Anda di halaman 1dari 6

Hasil dan Pembahasan

Vihara Avalokitesvara merupakan sebuah rumah ibadah agama Buddha, Hindu, Konghucu, dan
simbol keberagaman agama di Kabupaten Pamekasan yang tepatnya berada di Candi Utara,
Desa Polagan, Madura sebenarnya memiliki banyak hal seputar ajaran agama dengan nilai
kepedulian sosial dan historis tersendiri. Namun, banyak pihak yang masih kurang menyadari
akan hal tersebut.

Meski masyarakat Sekitar mayoritas pemeluk agama Islam, tetapi keberadaan Pura dapat
dijadikan sebuah simbol kerukunan dan keanekaragaman umat beragama. Tempat peribadatan
lain itu adalah musholla yang menjadi tempat ibadah umat Muslim dan pura yang merupakan
tempat peribadatan umat Hindu. Dengan adanya tempat peribadatan lain selain vihara, hal
tersebut melambangkan persatuan antar umat beragama di tempat ini.

Pada waktu observasi kami melakukan beberapa hal tentang vihara, baik kepada ketua yayasan
vihara dan juga kepada warga sekitar. Di saat wawancara kami banyak mendapatkan
pengetahuan bagaimana toleransi antar agama di sekitar Vihara tersebut, karena di Vihara
Pamekasan, tidak hanya sebagai tempat ibadah umat Tridharma, melainkan tempat ibadah
untuk umat beragama lain, semisal Pura untuk umat Hindu serta Musholla untuk umat Islam
juga ada di area tersebut.

Negara Indonesia yang mempunyai landasan Pancasila yang berisi 5 sila, yaitu: (1) Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2) Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4)
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. (5)
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Menurut tokoh agama Buddha Sok Sokala, bahwa secara Buddhis agama Buddha di sila
pertama Pancasila, yaitu ketuhanan adalah sesuatu yang tidak berwujud atau tampak. Konsep
ketuhanan YME dalam agama Buddha berbeda dengan konsep ketuhanaan agama-agama lain,
khususnya agama-agama samawi (Abrahamic religions). Dalam kitab Sutta Pitaka, Udana VII,
dijelaskan bahwa Tuhan YME dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam
Asamkhatam, subjek yang dipersepsikan sebagai Tuhan sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
dijelmakan, tidak diciptakan, tetapi keadaan-Nya Mahamutlak. Kemahaesaannya tanpa “aku”
(anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.

Keberadaannya tidak berkondisi (asankhata). Berbeda dengan makhluk, seperti manusia yang
berkondisi (sankhata). Manusia yang berusaha untuk mencapai puncak kebebasan dari
lingkaran hidup yang penuh kesengsaraan (samsara), harus aktif menjalankan meditasi, yaitu
perenungan suci atau kontemplasi terhadap hakikat alam semesta. Dalam kitab suci Tripitaka
dijelaskan tidak hanya konsep ketuhanannya yang berbeda, tetapi juga konsep asal-usul
kejadian alam semesta manusia, kiamat, dan keselamatan atau pembebasan diri manusia.
Konsep ketuhanan dalam agama Buddha lebih bersifat nonteistik, yakni tidak menekankan
keberadaan Tuhan Sang Pencipta atau bergantung kepada-Nya, tetapi bagaimana
mengejawantakan sifat buddhisme. Buddha Gautama sendiri juga tidak dilukiskan sebagai
Tuhan, tetapi sebagai pembimbing atau guru yang menunjukkan jalan menuju Nirwana. Buddha
Gautama sendiri jarang menyebut kata Tuhan, tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian
perilaku di dalam menjalani kehidupan.

Dhammananda, Sri. (2005). Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan Oleh Ida Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit
Karania.

Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (annutara
samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami
proses tumimbal lahir. Manusia tidak memerlukan bantuan atau pertolongan pihak lain,
termasuk Dewa-Dewi. Jika manusia ingin selamat, satu-satunya jalan ialah menjelmakan sifat
dan sikap kebuddhaan di dalam dirinya. Namun demikian, Buddha sendiri itu bukan Tuhan dan
tidak pernah diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut agama Buddha.

Agama Buddha tidak terlalu menekankan peran Tuhan sebagaimana halnya agama-agama
besar lainnya. Agama Buddha lebih menekankan ”pragmatisme” dalam arti mengutamakan
tidakan-tindakan cepat dan tepat yang lebih diperlukan di dalam menyelamatkan hidup
seseorang yang pernah mengalami problem. Karena itu, budi pekerti selalu menjadi hal yang
amat substansial dalam agama Buddha. Kolaborasinya dengan agama-agama lain gampang
karena agama Buddha tidak memiliki sistem birokrasi spiritual yang ribet sebagaimana halnya
agama-agama lain.

