Kelompok 3 TM-1A:
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep agama.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan agama islam.
3. Mengetahui sumber-sumber ajaran islam.
4. Mengetahui tujuan agama islam.
5. Mengetahui apa yang dimaksud dari pluralitas dalam Masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Agama
1
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: Institut Antar
Bangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam [ISTAC], 2001)
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Luring, dari kata “agama”
perasaan memohon kepada Zat Yang Mahatinggi tersebut dengan harap dan
cemas, serta dalam kondisi ketundukan dan kepasrahan serta pengagungan”.
B. Dimensi Islam
Dimensi berarti parameter atau pengukuran yang dibutuhkan untuk
mendefinisikan sifat-sifat suatu obyek baik itu panjang, lebar, dan tinggi
atau ukuran dan bentuk. Pengertian dimensi dalam Oxford Dictionary yaitu
dari kata “dimension” yang artinya:
1) ukuran dari panjang, lebar atau berat dari sesuatu,
2) ukuran dan luas dari suatu situasi,
3) aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan.
Adapun dimensi-dimensi Islam yang dimaksud pada bagian ini
adalah sisi keislaman seseorang, yaitu iman, islam, dan ihsan. Nurcholish
Madjid menyebutnya sebagai trilogi ajaran Ilahi. Dimensi pemikiran Islam
yaitu aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan pada pandangan
atau kepercayaan dari kelompok atau seseorang terhadap Islam.
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam
masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi
Muhammad saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi:
“Nabi Muhammad saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang
datang menghadap beliau dan bertanya:” Hai Rasul Allah, apakah yang
dimaksud dengan iman ? ”Beliau menjawab: ”Iman adalah engkau percaya
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para
utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian
bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan Islam ?” Beliau menjawab:
“Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya,
engkau tegakkan shalat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau
berpuasa pada bulan Ramadan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi:
“Apakah yang dimaksud dengan ishan ?” Nabi Muhammad saw menjawab:
“Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau
tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu.
Hadis di atas memberikan ide kepada umat Islam Sunni tentang rukun
iman yang enam, rukun islam yang lima dan penghayatan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa hadir dalam hidup. Sebenarnya, ketiga hal itu hanya dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara satu dan yang lainnya
memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti Islam tidak
absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan
adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam. Dalam
penelitian lebih lanjut, sering terjadi tyumpang tindih antara tiga istilah
tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman
dan ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sisi itulah,
Nurcholish Madjid (1994:463) melihat iman, Islam, dan ihsan sebagai
trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur,
yaitu Islam, iman, dan ihsan. Dalam tiga unsur tersebut, terselip makna
kejenjangan (tingkatan): orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang
ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Dengan penjelasan yang agak berbeda, Ibnu Taimiah menjelaskan
sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci
dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun
masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-
Islam,suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kedua, orang yang
menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang
mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; dan ketiga,
perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim)
berkembang perbuatan kebajikannya sehingga ia ,enjadi pelomba (sabiq)
perbuatan kebajikan; maka ia mencapai derajat ihsan. “Orang yang telah
mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Taimiah, “akan masuk surga tanpa
mengalami azab.” (Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman
(ed.), 1994:465)3
1. Islam
Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami pengertian
Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dari sisi kebahasaan, Islam berasal dari bahsa Arab yaitu kata
salama yang mengandung arti selamat, sentyosa dan damai. Kata salama
kemudian diubah menjadi aslama yang berarti berserah diri, masuk dalam
kedamaian. Kita dapat menyimpulkan bahwa kata Islam dari sisi
kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada
Tuhan, dalam upaya mencari kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia
danj di akhirat kelak sebagaimana yang tertera pada Q.S Al-Baqarah (2):
208
تَتَّبِعُ ۡوا َو ََل ِ َکآٰفَّةَ ۡل َِمِِالسَ فِى ۡاد ُخلُ ۡوا ا َمنُوا الَّذ ِۡي َنَ يٰٓاَيُّ َها
َت ُ عدُوَ لَـکُمَۡ اِنَّهَ الش َّۡيط ِنَؕ ُخ
ِ طو َ ِ ُّمبِ ۡين
artinya:“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam
Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).
