Anda di halaman 1dari 14

Filsafat Sosial Serat Sastra Gending

by Damardjati Supadjar

3.64 Rating Details 11 Ratings 0 Reviews

Serat Sastra Gending yang saat ini banyak diyakini buah


karya Sultan Agung Hanyokro Kusumo adalah salah satu
karya adiluhung bangsa kita. Di dalamnya berisi tentang
ajaran-ajaran kebijakan yang mencakup ajaran mistis,
sosial, politik dan filsafat. Dalam bait-bait sastra gending
banyak yang telah dimasukkan bahasa Islam ataupun
ajaran Islam meskipun dapat dilihat ajaran atau bahasa
yang digunakan masih sangat awam. Hal ini disebabkan
ajaran yang Islam masih bersifat kejawen karena pada
masa itu Islam belum benar-benar dipeluk oleh kalangan
masyarakat Jawa. (less)
Serat Sastra Gending yang saat ini banyak diyakini buah karya Sultan
Agung Hanyokro Kusumo adalah salah satu karya adiluhung bangsa
kita. Di dalamnya berisi tentang ajaran-ajaran kebijakan yang mencakup
ajaran mistis, sosial, politik dan filsafat. Dalam bait-bait sastra gending
banyak yang telah dimasukkan bahasa Islam ataupun ajaran Islam
meskipun dapat dilihat ajaran atau bahasa yang digunakan masih
sangat awam. Hal ini disebabkan ajaran yang Islam masih bersifat
kejawen karena pada masa itu Islam belum benar-benar dipeluk oleh
kalangan masyarakat Jawa. Banyak kearifan, pandangan hidup dan
falsafah yang oleh orang Jawa diklaim sebagai khas Jawa ternyata bisa
ditemukan akar ke-Islamannya. Hal inilah yang menjadikan Islam
dengan mudah diterima oleh berbagai kalangan terutama masyarakat
pesisir dan pedesaan. Adapu para sastrawan dan priyayi yang tidak
ingin warisan nenek moyang mereka hilang begitu saja karena
datangnya Islam, mereka menggabungkan budaya warisan mereka
dengan ajaran Islam. Sultan Agung sendiri merangkul ulama-ulama dan
kerajaan-kerajaan Islam salah satu maksud dan tujuannya adalah untuk
memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Sultan Agung menginginkan
semua kerajaan di nusantara berada di bawah kekuasaan Mataram.
Serat Sastra Gending mengajarkan tentang monodualisme, dimana dua

hal saling berkaitan, saling membutuhkan dan saling mendukung satu


sama lain sehingga dari kesatuan tersebut terciptalah suatu harmoni.
Dalam hal ini Sastra Gending mengibaratkan monodualis antara
pencipta dan yang dicipta, ibu dan bapak, ikan dan lautan, busur dan
panah, dalang dan wayang. Monodualis tersebut harus berjalan
beriringan, mereka tidak bisa berjalan sendiri-sendiri karena tidak akan
bermanfaat bagi satu dengan yang lain. Skripsi ini bersifat content
analysis yaitu suatu tehnik yang sistematik untuk menganalisa makna
dan cara mengungkapkan pesan. Adapun metode yang digunakan
dalam pengolahan data adalah metode deskriptif analitik yaitu semua
data yang diperoleh melalui pustaka dikumpulkan kemudian data
disausun dan dianalisa.

