Anda di halaman 1dari 17

ISLAM SEBAGAI AGAMA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah PAI


Dosen pengampu: Muhammad Yunus, S.TH.I, M.TH.I

Kelompok 3 TM-1A:

1. Muhammad Irfan Maulana (2331240015)


2. Nazrul Wahyu Wijaya (2331240012)
3. Jauhari Ahmad Ulul Albab Rosyad (2331240091)

POLITEKNIK NEGERI MALANG


PROGAM STUDI TEKNIK MESIN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin), memiliki sifat
mudah beradaptasi untuk tumbuh di segala tempat dan waktu. Hanya saja
pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kelompok suku bangsa, diakui atau
tidak, sulit dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Namun
demikian, sekalipun berhadapan dengan budaya lokal di dunia,
keuniversalan Islam tetap tidak akan batal. Hal ini menjadi indikasi bahwa
perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi
kendala dalam mewujudkan tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi
pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan
budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-
prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya
(technicalities). Islam lahir di tanah Arab, tetapi tidak harus terikat oleh
budaya Arab. Sebagai agama universal, Islam selalu sesuai dengan segala
lingkungan sosialnya. Penyebaran Islam tidak akan terikat oleh batasan
ruang dan waktu. Di mana saja dan kapan saja Islam dapat berkembang dan
selalu dinamis, aktual, dan akomodatif dengan budaya lokal. Islam hadir
bukan untuk melarang atau mengharamkan budaya atau adat istiadat yang
ada sebelum ajaran Islam ini lahir, akan tetapi Islam lahir untuk
menunjukan jalan yang benar sehingga budaya atau adat istiadat yang ada
tidak membuat manusia tersesat karenanya. Allah swt telah menciptakan
manusia dengan segala kriativitasnya. Kreativitas yang diberikan oleh
Allah SWT kepada manusia telah memberikan variasi perilaku keagamaan
yang berbeda-beda antara umat yang satu dengan yang lainnya. Islam
adalah sebuah agama yang menjadi rahmatanlilalamin bagi
seluruh pemeluknya, namun kita pun belum mengetahui secara garis besar
tentang Islamdan bagian-bagian yang memperkokoh Islam itu
sendiri.Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi; sebagai
keyakinan,sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh
seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam,
boleh jadi tidak, karena proses dalam diri seseorang itu mempunyai
keyakinan yang berbeda-beda, dan kemampuan nya untuk mengakses
sumber ajaran juga berbeda-beda.
Proses munculnya pluralitas agama di Indonesia dapat diamati
secara empiris historis. Secara kronologis dapat disebutkan bahwa di
wilayah kepulauan Nusantara, hanya agama Hindu dan Buddha yang
dahulu dipeluk oleh masyarakat, terutama di Pulau Jawa. Candi Prambanan
dan Candi Borobudur adalah saksi sejarah yang paling autentik mengenai
hal ini. Setelah dua agama itu berkembang di Nusantara, bahkan
keyakinannya sudah mengakar di tengah masyarakat, masukIah agama
Islam melalui perdagangan. Proses penyebaran dan pemelukan agama
Islam di Nusantara ini berlangsung secara massif dan ditempuh dengan
jalan damai (Abdullah, 1999: 5). Masuknya kaum imperilais ke Nusantara,
seperti Portugis, Inggris, dan Belanda, berakibat menyebabnya dua agama
lagi ke Indonesia, yaitu Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Lima agama
tersebut terus hidup dan berkembang di Indonesia hingga sekarang serta
kemudian diakui sebagai agama resmi oleh negara dan dianut oleh umat
beragama di Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi keberagamaan di
Indonesia yang majemuk dan juga dibandingkan dengan kondisi
keberagamaan di negara-negara lain yang agak berbeda maka studi agama
(reljgious studies) di Indonesia terasa sangat urgen dan mendesak untuk
dikembangkan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian konsep agama!
2. Apa yang dimaksud dengan dimensi Islam?
3. Sumber sumber ajaran islam!
4. Apa tujuan agama islam?
5. Apa yang dimaksud pluralitas dalam Masyarakat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep agama.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan agama islam.
3. Mengetahui sumber-sumber ajaran islam.
4. Mengetahui tujuan agama islam.
5. Mengetahui apa yang dimaksud dari pluralitas dalam Masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Agama

