Anda di halaman 1dari 6

Nama : I Gusti Agung Krisna Swadistana NIM/Kelas : 2118011037/Rombel 10

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2021/2022
Mata Kuliah Agama Hindu

Petunjuk
1. Kerjakan soal-soal berikut dengan memberikan jawaban diketik pada kolom yang
telah disediakan.
2. Jawaban diunggah paling lambat pukul 15.00 hari ini (Rabu, 27 Oktober 2021).

Soal
1. Muqaddimah Al Qur’an pada halaman 40, dan orang-orang awam di Bali,
memandang pustaka suci Weda hanya boleh dibaca oleh orang-orang dari kasta
tinggi saja. Bagaimanakah penjelasan Anda terhadap pandangan tersebut? Lengkapi
dengan kutipan Veda yang memperkuat pendapat Anda!
Jawab: Pada Zaman Kebangkitan Agama Hindu memiliki ciri penting diantaranya
kitab suci Weda tidak boleh dibaca untuk umum karena berdasarkan sistem warna,
warna yang relevan terhadap pembacaan Weda adalah warna brahmana yang
bertugas mempelajari dan menyebarluaskan ajaran Hindu dan tidak diperkenankan
dibaca oleh orang yang kurang pengetahuan. Dalam Weda Vayu Purana I.201,
menjelaskan bahwa “Itihasa puranabhyam vedam samupbrhayet,
Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharissyati” yang Artinya Hendaknya
Weda dijelaskan melalui sejarah (Itihasa) dan (Purana). Weda merasa takut kalau
seorang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa dia (orang yang bodoh) akan
memukul-Ku. Intinya Weda hendaknya dipelajari dari Itihasa dan Purana, karena
jika tidak diterapkan maka dikhawatirkan Weda dipelajari oleh orang bodoh/tidak
berpendidikan agar tidak disalah tafsirkan. Sebagai penggantinya ditulislah kitab-
kitab Pancama Veda, Itihasa, (Ramayana dan Mahabharata) dan Purana, munculnya
pemujaan kepada Tri Murti (Brahmana, Wisnu dan Siwa), munculnya sad darsana,
munculnya stotra, stuti dan stawa, munculnya kitab kalpasutra (Grihasutra,
Sautrasutra, Dharmasutra, dan Silvasutra), semua adat istiadat setempat harus tetap
dijalankan dan munculnya perhitungan yuga.
Gerakan Hindu Modern pada 1.800 M-1947 M., yang dimana gerakan ini muncul
untuk melawan Kristenisasi di India dan pengaruh budaya Barat lainnya. Gerakan
ini dibedakan menjadi dua, yaitu gerakan dari golongan reformis dan golongan
revivalis.
Namun, saat ini Veda dapat dipelajari oleh berbagai kalangan/kasta tanpa
memandang derajat. Namun ada syarat harus didahului oleh sebelum membaca
kitab suci weda yaitu membaca Itihasa, Purana yang relevan dengan Weda agar
tidak ada salah tafsir antar sesama umat Hindu. Karena sejatinya manusia itu sama,
sama-sama ciptaan Tuhan serta makhluk hidup yang tak lepas dari hukum alam.

2. Eggi Sudjana memandang, hanya umat Islam yang sesuai dengan Pancasila dengan
sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurutnya, agama-agama lain,
tidak meyakini satu Tuhan (monoteisme). Konsep ketuhanan Agama Buddha
disebutnya tidak jelas, Agama Kristen percaya dengan Tuhan Trinitas, sedangkan
Agama Hindu Politeisme. Bagaimanakah tanggapan Anda terhadap pernyataan Eggi
Sudjana tersebut, khususnya berkaitan dengan politeisme umat Hindu? Berikan
penjelasan secara singkat, rasional, dan berdasarkan Pustaka Suci Veda!