Sebuah naskah kuno sarat akan makna dan nilai


kearifan hidup. Namanya Nitisruti. Diduga berasal dari
Tatar Sunda. Nitisruti, Bahasa Sansekerta, terdiri dari kata
niti dan sruti. Niti bisa berarti cara menjalankan
kebenaran, tingkah laku yang benar, peraturan,
kebijaksanaan,ilmu tata negara, atau rencana yang
ditimbang dengan baik. Sedangkan sruti, artinya
pemberitahuan, ilmu pengetahuan suci yang
disebarluaskan, atau kitab suci tentang tuntunan
kebenaran. Nitisruti dapat disimpulkan sebagai kitab
pedoman atau aturan hidup di dunia (ageman) demi
kebaikan umat manusia. Naskah ini memuat ajaran-ajaran
moral. Termasuk jfuga, hal-hal mistik.
Naskah Nitisruti kini menjadi koleksi Balai pengelolaan
Museum Sri Baduga ditulis dengan tinta hitam di atas
kertas watermarks bergaris, warna krem kecoklatan. Teks
ditulis dengan cara Cacarakan. Berbahasan Jawa Kuno,
Jawa Pertengahan dan Jawa Baru. Pada kolofon tertera,
naskah ditulis pada tanggal 15, bulan Sura, tahun Wawu
(1513 Masehi). Bila melihat pada kertas yang digunakan,
yang berasal dari abad ke-19 Masehi, naskah Nitisruti ini
jelas merupakan sebuah salinan dari naskah yang lebih

tua. Juga, merupakan naskah gubahan yang disusun dalam


bentuk tembang macapat. Tembang ini mengisyaratkan
kehadiran orang lain dalam penulisan naskah.
Identitas penulis, ataupun penyalin Nitisruti, tak diketahui
(anonim). Meskipun demikian dapat diperkirakan, ia adalah
seorang guru, kyai, pendeta atau pujangga hidup pada
sekitar tahun 1513 Masehi. Ia menguasai soal-soal ajaran
agama, atat kehidupan masyarakat, atau aturan-aturan
hukum. Ia mempunyai hubungan dekat dengan kalangan
istana, atau masyarakat di Tanah Jawa. Pengetahuan
tentang kebudayaan leluhur rupanya juga dikuasainya.
Dan yang pasti, ia memiliki pengetahuan tentang agama
Hindu, Buddha dan Islam. Ini tampak pada penyebutan
Kanjeng Nabi, Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Haji Saka,
Empu Widayaka, Wiradarma, Astabrata, Sabdatama, Hyang
Brahma, Hyang Bayu, Sanghyang Yama, Sanghyang
Candra, Dewa Indra, atau Sanghyang Kuwera. Penulis
Nitisruti ini diduga berasal dari Tatar Sunda, karena
penyebutan Hyang lebih dominan daripada Dewata.
Naskah Nitisruti intinya berisi tentang ajaran atau
pedoman hidup yang patut diteladani. Ajarannya
dimaksudkan bagi kehidupan manusia untuk mencapai
kemajuan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian.
Selain moralitas atau tatakrama, Nitisruti juga berbicara
tentang hukum, filsafat, sastra, atau pengetahuan lainnya
yang berkaitan dengan upaya manusia dalam mencari
ketenangan dan kebahagiaan, berdasarkan kebenaran.
Dahulu para ahli bahasa memang sangat terpikat pada
pengetahuan tentang kehidupan sejati.
Dalam ajaran Nitisruti, yang harus disembah adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Pencipta alam semesta. Nabi, pendeta,
cendikiawan, atau para dewa, semuanya hanyalah
perantara, yang sudah menguasai pengetahuan tentang
kebenaran sejati. Namun kebenaran yang demikian itu,

sesungguhnya tak terbuka dalam hati manusia yang tidak


memiliki pengetahuan, pemikiran, atau budi pekerti dan
budi bahasa yang baik. Oleh karena itu, haruslah kita terus
berusaha mengambil teladan dari para nabi, pendeta,
dewa (hyang), dan cendikiawan yang sudah menjadi
kemuliaan sejati. Manusia yang telah memahami hal
tersebut, dikatakan sebagai sarana sejati. Inilah tujuan
utama ajaran Nitisruti.
Nilai-nilai kearifan dalam naskah Nitisruti kiranya dapat
menjadi acuan hidup bagi orang banyak. Sebagaimana
konsep tindakan dan pikiran, misalnya, Nitisruti
mengajarkan bahwa untuk melakukan suatu tindakan,
sebelumnya kita harus menstimulasi tindakan tersebut
dalam pikiran kita, dengan mempertimbangkan
kemampuan dan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan
yang dapat diterapkan dalam melakukan tindakan,
merupakan hasil dari pemikiran yang tepat. Di sini, niat
dan tekad juga harus sanggup bersatu. Apalagi dalam
melakukan pekerjaan yang berat. Yang memiliki banyak
kesulitan. (Sri Mulyati, dari berbagai sumber)

