Anda di halaman 1dari 20

BAB 5

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


1. Definisi dan hakikat agama

 Definisi “hakikat” menurut KBBI adalah inti sari atau dasar: dia yang menanamkan
-- ajaran Budha di hatiku
 Definisi “agama” menurut kbbi adalah system yang mengatur kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha esa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dari manusia serta lingkungannya.
 Ciri-ciri agama antara lain sebagai berikut:
a) Tumbuh secara evolusi dalam masyarakat penganutnya, tidak dipastikan
waktu tertentu kelahirannya.
b) Tidak disampaikan oleh Utusan Tuhan, tetapi hanya oleh pendeta atau
mungkin ahli fakir/ filosof.
c) Umumnya tidak memiliki kitab suci kalaupun ada kitabnya mengalami
perubahan dalam perjalanan sejarah agama karena ia buatan manusia belaka.
d) Ajaran berubahnya dengan perubahan akal masyarakat penganutnya.
e) Konsep ke-Tuhanan : dinamisme, Animisme, Politaesme, dan paling tinggi
monotheisme nisbhi.
f) Kebenaran prinsip-prinsip ajarannya tak tahan terhadap kritik akal : mengenai
alam nyata satu-satu ketika dibuktikan keliru oleh ilmu dalam perkembangannya:
mengenai alam gaib, tak terjangkau oleh akal.
 Ada berbagai klasifikasi yang dibuat para ahli tentang pembagian agama, bahwa
ditinjau dari segi kebudayaan agama itu terbagi dua bagian, yaitu:
1.Agama Budaya (bumi)
Konsep "agama budaya" dapat merujuk pada hubungan erat antara agama dan
budaya dalam suatu masyarakat. Dalam arti yang umum, "agama budaya"
menggambarkan bagaimana agama dan unsur-unsur budaya saling terkait dan
saling memengaruhi. Cth: Agama Yahudi ,Agama Islam

2.Agama Langit (wahyu)


Adalah agama yang memiliki kepercayaan terhadap adanya keberadaan Tuhan ,
baik itu berjumlah satu maupun berjumlah banyak
Cth:Agama Budha, Agama Kristen dll.

 Berikut Agama - Agama yang terdapat dalam masyarakat umum :


1. Dinamisme Kepercayaan dinamisme adalah kepercayaan primitif dimana
semua benda mempunyai kekuatan yang bersifat gaib atau kesaktian.19
Selanjutnya, dinamisme berasal dari bahasa Yunani dynamis, kekuatan bagi
manusia primitif, tiap-tiap benda memiliki kekuatan gaib atau kekuatan batin
yang misterius. Kemudian mereka memberi nama pada kekuatan tersebut:
kami (Jepang), mana (Melanisia), hari, shakti (India), wakan, orenda, maniti
(Indian Amerika), dan tuah, Indonesia

2. Animisme Dalam pandangan masyarakat primitif lain berpendapat bahwa


semua benda, baik yang bernyawa maupun tidak, semuanya mempunyai roh.
Paham ini disebut paham animisme.21 Dalam pengertiannya kata animisme
berasal dari bahasa latin anima, artinya jiwa atau roh. Sebagaimana Kamil
Kartapradja, Tylor, orang yang pertama-tama memperlajari alam roh pada
bangsa-bangsa yang masih primitif,
3. berpendapat bahwa animisme adalah kepercayaan terhadap adanya roh pada
setiap benda. Kepercayaan ini adalah kebalikan dari paham materialisme
(dahriyah) atau kebendaan.

4. Politeisme Perkembangan pemikiran manusia merupakan bagian yang tak


dapat diabaikan. Konstruksi pemikiran dari animisme dengan konsep mana
yang mengalami peningkatan status dari kekuatan gaib menjadi roh yang juga
memiliki kekuatan gaib, hal ini kemudian berkembang menjadi pemujaan
terhadap dewa atau Tuhan. Konsep ini sebenarnya merupakan bagian dari
peningkatan mana yang pada akhirnya menjadi roh, dan selanjutnya akan
meningkat menjadi dewa. Harus dipahami di sini bahwa perbadaan antara roh
dengan dewa hanya terletak pada tingkat kekuasaannya.

5. Henoteisme Dalam konteks kepercayaan politeisme dijelaskan adanya


perbedaan atau pertentangan tugas antara dewa-dewa, maka hal serupa tidak
dapat memberi kepuasan bagi orang yang mau berpikir kritis. Maka dari itu
muncullah aliran yang mengutamakan sejumlah dewa tertentu untuk
disembah. Oleh karena itu dalam paham ini, hanya ada satu dewa saja yang
memiliki kekuatan tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari penempatan Zeus dalam
agama Yunani kuno dipandang sebagai kepala dan bapak dari keluarga dewa-
dewa Panteon, oleh orang Yunani kuno disembah dan dimuliakan lebih tinggi
dari dewa-dewa lainnya. Sementara dalam agama Veda dewa Agni dipandang
sebagai Tuhan semesta alam, untuk itu Agni sendiri diberi tempat lebih tinggi
dibandingkan dengan dewa Varuna, Indra, Soma dan lain-lain.

