Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. . Latar Belakang
Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama
lainyya. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat
menyelamatkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan
saling mengintai dan berbagai krisi yang belum diketahui bagaimana cara
mengatasinya.
Tidak mudah membahas karakterisitik ajaran islam, karena ruang lingkupnya sangat
luas, mencakup berbagai aspek kehidupan umat islam. Untuk mengkaji secara rinci
semua karakteristik ajaran islam perlu di telusuri, mulai dari risalah Allah terakhir dan
menjadi agama yang di ridhoi Allah, untuk dunia dan seluruh umat manusia sampai
datangya hari kiamat.
Karakteristik yang dimiliki islam, yakni karakteristik ilmu dan kebudayaan,
pendidikan, social, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dan disiplin ilmu.
Karakteristik ajaran islam adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh umat muslim
dengan bersandarkan Al-Qur’an dan Hadist dalam berbagai bidang ilmu, kebudayaan,
pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu, dan berbagai
macam ilmu khusus. Karakteristik ini banyak terdapat di dalam sumber-sumber ajaran
Al-Quran dan Al-Hadits.
B. Rumusan Masalah

a) Pengertian Katakteristik Ajaran Islam?


b) Apa yang dimaksud dengan Islam dan wacana Pembaharuan Islam?
c) Apa Kedudukan antara Islam dan Manusia , Makhluk Allah dan Khalifatullah?
d) Apa hubungan antara Islam dan Moralitas?
e) Apa hubungan antara islam dan politik ekonomi ?
f) Apa hubungan antara Islam dan Agama lain?
C. Tujuan Pembelajaran
Untuk Mengetahui Katakteristik Ajaran Islam Sesuai dengan hubungannya
masing-masing.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Ajaran Islam


a. Pengertian Karakteristik Ajaran Islam
“karakteristik ajaran Islam” terdiri dari dua terma utama yang berbeda
pengertiannya, yaitu karakteristik dan ajaran Islam. Kata “karakteristik” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai sesuatu ciri
khas/bentuk-bentukwatak/karakter yang dimiliki oleh individu, corak tingkah
laku, dan tanda khusus. Sedangkan kata “Islam” secara etimologi dalam
perspektif bahasa Arab adalah as-silm (damai), aslama (menyerahkan
diri/pasrah), istislam (penyerahan secara total kepada Allah), salim (bersih dan
suci), dan salam (selamat). 3 Kata Islam secara terminologi diartikan sebagai
pesan bahwa umat Muslim hendaknya cinta damai, pasrah kepada ketentuan
Allah SWT bersih dan suci dari perbuatan nista, serta dijamin selamat dunia dan
akhirat jika melaksanakan risalah Islam. Dalam ajaran Islam sendiri
mengandung arti yang berbedabeda pula. Untuk meninjau ajaran Islam dapat
dikemukakan, sebagai berikut:
1. Taat dan menyerahkan diri. Orang yang memeluk Islam adalah orang yang
menyerahkan diri kepada Allah SWT dan menurut segala yang telah
ditentukan-Nya.
2. Sejahtera, tidak tercela, tidak cacat, selamat, teteram dan bahagia. Setiap
Muslim akan sejahtera, tenteram, selamat dan bahagia, baik di dunia
maupun di akherat dengan tuntunan ajaran Rabbul alamin.
3. Mengaku, menyerahkan, dan menyelamatkan. Ini berarti bahwa orang yang
memeluk Islam itu adalah orang yang mengaku dengan sadar adanya Allah
SWT., kemudian ia menyerahkan diri pada kekuasaan-Nya dengan menurut
segala titah dan firman-Nya sehingga ia selamat di dunia dan akherat.