Jawab: Menurut Eggi, sepengetahuan dirinya tidak ada ajaran selain Islam yang
sesuai dengan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Sampai kini
masih banyak orang tidak memahami tentang Pancasila khususnya sila pertama. Hal
itu tampak nyata bagaimana orang dengan mudahnya menafsirkan sila dalam
Pancasila tersebut keluar dari makna sebenarnya, yang pada akhirnya menimbulkan
kontroversi yang berakibat pada kekacauan ataupun konflik antar pemeluk agama.
Pernyataan Eggi Sudjana ini merupakan tafsir yang tidak didasari pengertian
ataupun pemahaman yang benar tentang agama-agama lain, hidup berbangsa dan
bernegara, terutama hakikat dari Pancasila sila pertama itu sendiri. Pada dasarnya
memang ajaran Hindu sendiri berasal dari India, namun terkait perkembangan
Hindu di Inida dengan Hindu di Indonesia memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan
tersebut selain tatacara dan tradisinya, dilihat juga dari konsep pemujaannya. Di
India terdapat berbagai aliran penyembah seperti aliran Krishna, Aliran Ganesha,
Aliran Siwa, dan lainnya. Namun di Indonesia sendiri konsep tersebut telah
disesuaikan sedemikian rupa agar sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka dari itu Hindu di Indonesia khususnya di Bali
memiliki prinsip Tuhan itu satu (tunggal) yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam
berbagai tugasnya akan disebut sebagai Dewa dan Bhatara. Dewa berasal dari kata
“div” artinya sinar suci Brahman atau Sang Hyang Widhi yang mempunyai tugas
berbeda-beda. Contoh : jika sebagai pencipta, beliau akan dikenal dengan Dewa
Brahma, jika sebagai pemelihara dikenal dengan Dewa Wisnu, dan sebagai
pemusnah/pelebur dikenal sebagai Dewa Siwa. Ibaratnya 1 dapat mewakili dari
keseluruhan tugas. Lalu kata Bhatara berasal dari kata “bhatr” yang berarti kekuatan
Brahman, Sang Hyang Widhi yang juga mempunyai fungsi sebagai pelindung umat
manusia dan dunia dengan segala isinya seperti Bhatara Agni sebagai kekuatan Api,
Bhatara Bayu sebagai kekuatan Angin, dan sebagainya. Dan juga ada kata Awatara
berarti kelahiran Brahman.
Dalam sloka-sloka Upanisad dan Weda pun dijelaskan mengenai Konsep
Ketuhanan Tunggal (Esa). Contoh sloka tersebut diantaranya :
EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN.
( Upanishad IV.2.1.)
Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya.

EKAM SAT WIPRA BAHUDA WADANTI, AGNIM YAMAM


MATARISWANAM.
( Reg Weda Mandala I Sukta 164, mantra 46 )
Tuhan itu hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan berbagai nama
seperti: AGNI, YAMA, MATARISWANAM.

NARAYANAD NA DWITYO 'ASTI KASCIT.


( Narayana Upanishad.)
Narayana tidak ada dua- Nya yang hamba hormati.

Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu sifat Tuhan yaitu
“Achintya”, yang dimana tidak terpikirkan oleh manusia , dan jauh dari bayangan
imajiner manusia itu sendiri. Dan seperti yang sudah dijelaskan manusia sejatinya
itu seperti orang buta yang meraba seekor gajah, yang pada akhirnya tiap orang
memiliki pandangannya tersendiri untuk dapat diterima orang buta lainnya
3. Dalam pandangan umat agama lain, sebagai sesama pemeluk agama tertentu mereka
adalah bersaudara! Misalnya, di kalangan umat Muslim ada “ukuwah Islamiah.” Apa
keunggulan dan kelemahan pandangan tersebut. Lalu, bagaimanakah ajaran Veda
mengatur hubungan antar sesama manusia?