Wuryanto, Joko. (2003). Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.

Umat Buddha Indonesia khususnya di Candi Utara, Desa Polagan tidak pernah ada masalah
dengan redaksi Pancasila, khususnya keberadaan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meski agama Buddha tidak banyak menyinggung Tuhan dalam pengembangan misi ajarannya,
tak seorangpun warga penganut agama Buddha mengingkari keberadaan Tuhan. Tidak
mengherankan jika komunitas penganut agama Buddha lebih cair dengan komunitas pengikut
agama lain.

Pada sila ke dua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tokoh agama Buddha Sok
Sokala menyatakan, bahwa agama Buddha mempunyai slogan yang berbunyi “Sabbe Satta
Bhavantu Sukhitatta” yang bermakna, Semoga Semua Makhluk Hidup Bahagia. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam ajaran Buddha setiap umat manusia berhak atas kebaikan yang
bersifat universal. Kalimat “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta” juga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dimulai dengan beramal kebaikan secara rutin kepada
segala makhluk di sekitar kita, baik itu kerabat, sahabat, atau bahkan tumbuhan dan hewan.
Kita juga dapat membantu tetangga atau kerabat kita yang sedang kesulitan sebagai
perwujudan penerapan kalimat “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.” Tak hanya itu, kita juga
dapat menerapkan nilai yang dikandung dalam kalimat “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta”
dengan tidak berbuat kejahatan dan segala sesuatu perbuatan tercela. Sebisa mungkin kita
tidak melakukan tindakan-tindakan tidak bermanfaat atau bahkan cenderung merugikan jika
kita tidak bisa membantu pada sekitar kita.

Menurut agama Buddha, memang semua manusia adalah sama bahwa mereka semua tunduk
pada hukum alam yang sama. Semua tergantung dari kelahiran, usia tua dan kematian. Hukum
Karma adalah mengikat semua orang. Semua orang menuai apa yang ia tabur dan dunia terus
terjadi setelah kegiatan Karma dikontribusikan oleh semua orang. Menurut hukum karma, jika
anda melakukan perbuatan baik, anda akan mendapat akibat yang baik, dan jika anda
melakukan perbuatan buruk, anda akan mendapat akibat yang buruk. Namun demikian, akibat
tersebut tidak diberikan oleh siapapun dan tidak diberikan sebagai upah atau hukuman. Karma
merupakan hukum moral yang tidak membutuhkan penegak hukum, karma merupakan hukum
yang berlaku secara alamiah.

Silanda, Sayadaw U. (2003). Kamma (Hukum Sebab Akibat), Anatta (Doktrin Tiada Inti Diri). T.tp: Karaniya.

Dalam buku “Human Rights Reader: Major Political Essays, Speeches and Documen from the
Bible to the Present” menjelaskan: “Dalam Agama Buddha terdapat sekelompok kode-kode
moral yang melarang membunuh, mencuri, berbohong, memakan makanan yang haram,
merusak dan melakukan hubungan seks, demi mencapai enam kesempurnaan: kemurahan hati,
moralitas, kesabaran, keberanian, konsentrasi dan kebijaksanaan.

Micheline R. Ishay (Ed). (1997). Human Rights Reader : Major Political Essays, Speeches And Documen From The
Bible To The Present. New York: Routledge.

Manusia adalah yang terbaik dari makhluk dilatih. Manusia memiliki potensi diri yang sempurna
oleh hidup yang bebas dan kebahagiaan dapat terwujud. Untuk mencapai kesempurnaan ini,
manusia harus mengembangkan dirinya secara fisik, moral, psiko-spiritual dan intelektual.
Pengembangan Hak diri mengarah secara alami dan oleh kebutuhan untuk kesempurnaan diri.
Ini adalah hukum Dharma yang hukum Karma pada gilirannya merupakan bagian dan di situlah
kedua berasal. Menurut hukum ini, mensyaratkan bahwa setiap individu harus membiarkan
bebas, jika tidak diberi kesempatan, untuk mengembangkan dirinya sehingga potensi itu dapat
berkembang sendiri dan bekerja jalan menuju kesempurnaan. Idealnya, semua kondisi, baik
sosial dan alam, harus dibuat menguntungkan dan segala macam bantuan harus disediakan
untuk pengembangan diri setiap individu. Seperti Buddhisme fundamental percaya dalam
potensi manusia dan menetapkan kesempurnaan kebebasan, dan kebahagiaan sebagai tujuan
yang harus dicapai oleh setiap individu, kebebasan pengembangan diri dan dorongan dari
peluang untuk itu telah menjadi dasar dari etika Buddhis. Hal ini untuk mengatakan, dengan
kata lain, bahwa setiap individu memiliki hak untuk pengembangan diri. Oleh karena itu, ajaran
Buddha diulang pada sanggahan dari sistem kasta Hindu, dan stres pada kesetaraan laki-laki
dari semua kelas sebelum hukum Karma dan, akhirnya, berdasarkan hukum Dharma.