6. Monoteisme Monoteisme meruapakan kelanjutan dari hinoteisme. Jika dalam


pandangan hinoteisme masih mengakui adanya tuhan-tuhan yang lain
walaupun meyakini adanya Tuhan yang satu. Sedangkan dalam monoteisme
sudah tidak mengakui adanya tuhantuhan yang lain selain Tuhan Yang Esa.
Monoteisme pada akhirnya terjadi pada bangsa Yahudi. Lebih jauh,
monoteisme lebih dekat dengan paham agama-agama wahyu (yahudi, Kristen,
dan Islam). Yuhudi dengan kitab Taurat, Kristen dengan Injil, Islam dengan
Alquran. Konsep monoteisme dalam Yahudi dan Kristen terdapat dalam
Perjanjian Lama “Aku yang pertama dan Aku yang terakhir, tiada Tuhan selain
Aku.”26 “Sebab ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah
Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain.”27
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau satu-
satunya Allah yang benar, dan mengenal yesus kristus yang di utus.”28 “Lalu
seorang ahli Taurat, yang mendengar yesus dan orangorang saduki bersoal
jawab dan tahu, bahwa yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang
itu, datang kepadanya dan bertanya: hukum apakah yang paling utama?”
jawab Yesus: “hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang-orang israil
Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.”29 “Jangan ada padamu Allah lain di
hadapan-Ku

 Agama buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang meliputi beragama tradisi
kepercayaan dan praktik yang sebagai Sang buddha .Agama juga bisa diartikan
sebagai jalan hidup yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur
oleh agama yang dianutnya
 Hakikat agama buddha adalah nilai kebenaran mulia yang ditujukan untuk semua
orang tanpa membedakan ras, suku ,agama,dan budayanya serta berlandaskan pada
empat kebenaran mulia, delapan jalan mulia, ketergantungan bersyarat, nirwana
,dan annata
 Hakikat agama buddha dapat diuraikan dalam beberapa prinsip utama yaitu:

I. Empat Kebenaran Mulia (Four Noble Truths):


Kebenaran Pertama (Dukkha): Penyataan bahwa kehidupan di dunia ini penuh
dengan penderitaan atau ketidakpuasan.
Kebenaran Kedua (Samudaya): Menjelaskan asal-usul penderitaan, yang
berasal dari keinginan dan kelalaian.
Kebenaran Ketiga (Nirodha): Mengajarkan bahwa penderitaan dapat dihentikan
dengan menghentikan keinginan.
Kebenaran Keempat (Magga): Memberikan jalan keluar dari penderitaan
melalui Jalan Mulia, yang terdiri dari Delapan Jalan Mulia.

II. Delapan Jalan Mulia (Eightfold Path):

Pemahaman Benar (Right Understanding): Memahami Kebenaran Empat


Mulia.
Niat Benar (Right Intent): Memiliki niat yang baik dan bersih.
Ucapan Benar (Right Speech): Berbicara dengan jujur dan bermanfaat.
Tindakan Benar (Right Action): Bertindak dengan cara yang baik dan benar.
Pekerjaan Benar (Right Livelihood): Memilih mata pencaharian yang tidak
merugikan orang lain.
Usaha Benar (Right Effort): Berusaha untuk meningkatkan diri secara positif.
Pemusatan Benar (Right Mindfulness): Menjaga kesadaran terhadap tubuh,
perasaan, pikiran, dan objek-objek mental.
Konsentrasi Benar (Right Concentration): Mengembangkan konsentrasi mental
yang tepat.
III. Ketergantungan Bersyarat (Dependent Origination):
Konsep ini menjelaskan bahwa semua fenomena ada karena adanya kondisi
tertentu. Tidak ada sesuatu yang ada dengan sendirinya, tetapi semuanya terkait
dengan kondisi lain.

IV. Nirwana:
Nirwana adalah tujuan akhir dalam Buddhisme. Ini adalah keadaan bebas
penderitaan, kedangkalan, dan siklus kelahiran-mati-kelahiran.

V. Tiada-diri (Anatta):

Mengajarkan bahwa tidak ada entitas tetap atau jiwa yang abadi. Konsep "tiada-
diri" menolak gagasan tentang diri yang tetap atau identitas abadi.
Buddhisme dikenal sebagai ajaran yang menekankan pada pemahaman pribadi
dan pengalaman langsung untuk mencapai pencerahan. Setiap individu
bertanggung jawab untuk mencari kebenaran dan mengatasi penderitaan melalui
praktik spiritual dan moral. Praktik meditasi dan kebijaksanaan hidup yang
diajarkan oleh Buddha menjadi landasan bagi pengikut agama ini.

 Hakikat agama budha dapat ditemukan dalam "Dhammacakkappavattana


Sutta" (Sutta Memutarkan Roda Ajaran), yang terdapat dalam Vinaya Pitaka
dan Majjhima Nikaya.Namun, hakikat agama Buddha juga dapat ditemukan
tersebar di banyak sutta lainnya, seperti:
a) Anatta-lakkhana Sutta (Sutta tentang Ciri-Ciri Ketidak-Sendiran):
Membahas konsep ketidak-diri atau anatta.
b) Anapanasati Sutta (Sutta tentang Latihan Pernapasan Kesadaran):
Menyajikan praktik meditasi pernapasan dan konsep kesadaran.
c) Maha-satipatthana Sutta (Sutta tentang Meditasi Besar Pada
Satipatthana): Merinci prinsip-prinsip meditasi dan pengamatan diri.
d) Kalama Sutta (Sutta kepada Orang Kalama): Menyajikan pandangan
Buddha tentang penilaian rasional dan kebijaksanaan dalam mencari
kebenaran.
e) Sabba Sutta (Sutta tentang Semua): Membahas konsep universalitas
dan keterkaitan antara semua fenomena.

2. Pelaksanaan sila demi terwujudnya kerukunan kehidupan


beragama
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sila memiliki
beberapa arti: kata perintah yang halus ; aturan menurut adab (sopan santun) ;
dasar, adab, akhlak, moral
 Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, baik dari segi etnis,
budaya, bahasa, maupun agama terdapat lebih dari 300 suku bangsa , 700 bahasa
kuliner yang sangat beragam . Meskipun keberagaman ini merupakan salah satu
kekayaan Indonesia, tetapi juga bisa menjadi tantangan dalam membangun
kesatuan dan harmoni di antara masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk terus
mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan pembangunan
bersama untuk menciptakan masyarakat yang inklusif.

