Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KE-3 TUTORIAL ONLINE

PENDIDIKAN AGAMA HINDU

OLEH

I KOMANG AGUS PARNAWAN

NIM : 048066814

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS TERBUKA

TAHUN 2023
PERTANYAAN
1. Dalam Agama Hindu, permasalahan moralitas (etika) menjadi ruang lingkup ajaran
susila, salah satu sebagai landasan sastra ajaran susila yaitu Manawadharmasatra. Apa
makna yang dikandung dalam Manawadharmasasra, sloka Sloka 161? Jelaskan
jawaban Anda!
2. Tat Twam Asi sebagai ajaran tanpa batas dalam penerapan Etika dalam Kehidupan.
Mengapa dikatakan demikian? Jelaskan jawaban Anda!
3. Seni bagi masyarakat Hindu adalah tidak dapat dilepaskan dari seni untuk
menunjukkan rasa bhakti kepada Tuhan. Mengapa demikian? Jelaskan jawaban Anda!
4. Sering kita jumpai pada saat upacara keagama Hindu ada pertunjukan seni tari salah
satunya adalah tarian Siva Nataraja. Menurut Suamba, tarian Siva Nataraja
mengandung 5 simbol. Apa saja simbol tersebut? Dan apa makna tarian tersebut?
Jelaskan jawaban Anda!
5. Sering kita jumpai pada saat upacara keagamaan Hindu tidak lepas dari Dharmagita.
Apa makna Dharmagita menurut kitab Brahad Aryanaka Upanisad ?Jelaskan jawaban
Anda!
JAWABAN

1. Dalam Gama Hindu, permasalahan moralitas (etika) menjadi ruang lingkup ajaran
Susila. Secara kebahasaan, kata Susila merupaan Bahasa Sanskerta yang berawal dari
dua suku kata, yiatu su yang berarti baik dan sila yang berarti dasar, prinsip, peraturan
hidup, atau norma. Jadi, kata Susila adalah prinsip peraturan atau norma hiudp yang
biak dan bagus. Istilah Susila pun mengandung pengertian peraturan hidup yang lebih
baik. Dengan demikian, Susila merupakan kebiasaan atau tingkah laku perbuatan
manusia yang baik.
Kitab Manawa dharmasastra terdiri atas 12 bab yang berisi berbagai ajaran yang
sangat luas, seperti penciptaan, sumber hukum dharma, perkawinan, cara mencari
sumber kehidupan, makanan yang diperbolehkan dan dilarang, wanaprastha, asal usul
tugas dan kewajiban kepala negara, masalah hukum, kewajiban suami istri, dan lain-
lain. Salah satu sloka yang menjadi acuan tentang permasalahan moralitas (etika)
dalam ruang lingkup ajaran Susila adalah Manawa dharmasastra sloka 161, yang
isinya :

“narumtudah syad arto’pi na paradroha karmadhih,


yayasyadvijate vaca nalokyam tamudarayet.”

Artinya :
“Meski marah atau sedih, janganlah memakai kata kasar, janganlah menyakiti orang
lain dalam pikiran, jangan berkata yang menyebabkan orang lain takut, hal itu dapat
menghalangi mencapai surga.”

1. Tat twam asi merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, sebaliknya
kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain
berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, antara saya dan kamu
sesungguhnya bersaudara. Hakikat atman yang menjadikan hidup antara saya dan
kamu berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh
mahluk hiudp merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama mhaluk
ciptaan Tuhan.
Ajaran tat twam asi mengajak setiap penganut agama untuk turut merasakan apa yang
sedang dirasakan orang lain. Tat twam asi merupakan kata kunci untuk dapat
membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar yang saling asah, asih, dan
asuh. Dalam Sarasamuccaya.317 dijelaskan sebagai berikut :

“orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana Budiman yang
rendah hati maupun terhadap mahluk hidup lainnya. Orang yang hina papa sekalipun,
perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu
hendaknya sebagai balasannya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbuatan
jahat sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakikatnya akan menghancurkan
dirinya sendiri (Kajeng, 2009: 248)”