NITI SASTRA
Pengertian Niti Sastra
Kata Niti Sastra memang sudah tidak asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi
masyarakat yang awam masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih
mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan tentang ilmu
kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat dan pendidikan.
Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit
juga berpandangan bahwa Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan. Berikut pandangan para ahli
mengenai ajaran Niti Sastra:
Anandakusuma (1986) dalam kamus bhasa Balinya mengatakan bahwa Niti berarti undangundang mengatur negeri sedangkan sastra berarti pelajaran agama dan pelajaran dharma.
Menurut Athur Antoni Macdonell mengatakan bahwa Niti Sastra berasal dari kata Niti dan
Sastra. Niti dalam bahasa sansekertanya berarti kebijaksanaan duniawi atau juga berarti etika sosial
politik Niti juga berarti menuntun. Sedangkan sastra diartikan doa berarti pujaan.
Menurut Dr. Rajendra Misrhra pengetahuan Niti Sastra adalah ditactic poem atau Upadesa
Kavya yaitu karya sastra yang bersifat mendidik.
Dari sekian banyak pandangan mengenai Niti Sastra dapat disimpulkan bahwa Niti Sastra
berarti ilmu pengetahuan tentang moralitas yang mengajarkan tentang bagaimana mendidik,

membimbing, memimpin, bertingkal laku serta menjalani kehidupan berdasarkan dharma atau
kebenaran.

Rsi Canakya
Dari beberapa pendapat para ahli memang meragukan bahwa yang menyusun Kitab Arthasastra
adalah Canakya. Beliau juga mengakui bahwa penyusunan karyanya berdasarkan atas kitab-kitab
serupa pada masa lalu. Penyusunan kitab Arthasastra memang sangatlah banyak ditemukan dan selalu
bertuliskan tentang Canakya didalamnya. Rupanya ini ada kaitannya tentang ramalan bahwa Canakya
adalah penghancur Raja Nanda yang ada dalam kitab-kitab Purana yaitu Visnu Purana dan Bhagavata
Purana. Dari ramalan tersebut dapat disimpulkan bahwa memang benar Canakya yang menghancurkan
Raja Nanda dan menempatkan Candragupta sebagai Raja. Canakya juga disebut dengan Wisnugupta
yang berarti seorang menteri negara, ahli politik, tokoh agamawan (Brahmana) adalah orang yang
dianggap sebagai penulis karya yang agung.

Tujuan Ajaran Niti Sastra


Berbicara mengenai ruang lingkup tentu saja Niti sastra mencakup ruang lingkup yang sangat luas.
Cakupannya adalah dalam segi Pemerintahan, Kepemimpinan, Moralitas, Perekonomian, Bhakti dan
segala yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari. Tujuan mepelajari Niti Sastra adalah agar
tercapainya tujuan dharma atau disebut dengan dharma Sidhyartha. Dalam mencapai kebenaran
hendaknya harus mempertimbangkan lima unsur yang disebut dengan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan
Tattwa. Dengan tercapainya Dharma Sidhyartha Hindu juga mempunyai tujuan yaitu mencapai
Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Niti Sastra dalam Diri