Beragama merupakan insting manusia yang sangat mendalam dan


orisinil, karena bersumber kepada dua hal penting yang tidak mampu ditolak
oleh manusia pada umumnya. Pertama, perasaan akan kelemahan diri
manusia di hadapan fenomena diri dan alam semesta. Kedua, perasaan
bahwa terdapat sumber dari segala kekuatan yang ada. Sumber kekuatan
inilah yang kemudian mengatur dan mengendalikan seluruh jagad raya ini
termasuk manusia. Menemukan dan meyakini adanya sumber dari segala
kekuatan yang disebut “Tuhan” itulah yang disebut dengan agama.
Sementara komunitas yang meyakini, disebut komunitas umat beragama.
Pengertian agama sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu, agama
secara etimologi (bahasa) maupun terminologis (istilah konsep). Secara
bahasa, agama berasal dari bahasa Sansekerta (a) yang berarti tidak dan
(gama) yang berarti rusak atau kacau. Sehingga agama berarti tidak rusak
atau tidak kacau. Hal ini bermakna bahwa agama dapat membawa
pengikutnya kepada kondisi jauh dari kerusakan atau kekacauan.
Sementara dalam bahasa Arab, agama diterjemahkan dari kata “al-
din”. Akar kata “al-din” adalah dana yang memiliki beberapa arti:
Pertama, danahu bermakna “malakahu” (memilikinya), “wa
hakamahu” (berkuasa atasnya), “wa sasahu” (mengaturnya), “wa
dabbarahu” (mengorganisasi), “wa qaharahu” (memaksanya), “wa
hasabahu” (menghitunganya), “wa qada di sya’ nihi’ (memutuskan dalam
urusannya), “wa jazahu” (memberinya imbalan), “wa kafa’ahu” (memberi
apresiasi).
Dalam pemakaian kata seperti disebut di atas, lafal”al-din” memuat
makna “kerajaan” dan semua aktivitas yang berkaitan dengan kerjaan dan
kekuasaan seperti pengaturan, kekuasaan, pemaksaan, control, pemberian
apresiasi dan sanksi. Makna ini sangat relevan dengat “malik yawm al-din”,
yang berarti Yang Memiliki/Berkuasa atas Hari Pembalasan (Hari
Penghitung dan Pemberian Sanksi/Apresiasi).
Jadi agama-dalam konteks lafal ini-memuat pengertian pengakuan
terhadap dzat yang merupakan Rajadiraja, Maha Memiliki, Maha berkuasa,
Maha Mengatur, Maha memberi apresiasi, dan sanksi , Maha memaksa dan
Maha segalanya
Menurut Syeh Naquib al-Attas menjelaskan bahwa manusia
sejatinya berhutang kepada Tuhan; Penciptanya dan Penyedianya, karena
menjadikannya memilki eksistensi dan memeliharanya dan keberadaanya;
sebab manusia sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada,
sebagaimanna firman Allah dalam QS.al-Insan [76] ayat 1, “Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut?”1
Secara Terminologi, definisi yang diajukan oleh Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya”.2
Intinya, unsur penting agama ada dua hal yaitu “ketuhanan” dan
“penyembahan”. Sehingga, agama pada hakikatnya merupakan “keyakinan
adanya Zat yang gaib, Yang Mahatinggi, yang memiliki perasaan dan
pilihan, bertindak dan mengatur segala urusan yang terkait dengan manusia
dan alam semesta. Keyakinan inilah yang kemudian mendorong munculnya

1
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: Institut Antar
Bangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam [ISTAC], 2001)
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Luring, dari kata “agama”
perasaan memohon kepada Zat Yang Mahatinggi tersebut dengan harap dan
cemas, serta dalam kondisi ketundukan dan kepasrahan serta pengagungan”.