 Dengan pelaksanaan sila, diharapkan kita dapat menjadi seseorang yang baik dan
terkendalidalam perilaku. Pelaksanaan Pancasila Buddhis bagi umat awam
bertujuan untuk memperolehkedamaian dan ketenangan bagi diri sendiri maupun
orang lain. Sila dalam bentuk pasifadalah landasan untuk mengembangkan sila
dalam bentuk positif. Aturan tersebut biladijalankan dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya akan membawa kemajuan mental danspiritual itu sendiri, tetapi juga
dalam bermasyarakat sebagai umat Buddha
 Tujuan dari pelaksanaan sila Buddhisme yang berkaitan dengan kerukunan
kehidupan beragama antara lain:

i. Penghargaan terhadap Kebhinekaan:


Sila Buddhisme dapat menjadi landasan bagi umat Buddha untuk
menghargai keberagaman agama dan keyakinan di sekitar mereka. Dengan
memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip moral tersebut, umat Buddha
diharapkan dapat hidup berdampingan dengan orang-orang dari latar
belakang agama yang berbeda.

ii. Toleransi dan Keterbukaan:


Pelaksanaan sila Buddhisme mendorong umat Buddha untuk bersikap
toleran terhadap perbedaan keyakinan dan membuka diri terhadap dialog
antaragama. Hal ini dapat membantu membangun hubungan yang harmonis
antar umat beragama.

iii. Pemberdayaan Diri:


Sila Buddhisme juga mengajarkan konsep pemberdayaan diri melalui
pengembangan moralitas dan kebijaksanaan. Dengan memperkuat nilai-
nilai moral, umat Buddha diharapkan dapat menjadi agen perubahan positif
dalam masyarakat, termasuk dalam membangun kerukunan kehidupan
beragama.

iv. Pengendalian Diri dan Empati:


Prinsip-prinsip moral dalam Buddhisme, seperti penguasaan diri dan
empati terhadap orang lain, dapat membantu menciptakan suasana yang
tenang dan damai di antara umat beragama. Hal ini dapat mengurangi
konflik dan meningkatkan pengertian antarumat beragama.
v. Pelembutan Konflik:
Sila Buddhisme mendorong umatnya untuk mengatasi konflik dengan cara
damai dan non-kekerasan. Dengan demikian, pelaksanaan sila ini dapat
membantu mengurangi potensi konflik antaragama dan membuka ruang
untuk dialog dan rekonsiliasi.

 Salah satu ajaran Buddha yang relevan dengan kerukunan antaragama adalah dari
Dhammapada, yaitu sebuah koleksi dari ajaran-ajaran Buddha. Dalam Dhammapada,
terdapat ayat yang dapat diartikan dalam konteks kerukunan antaragama:

"Seorang yang tidak membenci dengan kebencian, yang mengatasi dengan cinta, akan
menang atas kebencian. Seorang yang menahan diri dengan kasih sayang akan menang
atas kebencian. Ini adalah hukum abadi."

Dalam ayat ini, Buddha menekankan pentingnya mengatasi kebencian dengan cinta dan
kasih sayang. Sikap saling pengertian, toleransi, dan cinta kasih adalah inti dari ajaran
ini, yang dapat diterapkan dalam konteks kerukunan antaragama.

3. Brahmavihara
 Brahmavihara adalah empat sifat luhur yang harus dikembangkan dalam Agama
Buddha. Brahmavihara terdiri dari empat pilar, yaitu:

i. Metta: Mencintai kebaikan dan kebajikan

ii. Karuna: Kasih sayang

iii. Mudita: Sukacita simpatik dan empati

iv. Upeksha: Keseimbangan batin

 Dalam bahasa Pali, bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Buddhis, empat keadaan
batin ini dikenal juga dengan nama Brahma-vihara. Istilah ini dapat juga diungkapkan sebagai
keadaan batin yang sempurna, luhur atau mulia; atau seperti keadaan batin para Brahma atau
dewa. Empat keadaan batin ini dikatakan sempurna atau luhur karena merupakan cara
bertindak dan bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup (sattesu samma
patipatti). Keempatnya menyediakan jawaban terhadap semua situasi yang muncul dalam
kontak sosial. Empat keadaan batin luhur ini merupakan pereda tekanan yang hebat, pencipta
kedamaian dalam konflik sosial, serta penyembuh terhadap luka-luka yang diderita dalam
perjuangan hidup. Empat keadaan batin luhur ini dapat menghancurkan rintangan-rintangan
sosial, membangun komunitas yang harmonis, membangunkan kemurahan hati yang telah
lama tertidur dan terlupakan, menghidupkan kembali kebahagiaan dan harapan yang telah
lama ditinggalkan, serta mendorong persaudaraan dan kemanusiaan untuk melawan kekuatan
egoisme.

 Brahma-vihara bertentangan dengan keadaan batin yang penuh kebencian, dan oleh sebab
itulah ia dikatakan bersifat Brahma, pemimpin tertinggi (yang tidak abadi) dari alam-alam
surga tingkat atas dalam gambaran Buddhis tradisional mengenai alam semesta. Akan tetapi,
berbeda dengan banyak gambaran mengenai dewa-dewi, baik di Timur maupun Barat, yang
oleh para pemujanya sendiri dikatakan dapat menunjukkan kemarahan, kemurkaan, iri hati;
Brahma dalam Buddhisme dinyatakan telah terbebas dari kebencian. Oleh sebab itu,
seseorang yang dengan giat mengembangkan empat keadaan batin luhur ini, melalui tindakan
dan meditasi, dapat dikatakan telah menjadi setara dengan Brahma (brahma-samo). Jika
empat keadaan batin luhur menjadi pengaruh yang dominan dalam batin orang tersebut, maka
ia akan terlahir kembali dalam dunia yang sesuai, yaitu alam-alam Brahma. Oleh sebab itu,
empat keadaan batin ini disebut seperti dewa atau Brahma.