Ajaran Niti Sasrta hendaknya dipahami dan diterapkan dalam diri kita terlebih dahulu sehingga
kita mudah memberikan contoh kepada oranglain sebelum masuk ke masyarakat. Ada tiga perbuatan
dalam diri yang harus disucikan atau yang sering disebut dengan Tri Kaya Parisudha yaitu Manacika
Parisudha (berfikir yang baik), Wacika Parisudha (berkata yang baik), Kayika Parisudha (berbuat baik).
Niti Sastra Dalam Keluarga
Keluarga adalah bagian terdekat dalam hidup kita, karena bersama mereka kita habiskan sisa
waktu kita. Baik buruknya keluarga akan berpengaruh dalam diri kita. Kita sebagai anggota keluarga
hendaknya berusaha selalu menciptakan suasana yang enak dalam keluarga.
a. Peran seorang Suami/ayah
Dalam keluarga hendaknya ayah selalu berperan menjadi kepala keluarga, yang bertugas melindungi
dan membimbing keluarganya. Seorang ayah hendaknya memberikan bekal kepada putra-putrinya
untuk meniti masa depannya. Bekal yang diberikan tidak hanya berupa materi melainkan pengetahuan.
Karena pengetahuan tidak akan pernah habis, dan dengan pengetahuan juga akan membuat orang di
hormati.
b. Peran seorang Istri
Seorang ibu yang baik harus bisa melayani suami serta anak-anaknya dengan tulus iklas. Suami serta
putranya adalah tempat bergantung seorang istri apabila sudah tua nanti. Baik atau buruknya seorang
istri akan berpengaruh kepada suami serta anak-anaknya, hendaknya seorang istri harus memiliki sifat
yang suci dan mulia.
c. Tugas seorang Putra
Seorang putra ataupun putri yang dilahirkan dalam keluarga tentu akan melewati empat tahapan yang
sering disebut Catur Asrama. Pada seorang putra yang belum menikah dikatakan dalam masa
Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu. Ketika memasuki masa Brahmacari hendaknya memusatkan
pikiran sepenuhnya pada ilmu pengetahuan agar ilmu yang didapat sempurna hasilnya.

Niti Sastra dalam Masyarakat


Penerapan ajaran Niti sastra dimasyarakat sudah ada sejak zaman dahulu meski belum diketahui
sesungguhnya itu merupakan ajaran Niti Sastra. Karena pada masyarakat terdiri dari banyak keluarga
dan memiliki pola pikir yang berbeda maka agak susah untuk menerapkan ajaran sastra kecuali mereka
yang mengerti tentang makna sastra. Pada kehidupan dimasyarakat terdapat banyak sekali orang yang
memiliki sifat-sifat yang berbeda, ada yang bersifat baik, ada juga yang bersifat kurang baik. Dengan
pengetahuan seseorang mampu memilah mana yang baik dan mana yangkk kurang baik. Jadi
hendaknya pengetahuan harus selalu dipraktekkan untuk membantu ses;ama.
a. Memilih Sahabatkk
kSahabat yang sejati adalah sahabat yang selalu datang dan menyelamatkan seseorang dkalam keadaan

apapun. Tujuan memiliki sahabat adalah untuk berbagi antar suka dan duka. Dalam memilih sahabat
juga harus mempertimbangkan banyak hal, jangan sampai memiliki sahabat yang hanya memanfaatkan
kita saja.
b. Kewaspadaan
Kewaspadaan menuntun seseorang untuk selalu berkata, bersikap, dan melakukan seseuatu dengan
hati-hati. Dengan kewaspadaan seseorang bisa mencapai atau meraih suatu keberhasilan. Sikap yang
selalu waspada pada diri seseorang itu sangat diperlukan kapanpun dan dimanapun.
c. Kebahagiaaan
Semua makhluk yang masih mempunyai pemikiran pasti menginginkan kebahagiaan. Beranekaragam
hal yang bisa membuat orang menjadi bahagia. Kebahagiaan itu akan hilang apabila orang tersebut
selalu melihat hal yang lebih dengan ego dan tanpa mensyukuri apa yang dimiliki.