َس ۡل َِم َجنَ ُح ۡوا َوا ِۡن ۡ َعَلَى َوتَ َوك ََّۡل لَ َها ف
َۡ َاجن
َّ ح ِلل َّ ۡالعََ ِل ۡي َُم ال
َِؕ ٰ َس ِم ۡي َُع ُه ََو اِنَّه
َ ّللا
Artinya: Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Perang diizinkan dalam
Islam adalah demi melindungi dakwah, mempertahankan diri dan atau melawan kezaliman, meski
3
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT Remaja Rosda
karya,Bandung,2004, hal 149-151
berperang bukanlah satu-satunya cara yang dikehendaki, bahkan terciptanya perdamaian adalah
lebih didambakan oleh Islam.4
b. Iman.
Pengertian Iman adalah membenarkan dengan hati, diikrarkan dengan lisan
dan dilakukan dengan perbuatan. Iman secara bahasa berasal dari kata Aaman-
Yu’minu-Iimaanan artinya meyakini atau mempercayai.
Iman, ialah: “tashdiq yang benar dan teguh yang disertai oleh ketundukkan
jiwa menerima dan menyerah “. Tanda-tandanya yang tidak terlepas dari padanya,
ialah: mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang di kehendaki oleh akuan jiwa itu.
Dengan ibarat yang lain boleh kita katakan iman,ialah : ketundukan ruh (jiwa)
kepada kebenaran dan mengakui benarnya kebenaran itu. Dan tunduk hati itu
tidaklah berhasil jika belum terkumpul:
a. membenarkan dengan hati (tashdiq qalbi)
b. mengakui dengan lidah (iqrar lisani) dan
c. mengerjakan dengan anggota (amal rukni)
Iman pula berasal daripada kata dasar al-amn yang berarti aman yaitu tiada
rasa takut. Pengertian iman dari segi istilah ialah mempercayai Allah SAW dan
rasul-Nya dengan pengucapan lidah dan kepercayaan dalam hati tanpa rasa syak
dan ragu.
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan “Qaulun wa amalun wa
niyyatun wa tamassukun bis Sunnah.” Yakni Ucapan diiringi dgn ketulusan niat dan
dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah .
4
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151
Supaya kita terhindar dari hal-hal yang dibenci oleh Allah maka harus
beriman kepada Allah dengan mengamalkan rukun iman.
Supaya iman kita tidak goyah dan rusak maka harus dihindari sifat-sifat sebagai
berikut:
a. Sifat munafik, yaitu orang yang pada lahirnya menunjukkan beriman, tetapi
dalam batinnya tidak percaya sedikitpun. Mereka adalah manusia yang
berpura-pura, mereka yang sikap lahirnya berbeda dengan sikap batinnya
merasa lebih kuat dan takut pada kenyataan.
b. Sifat Fasik, yaitu keluar dari jalan yang benar atau durhaka atau orang yang
melanggar aturan Allah.
c. Sifat kafir, yaitu tidak adanya pengakuan terhadap Allah dan Rasulnya.
d. Sifat murtad, yaitu orang yang keluar dari agama Islam dalam keadaan berakal
dan sadar.
e. Sifat riya, yaitu sifat yang melakukan sesuatu amal perbuatan untuk mencari
pujian atau sanjungan dari orang lain.
f. Sifat takabur, yaitu sikap yang merasa dirinya lebih pintar, lebih tinggi,
memandang orang lain lebih kecil dan rendah.
c. Ihsan
Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau
“terbaik.” Dalam terminologi tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah
melihat perbuatannya. Menurut Imam Nawawi, ihsan akan mendorong seseorang
agar sentiasa ikhlas dalam beribadat dan mengerjakan ibadat karena Allah SWT
semata-mata.
Ar-Raghib Al-ashfahanii dalam kitab Al-Mufradat berkata: “ihsan diartikan
dengan dua arti:
Pertama, memberikan ni’mat (kebajikan) kepada orang lain.
Kedua,mengetahui dengan baik sesuatu pengetahuan dan mengerjakan dengan baik
sesuatu perbuatan.
ُ أَ ْن تَ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّ َك ت ََراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّه:انا قَا َل َ ْفَأ َ ْخ ِب ْرنِي َع ِن اْ ِإلح
ِ ُُُُس
اك
َ يَ َر
(“ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak
melihatnya maka Dia melihat engkau”)
Ihsan itu, lebih lengkap dari memberikan ni’mat. Allah memerintahkan kita para
hamba berbuat adil dan ihsan. Dari perintah itu dipahamkan bahwaanya ihsan, lebih
tinggi dari adil.