 Tujuan akhir dari pencapaian Brahma-vihara-jhana ini adalah untuk menghasilkan suatu
keadaan batin yang dapat menjadi landasan kokoh untuk penembusan pemahaman atau
pencapaian pencerahan mengenai sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidak-kekalan,
dapat mengalami penderitaan, dan tanpa inti. Batin yang telah mencapai pencerapan meditatif
yang dipengaruhi oleh empat keadaan luhur ini akan menjadi murni, damai, teguh, terpusat
dan bebas dari egoisme yang kasar. Dengan demikian, batin akan siap untuk pembebasan
akhir yang hanya dapat dilengkapi melalui pencerahan.

 Kutipan mengenai Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha

I. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke


satu arah dengan hati yang terisi cinta kasih, demikian pula ke arah
yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling;
ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di
seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi cinta kasih, yang
melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan
dan bebas dari kesedihan.

II. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke


satu arah dengan hati yang terisi welas asih, demikian pula ke arah
yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling;
ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di
seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi welas asih, yang
melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan
dan bebas dari kesedihan.
III. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke
satu arah dengan hati yang terisi turut berbahagia, demikian pula ke
arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan
sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-
mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi turut
berbahagia, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas
dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. Kutipan mengenai Empat
Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha

IV. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke


satu arah dengan hati yang terisi keseimbangan batin, demikian pula ke
arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan
sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-
mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi dengan
keseimbangan batin, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur,
bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. – Digha Nikaya 13

 Dalam Agama Buddha terdapat empat sifat luhur yang harus dikembangkan yaitu
Metta, Karuna, Mudita Upekkha. Sifat-sifat luhur tersebut sering disebut dengan
Brahmavihara.

i. Metta atau Cinta Kasih


Metta adalah cinta kasih yang Universal.Tidak memandang siapapun, cinta kasih
yang tanpa pamrih dan ikhlas. Layaknya cinta seorang Ibu kepada anaknya.
Misalnya, menyayangi orang tua, adik dan kakak, teman, bahkan semua mahkluk.
Dengan praktik cinta kasih, seseorang akan bergembira dalam kebaikan sehingga
kemanapun melangkah ia tidak akan memiliki musuh.

ii. Karuna atau Kasih Sayang


Kasih sayang atau welas asih adalah sesuatu yang dapat menggetarkan hati kita
kearah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita. Sesungguhnya,
unsur kasih sayang-lah yang mendorong seseorang menolong orang lain dengan
ketulusan hati. Orang yang memiliki kasih sayang yang murni tidak hidup untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain, bahkan semua makhluk. Misalnya,
merawat ayah/ibu kita jika sedang sakit,memberi makan kucing yang kelaparan,
menolong teman yang jatuh, meminjamkan pensil kepada teman kita yang
membutuhkan, dan lain sebagainya. Dengan terus melakukan praktik kasih
sayang seseorang akan selalu berbahagia karena menanam kebajikan dengan
membantu orang atau mahluk yang sedang menderita atau membutuhkan
pertolongan.

iii. Mudita atau Simpati


Simpati yaitu perasaan turut berbahagia atas kebahagiaan yang dirasakan orang
atau makhluk lain. Misalnya mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman
kita yang sedang ulang tahun,memberi ucapan selamat hari raya kepada saudara
kita,teman kita, guru kita, yang sedang merayakan hari raya, memberi ucapan
selamat kepada teman yang mendapat juara dan masih banyak lagi. Dengan
terus melakukan praktik simpati seseorang akan selalu berbahagia karena
menanam kebajikan dengan memancarkan sukacita kepada semua makhluk.

iv. Upekkha atau Batin Seimbang


Batin seimbang merupakan kondisi batin yang tenang dan tak tergoyahkan, baik
oleh hal-hal yang membuat kita berbahagia maupun membawa penderitaan.
Keseimbangan batin penting sekali bagi umat awam yang hidup dalam dunia yang
tidak menentu. Misalnya tetap tenang dan selalu sabar ketika menghadapi
masalah.

 Kesimpulan :
Keempat hal itulah yang sebaiknya dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengembangkan empat sifat luhur tersebut, seseorang akan hidup bahagia
dan dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dari semua pemberian,
pemberian Dhammalah yang tertinggi. Semoga semua mahluk berbahagia.

4. Prasasti asoka

 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan prasasti sebagai


piagam yang ditulis pada batu, tembaga, atau bahan keras dan tahan lama
lainnya. Prasasti adalah sumber sejarah berupa dokumen
 Nama "Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sanskerta

 Asoka yang Agung (juga Ashoka, Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) adalah
penguasa Kekaisaran Maurya Gupta dari 273 SM sampai 232 SM. Seorang
penganut agama Buddha, Asoka menguasai sebagian besar anak benua India,
dari apa yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan
sampai sejauh Mysore.
Nama "Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sanskerta (a – tanpa, soka –
duka). Asoka adalah pemimpin pertama Bharata (India) Kuno, setelah para
pemimpin Mahabharata yang termasyhur, yang menyatukan wilayah yang
sangat luas ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan melampaui batas-batas
wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.
Gambar di atas adalah prasasti asoka yang berisi dekrit dari raja asoka