Kepemimpinan Hindu
A. Pengertian Pemimpin
Pemimpin berarti oarang yang memimpin atau menuntun, juga memiliki padanan kata dalam bahasa
Ingris yaitu leader. Sedangkan Kepemimpinan adalah suatu kemampuan dalam membimbing atau
menuntun yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat sebagai seorang pemimpin sudah ada semenjak
kita dilahirkan. Menurut Dr. Kartini Kartono (dalam Sudhardana, 2008;33) dikatakn bahwa ada tiga
teori yang menonjol yang menjelaskan seorang pe.mimpin, yakni: Teori genetis, teori sosial, dan teori
ekologis.
B. Peranan Seorang Pemimpin
Dalam Niti Sastra diajarkan bagimana bersikap menjadi seorang pemimpin dan bagaimana bertindak
sebagai seorang pemimpin. Pemimpin memiliki wewenang untuk mensejahterakan orang yang
dipimpinnya. Pemimpin yang baik tidak pernah memikirkan drinya sendiri, akan tetapi lebih
mementingkan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi. Dalam memimpin hendaknya
dilakukan dengan sepenuh hati, dan jangan memimpin hanya untuk mencari keuntungan saja. Menjadi
pemimpin harus siap menanggung resiko apapun demi menjalankan tugas negaranya.
C. Syarat-syarat Pemimpin
Setiap orang bisa untuk menjadi seorang pemimpin, akan tetapi tidak semua orang bisa memi
mpin dengan baik. Dalam kitab Arthasastra dikatakan bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki
sifat Uthana (giat) dan jangan memiliki sifat Pramada (lengah). Dalam sastra Hindu dikatakan seorang
Pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Catur Pariksa, Panca Stiti Dharmaning Prabhu,
Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandhi, Panca Upaya Sandhi, Asta Brata,
Nawa Natya, Panca Dasa Pramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Panca Satya.

Catur Warna
Pandangan Catur Varna di masyarakat masih belum sepenuhnya dipahami. Titik lemah
menghitami agama Hindu adalah penyimpangan pengertian Varna yang sebenarnya menurut kitab suci
Veda, menjadi kasta yang berarti keturunan. Sesungguhnya kedudukan kasta dengan Varna adalah
berbeda. Istilah Kasta dibuat oleh bangsa Portugis ketika menjajah Bali. Mereka membuat Kasta untuk
memecah belah masyarakat yang ada di Bali. Sedangkan Varna memang diatur dalam kitab suci agama
Hindu. Dalam kitab suci agama Hindu dikenal dalm istilah Catur Varna, kata Varna berarti sifat dan
bakat kelahiran dalam mengabdi kepada masyarakat berdasarkan kecintaan yang menimbulkan
kegairahan kerja (Sudharta dan Atmaja, 2001:49). Jadi Varna memiliki arti empat golongan kerja
berdasarkan profesin.ya di Masyarakat. Adapun keempat golongan tersebut adalah: Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Keempat golongan Varna adalah memiliki kedudukan yang sama di mata
Tuhan, karena semua itu adalah ciptaan-Nya.
a. Bramana
Brahmana ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan mempunyai
bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, Negara dan umat manusia dengan jalan
mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan. Beliau yang bisa
desebut sebagai Brahmana tidak hanya yang memiliki profesi sebagai Pandita, melainkan sastrawan
yang memiliki keahlian Veda juga bisa disebut Brahmana.
b. Ksatriya
Ksatrya adalah golongan karya yang setiap orangnya yang memiliki kewibawaan cinta tanah air serta
bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, Negara dan umat
manusia berdasarkan dharmanya. Golongan Brahmana dan golongan Ksatruya sama-sama sebagai
seorang pemimpin, akan tetapi yang membedakannya adalah Brahmana memimpin upacara Yadnya
dan Ksatriya memimpin Rakyatnya.
c. Vaisya

Vaisya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak-watak tekun, trampil, hemat,
cermat, dan keahlian serta bakat kelahiran untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakatn
kenegaraan dan kemanusiaan. Mereka yang bisa disebut vaisya adalah seperti pedagang, peternak dan
pengusaha.
d. Sudra
Sudra ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah, ketaatan serta
kelahiran untuk sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan masyarakat Negara dan umat
manusia atas petunjuk-petujuk golongan karya lainnya. Mereka yang termasuk golongan Sudra adalah:
petani, buruh, pelayan dan pekerja lainnya.