Bagi umat Buddha, memiliki batin yang luhur (brahma-Vihara) dan melaksanakan pancasila
berarti menghargai dan melindungi Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu, selain hak, manusia
memiliki kewajiban. Apa yang dimaksud dengan kewajiban seorang anggota masyarakat,
dikemukakan oleh Buddha dalam Sigalovada-sutta sebagai memuja dan melindungi keenam
arah. Walau hak asasi seseorang diakui tanpa keharusan menghubungkannya dengan
kewajiban orang yang bersangkutan, pengalaman mengajarkan bahwa orang yang
melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain dengan baik akan mendapatkan sikap
terlindung dalam masyarakat.

Firmansyah. “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Agama Buddha”, Intelektualita 5, no. 1 (Juni, 2016): 98.

Pada sila ke tiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Tokoh agama Buddha Sok Sokala
mengungkapkan konsep persatuan dalam agama Buddha yang telah diterapkan langsung di
Vihara ada 4 penjuru bersaudara (agama Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam). Di dalam
pembangunan nasional sekarang ini, dalam upayanya membina kerukunan umat Buddha juga
berpegang pada “Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama”. Hal ini dilihat sebagai landasan utama
dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Untuk itu, umat Buddha
diharapkan melatih dan melaksanakan perbuatan-perbuatan baik itu (Sila). Pada masa
pembangunan ini, corak kerukunan hidup umat beragama Buddha diwarnai sifat-sifat
“Paramita”, yaitu sifat-sifat luhur yang berjumlah sepuluh:

A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia, 2009, hlm. 58-59.

1. Dana Paramita, yaitu sifat-sifat luhur agar selalu yang ada dalam hati nurani setiap manusia,
yaitu dorongan untuk beramal, berkorban, dan seterusnya.

2. Sila Paramita, yaitu sifat-sifat luhur agar selalu melakukan perbuatan-perbuatan bermoral.

3. Nekkhama Paramita, yaitu menghindarkan diri dari nafsu-nafsu indra yang lemah.

4. Penna Paramita, yaitu selalu bersikap bijaksana baik dalam pikiran, ucapan, maupun
perbuatan.

5. Virija Paramita, yaitu sifat-sifat luhur yang memberikan dorongan kepada manusia untuk
senantiasa bekerja giat, aktif, kreatif, dan inovatif menghadapi tantangan zaman modern yang
penuh pergeseran nilai.
6. Khanti Paramita, yaitu sifat-sifat luhur yang memberikan dorongan kepada manusia agar
memiliki ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi segala tantangan hidup.
7. Sacca Paramita, yaitu sifat-sifat luhur yang senantiasa mendorong manusia untuk selalu
mengembangkan kebenaran baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan.

8. Addhittahana Paramita, yaitu tekad yang mantap untuk memutuskan sesuatu dengan tepat
pada waktunya.

9. Metta Paramita, yaitu sifat-sifat luhur cinta kasih tanpa keinginan untuk memiliki, yang
ditujukan kepada semua makhluk tanpa membeda-bedakan ras, bangsa, dan agama.

10. Upekkha Paramita, yaitu dorongan kepada manusia agar memiliki batin yang tidak
tergoyahkan oleh rangsangan nafsu-nafsu rendah, sehingga dapat dimilikinya batin yang
terarah pada Dharma.