 Dekrit Asoka tersebut telah dipahatkan di atas prasasti batu cadas yang
berbunyi” Prasasti Raja Asoka” dengan isi sebagai berikut: “ Bila kita
menghormati Agama kita sendiri, janganlah lalu mencemoohkan dan menghina
agama lain. Seharusnya kita menghargai pula agama-agama lainnya. Dengan
demikian agama kita akan berkembang, Disamping kita juga memberikan
bantuan bagi agama agama-agama lainnya. Bila berbuat sebaliknya, berarti kita
yelah menggali liang kibur bagi agama kita sendiri, Disamping kita membuat
celaka bagi agama lainnya. Siapa yang menghormati agamanya tetapi
menghina agama-agama lainnya Dengan pikiran bahwa dengan berbuat
demikian Ia merasa telah melakukan hal-hal yang baik bagi agamanya sendiri,
Maka sebaliknya hali ini akan memberikan pukulan kepada agamanya dengan
serius. Maka karena itu toleransi, kerukunan dan kerjasama sangat diharapkan
sekali dengan Jalan suka juga mendengarkan ajaran-ajaran agama lainnya,
Disamping ajaran agamanya sendiri.”
 Dari dekirt asoka berikut adalah intisarinya :
I. Kerukunan antar umat beragama
II. Pengembangan kesejahteraan rakyat
III. Pengembangan ajaran sosial dan moral
IV. Pengembangan tindakan non-kekerasan
V. Pengembangan keteguhan dalam melaksanakan Dharma

5. Saraniyadhamma sutta

 Saraniya Dhamma Sutta adalah sutta tentang hal-hal yang dikenang. Dalam sutta ini,
ada enam prinsip Saraniya Dhamma: Mettakaya kamma, Mettavaci kamma,
Mettamano. Saraniya Dhamma Sutta termasuk dalam Sutta Pitaka, Anguttara Nikaya,
Chakka Nipata, Saraniya Vagga, Saraniyadhamma Sutta (AN 6. 12). Dhamma berarti
Kesunyataan Mutlak, Kebenaran Mutlak, atau Hukum Abadi. Dhamma ada dalam
hati sanubari manusia dan pikirannya, serta dalam seluruh alam semesta. Dalam
agama Buddha, ada ajaran nilai kebenaran mulia yang ditujukan untuk semua orang
tanpa membedakan ras, suku, agama, dan budayanya.

 Isi sutta Saraniyadhamma sutta

Pada waktu Sang Bhagavā berada di ārāma di Jetavana yang didirikan Anāthapiṇḍika
di kota Sāvatthī. Pada kesempatan itu Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “O,
para Bhikkhu.”

Para bhikkhu datang menghadap. Sang Bhagavā bersabda:“O, para Bhikkhu, terdapat
enam Dhamma yang bertujuan agar kita saling mengingat, saling mencintai, saling
menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan
menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan:

“O, para Bhikkhu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana (Ajaran Buddha) ini
memancarkan cinta kasih dalam perbuatannya terhadap mereka yang menjalankan
kesucian, baik di depan mau pun di belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan
agar saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling
menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana ini
memancarkan cinta kasih dalam ucapan terhadap mereka yang menjalankan kesucian,
baik di depan mau pun di belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan agar
saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling
menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana ini
memancarkan cinta kasih dalam pikiran terhadap mereka yang menjalankan kesucian,
baik di depan mau pun di belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan agar
saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling
menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, satu hal yang telah diperoleh dengan benar, dāna
makanan yang diperoleh dengan menerimanya di rumah perumah tangga atau di
vihāra. Dāna makanan itu diterima sebagai milik bersama, kemudian dibagikan pada
sesama yang menjalankan sīla dan kesucian. Hal ini akan menunjang tujuan agar
saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling
menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, mereka yang sama dalam melaksanakan sīla
dengan sesama yang menjalankan kesucian, baik di depan maupun di belakang
mereka, sebagai pelaksana sīla yang tidak terputus- putus, tidak berlubang, tidak
belang, tak ternoda di manapun, yang mengatasi, yang dipuji para bijaksana, yang tak
disertai dengan tanhā dan pandangan salah, yang dilaksanakan demi pengembangan
samādhi. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai,
saling menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan
menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, mereka yang mempunyai kesamaan dalam
pandangan benar (sammāditthi) dengan sesama yang menjalankan kesucian, baik di
depan maupun di belakang mereka, yang luhur, yang menjadi pembimbing pelaksana
ke pelenyapan dukkha secara benar. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling
mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling
menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, enam Dhamma ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat,
saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling menghindari
percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.”

Sesudah Sang Bhagavā selesai berkhotbah, para bhikkhu gembira dan bersenang hati.
Sutta Pitaka, Anguttara Nikaya, Chakka Nipata, Saraniya Vagga, Saraniyadhamma
Sutta (AN 6. 12)

 Dalam Saraniyadhamma Sutta (AN 6:12), terdapat 6 cara yang dapat menyebabkan
orang-orang bersatu, baik melalui ucapan, pikiran, dan perbuatan.

a. Metta Kayakamma yaitu perbuatan melalui badan jasmani yang dilakukan


dengan dasar cinta kasih. Dengan cinta kasih seseorang dapat membantu dan
menolong kepada sesama berupa bantuan tenaga, uluran tangan, dan senyuman.
Seseorang yang mampu mempraktikannya dengan baik dan tidak membeda-
bedakan suku, agama, dan ras. Perbuatan apapun yang dilakukan hendaknya
selalu disertai dengan cinta kasih. Perbuatan inilah yang membuat saling
dikenang, saling dihormati, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