2. Agama Hindu tidak dapat dilepaskan dari seni karena setiap praktik keagamaan Hindu
tidak pernah tidak disertai dengan kesenian. Baik itu seni suara, seni tari, seni
kerawitan, maupun seni rupa. Tiga kerangka dasar agama Hindu adalah tatwa, etika,
dan ritual. Ketiga kerangka tersebut menjadi satu kesatuan. Selanjutnya, dalam
mempraktekkan ajaran agama Hindu, tidak terlepas dari tiga hal, yaitu satyam, sivam,
dan Sundaram. Satyam adalah kebenaran. Sivam adalah kebijaksaan. Sundaram
adalah keindahan, yaitu apabila seseorang selalu berbuat yang benar dan bijaksana,
jiwanya akan memancarkan keindahan dan hidupnya pun akan menjadi indah. Begitu
pula sebaliknya, keindahan atau jiwa seni yang dimiliki oleh seseorang akan membuat
ia menjadi orang yang bijaksana dan menjunjung kebenaran.
Dengan seni jiwa umat bisa tercerahkan, karena seni keagamaan yang sering
dipentaskan di setiap upacara dapat membentuk kepribadian yang estetis pada umat
Hindu. Seni keagamaan apapun bentuk tujuannya hanya ditujukan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa sebagai wujud rasa bhakti sehingga jauh dari niat pamrih. Oleh
karena seni keagamaan ini ditujukan kepada para dewa, seni ini bersifat religius. Sifat
religius dapat membentuk jiwa estetis pada umat manusia.
Agama tanpa diperkaya oleh seni akan menjadi gersang dan tidak menarik. Begitu
pula seni tanpa dijiwai oleh agama (kebenaran), seni itu tidak akan memiliki tujuan
untuk kebenaran sehingga tidak dapat membuat orang menjadi bijaksana. Itulah
sebabnya praktik-praktik agama Hindu, baik di Bali maupun di India, tidak bisa
dijauhkan dari seni.

3. Tarian di Bali sumber filosofinya adalah Siva Nataraja, yaitu Dewa Siwa sebagai
penari kosmis. Maksudnya, Dia sedang menari dengan riang gembira. Konsep tarian
Siva Nataraja ini merupakan spirit tarian di Bali yang berjiwa religius. Menurut
Suamba (2003: 7), Siva Nataraja merupakan simbolisasi dari lima aktivitas Tuhan
yang disebut pancakrtya, antara lain :
1. Srihthi (penciptaan)
2. Sthiti (pemeliharaan)
3. Samhara (penghancuran)
4. Tirabhava (pengaburan)
5. Anugraha (anugerah)

Oleh karena itu, seni tarian bersumber dari Siva Nataraja sehingga setiap tarian
memiliki spirit untuk kesucian dan pembebasan. Oleh karena itu, dapat membangun
kepribadian orang menjadi indah, bijaksana, dan mengagungkan kebenaran.

5. Setiap upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu selalu disertai dengan
pancagita yang dapat membangkitkan rasa sukacita dan khusyuk dalam melaksanakan
puja dan bakti. Pancagita tersebut, antara lain seuara mantra, suara kidung, suara
kulkul, suara gamelan, dan suara genta. Kelimat genta tersebut pada saat bersuara
berbarengan kedengarannya harmonis dan membuat setiap umat tersentuh akan
kebesaran Tuhan. Makna dan fungsi Dharma gita dapat kita jumpai dalam kitab suci
Weda dan juga dalam beberapa susastra Hindu lainnya. Seperti pada Brahad Aryanaka
Upanisad yang menyebutkan bahwa kidung suci yang dilagukan dalam
persembahyangan /pelaksaan yajna dapat menumpas kejahatan. Selanjutnya,
dijelaskan bahwa doa persembahyangan/kidung suci kekuatannya ada dalam mulut
yang disebut Ayasya Anggirasa karena merupakan inti sari rasa dari tubuh. Mereka
yang mengetahui rahasia ini dijauhkan dari kematian dan nantinya menuju surga
(Watra, 2006: 222).

Anda mungkin juga menyukai