2
4. Cinta damai dan sejahtera. Islam adalah agama yang membawa kepada
kedamaian dan perdamaian. Orang yang memeluk Islam adalah orang yang
menganut ajaran perdamaian dalam segala tingkah laku dan perbuatan.
Asy’ari menyatakan bahwa Islam adalah penyerahan total hanya kepada Allah
SWT. semata, dan karena penyertaannya yang tulus itu, maka seseorang akan
mendapatkan keselamatan, kebebasan, dan kedamaian. Dalam tingkat kepasrahan total
itulah, energi ilahi akan terserap ke dalam dirinya, dan ia akan mendapat kebebasan,
keselamatan, dan kedamaian yang sesungguhnya. Kepasrahan yang tulus kepada Allah
SWT. adalah sumber energidan kekuatan kreatif yang tidak pernah kering untuk
mendorong kebajikan dan kesalihan. 4 Agama Islam mengajarkan berbagai pedoman
hidup dari akidah, ibadah, sosial, dan politik. Secara global, al-Qur‟an mengarahkan
manusia pada berbagai aspek kehidupan, sebagai berikut:
1. Prinsip ideologi Islam
2. Aturan moralitas dan tingkah laku dalam Islam
3. Pedoman mengarahkan perasaan dalam Islam
4. Sistem sosial kemasyarakatan,
5. Sistem politik kenegaraan,
6. Sistem perekonomian Islam,
7. Sistem hukum dan perundang-undangan,
8. Sistem Kemiliteran Islam.
Dari beberapa pengertian tersebut, karakteristik ajaran Islam adalah suatu
watak/karakter yang dimiliki oleh setiap umat Muslim dengan berpedoman pada
alQur‟an dan al-Hadist dalam berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam
bidang agama, muamalah (kemanusian), ekonomi, sosial, politik, pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu. Dengan banyaknya bidang-
bidang keilmuan tersebut diperlukan kepada umat Muslim untuk memahami secara
mendalam ajaran Islam yang senantiasa membawa umat manusia dalam kehidupan yang
cinta damai dan sejahtera.
Dalam hal ini islam memiliki berbagai peran dengan melakukan pendekatan
dalam membentuk karakteristik melalui hal-hal sebagai berikut.

3
B. Islam dan Wacana Pembaharuan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan
Islam dengan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi madern. Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam
disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya
disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah
memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim
segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan
sunnah. Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus
kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan
memperbaiki –memperbaharui- agamanya” (HR. Abu Daud).

Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18.
tepatnya setelah munculnya gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam,
menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara
politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat
dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit
muslim merasa perlu uintuk melakukan pembaharuan.
Dari kata tajdid ini selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya
lebih merupakan bentuk tajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi,
modernisme dan sebagainya. Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal itu
terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun solusi, dalam
gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam.
Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya pada
doktrin Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mendapatkan momentum ketika Islam
berhadapan dengan modernitas pada abad ke-19. pergumulan antara Islam dan
modernitas yang berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada
abad ke-18 merupakan agenda yang menyita banyak energi dikalangan intelektual
muslim. Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan masalah yang pelik,
lebih pelik dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan lain. Hal ini karena
agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar;.

4
Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar
dan tuntutan modernitas atepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi.

C. . Kedudukan Islam dan Manusia , Makhluk Allah dan Khalifatullah


1. Pengertian Manusia
Jalaluddin Rakhmat (lihat Budhy Munawar-Rachman ( ed.), 1994:75-78) menulis
sebuah artikel dengan judul “Konsep-konsep Antropologis”. Dalam tulisannya, ia
mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada
makna pokok manusia, yaitu: basyar, insan, dan al-nas.
Basyar yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi
pada manusia sebagai makhluk biologis.
Adapun kata insan, yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali, dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep
manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan degan proses penciptaan
manusia. Semua konteks insan menunjukkan adanya sifat-sifat psikologis manusia atau
spiritual.
Pada kategori pertama, manusia digambarkan sebagai wujud makhluk istimewa
yang berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa insan
adalah makhluk yang diberi ilmu, makhluk yang diberi kemampuan untuk
mengembangkan ilmu dan daya nalarnya dengan nazhar (merenungkan, memikirkan,
menganalisis, dan mengamati perbuatannya).
Selanjutnya, manusia dikatakan sebagai makhluk yang memikul amanah Karena
manusia adalah makhluk yang menanggung amanah, maka insan dalam Al-Qur’an
dihubunngkan dengan konsep tanggung jawab. Insan diharuskan berbuat baik, amalnya
dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan kerjanya. Oleh karena itu,
insanlah yang dimusuhi setan.
Dalam menyembah Allah ada 3 kategori manusia:

5
1. insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Apabla ditimpa musibah, insan
cenderung menyembah Allah dengan ikhlas, sedangkan apabila mendapat
keberuntungan, insan cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik.
2. insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut Al-Qur’an, manusia
cenderung zalim dan kafir, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan
mendebat, gelisah dan enggan membantu, ditakdirkan untuk bersusah payah dan
menderita, tidak berterima kasih, berbuat dosa, dan meragukan hari kiamat.
3. insan dihubungkan dengan proses penciptaannya. Sebagai insan, manusia
diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, dan tanah. Demikian juga basyar
berasal dari tanah liat, tanah, dan air.
Jalaluddin Rakhmat berkesimpulan bahwa proses penciptaan manusia
menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani.yang
terbagi menjadi dua unsur yaitu; unsur material, dan unsur ruhani. Keduanya harus
tergabung dalam keseimbangan, tidak boleh mengurangi hak yang satu atau melebihkan
hak yang lainnya.
Sedangkan konsep kunci yang ketiga adalah al-nas yang mengacu pada manusia
sebagai makhluk sosial. Ia disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali. Sebagai
makhluk sosial, al-nas dapat dilihat dalam beberapa segi. Pertama, banyak ayat
menunjukkan kelompok sosial dengan karakteristiknya. Kedua, sebagian besar manusia
mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Ketiga, Al-Qur’an
menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur’an bukan hanya dimaksudkan kepada manusia
secara perorangan, tatapi juga menusia secara sosial.
Adapun dua komponen yang membedakan hakikat manusia dengan hewan, yaitu
potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Iman dan ilmu adalah dasar yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Singkatnya kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis. Manusia adalah gabungan antara
unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan,
kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah (makhluq); dan kedudukan manusia
dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik.

6
2. Tugas Manusia
Tugas manusia adalah beribadah kepada Tuhan dalam artian umum, bukan hanya
ibadah dalam artian khusus atau mahdlah. Adapun tugas ibadah dalam pengertian
khusus adalah menyembah Allah dengan cara-cara yang secara teknis telah diatur dalam
sunnah. Sedangkan yang dimaksud tugas ibadah dalam pengertian umum adalah adanya
keyakinan bahwa seluruh perbuatan kita yang bersifat horizontal semata-mata
diperuntukkan bagi Allah.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar menyembah kepada-Nya. Kata
menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah berarti
menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk
mengikuti kehendaknya, secara sukarela dan tanpa paksaan. Ibadah terbagi ke dalam
dua macam, yaitu:
a. Ibadah muhdah (murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata
caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al-Qur’an maupun
hadits yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi. Misalnya shalat, puasa,
zakat, haji dan sebagainya.
b. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu pengabdian yang dilakukan oleh manusia yang
diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam
konteks mencari keridhaan Allah SWT
Jadi, setiap insan tujuan hidupnya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT,
karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang berbahagia, mendapat
ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan batin. Sedangkan di akhirat
kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-
hamba Allah SWT yang istimewa.
Petunjuk Allah hanya akan diberikan kepada manusia yang taat dan patuh kepada
Allah dan rasulnya, serta berjihad dijalannya. Taat kepada Allah dibuktikan dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Taat kepada rasul berarti
bersedia menjalankan sunah-sunahnya. Kesiapan itu lalu ditambah dengan keseriusan
berjihad, berjuang di jalan Allah dengan mengorbankan harta, tenaga, waktu, bahkan
jiwa.
3. Tugas Manusia sebagai Khalifatullah

7
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup
manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan
akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh
Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk
mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-
tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama
manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi,
misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia,
adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah.
Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada
semua makhluknya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu
pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita
sebagai khalifatullah, maka tidak akan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik
dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah.
Ketika manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua
peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat.
Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya
perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
a) Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia
harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia.
Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan
tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat
melanjutkan eksplorasi itu.
b) Memelihara Bumi

8
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak
manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah,
yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya
manusia yang rusak akan sangat berpotensial merusak alam. Oleh karena itu, hal
semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Oleh karena itu, penciptaan
manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa
(pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan
kehidupan di bumi sesuai dengan petunjuk-Nya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama
(Islam).
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan
fungsi sebagai khalifah di muka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan
terhadap alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firman Allah dalam surat Ar-

rum ayat 41 :

‫َظَه َر اْلَف َس اُد يِف اْلَبّر َو اْلَبْح ِر َمِبا َك َس َبْت َآْيدى اْلَّناِس ِلُيِد ْيَق ُه ْم َبْعَض اَّلِذ ى َعِم ُلوا َلَعَّلُه ْم َيْر ِج ُعْو َن‬.
Artinya; telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebaban karena perbuatan tangan
manusia ; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali(ke jalan yang benar).