Jawab: Mengenai konsep persaudaraan sendiri, jika dalam umat Muslim ada “ukuwah
Islamiah.”, di konsep Agama Hindu pun juga ada. Sloka yang menyatakan hal tersebut
adalah dalam ajaran Hindu. Yang pertama, “Vasudhaiva Kutumbhakam”, yang artinya,
kita semua bersaudara. Seluruh dunia ini adalah satu keluarga tunggal, tanpa
membedakan agama, suku, bahasa, budaya, tradisi, dan warna kulit. Dengan menghayati
ajaran Vasudhaiva Kutumbhakam, pikiran-pikiran sempit yang dipengaruhi ego
hendaknya dihilangkan agar kita bisa meningkatkan nilai kemanusiaan, yakni cinta kasih
terhadap semua mahluk hidup. Dengan memahami dan menghayati ajaran ini, niscaya
kita bisa menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Namun, kelemahannya sloka tersebut
disalah tafsirkan akan dianggap kita semua satu. Satu tersebut memang satu (melihat
semua sama). Seperti agama Islam yang disamakan dengan agama Hindu , hal tersebut
akan menjadi konflik salah tafsir yang harusnya tujuan kita lah yang satu, dengan
jalan/cara yang berbeda untuk mendekatkan diri ke Tuhan Yang Maha Esa. Lalu yang
kedua, “Tat Tvam Asi”, yang artinya aku adalah engkau, engkau adalah aku. Tat Tvam
Asi adalah ajaran moral yang berlandaskan ajaran agama Hindu. Ajaran ini
mengembangkan sifat saling asah, asih, dan asuh. Di sini kita diajarkan untuk mengenal
dan melaksanakan rasa kebersamaan, berat ringan dipikul dan dirasakan bersama.
Gotong royong, tolong menolong hendaknya selalu dikedepankan. Dan yang ketiga yaitu
“Tri Hita Karana”, yang merupakan tiga penyebab tercipanya kebahagiaan. Hakikat
mendasar Tri Hita Karana bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia
dengan Hyang Widhi Wasa, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan
sesamanya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dengan lainnya
agar tercapai ketentraman dan kedamaian.

4. Sebagai Gubernur Bali waktu itu, Bapak Made Mangku Pastika pernah melaporkan
umat Hindu di Bali mengalami penurunan sebanyak 1% per tahun. Kondisi itu
menyebabkan persentase umat Hindu di Bali dari 93% sebelum terjadinya reformasi
(tahun 1998), menjadi sekitar 70% sekarang ini. Selain karena masuk dan
menetapnya umat agama lain di Bali, pengurangan jumlah umat juga terjadi karena
adanya konversi ke agama lain. Menurut pandangan Anda, apa penyebab utama
umat Hindu meninggalkan agamanya? Langkah-langkah apa yang mesti dilakukan
untuk menanggulangi masalah tersebut!
Jawab: Penyebab penurunan persentase Agama Hindu di Bali antara lain yang utama
yaitu dari faktor dari dalam diri sendiri. Sebagian besar umat Hindu tidak mengerti
tentang tujuan, filsafat, ataupun etika ketika beragama Hindu. Sehingga dapat disebut
hanya Hindu KTP saja, tidak mengenal makna, filosofi, filsafat yang diajarkan oleh
Agama Hindu itu sendiri. Malah cenderung lebih banyak terpaku dalam kelihatannya
(kulit) saja dalam pelaksanaan, tetapi tidak mengerti maksud dari Hindu itu sendiri.
Padahal sudah dijelaskan dalam ajaran agama Hindu tentang konsep utama agama Hindu
itu sendiri yaitu Tri Kerangka Dasar Agam Hindu yang meliputi Tattwa, Susila, dan
Upacara. Dalam hal tersebut, orang-orang cenderung melihat dari sisi Upacaranya saja
yang lebih menonjol. Sebagai umat beragama Hindu yang baik, haruslah
menyeimbangkan 3 konsep Kerangka Agama Hindu tersebut sebagai dasar acuan
beragama Hindu. Dengan kita mempelajari filsafat (Tattwa), kita tidak akan kehilangan
arah dalam menjaga iman kita untuk beragama Hindu. Selanjutnya dengan mempelajari
Susila, kita akan mampu berlaksana sesuai etika dalam kehidupan beragama Hindu. Dan
juga dalam Upacara sendiri hanya sebagai klise luarnya saja, hanya untuk
menyampaikan persembahan kita ke Tuhan itu sendiri. Lalu dari faktor luar sendiri,
mereka yang keluar dari agama Hindu melihat bahwa agama Hindu susah dijalani karena
lebih ribet dengan berbagai aturannya. Padahal dalam agam Hindu sendiri sudah
menjelaskan terkait tingkatan-tingkatan upacara, seperti Nista, Madya, dan Utama.
Kembali lagi dalam konsep Upacara, sebagian besar dari mereka hanya melihat dari
pelaksanaannya saja, bahwa agama Hindu itu harus mewah, megah, panjang. Namun
kenyataannya dengan adanya 3 tingkatan tersebut tergantung juga dari segi ekonomi
yang mampu ataupun tidak mampu. Lalu faktor luar yang lainnya yaitu hasutan dari
orang lain. Kita mengetahui bahwa agama terbesar komunitasnya di Indonesia sendiri
adalah agama Islam, mungkin agama hindu yang pindah ke agama islam contohnya,
mereka melihat kebaikan dari agama-agama lain di Hindu. Padahal mereka sendiri
belum terlalu mengenal dan memahami lebih dalam Hindu itu sendiri. Untuk solusinya
yang pertama yaitu memantapkan diri kita dalam memahami agama Hindu dan 3
kerangka dasarnya, yang kedua adalah melestarikan budaya Bali berlandaskan Hindu
karena kebanyakan budaya yang lebih meniru budaya lain/asing yang tidak selaras
dengan budaya di Bali. Dan yang terakhir kita menguatkan iman dengan selalu berdoa,
serta bertoleransi dan menghargai dengan umat beragama lainnya agar saling mengasihi
dan dihormati.