Bhakti Dalam Niti Sastra


Agama Hindu memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang maha Esa. Selain kepada Tuhan, ada
empat keyakinan lagi yang sering disebut Panca Sradha. Panca Sradha berarti lima keyakinan atau
kepercayaan. Kelimka kepercayaan itu antara lain:
1) Percaya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
2) Percaya dengan Atma
3) Percaya dengan hukum Karma Phala
4) Percaya dengan Punarbawa (reingkarnasi)
5) Percaya dengan Moksa (pelepasan)
Lima keyakinan atau Sradha diatas sebagai dasar umat Hindu melaksanakan Bhakti. Bhakti merupakan
wujud cinta kasih serta penyerahan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi. Penyerahan diri
dilakukan berdasarkan pemahaman serta keyakinan bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam diri
manusia adalah diciptakan oleh Beliau. Dalam pelaksanaa Bhakti kepada Tuhan, dilakukan dengan tiga
cara yang disebut dengan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Ketiga kerangka dasar tersebut antara
lain: Tattwa/Filsafat, Etika/Susila, dan Ritual/Upacara.Ketiga ke4rangka dasar tersubutmerupakan
wujud jalan Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seberapa besarpun penerapannya tanpa
didasari rasa Bhakti tidak akan ada gunanya. Bhakti adalah sebagai dasar dari segala persembahan yang
dilakukan karena Bhakti merupakan ketulus iklasan yang bersal dari lubuk hati yang paling dalam.

Wanita Dalam Niti Sastra


a. Kedudukan Wanita dan Sastra Hindu
Dalam sastra Hindu wanita memiliki kedudukan yang sangat uatama dfalam kehidupan. Wanita
dikatakan sebagai sumber kehidupan, kedamaian, serta kebahagiaan. Seperti diuraikan dalam kitab
Manawa Dharmasastra III.56 diuraikan pandangan terhadap hakikat wanita yaitu:
Yatra naryastu pujyante
Ramante tartra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarvastalah kriyah
Terjemahan:
Diman wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya. Dimana
wanita tidak dihormati tidak ada upacar suci apapun yang memberikan pahala mulia (sudharta,
2009;105).
Wanita memiliki peranan yang sangat mulia karena telah berjuang sampai mempertaruhkan
nyawa hanya untuk melahirkan seorang putra. Kakekat wanita lebih istimewa dibandingkan laki-laki,
karena wanita memiliki peran yang multifungsi yaitu bisa menjadi seorang ibu yang bisa melahirkan
dan bisa menjadi seorang ayah yang membesarkan dan menjaga putranya. Disamping sosok wanita
yang agung dan mulia, ridah sedikit yang mengatakan wanita adalah sumber kesengsaraan bagi
manusia. Dalam saastra diuraikan bahwa ada tiga hal penyebab kehancuran bagi seseorang yaitu Harta,
Tahta dan Wanita. Wanita dikatakan sebagai sumber kehancuran bagi laki-laki karena dengan
kecantikannya wanita akan memikat laki-laki dan tidak sedikit laki-laki yang rela melakukan apa saja
demi wanita.
b. Swadharma Wanita
Wanita dan laki-laki dalam hindu memiliki tugas yang berbeda, baik dalam masa Brahmacari
maupun sudah memasuki Grahasta. Selain tugas serta wewenang, wanita dan laki-laki juga memiliki
sifat yang berbeda. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana
terwujudnya Punarbawa atau reinkarnasi, sebagai salah satu srdha (kepercayaan/keyakinan Hindu.
1) Wanita pada masa Brahmacari
Masa Brahmacari adalah masa belajar, bisa juga dikatakan masa menuntut ilmu pengetahuan. Pada
masa Brahmacari hendaknya seseorang bisa mengendalikan indriya-indriyanya. Wanita ketika
memasuki masa-masa Brahmacari sama halnya dengan memasuki masa-masa yang rentan karena