B. Dimensi Islam
Dimensi berarti parameter atau pengukuran yang dibutuhkan untuk
mendefinisikan sifat-sifat suatu obyek baik itu panjang, lebar, dan tinggi
atau ukuran dan bentuk. Pengertian dimensi dalam Oxford Dictionary yaitu
dari kata “dimension” yang artinya:
1) ukuran dari panjang, lebar atau berat dari sesuatu,
2) ukuran dan luas dari suatu situasi,
3) aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan.
Adapun dimensi-dimensi Islam yang dimaksud pada bagian ini
adalah sisi keislaman seseorang, yaitu iman, islam, dan ihsan. Nurcholish
Madjid menyebutnya sebagai trilogi ajaran Ilahi. Dimensi pemikiran Islam
yaitu aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan pada pandangan
atau kepercayaan dari kelompok atau seseorang terhadap Islam.
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam
masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi
Muhammad saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi:
“Nabi Muhammad saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang
datang menghadap beliau dan bertanya:” Hai Rasul Allah, apakah yang
dimaksud dengan iman ? ”Beliau menjawab: ”Iman adalah engkau percaya
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para
utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian
bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan Islam ?” Beliau menjawab:
“Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya,
engkau tegakkan shalat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau
berpuasa pada bulan Ramadan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi:
“Apakah yang dimaksud dengan ishan ?” Nabi Muhammad saw menjawab:
“Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau
tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu.
Hadis di atas memberikan ide kepada umat Islam Sunni tentang rukun
iman yang enam, rukun islam yang lima dan penghayatan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa hadir dalam hidup. Sebenarnya, ketiga hal itu hanya dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara satu dan yang lainnya
memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti Islam tidak
absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan
adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam. Dalam
penelitian lebih lanjut, sering terjadi tyumpang tindih antara tiga istilah
tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman
dan ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sisi itulah,
Nurcholish Madjid (1994:463) melihat iman, Islam, dan ihsan sebagai
trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur,
yaitu Islam, iman, dan ihsan. Dalam tiga unsur tersebut, terselip makna
kejenjangan (tingkatan): orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang
ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Dengan penjelasan yang agak berbeda, Ibnu Taimiah menjelaskan
sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci
dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun
masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-
Islam,suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kedua, orang yang
menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang
mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; dan ketiga,
perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim)
berkembang perbuatan kebajikannya sehingga ia ,enjadi pelomba (sabiq)
perbuatan kebajikan; maka ia mencapai derajat ihsan. “Orang yang telah
mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Taimiah, “akan masuk surga tanpa
mengalami azab.” (Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman
(ed.), 1994:465)3

1. Islam
Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami pengertian
Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dari sisi kebahasaan, Islam berasal dari bahsa Arab yaitu kata
salama yang mengandung arti selamat, sentyosa dan damai. Kata salama
kemudian diubah menjadi aslama yang berarti berserah diri, masuk dalam
kedamaian. Kita dapat menyimpulkan bahwa kata Islam dari sisi
kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada
Tuhan, dalam upaya mencari kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia
danj di akhirat kelak sebagaimana yang tertera pada Q.S Al-Baqarah (2):
208

‫تَتَّبِعُ ۡوا َو ََل ِ َکآٰفَّةَ ۡل َِمِِالسَ فِى ۡاد ُخلُ ۡوا ا َمنُوا الَّذ ِۡي َنَ يٰٓاَيُّ َها‬
َ‫ت‬ ُ ‫عدُوَ لَـکُمَۡ اِنَّهَ الش َّۡيط ِنَؕ ُخ‬
ِ ‫طو‬ َ ‫ِ ُّمبِ ۡين‬
artinya:“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam
Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).

dan Q.S Al-Anfal (8): 61.