b. Metta Vacikamma yaitu perbuatan melalui ucapan yang dilakukan dengan


dasar cinta kasih. Ucapan yang didasari dengan cinta kasih tidak akan menyakiti
dan melukai perasaan siapappun. Seseorang yang berucap dengan cinta kasih
memiliki kesadaran atas apa yang diucapkan, tidak berucap bohong, menghina,
mencaci, dan menfitnah seseorang. Ucapan yang didasari dengan cinta kasih
selalu membawa kedamaian bagi orang disekitarnya, karena berucap sesuai
dengan fakta, ucapannya lembut, dan tidak pernah menyakiti perasaan siapapun.
Ucapan yang selalu disertai dengan cinta kasih akan membuat saling dikenang,
saling dihormati, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

c. Metta Manokamma yaitu perbuatan melalui pikiran yang dilakukan dengan


dasar cinta kasih. Seseorang yang memiliki pikiran dengan dasar cinta kasih
tidak akan memikirkan hal yang buruk kepada siapapun. Pikiran dengan cinta
kasih selalu memancarkan kebaikan kepada semua makhluk dan tidak akan
menyakiti atau merugikan makhluk lain melalui pikiran. Seseorang yang
memiliki pikiran dengan cinta kasih tidak akan timbul perasaan keserakahan,
kebencian, dan kebodohan di dalam diri, karena sudah mengendalikan pikiran
untuk mengembangkn cinta kasih. Pikiran yang tidak didasari oleh cinta kasih
akan selalu memikirkan dan memiliki niatan buruk terhadap semua hal,
seseorang seperti ini akan selalu memandang semua orang dengan sisi negatif,
penuh prasangka buruk, kebencian, keserakahan, dan kebodohan untuk
memiliki hal yang diinginkan.

d. Sadharanabhogi yaitu berbagi perolehan yang diterima sebagai sesuatu yang


pantas. Berbagi sesuatu yang telah diperoleh kepada sesama, walaupun sedikit
maka akan menciptakan suatu kebersamaan. Selalu berbagi dapat disebut dana,
orang yang berdana berarti orang yang memiliki kemurahan hati. Kemurahan
hati sejati yaitu ketika memberi kepada siapapun tidak mengharapkan imbalan
apapun. Dalam agama Buddha berbagi bukan hanya dalam bentuk materi saja
tetapi berbagai macam bentuk seperti makanan, tenaga, pengetahuan, nasihat,
bahkan organ tubuh. Pemberian paling berharga yaitu pemberian pengetahuan
tentang kebenaran (Dhamma), karena Dhamma dapat membebaskan makhluk
dari penderitaan. Pemberian ini memberikan kekuatan yang besar untuk
mengubah kehidupan. Seseorang yang menerima Dhamma dengan murni dan
mempraktikkannya dengan benar dan sungguh-sungguh maka akan
memperoleh kebahagiaan, kedamaian, dan kegembiraan yang lebih besar dalam
pikirannya. Melalui Dhamma seseorang yang memiliki kebencian akan menjadi
welas asih, orang yang tamak menjadi murah hati, dan orang yang gelisah
menjadi tentram.

e. Silasamannata yaitu memiliki kesamaan dalam pelaksanaan Sila. Seseorang


yang menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang
menyinggung dan melukai perasaan orang lain. Umat Buddha diharapkan untuk
melatih dan mengembangkan sila. Seseorang yang melatih dan
mengembangkan sila akan memiliki perilaku yang baik kepada siapa saja dan
di mana saja. Seseorang yang memiliki kesamaan dalam pelaksaan sila akan
berkumpul atau berada dalam lingkungan yang sama, dengan memiliki
kesamaan maka akan lebih semangat dalam mempraktikkan sila. Seseorang
yang melaksanakan sila dengan baik maka akan memberikan manfaat bagi diri
sendiri maupun makhluk lain. Manfaat dari melaksanakana sila yaitu
mendapatkan kekayaan, reputasi baik tersebar luas, penuh percaya diri,
meninggal dengan tenang, dan setelah meninggal terlahir di alam baik. Dengan
kesamaan dalam pelaksaan sila maka menyebabkan orang-orang bersatu.
Contoh: seorang Bhikkhu akan berkumpul dengan para Bhikkhu dan
melaksanakan sila yang sama; para bhikkhuni akan berkumpul dengan para
bhikkhuni dan melaksanakan sila yang sama. Begitu pula dengan seorang
penjahat akan berkumpul dan berteman dengan para penjahat, seorang
pembohong akan berkumpul dengan pembohong, oleh karena itu ketika ingin
berkumpul dengan orang-orang yang baik dan memiliki sila yang baik, maka
sila di dalam diri sendiri harus ditingkatkan lagi.

f. Ditthisamannata yaitu memiliki kesamaan dalam pemahaman pandangan


benar. Memiliki pandangan yang sama dengan berpedoman pada pandangan
yang benar, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pendapat atau
pandangan. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati,
menciptakan kerukunan dan kesatuan. Setiap manusia memiliki pemikiran yang
berbeda, sehingga perbedaan pendapat dan pandangan pasti akan terjadi. Oleh
karena itu, harus berusaha mengerti dan memahami mana yang baik dan
bermanfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain. Mengerti mana yang buruk,
salah, dan tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain.

 Saraniyadhamma Sutta mengajarkan perilaku penganut Buddha untuk menciptakan


harmoni dalam komunitas. Sutta ini menekankan praktik kasih sayang, kejujuran, dan
kebijaksanaan sebagai dasar interaksi sosial. Penganut diajarkan untuk menjauhi
keegoisan, mendukung sesama, dan mengembangkan perasaan sukacita dalam
hubungan. Sutta ini menyoroti pentingnya tanggung jawab individu dalam menciptakan
lingkungan yang damai dan penuh kasih di antara sesama penganut Dhamma.