D. . Islam dan Moralitas


1. Peran Islam, Keluarga, dan Masyarakat
Sesuai dengan Al Qur’an surt altahrim ayat 6
Artinya :Hai orang-orang beriman ! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
[kemungkinan siksaan] api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya adalah para malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan (QS. Altahrim (66): 6).
Keluarga, yang biasa diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak atau anak-
anaknya; belakangan diartikan dengan semua dan setiap orang yang ada dalam sebuah

9
keluarga/rumah. Keluarga, dalam sistem hukum apapun dan di manapun, apalagi dalam
perspektif hukum Islam, dipastikan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan tingkat manapun. Tanpa keluarga, yang sejatinya menjadi unit terkecil
dalam sebuah komunitas, mustahil ada apa yang dikenal dengan sistem sosial itu sendiri
mulai dari sistem sosial yang sangat terbatas atau bahkan dibatasi; sampai komunitas
yang bersekala nasional, regional dan intrenasional.
Sekedar untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang
menyatakan bahwa “Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara;
bahkan juga tiang agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami manakala agama
Islam menaruh perhatian sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara
indikatornya, dalam Al-qur’an dan atau Al-hadits, tidak hanya dijumpai sebutan
keluarga dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,” atau “dzul qurba,” “al-
aqarib” dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah ayat dan bahkan
surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.
Ada beberapa kata dalam alquran yang menunjuk pada pengertian masyarakat,
kata-kata itu ialah ummah, qawm, syu’ub, dan qaba’il. Disamping itu alQuran pun
memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu. Ummah yang dalam bahasa
Indonesia ditulis umat, menurut Anton M. Moeliono ialah para penganut suatu agama
atau bisa juga diartikan makhluk manusia. Dalam terminology yang lain, umat
terkadang diartikan bangsa atau Negara. Oleh karena itu, sesuai pengertian yang
dimaksud, umat hanya sesuai untuk dikenakan pada ummat manusia.
Sebagian para ahli telah mencoba mengklarifikasi masyarakat berdasarkan cirri-
ciri tertentu. Ending Saefuddin Anshari dengan mempergunakan paradigma al quran,
mengelompkkan masyarakat menjadi 10 macam yaitu:
1. Masyarakat muttaqin;
2. Masyarakat mukmin;
3. Masyarakat Muslim;
4. Masyarakat muhsin;
5. Masyarakat kafir;
6. Masyarakat musyrik;
7. Masyarakat mubarok;

10
8. Masyarakat fasik;
9. Masyarakat zalim;
10. Masyarakat Mutraf.
Sebagai masyarakat etika religius kelompok masyarakat pertama, kedua, ketiga,
dan keempat mendasarkan hidupnya atas idealisme etika teosentris yang bertopang pada
kecintaan kepada Tuhan yang dicerminkan dengan kecintaan terhadap sesama dan rasa
takut kepada Tuhan yang dicerminkan dalam rasa takut pada pengadilan-Nya.
Indikator lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran keluarga dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga Islam yang secara
spesifik mengatur persoalan-persoalan hukum keluarga mulai dari perkawinan,
hadhanah (pengasuhan dan pendidikan anak), sampai kepada hukum kewarisan dan
lain-lain yang lazim dikenal dengan sebutan “al-ahwal al-syakhshiyyah,” “ahkam al-
usrah,” Islamic family law dan lainnya. Hukum Keluarga Islam benar-benar mengatur
semua dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang bersifat filosofis dan edukatif,
sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang teknis operasional sekalipun. Itulah sebabnya
mengapa Islam memerintahkan pemeluknya agar selalu saling menyayangi dan
bekerjasama antara sesama keluarga.