َ‫س ۡل َِم َجنَ ُح ۡوا َوا ِۡن‬ ۡ َ‫عَلَى َوتَ َوك ََّۡل لَ َها ف‬
َۡ َ‫اجن‬
َّ ‫ح ِلل‬ َّ ‫ۡالعََ ِل ۡي َُم ال‬
َِؕ ٰ َ‫س ِم ۡي َُع ُه ََو اِنَّه‬
َ ‫ّللا‬
Artinya: Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Perang diizinkan dalam
Islam adalah demi melindungi dakwah, mempertahankan diri dan atau melawan kezaliman, meski

3
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT Remaja Rosda
karya,Bandung,2004, hal 149-151
berperang bukanlah satu-satunya cara yang dikehendaki, bahkan terciptanya perdamaian adalah
lebih didambakan oleh Islam.4

b. Iman.
Pengertian Iman adalah membenarkan dengan hati, diikrarkan dengan lisan
dan dilakukan dengan perbuatan. Iman secara bahasa berasal dari kata Aaman-
Yu’minu-Iimaanan artinya meyakini atau mempercayai.
Iman, ialah: “tashdiq yang benar dan teguh yang disertai oleh ketundukkan
jiwa menerima dan menyerah “. Tanda-tandanya yang tidak terlepas dari padanya,
ialah: mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang di kehendaki oleh akuan jiwa itu.
Dengan ibarat yang lain boleh kita katakan iman,ialah : ketundukan ruh (jiwa)
kepada kebenaran dan mengakui benarnya kebenaran itu. Dan tunduk hati itu
tidaklah berhasil jika belum terkumpul:
a. membenarkan dengan hati (tashdiq qalbi)
b. mengakui dengan lidah (iqrar lisani) dan
c. mengerjakan dengan anggota (amal rukni)
Iman pula berasal daripada kata dasar al-amn yang berarti aman yaitu tiada
rasa takut. Pengertian iman dari segi istilah ialah mempercayai Allah SAW dan
rasul-Nya dengan pengucapan lidah dan kepercayaan dalam hati tanpa rasa syak
dan ragu.
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan “Qaulun wa amalun wa
niyyatun wa tamassukun bis Sunnah.” Yakni Ucapan diiringi dgn ketulusan niat dan
dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah .

‫سُُُُُ ِو ِه َوا ْليَ ْو ِم‬


ُ ‫ أَ ْن تُؤْ ِمنَ بِاللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬: ‫ان قَا َل‬ ِ ‫فَأ َ ْخبِ ْرنِي َع ِن اْ ِإل ْي َم‬
‫اآلخ ِر َوتُؤْ ِمنَ بِ ْالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش َِر ِه‬
ِ
(“ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “). (HR. Muslim)

4
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151
Supaya kita terhindar dari hal-hal yang dibenci oleh Allah maka harus
beriman kepada Allah dengan mengamalkan rukun iman.
Supaya iman kita tidak goyah dan rusak maka harus dihindari sifat-sifat sebagai
berikut:

a. Sifat munafik, yaitu orang yang pada lahirnya menunjukkan beriman, tetapi
dalam batinnya tidak percaya sedikitpun. Mereka adalah manusia yang
berpura-pura, mereka yang sikap lahirnya berbeda dengan sikap batinnya
merasa lebih kuat dan takut pada kenyataan.
b. Sifat Fasik, yaitu keluar dari jalan yang benar atau durhaka atau orang yang
melanggar aturan Allah.
c. Sifat kafir, yaitu tidak adanya pengakuan terhadap Allah dan Rasulnya.
d. Sifat murtad, yaitu orang yang keluar dari agama Islam dalam keadaan berakal
dan sadar.
e. Sifat riya, yaitu sifat yang melakukan sesuatu amal perbuatan untuk mencari
pujian atau sanjungan dari orang lain.
f. Sifat takabur, yaitu sikap yang merasa dirinya lebih pintar, lebih tinggi,
memandang orang lain lebih kecil dan rendah.

