhanan yang maha esa” saja. Makna ketuhanan yang maha esa ini sudah dianggap sebagai
selain mempercayai adanya Tuhan yang maha esa juga berarti kewajiban menjalankan perintah
Tuhan berdasarkan kepercayaan masing-masing, termasuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk
agama Islam.
Setelah Indonesia merdeka maka terdapat berbagai perombakan di bidang hukum.
Indonesia sebagai negara berdaulat harus segera membenahi sistem hukumnya yang semula
merupakan sistem hukum warisan masa kolonial. Usaha-usaha pembentukan suatu sistem hukum
yang terunifikasi secara nasional-pun gencar dilakukan Hingga muncul suatu konsepsi sistem
hukum nasional yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945. Lalu bagaimanakah Kedudukan
Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional dimana hukum Islam berdasarkan sejarah Indonesia
merupakan suatu kultur yang telah lama ada.

Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional


Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa Hukum Islam sebenarnya telah lama ada dalam
masyarakat Indonesia bahkan berdampingan dengan hukum adat. Hazairin mengemukakan
pandangan beliau mengenai kedudukan hukum agama(Islam) dan Hukum adat sebagai berikut :
“Hukum agama masih terselip dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran
kepadanya, tetapi sekarang kita lihat hukum agama itu sedang bersiap hendak membongkar dirinya
dari ikatan adat itu” selanjutnya beliau mengatakan “arti istimewanya hukum agama itu ialah
bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya. Jika
berhasil hukum agama itu melepaskan persandaraannya pada hukum adat, maka hukum agama itu
akan mencari persandaraannya kepada suatu undang-undang, sebagaimana juga hukum adat itu
bagi berlakunya secara resmi mempunyai persandaran pada undang-undang”.Dengan kata-kata itu
Hazairin hendak mengatakan agar berlakunya hukum Islam untuk orang Islam Indonesia tidak
disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri.
Sama halnya dengan berlakunya hukum adat di Indonesia berdasarkan sokongan peraturan
perundang-undangan.Oleh karena itu kita dapatkan bahwa hukum Islam membutuhkan kedudukan
yang pasti dalam sistem hukum nasional kita.
Dalam Sistem hukum nasional kita yang menjadi acuan pembinaan hukum nasional adalah
Pancasila dan UUD 1945. Pancasila menjadi jantung utama dalam sistem hukum nasional karena
merupakan filosofi negara. Berdasarkan pandangan Arif Sidharta bahwa pandangan hidup Bangsa
Indonesia ialah berawal dari ketuhanan yang maha esa karena kita diciptakan oleh Tuhan Yang
maha esa dan sudah sewajarnya sebagai manusia harus tunduk dan menjalani perintah Tuhan yang
maha esa. Karena menjalankan syariat Islam merupakan perintah maka berdasarkan sila kesatu
Pancasila tersebut sudah semestinya umat Islam menjalankan syariat Islamnya secara penuh.
Namun dalam menjalankan syariat Islam tersebut harus tetap dalam kerangka semangat kerukunan,
kepatutan, dan keselarasan sehingga tetap berada dalam kerangka sistem hukum nasional.
Ketuhanan yang maha esa ini secara konstitusi juga telah dijamin pada pasal 29 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “negara republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang maha esa” hal ini juga
menjamin sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa maka ada kewajiban negara
untuk menjalankan perintah Tuhan yang maha esa yang salah satunya adalah syariat Islam.
Pembinaan Hukum Nasional dilakukan untuk mencapai satu tujuan hukum nasional yang
akan berlaku bagi seluruh warga Indonesia tanpa harus memandang agama yang dipeluknya.
Namun upaya ini bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat dalam wilayah Indonesia ini terdapat
masyarakat yang beragama Islam dimana ajarannya mengandung hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Oleh karena eratnya hubungan antara
agama dengan hukum dalam Islam, ada sarjana yang mengatakan bahwa Islam adalah agama
hukum dalam arti kata yang sesungguhnya.Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum nasional di
negara yang bermayoritas penduduk beragama Islam, unsur hukum agama harus benar-benar
diperhatikan. Dalam rangka memperhatikan kepentingan umat Islam yang harus menjalankan
syariat Islam yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk suatu kompilasi hukum
Islam yang sudah dianggap sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya
pemerintah Indonesia juga telah membentuk Pengadilan agama berdasarkan kepada Undang-
Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Bahkan terdapat norma-norma dalam
hukum Islam yang dapat dijadikan patokan membentuk suatu hukum nasional sepanjang ia sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945.