2. Keluarga adalah Fondasi Masyarakat


Kumpulan dari beberapa keluarga disebut masyarakat. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keluarga merupakan organisasi terkecil dari suatu masyarakat,
masyarakat terus berkembang baik secara horizontal maupun vertical menjadi suku
atau bangsa.
Masyarakat di seluruh dunia memandang keluarga dengan signifikansi sakral,
dan menjadikannya sebagai dasar bagi hubungan interpersonal lainnya, termasuk
kewajiban komunitas dan politik. Keluarga merupakan satuan dasar bagi ketaatan ritual
maupun sebagai tempat berpengaruh bagi pendidikan agama dan sekular dan bagi
penyaluran pengetahuan agama dan duniawi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dia bertindak sebagai locus bagi pengembangan makna kepercayaan, otoritas, an
tanggung jawab. Dalam organisasi terkecil yang membentuk bangsa ini terdapat
berbagai instrument (alur kehidupan yang selalu beriringan) perjalanan keluarga akan

11
mengalami goncangan yang bisa mempengaruhi keajegan masyarakat dan bangsa. Oleh
karena itu, setiap anggota yang terlibat didalamnaya harus mengetahui dan menjalankan
hak dan kewajiban mereka masing-masing secara fungsional. Dilihat dari segi ini
keluarga berperan sebagai tiang dan penyangga masyarakat yang menentukan arah dan
gerak laju bangsa menuju kehidupan sejahtera yang diridhai Allah SWT, Negara yang
baik dibawah naungan ampunan Tuhan.
Konsep masyarakat ideal menurut islam ialah masyarakat sejahtera seutuhnya. Ia
bisa dimulai dari penataan dan pembinaan keluarga melalui pendekatan nilai-nilai islam
yang secara terus menerus diterapkan dalam kehidupan keluarga. Keberhasilan suatu
kelurga dalam menerapgunakan konsep ideal akan melahirkan masyarakat ideal, seperti
yang digambarkan terdahulu. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
keluarga merupakan fondasi masyarakat.

E. . Hubungan antara Islam dan Politik Ekonomi


Politik Ekonomi Islam relatif asing bagi sebagian besar umat Islam, bahkan bagi
kalangan ekonom Muslim saat ini. Pasalnya, ekonomi Islam yang serba lengkap telah
tergerus sedemikian rupa sehingga seolah-olah hanya membincangkan mikro ekonomi
yang sangat parsial; sebatas zakat, infak, sedekah serta lembaga keuangan syariah.
Politik Ekonomi Islam, yang terkait dengan makro ekonomi, sama sekali tak tersentuh.

Secara historis, perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia sebelum era


reformasi sangat terseok, selain memang jauh tertinggal di banding negara muslim lain,
misalnya Malaysia yang negara tetangga dan serumpun. Hal ini tidak lepas dari politik
ekonomi yang dimainkan oleh pemerintah yang berkuasa dalam menyikapi
perkembangan ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari awal berdirinya perbankan Syariah
di Malaysia yang didukung regulasi pemerintah Malaysia yaitu Islamic Banking Act
tahun 1983. Sedangkan perbankan Syariah di Indonesia baru mulai tahun 1992 yaitu
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang hadir tanpa dukungan peraturan
perundangan yang memadai. Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya memotret
politik ekonomi Islam di Indonesia untuk menghadapi globalisasi masyarakat ekonomi
Asean pada era reformasi ini dengan tujuan untuk membuktikan secara empiris tentang
signifikansi peran negara dalam pengembangan ekonomi Islam untuk mewujudkan

12
tujuan pembangunan ekonomi nasional. Menyatakan bahwa Islam hanya berhubungan
dengan kehidupan spiritual, tanpa sangkut paut sama sekali dengan masyarakat dan
negara, mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam telah
memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan terperinci.

F. Islam dan Agama Lain


1. keberadaan agama islam dan agama lain
Di dalam Al-Quran Allah memberikan kriteria bahwa setiap “agama” mestilah
mempunyai keyakinan akan adanya suatu “masa” atau suatu “keadaan” dimana
manusia memperoleh “balasan” dari apa yang ia lakukan. Konsep tentang kebaikan
dan kejahatan secara konsisten diikuti dengan konsep surga dan neraka. Inilah ciri
penting dari semua agama. Tanpa kesadaran ini tentu agama akan menjadi tanpa
tujuan.

Fungsi agama sebagai alat untuk menciptakan perbaikan dan peradaban. Agama
“yang lurus” adalah agama yang mampu membuat manusia tidak melakukan kerusakan,
baik di darat maupun di laut. Dan manusia yang dapat menciptakan perbaikan dan
peradaban adalah mereka yang secara tulus berorientasi kepada “kesatuan” dan
“keharmonisan” (tauhid), sebaliknya manusia yang selalu melakukan kerusakan dan
perpecahan (musyrik) disebut sebagai tidak beragama (kafir). Agama yang lurus adalah
agama yang cocok dengan fitrah manusia dan mengangkat harkat kemanusiaan-
manusia, yakni agama yang difahami bukan hanya melalui nurani yang paling dalam
dan bening, tetapi diiringi dengan pengetahuan yang cerdas serta diikuti dengan
kesadaran untuk bersih dari segala dosa dan kesalahan serta penuh harapan akan
anugerah Tuhan, kemudian ditambah lagi dengan senantiasa berkomunikasi kepada
Tuhan.