c. Ihsan
Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau
“terbaik.” Dalam terminologi tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah
melihat perbuatannya. Menurut Imam Nawawi, ihsan akan mendorong seseorang
agar sentiasa ikhlas dalam beribadat dan mengerjakan ibadat karena Allah SWT
semata-mata.
Ar-Raghib Al-ashfahanii dalam kitab Al-Mufradat berkata: “ihsan diartikan
dengan dua arti:
Pertama, memberikan ni’mat (kebajikan) kepada orang lain.
Kedua,mengetahui dengan baik sesuatu pengetahuan dan mengerjakan dengan baik
sesuatu perbuatan.
ُ‫ أَ ْن تَ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّ َك ت ََراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّه‬:‫انا قَا َل‬ َ ْ‫فَأ َ ْخ ِب ْرنِي َع ِن اْ ِإلح‬
ِ ُُُُ‫س‬
‫اك‬
َ ‫يَ َر‬
(“ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak
melihatnya maka Dia melihat engkau”)
Ihsan itu, lebih lengkap dari memberikan ni’mat. Allah memerintahkan kita para
hamba berbuat adil dan ihsan. Dari perintah itu dipahamkan bahwaanya ihsan, lebih
tinggi dari adil.
Adil, ialah: “memberikan hak orang yang ada pada kita dan mengambil dari orang
apa yang menjadi hak kita”. Adapun ihsan, ialah: “memberi lebih banyak dari yang
semestinya dan mengambil lebih kurang dari yang semestinya”. Ihsan lebih tinggi
dari adil, karena itulah adil diwajibkan, sedang ihsan dalam pengertian ini, tidak
diwajibkan. Demikianlah pengertian ihsan menurut lughah.
Dalam suatu hadits nabi s.a.w bersabda:

ْ ‫وى ُك ِل ش‬
‫َيء‬ َ ‫سانَ َع‬ َ ‫ا َِّن هللاَ َكت‬
َ ْ‫َب االِح‬
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu”.
Maka pahamkanlah, bahwasanya allah mewajibkan ihsan dalam segala
perbuatan kita yang kita hadapkan kepada allah, baik amalan hati, maupun amalan
jawarih. Pokok modal dari ihsan ialah: ikhlas. Jalan yang menghasilkan ikhlas,
ialah: menganggap bahwa kita dikala sedang beribadat, berdiri dihadapan Allah,
kita melihat dan kita memandang akan dia, kita dengar pembicaraanya. Hal yang
demikian ini menyebabkan kita berdaya upaya mengkhusyu’kan diri dan
membaguskan pekerjaan yang kita lakukan. Atau mengerjakannya dengan segala
kepandaian dan kecakapan yang ada pada kita. Inilah jalan yang pertama.
Jika jalan ini tak dapat kita tempuh, hendaklah kita tempuh jalan yang kedua, yaitu:
hendaklah kita berperasaan bahwasanya Allah melihat dan memandang segala
gerak-gerik kita, satupun tak ada yang luput dari penglihatannya.
Dengan uraian ini tegaslah bahwasanya ihsan, adalah ikhlas dan ikhlas itu
adalah jiwa kepercayaan (akidah dan jiwa ibadat anggota sesuatu yang aqidah yang
tidak berdasar ikhlas (ihsan) tidaklah diterima5

C. SUMBER AJARAN ISLAM.


Berdasarkan ayat-ayat al-Quran, khususnya QS. al-Nisa’ (4): 59 dan
salah satu hadis Nabi Muhammad saw. yang terkenal dengan hadis Muadz, karena
hadis ini terkait dengan apa yang akan dilakukan oleh shahabat Muadz
bin Jabal, dapat dipahami bahwa sumber ajaran Islam ada tiga macam, yaitu al-
Quran, Sunnah, dan ijtihad. Al-Quran sebagai sumber pertama kebenarannya
mutlak, meskipun pemahaman terhadapnya menjadi relatif. Sunnah atau hadis
sebagai sumber kedua tidak sama dengan Al-Quran. Secara wurud (sampainya
kepada kita) hadis tidak semuanya autentik seperti Al-Quran. Hadis ada yang shahih
(benar/autentik), ada yang hasan (baik/semi autentik), dan ada yang dlaif
(lemah/tidak autentik). Fungsi hadis yang pokok adalah sebagai penjelas dari Al-
Quran. Ijtihad sebagai sumber ketiga memberikan uraian yang lebih rinci di
samping penjelasan al-Quran dan hadis. Ijtihad diperlukan untuk menjawab
permasalahan yang muncul karena perkembangan zaman dan pemikiran umat
manusia. Dengan ijtihad inilah Islam akan selalu relevan dengan perkembangan
yang terjadi hingga kapan pun.