IX. Hubungan Antara Agama Dan Hukum


Menurut pendapat Roscoe Pound tentang Hukum menunjukkan bahwa ketentuan agama di
akui sebagai hukum dalam pengertian hukum umum. Ini terjadi pada masa yang sangat awal,
dimana hukum selalu berasal dari Tuhan. Hukum, moralitas, dan agama sering dianggap saling
tidak dapat dipisahkan. Kalau hukum merupakan langsung dari tuhan, maka di akui pula adanya
hukum yang mengandung nilai suci, karena muncul dari orang yang mendapatkan inspirasi dari
Tuhan. Ketika hukum itu di anggap sebagai berasal dari tuhan yang mempunyai akar atau sumber
dari agama maka jenis hukum tersebut mempunyai nilai dan sanksi yang bersifat ketuhanan pula
atau setidaknya setengah ketuhanan. Oleh karena itu keterkaitan dengan agama seperti ini yang
kemudian semestinya mempunyai akar yang sangat kuat untuk menghasilkan kewajiban moral agar
tunduk atau patuh terhadap hukum karena keberadaan hukum itu sekaligus mengandung nilai
agama.
Menurut Bernard Weiss, menjelaskan bahwa di dalam Islam, hukum dan agama dalam
praktek lembaga peradilan dan dalam kehidupan tidak dapat dipisahkan, namun sekaligus memberi
argumentasi bahwa budaya masyarakat islam tidak lepas dari ajaran agamanya, artinya; dalam
kehidupan umat Isam, adat kebiasaannya pasti mengandung nilai-nilai hukum Islam, meskipun
ukuran kuantitasnya tidak selalu sama. Ini juga akan membantu untuk memberi penjelasan
mengenai suatu tradisi bagi masyarakat Islam dan mengenai kebiasaan dalam sistem nasional yang
tidak dapat lepas dari kebiasaan yang bernilai hukum islam.
Secara keseluruhan, bagi negara Indonesia, yang dengan tegas disebutkan secara resmi
bahwa nilai atau hukum agama menjadi salah satu bahan baku hukum nasional, hukum dan agama
ini tidak dapat semata-mata dipisahkan. Hukum yang tertulis di dalam perundang-undangan tidak
dapat selalu dipertentangkan dengan hukum agama, meskipun secara bagian-bagiannya mungkin
ada perbedaan. Keduanya dapat menjadi satu kesatuan, seperti hukum perkawinan, dll.
Dalam pembicaraan mengenai hukum, ada konsep hak dan kewajiban yang tidak dapat
dilepaskan. Kedua hal ini sangat penting dalam operasinya hukum di tengah-tengah masyarakat.
Jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan. Kalau semua
hak dan kewajiban itu mengandung nilai moral dan agama namun kemudian dapat diberlakukan
sanksi hukuman. Disinilah hukum positif berbicara, dan disinilah perbedaan antara hak dan
kewajiban atas dasar nilai-nilai agama, moral, atau konvensi sosial (sebelum menjadi hukum
positif) yang tidak mempunyai perangkat untuk memaksa lewat pengadilan, di satu sisi serta hak
dan kewajiban yang dapat dipaksa oleh hukum melalui pengadilan di sisi lain.
Dennis Lloyd berpendapat tentang melaksanakan kewajiban melalui pendekatan moral. Jika
moral disini berupa nilai-nilai agama, maka berarti pelaksanaan hukum sekaligus juga mempunyai
nilai melaksanakan ajaran agama. Namun, pendekatan seperti ini tidak selalu berjalan dengan
mulus, sehingga diperlukan penegakan hukum lewat pengadilan yang melalui pemaksaan
penerapan sanksi dengan perangkat penegak hukum yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali zainudin. 2007. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. Jakarta: PT Bumi Aksara.


2. Syarifudin Amir. 1993. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DALAM HUKUM ISLAM.
Jakarta: Angkasa JayaWahyuddin, Achmad dan M. Ilyas. Pendidikan Agama Islam
(Grasindo).
3. Al-qur’an dan terjemahannya. 1978. Departemen Agama Republik Indonesia: Bumi.
4. Apryadi, Muhammad. n.d. HUKUM ISLAM (Asas, Ciri, & Implementasi). Belajar Hukum.
Diakses 5 Oktober 2014. <http://muhammadapryadi.wordpress.com/tentang-ilmu-
hukum/hukum-islam-asas-ciri-implementasi/>.
5. Hukis-khi-khei-hubungan-agama-politik-hukum.ppt//com, diunduh tanggal 15 April 2014.

Anda mungkin juga menyukai