Dari berbagai penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa agama Buddha mengajarkan
kepada umatnya agar senantiasa menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan serta
keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Ajaran ini antara lain ditemukan
pada Culla Sila dalam Brahmajala Sutta yang isinya adalah: “Tidak memfitnah. Samana Gotama
menjauhkan diri dari memfitnah. Apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakan di tempat
lain, terutama yang dapat menimbulkan pertentangan. Sepanjang hidupnya ia selalu berusaha
mempersatukan mereka yang berlawanan, selalu mengembangkan persahabatan di antara
semua golongan. Ia memang seorang pemersatu yang benar-benar dapat menghayati dengan
hati nuraninya hakikat persatuan, karena ia cinta persatuan dan tidak henti-hentinya
mengumandangkan ajaran untuk bersatu.

Sofia Hayati et al. “Kerukunan Umat Beragama Dalam Perspektif Agama Buddha Dan Islam”, JSA 3 no. 1 (Juni,
2019): 24.

Dalam sila ke 4 Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Informan tokoh agama Buddha Sok Sokala menerangkan,
bahwa budhis mempunyai konsep kebijaksanaan dan ketulusan dalam mengambil keputusan
dengan tetap mendahulukan kepentingan secara umum.

Berbicara tentang pañña atau kebijaksanaan sudah sangat lazim dan familiar dibahas dalam
berbagai literature Buddhism. Kebijaksanaan sering menjadi topik yang diangkat oleh Guru
Agung Buddha Gotama ketika memberikan khotbah kepada para siswanya, karena
kebijaksanaan menjadi faktor penting yang harus dicapai oleh seseorang sebelum mencapai
pembebasan. Untuk menumbuhkan kebijaksaaan perlu latihan secara terus menerus dan
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Berlatih menjadi kunci terbaik agar seseorang
memiliki kebijaksanaan.

Berpikir secara logis dengan mempertimbangkan dan memikirkan setiap resiko yang akan
ditimbulkan juga dapat memupuk kebijaksanaan dalam diri seseorang. Dengan berpikir logis
seseorang akan bertindak dan berucap dengan sangat hati-hati sekali. Tumbuhnya
kebijaksanaan dalam diri seseorang tentu akan sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-
hari. Kekuatan kebijaksanaan akan dapat memberikan rasa nyaman, aman, dan menentramkan
setiap orang yang ada di sekeliling kita. Kekuatan Kebijaksanaan akan melahirkan nilai-nilai
positif di mana pun kita berada.

Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan (mencapai titik temu dalam keragaman), Yogyakarta: Teras, 2011.

Demikian pula ketika kita berada di lingkungan dengan orang-orang yang memiliki
kebijaksanaan. Guru Agung Buddha Gotama menyatakan dalam Manggala Sutta bahwa bergaul
dengan orang bijaksana adalah berkah utama. Artinya bahwa pergaulan yang demikian akan
memberikan banyak manfaat baik secara spiritual maupun material.

Orang yang memiliki kebijaksanaan cenderung akan menuntun kita kearah yang lebih baik.
Dalam Kitab Suci Dhammapada, Buddha menyatakan bahwa seandainya seseorang bertemu
dengan orang bijaksana yang mau menunjukkan kesalahan-kesalahannya, seperti orang
menunjukkan harta karun. Dari pernyataan tersebut sangat jelas, bahwa kekuatan
kebijaksanaan yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan dampak yang luar biasa bagi
orang lain, bahkan diibaratkan bahwa orang tersebut seperti menunjukkan harta karun. Pemilik
kebijaksanaan akan mampu mengendalikan diri sendiri dan mampu memberikan pencerahan
bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Menurut informan Sok Sokala, agama Buddha adalah reformasi dari agama Hindu yang
menghapus sistem kasta yang sebelumnya dianut oleh agama Hindu tersebut. Hal itu senada
dengan sila ke-5 dari Pancasila yang menekankan pada prinsip Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Secara umum pengertian keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Ada beberapa sudut pandang klasik mengenai
keadilan, di antaranya berasal dari pandangan Asia kuno. Pada pandangan Asia kuno, Buddha
sebagai orang filsuf menyumbangkan ide untuk konsep keadilan. Menurut Buddha keadilan
berlaku untuk semua makhluk hidup, mengajarkan kesabaran dan tidak boleh menyakiti
makhluk lain, dan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan.

Artinya Buddha sebagai agama bumi yang bersifat membumi. Harus memikirkan semua yang
berkaitan dengan bumi. Tak bicara soal langit, surga dan neraka yang bersifat denial, tapi hal-
hal praktis untuk kemajuan peradaban di bumi. 2500 tahun banyak sumbangsih ajaran Buddha
untuk kemajuan peradaban yang berkeadilan.

Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2001).

Anda mungkin juga menyukai