apabila benar melangkah ia akan menjadi emas dan apabila salah melangkah ia akan menjadi sampah.
Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua
memberikan perhatian khusus dibidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil.
2) Wanita dalam masa Grahasta
Perikahan atau wiwaha dalam ajaran Hindu adalah Yajna dan perbuatan dharma. Wiwaha merupakan
momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahap kehidupan berumah tangga. Ketika sudah memasuki
masa-masa Grahasta seorang wanita bisa disebut dengan istilah istri, dan apabila sudah memiliki putra
bisa disebut dengan seorang ibu. Ketika sudah memasuki masa Grahasta tugas seorang wanita pun
berbeda dengan masa brahmacari. Tugas seorang wanita ketika menjadi istri adalah melayani suami
dan anak-anaknya.
c. Memperlakukan dan Menjaga Wanita
Wanita adalah makhluk yang kuat tetapi bisa menjadi sangat lemah baik dilihat secara fisik
maupun psikis. Kelemahan pada wanita memberikan ciri bahwa ia memiliki sifat atau naluri yang
lembut. Akan tetapi kelemahan dan kelembutannya bisa mengakibatkan kebahagiaan ddan juga
kesengsaraan. Maka dari itu hendahnya seorang wanita harus dilindungi agar terciptanya keharmonisan
dalam keluarga. Orang yang bertugas melindungi wanita yang tertera dalam Manawa Dharmasastra,
IX. 3,6 dan 9: Ayah, Suami, dan Anak Lai-laki.

Pengetahuan Dalam Niti Sastra


Artha yang paling abadi dan tak mungkin bisa dicuri oleh orang lain adalah pengetahuan.
Dibandingkan dengan orang yang memiliki banyak harta benda, orang yang memiliki pengetahuan
lebih dihormati dan dikenang. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan selalu siap ditempatkan
dimana saja, dan dengan mudah akan menyesuaikan diri dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki ilmu pengetahuan. Walaupun seseorang dikatakan kurang memiliki pengetahuan bukan
berarti ia adalah orang bodoh seorang bisa mencari ilmu pengetahuan dengan cara belajar yang lebih
tekun dan serius. Hambatan bagi seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan sesungguhnya adalah
dirinya sendiri yaitu rasa malas. Selain karena faktor kemalasan diri sendiri dan faktor kelahiran juga
dikarenakan faktor-faktor yang lainnya. Dalam Kekawin Niti sastra Sargah XIV, sloka 3 dan 4
dikatakan ada enam hambatan atau musuh seseorang dalam memperoleh ilmu pengetahuan yaitu:
1. Kelalaian
2. Kebiasaan melakukan hal-hal yang buruk atau dusta
3. Penyakit atau kelemahan badan atau fisik
4. Pada orang yang masih muda yaitu gila asmara dan berzinah
5. Kemiskinan terus menerus
6. Berjudi
Keenam musuh diatas sangatlah menjadi penghalang bagi seseorang yang ingin mendapatkan
ilmu pengetahuan. Karena keenam musuh tersebut bisa mencuri pikiran seseorang, dan ilmu
pengetahuan bisa didapat dengan pikiran yang suci dan jernih.
Berbohong yang Dibenarkan
Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah melakukan kebohongan, yang
membedakannya adalah besar dan kecilnya tingkat kebohongan tersebut. Walaupun kebohongan
dikatakan sebagai perbuatan yang kurang baik, akan tetapi terkadang kita juga harus berbohong demi
kebaikan. Selama kebohongan yang dilakukian untuk suatu kebaikan itu bisa dibenarkan.
Dengan demikian kebohongan yang bisa dibenarkan dlam kehidupan sehari-hari yaitu:
1. Berbohong kepada orang sakit
2. Berbohong kepada anak kecil
3. Berbohong kepada musuh yang mengancam
4. Berbohong kepada orang jahat
5. Berbohong demi menyelamatkan nyawa seseorang
6. Berbohong pada saat bercumbu rayu
7. Berbohong pada saat bercanda
8. Berbohong disaat bergadang
Dosa dari kebohongan yang dilakukan tidak sepenuhnya diterima asalkan didasari dengan
keinginan untuk kebaikan.

Nilai Dharma
Pandangan dari para tokoh agama maupun masyarakat mengatakan bahwa Dharma adalah suatu
yang bersifat baik atau kebenaran. Baik tingkah laku, perkataan serta pikiran harus berlandaskan atas