D. TUJUAN AGAMA ISLAM.


Tujuan agama islam :
1. Untuk mengenal, mengagungkan, dan mengesakan Allah. Dan mensifati
Allah dengan sifat-sifat kemuliaannya.
2. Mengajarkan cara beribadah atau menyembah Allah SWT.

5
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151
3. Mendorong untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah. Serta
beretika yang baik, yang mana etika itu bisa mengangkat manusia pada
derajat kemuliaan yang tinggi.
4. Menegakkan hukuman pada orang yang melampaui batas/melanggar aturan
main Allah.

E. PLURALITAS DALAM MASYARAKAT


Pluralitas adalah kondisi keberagaman. Sedangkan pluralitas, akar kata dari
plural. Plural berasal dari bahasa Inggris plural bermakana jamak atau lebih dari
satu. Jadi Pluralitas adalah kondisi keberagaman yang terdapat dalam suatu
bangsa yang mendorong tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Pluralitas ada
dalam islam salah satunya dalam Al Qur’an. Secara implisit, dalam Al qur’an
ada beberapa ayat yang isinya mengarah ada nilai-nilai pluralitas, misalnya:
1) Surat Al Hujarat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamusaling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamudi sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. (Qs. Al Hujarat ayat 13)
2) Surat Al Baqoroh Ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat.(Qs. Al Baqoroh Ayat 256).
3) Surat Yunus Ayat 99 :
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya.(Qs. Yunus Ayat 99)
4) Surat Al Maidah ayat 65:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, shabiin, dan
orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan
mereka tidak bersedih hati.(Qs. Al Maidah ayat 65)
5) Surat Al Mumtahanah ayat 9
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. (Qs. Al
Mumtahanah ayat 9)6

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.

Dari beberapa pembahasan di atas maka dapat di ambil kesimpulan :


1. Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama Islam yang
sesuai dengan dalil .
2. Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya
menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan.
Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya
menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan.
Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam.
Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan
jika Iman dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari
Iman dan Islam, yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan
Islam itu sendiri.
3. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh
karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha

6
12 http://www.christianpost.co.id/opini/20090728/4891/pluralitas-keagamaan-asset-atau-
liability
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut.
4. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati, Islam adalah
sikap aktif untuk berbuat/beramal,ihsan merupakan perwujudan dari iman dan
islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar iman dan islam itu
sendiri.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang
memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada
yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu Islam, kemudian tingkatan yang lebih
tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman
adalah ihsan.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini mungkin masih terdapat kesalahan atau
kekurangan, baik dalam hal materi referensi atau penulisan. Oleh karena itu,
penyusun meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca serta meminta
kritik dan saran agar penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Naquib al-Attas, Syed Muahammad. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur:
Institut Antar Bangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam [ISTAC].

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Luring, dari kata “agama”

1
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT Remaja Rosda
karya,Bandung,2004, hal 149-151
1
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151

Jamal, Misbahuddin. "Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’ an." Al-Ulum 11.2 (2011): 283-310.

DIANA, Rashda. Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam. TSAQAFAH, 2017, 13.1: 157-
176.

UMAM, Muchammad Helmi. Pandangan Islam tentang Korupsi. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan
Pemikiran Islam, 2013, 3.2: 462-482.

SODIKIN, R. Abuy. Memahami Sumber Ajaran Islam. Al Qalam, 2003, 20.98-99: 1-20.

KHOTIMAH, Indah Husnul. Studi Hadits: Polemik Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam. Jurnal
Hikmah, 2018, 4.8: 1-17.

SHODIQ, Sadam Fajar. Revival Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Pai) Di Era
Revolusi Industri 4.0. At-Tajdid: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam, 2019, 2.02.

SYAFE'I, Imam. Tujuan Pendidikan Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 2015, 6.2:
151-166.

Anda mungkin juga menyukai