Kitab suci al-qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan stuasi


keagamaan yang pluralistik (plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk
keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad saw.
menjalankan misi profetkinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi);
Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya yang sangat

13
berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh al-qur’an dalam berbagai levelnya adalah
Yahudi, Kristen dan agama Makkah.

Kedatangan al-qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta


menolak agama-agama yang berkembang pada saat itu, tapi al-quran mengakui dan
membenarkan agama-agama yang datang sebelum al-qur’an diturunkan. Bahkan lebih
jauh dari itu al-qur’an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu
sebagaimana firman Allah ,yang arinya;

“Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku
telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu)”.

2. Pengakuan Al-Qur’an Terhadap Agama lainnya

Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam al-qur’an,


ditemukan dalam banyak terminolgi yang merujuk kepada komonitas agama yang
berbeda seperti ahl al-kitab, utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab,
al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an
disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga
memberikan kebeasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ini adalah
sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, tetapi
sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang
memiliki kitab suci Ilahi. Karena memang pada dasarnya tiga agama yaitu Yahudi,
Kristen dan Islam adalah bersudara, kakak adek, masih terikat hubungan kekeluargaan
yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as. Pengakual al-Qur’an terhadap agama lain,
diantaranya berdasarkan firman Allah swt surat ali imran ayat 199, yang artinya;

“Dan Sesungguhnya diantara ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang
mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”.

Menurut riwayat Jabir Ibn Abd Allah, Anas, Ibn Abbas, Qatadah da al-Hasan, teks surat
Ali Imran ayat 199 di atas, turun berkenaan dengan kematian raja Najasyi dari Habsah.

14
Pada saat kematian raja Najasyi, Nabi menyuruh kepada sahabatnya untuk
melaksanakan shalat jenazah. Para sahabat saling membicarakan kenapa Rasul
menyuruh untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja kafir (ateis). Maka turunlah ayat
di atas untuk menegaskan spritualitas sebagian ahli Kitab.Al-qur’an juga secara eksplisit
mengakaui jaminan keselamatan bagi komonitas agama-agama yang termasuk Ahl al-
Kitab (Yahudi, Nasrani, Shabi’in); sebagaimana dalam Firman nya :

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan


orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.

Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan: Makna ayat ini sangat
jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh semua
kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya
berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman
kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas itu
mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar,
atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan semua golongan
agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal
shaleh.

15
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Kata islam menurut istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada
wahyu yang datang dari Allah SWT,. Bukan dari manusia, dan bukan pula berasal dari
Nabi Muhammad SAW. Posisi nabi dalam agama islam diakui sebagai yang ditugasi
oleh Allah untuk menyebarkan ajaran islam terssebut kepada umat manusia.
Selanjutnya dilihat dari segi ajarannya, Islam adalah agama yang sepanjang
sejarah manusia. Agama dari seluruh nabi dan rosul yang pernah diutus oleh Allah
SWT., pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam itulah agama bagi
Adam as, Nabi Ya’kub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan nabi Isa as. Hal
demikian dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah.
Namun demikian perlu ditegaskan, bahwa meskipun para nabi tersebut telah meyatakan
diri, akan tetapi agama yang mereka anut itu bukan bernama agama islam. Misi agama
yang mereka anut adalah islam, tetapi agama yang mereka bawa namanya dikaitkan
dengan nama daerah atau nama penduduk yang menganut agama tersebut.
Islam merupakan agama yang memiliki artian luas. maksudnya, islam
merupakan agama yang mengajarkan berbagai cabang ilmu yang menjadikan
karakteristik manusia menjadi teratur melalui pondasi dasar hukum yaitu Al qur’an dan
hadis.

16
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Metedeologi Study Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1998.
Abdullah, M. Amin, mencari Islam (Study Islam dengan Berbagai Pendekatan),
Yogyakarta :Tiara wacana,2000.

17

Anda mungkin juga menyukai