Adil, ialah: “memberikan hak orang yang ada pada kita dan mengambil dari orang
apa yang menjadi hak kita”. Adapun ihsan, ialah: “memberi lebih banyak dari yang
semestinya dan mengambil lebih kurang dari yang semestinya”. Ihsan lebih tinggi
dari adil, karena itulah adil diwajibkan, sedang ihsan dalam pengertian ini, tidak
diwajibkan. Demikianlah pengertian ihsan menurut lughah.
Dalam suatu hadits nabi s.a.w bersabda:
ْ وى ُك ِل ش
َيء َ سانَ َع َ ا َِّن هللاَ َكت
َ َْب االِح
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu”.
Maka pahamkanlah, bahwasanya allah mewajibkan ihsan dalam segala
perbuatan kita yang kita hadapkan kepada allah, baik amalan hati, maupun amalan
jawarih. Pokok modal dari ihsan ialah: ikhlas. Jalan yang menghasilkan ikhlas,
ialah: menganggap bahwa kita dikala sedang beribadat, berdiri dihadapan Allah,
kita melihat dan kita memandang akan dia, kita dengar pembicaraanya. Hal yang
demikian ini menyebabkan kita berdaya upaya mengkhusyu’kan diri dan
membaguskan pekerjaan yang kita lakukan. Atau mengerjakannya dengan segala
kepandaian dan kecakapan yang ada pada kita. Inilah jalan yang pertama.
Jika jalan ini tak dapat kita tempuh, hendaklah kita tempuh jalan yang kedua, yaitu:
hendaklah kita berperasaan bahwasanya Allah melihat dan memandang segala
gerak-gerik kita, satupun tak ada yang luput dari penglihatannya.
Dengan uraian ini tegaslah bahwasanya ihsan, adalah ikhlas dan ikhlas itu
adalah jiwa kepercayaan (akidah dan jiwa ibadat anggota sesuatu yang aqidah yang
tidak berdasar ikhlas (ihsan) tidaklah diterima5
5
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151
3. Mendorong untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah. Serta
beretika yang baik, yang mana etika itu bisa mengangkat manusia pada
derajat kemuliaan yang tinggi.
4. Menegakkan hukuman pada orang yang melampaui batas/melanggar aturan
main Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
6
12 http://www.christianpost.co.id/opini/20090728/4891/pluralitas-keagamaan-asset-atau-
liability
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut.
4. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati, Islam adalah
sikap aktif untuk berbuat/beramal,ihsan merupakan perwujudan dari iman dan
islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar iman dan islam itu
sendiri.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang
memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada
yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu Islam, kemudian tingkatan yang lebih
tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman
adalah ihsan.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini mungkin masih terdapat kesalahan atau
kekurangan, baik dalam hal materi referensi atau penulisan. Oleh karena itu,
penyusun meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca serta meminta
kritik dan saran agar penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Naquib al-Attas, Syed Muahammad. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur:
Institut Antar Bangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam [ISTAC].
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Luring, dari kata “agama”
1
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT Remaja Rosda
karya,Bandung,2004, hal 149-151
1
Drs. Atang Abd. Hakim, Ma. Dan Dr. Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam,PT
RemajaRosdakarya,Bandung,2004, hal 149-151
Jamal, Misbahuddin. "Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’ an." Al-Ulum 11.2 (2011): 283-310.
DIANA, Rashda. Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam. TSAQAFAH, 2017, 13.1: 157-
176.
UMAM, Muchammad Helmi. Pandangan Islam tentang Korupsi. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan
Pemikiran Islam, 2013, 3.2: 462-482.
SODIKIN, R. Abuy. Memahami Sumber Ajaran Islam. Al Qalam, 2003, 20.98-99: 1-20.
KHOTIMAH, Indah Husnul. Studi Hadits: Polemik Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam. Jurnal
Hikmah, 2018, 4.8: 1-17.
SHODIQ, Sadam Fajar. Revival Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Pai) Di Era
Revolusi Industri 4.0. At-Tajdid: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam, 2019, 2.02.
SYAFE'I, Imam. Tujuan Pendidikan Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 2015, 6.2:
151-166.