1
2
3
4
5

kebenaran. Setiap orang terlahir di dunia ini diwajibkan untuk berbuat Dharma. Karena Dharma
merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan. Hidup adalah untuk berbuat Dharma, karena dharma
adalah satu-satunya bekal ketika kita meninggal nanti. Apabila dharma yang kita lakukan selama di
dunia maka surga lah tempat kita, begitu juga sebaliknya apabila Adharma yang lebih dominan maka
neraka lah rumah kita nanti. Ketika berbicara Dharma atau kebenaran itu bersifat relatif. Benar menurut
kita sendiri dan belum tentu benar menurut orang lain. Pada dasarnya Dharma atau kebenaran memiliki
lima dasar yang dijadikan acuan. Kelima dasar tersebut adalah:
Sruti
Smerti
Sila
Sadacara/acara
Atmanastuti
Melaksanakan Dharma harus berdasarkan dari ketulusan hati yang paling dalam. Walaupun itu
kecil akan tetapi dilaksanakan dengan keinginan yang tulus makan akan menjadi besarlah dharma itu,
begitu juga sebaliknya walau sebesar apapun perbuatan apabila tidak dilandasi ketulusan maka tidak
akan ada artinya. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah suatru hal yang agung dan sebaliknya
Dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulakan bahaya spiritual bagi
kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat Brahmana tidak perlu
melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada masalah bagi Yang Maha
Esa mengenai tinggi rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa
sama saja sifatnya.Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi
nilanya lebih baik untuk kepuasan bantin kita sendiri, dan secara spiritual berkatNya ditentukan
olehNya sesuai dengan kehendakNya juga.

NILAI DAN MAKNA AJARAN ASTA


BRATA

Betoro Kresno

Inti ajaran Asta Brata.

Raden Arjuno

Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama
kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang
pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan
kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara
Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan
dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah
panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana
segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Rama
menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani
sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh
Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana.
Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu
Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut
dengan Asthabrata.
Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk
melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata
diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang
kemudian menjadi Raja. Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya
delapan simbol alam, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam
semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan
yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus
menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar
malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta,
maka selaraslah kehidupannya. Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu,
angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam
sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang
raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai: Dapat memberikan kesejukan
dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa

pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan
menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi
warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang
kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih
dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.
Beberapa versi rumusan Asta Brata
1. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta: Asta Brata
adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi / sifat alam, yaitu:
a. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber
kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya
dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan
segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
b. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan
sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa
mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan merasa sejuk, nyaman, aman, dan
tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya.
Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini.
Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak
ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.
c.

Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)


Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil
kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan
masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).
d. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan
hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
e.

Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)


Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh
jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi
atas masalah yang dihadapi rakyatnya.
f.

Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)


Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan
sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke
pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan
timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan
pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh
kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.
g. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki

keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela
kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus
memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang
pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi
yang dapat menyuburkan tanah.
h. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu
menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan,
memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
2. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita.
Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam.
Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.
a. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing
pangarah.
b. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya,
alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
c. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh
andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana,
setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola
wali.
d. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen
amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
e. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring
ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
f. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang
arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
g. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil
paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
h. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring
bebungah marang kawula.
3. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu
Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:
a. kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora dayadaya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi,
samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngaraharah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa,
ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.
b. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning
pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing
budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.
c. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning
ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora
kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom
keblating sagung dumadi.

d. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning
riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus
kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih
lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.
e. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar;
lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik
kabeh winengku ing maruta.
f. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara,
nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing
kukuming nagara.
g. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh
kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna,
sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.
h. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang
hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang
hanggulawenthah.
Nilai dan Teladan Ajaran Asta Brata
a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal,
dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja? Ternyata, memang benar.
Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau
pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya? Yaitu,
bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Di Negeri China, Korea, dan Jepang
dikenal Fengshui (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses:
Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.
Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan
Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak
sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur Ruang dalam ajaran Asta Brata? Tanpa ruang, di manakah
unsur-unsur alam itu berada? Artinya, tidak semua yang terlihat berbeda itu benarbenar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di
antara perbedaan.
b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia,
seyogyanya mengamalkannya, dalam arti hidup selaras dengan alam, dan
menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama.
Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa
mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta
Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi
pekertinya. Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya;

membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar,
ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan
kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung
segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi
warganya.( http://nusadwipa.blogspot.com ) SP091257

Anda mungkin juga menyukai