5. Di Bali dikenal adanya Wangsa, apakah Wangsa tersebut lebih mendekati sistem
Warna atau sistem Kasta? Menurut pandangan Anda, apa dampak keberadaan
Wangsa di Bali terhadap agama Hindu?
Jawab: Sistem Kasta sendiri dalam agama Hindu baik dari India atau Indonesia
tidak menerapkan adanya kasta yang membedakan stratifikasi sosial secara vertikal
yang disebut tinggi rendahnya status seseorang. Hindu hanya mengenal adanya Catur
Warna. Kalau kasta tersebut hanya politik dari Belanda yang bertujuan pemecah belah
kerajaan yang mengatasnamakan Catur Warna bagiannya. Catur Warna sendiri
merupakan 4 pembagian menurut Guna (sifat) dan Karma (pekerjaan). Sesuai dalam
sloka Bhagavad-Gita yang berbunyi
“Chatur varnyam maya srishtam guna karma vibhagasah tasya kartaram api
mam viddhy akartaram avyayam” [Bhagawad gita IV.13]
Artinya : Catur Warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna (sifat) dan Karma
(pekerjaan). Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak dan
perubahan.
“Brahmana-kshatriya-visam shudranam ca parantapa karmani pravibhaktani
svabhava-prabhavair gunaih” [Bhagawad gita XVIII.41]
Artinya : Para Brahmana, para Kṣatriya, para Vaisya, dan para Sudra dibedakan oleh
ciri-ciri yang dilahirkan dari watak-watak mereka sendiri menurut sifat-sifat material
yang berasal dari prakrti mereka.
Untuk Catur Wangsa di Bali sendiri mengacu pada Catur Warna, yang perbedaannya
adalah Catur Wangsa di Bali hanya keturunan dari sifatnya pewarisan. Untuk Catur
Wangsa di Bali keuntungannya dapat menurunkan pewarisannya kepada anaknya
dalam hal apapun semasa hidupnya seperti ilmu kerohanian, agama, dan ilmu
pengetahuan sebagai kelompok Brahmana. Hal tersebut bertujuan agar ada yang
mampu meneruskan pengetahuan, keterampilan, ataupun skill yang dimiliki
pendahulunya ke generasi selanjutnya agar tidak punah. Begitupun juga Ksatriya yang
bertugas menjaga kehidupan tatanan bernegara agar tidak ada yang menyimpang diluar
hukum seperti Polisi, tentara, dan sejenisnya. Dalam Waisya bertugas dalam sistem
kesejahteraan umat manusia seperti pedagang. Yang terakhir yaitu Sudra yaitu konsep
pelayanan ke masyarakat, bukan sebagai kelompok yang terbuang atau tersisihkan.
Kelebihan yang lain juga dapat saling berkolaborasi antar sesama Catur Warna sesuai
tugasnya agar teratur. Kekurangannya sendiri dari kitanyalah yang terjadi salah konsep
dalam stratifikasi sosialnya sehingga dapat menyebabkan sekat dan konflik dalam
kehidupan.
Om Ano badrah kratavo yantu visvatah
(Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

Anda mungkin juga menyukai