6. Toleransi

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi adalah sifat atau sikap
toleran. Toleransi berarti: Menghargai, Membiarkan, Membolehkan,
Menenggang. Toleransi juga berarti bersikap toleran terhadap orang lain yang
berbeda pendapat. Kata "toleransi" berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti
sabar. Secara etimologi, toleransi adalah: Kesabaran, Ketahanan emosional,
Keluasan dada.
 Nilai-nilai Toleransi dalam Perspektif Agama Buddha
Sikap toleransi telah diteladankan oleh Buddha baik melalui tindakan maupun
dalam nasehat melalui kotbah-kotbahnya. Nilai-nilai toleransi bukan hanya
diajarkan, melainkan ditunjukkan langsung dalam sikap dan tindakannya, juga
dilakukan oleh para siswanya. Buddha adalah seorang guru yang cinta damai,
dan sangat toleran terhadap penganut kepercayaan lain. Buddha tidak pernah
menggunakan kekerasan sekecil apapun dalam membabarkan Dhamma, karena
Ia hanya berdasarkan cinta kasih semata dalam mengajar kepada siapa pun. Hal
ini telah ditanamkan oleh Buddha sejak pertama kali Ia mengutus para siswanya
yaitu 60 bhikkhu arahat untuk membabarkan Dhamma ke semua makhluk.

Dalam kitab suci Vinaya Pitaka, Buddha memerintahkan para bhikkhu sebagai
berikut:
(Berjalanlah, para bhikkhu, dalam perjalanan untuk berkah banyak orang,
untuk kebahagiaan banyak orang karena welas asih terhadap dunia, untuk
kesejahteraan, berkah, kebahagiaan para dewa dan manusia).
 Dalam ajaran Buddha, terdapat prinsip-prinsip yang mendukung toleransi dan
penghargaan terhadap perbedaan antarindividu dan komunitas. Beberapa konsep
ini termasuk:
I. Metta (Kasih Sayang): Metta adalah konsep cinta kasih atau kasih sayang
yang diajarkan oleh Buddha. Para penganut Buddha diajarkan untuk
mengembangkan rasa kasih sayang terhadap semua makhluk, tanpa
memandang agama, ras, atau latar belakang lainnya.
II. Karuna (Belas Kasihan): Karuna adalah konsep belas kasihan
ataukepedulian terhadap penderitaan makhluk lain. Dengan memahami
penderitaan orang lain, orang Buddha diajarkan untuk merespon dengan
kepedulian dan membantu sesama.

III. Ahimsa (Tidak Berkekerasan): Meskipun prinsip ini lebih sering


dikaitkan dengan ajaran Hindu dan Jainisme, konsep tidak berkekerasan
juga hadir dalam ajaran Buddha. Tidak berkekerasan melibatkan
penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan dan penolakan
terhadap tindakan kekerasan.
IV. Penerimaan Keberagaman:* Ajaran Buddha menekankan penerimaan
terhadap kenyataan bahwa orang memiliki berbagai keyakinan dan
pandangan dunia. Penganut Buddha diajarkan untuk menghormati
perbedaan ini dan tidak memaksakan pandangan mereka kepada orang
lain.Dialog Antaragama: Dalam sejarah Buddha, terdapat catatan
mengenai dialog antara Buddha dan penganut agama lain. Buddha sering
berdiskusi dengan pemimpin agama lain untuk saling memahami dan
mencari persamaan.
 Kesimpulan : Toleransi dalam ajaran Buddha mendasarkan pada metta (kasih
sayang) dan ahimsa (tidak berkekerasan). Penganut diajarkan menghargai
perbedaan keyakinan, memupuk belas kasihan, dan menjauhi tindakan
kekerasan. Dengan dialog dan penerimaan, mereka mempromosikan kedamaian
serta kesatuan di tengah keberagaman.

7. Upalli suta

 Upāli adalah salah satu murid dari Buddha. Ia awalnya merupakan


penganut Jainisme dan murid dari Mahawira. Setelah kalah berdebat dengan
Buddha mengenai karma, ia mengikuti ajaran Buddha. Ajaran yang diperolehnya
dari Buddha mengenai cara-cara menemukan pengajaran Buddha. Upāli awalnya
adalah perumah-tangga yang kaya dan berpengaruh. Ia menjadi pendukung utama
bagi Jainisme. Ia tinggal di Nālānda dan berguru kepada tokoh Jainisme bernama
Nigantha Nataputta yang bergelar Mahawira. Setelah ajaran Buddha menyebar, ia
menawarkan dirinya untuk pergi menemui Sidharta Buddha Gautama untuk
memberikan bantahan atas ajarannya. Ia dikirim oleh Mahawira untuk berdebat
mengenai kamma. Teori kamma antara Mahawira dan Buddha memang berbeda.
Namun, pada akhirnya ia malah terpengaruh oleh ajaran Buddha. Upāli menerima
dari Buddha ajaran tentang cara-cara menemukan pengajaran Buddha. Caranya
dengan mengamati segala hal yang berkaitan dengan kekecewaan, kebosanan dan
kehilangan. Ajaran Buddha juga dapat ditemukan
melalui pengetahuan langsung, pencerahan dan nirwana

 Isi Sutta Upali:


1.Pada suatu kesempatan Sang Buddha tinggal di Nalanda di Hutan Mangga
Pavarika.
2. Kemudian, pada kesempatan ini Nigantha (Jain) Nataputta tinggal di
Nalanda dengan suatu romobogan besar kaum Nigantha. Lalu, setelah petapa
Jangkung Nigantha (Digha Tapassi) mengadakan pindapata di Nalanda dan
kembali dari pindapata, dia pergi ke Hutan Mangga Pavarika untuk menemui Sang
Buddha, dan saling memberi salam dengan Sang Buddha, dan setelah bicara
dengan sopan dan ramah, dia berdiri di satu sisi. Setelah dia melakukan hal itu,
Sang Buddha berkata kepadanya : 'Ada tempat duduk, duduklah sesukamu petapa.'
3. Setelah ini dikatakan, petapa Jangkung itu mengambil tempat duduk yang
lebih rendah dan duduk disatu sisi. Setelah dia melakukan demikian, Sang Buddha
bertanya kepadanya : 'Petapa, berada banyak jenis kamma Nigantha Nataputta
gambarkan sebagai pelaksanaan kamma buruk, dan untuk melakukan kamma
buruk?
'Sobat Gotama, Nigantha Nataputta tidak biasa mempergunakan uraian "kamma,
kamma"; Nigantha Nataputta biasa mempergunakan uraian "batang tubuh,"
'Kemudian, petapa, berapa banyak jenis batang tubuh Nigantha Ntaputta
gambarkan sebagai pelaksanaan perbuatan buruk, dan untuk menghilangkan
perbuatan buruk? '
'Sobat Gotama, Nigantha Nataputta menggambarkan tiga jenis batang tubuh untuk
pelaksanaan kamma buruk, dan untuk menghilangkan kamma buruk, yaitu : tubuh
jasmani, tubuh ucapan, dan tubuh mental."
'Bagaimana kemudian, petapa, adakah tubuh jasmani lain, tubuh ucapan lain, dan
tubuh mental lain ?'
Tubuh jasmani satu, sobat Gotama, tubuh ucapan satu yang lain, dan tubuh mental
satu yang lain.
'Dari ketiga jenis tubuh ini, petapa, yang demikian dianalisis dan di bedakan, jenis
tubuh mana yang Nigantha Nataputta gambarkan sebagai tubuh yang paling tercela
atas pelaksanaan kamma buruk, tubuh jasmani, tubuh ucapan dan tubuh mental.
'Dari ketiga jenis tubuh ini, Sobat Gotama, yang demikian dianalisis dan
dibedakan, Nigantha Nataputta menggambarkan tubuh jasmani sebagai yang
paling tercela untuk pelaksanaan kamma buruk, dan tidak begitu bagi tubuh,
ucapan atau tubuh mental.'
'Apakah Anda mengatakan tubuh jasmani, petapa?'
'Aku katakan tubuh jasmani, Sobat gotama.'
'Apakah Anda mengatakan tubuh jasmani, petapa?'
'Aku katakan hukuman jasmani, Sobat gotama.'
'Apakah Anda mengatakan tubuh jasmani, petapa.'
'Aku katakan tubuh jasmani, sobat Gotama.'
Jadi, Sang Buddha membuat petapa Jangkung Nigantha, mempertahankan
pertanyaannya sampai tiga kali.
4. Setelah ini dikatakan, petapa Jangkung itu bertanya kepada Sang Buddha :
'Sobat Gotama, berapa benyak jenis tubuh yang Anda gambarkan untuk
pelaksanaan kamma buruk?'
'Petapa, seorang Tathagata tidak biasa menggambarkan ungkapan atau uraian
'tubuh, tubuh'; Seorang Tathagatha biasa mempergunakan ungkapan atau uraian
"kamma, Kamma'.'
'Tetapi, sobat Gotama, berapa banyak jenis kamma yang Anda gambarkan untuk
pelaksanaan kamma buruk?'
'Petapa, aku menguraikan tiga jenis kamma untuk pelaksanaan kamma buruk, yaitu
kamma jasmani, kamma ucapan dan kamma pikiran.'
'Bagaimana kalau begitu, sobat Gotama, kamma jasmani satu, kamma ucapan lain
dan kamma pikiran lain ?'
'Kamma jasmani satu, petapa, kamma ucapan lain, dan kamma pikiran lain.'
'Dari tiga jenis kamma ini, Sobat Gotama yang dianalisis dan dibedakan demikian,
jenis manakah yang Anda gambarkan sebagai kamma yang paling tercela untuk
pelaksanaan kamma buruk, seperti kamma jasmani, ucapan atau pikiran?
'Dari ketiga jenis kamma ini, petapa, yang diananlisis dan dibedakan demikian,
Aku menggambarkan kamma pikiran sebagai paling tercela untuk pelaksanaan
kamma buruk, dan tidak demikian besarnya kamma jasamani atau kamma ucapan.'
'Apakah Anda mengatakan kamma pikiran, sobat Gotama?'
'Aku katakan kamma pikiran, petapa.'
'Apakah Anda mengatakan kamma pikiran, sobat Gotama?'
'Aku katakan kamma pikiran, petapa.'
'Apakah Anda mengatakan kamma pikiran, sobat Gotama?'
'Aku katakan kamma pikiran, petapa.'
Jadi Nigantha, petapa Jangkung itu membuat Sang Buddha mempertahankan
pernyataannya sampai tiga kali, yang sesudahnya dia bangkit dari tempat duduknya
dan pergi menuju Nigantha Nataputta.
5. Kemudian pada kesempatan itu Nigantha Nataputta duduk bersama dengan
serombongan besar orang dari Balaka, yang di antara mereka paling menonjol
adalah Upali. Nigantha Nataputta melihat Nigantha pertapa jangkung datang dan
ketika melihat dia, beliau bertanya kepadanya : 'Sekarang darimana engkau datang
pada hari besar, petapa?'
'Saya datang dari hadapan Bhikkhu Gotama, yang mulia.'
'Apakah engkau melakukan percakapan dengan Bhikkhu Gotama, petapa ?'
'Saya melakukan percakapan dengan Bhikkhu Gotama, yang mulia.; ''Lalu,
bagaimana percakapanmu dengan Bhikkhu Gotama, petapa?' Kemudian, Nigantha
petapa Jangkung menceritakan kepada Nigantha Nataputta, semua percakapannya
dengan Sang Bhagava.
6. Setelah semua itu dikatakan, Nigantha Nataputta berkata kepadanya:'Baik,
baik, (bagi) petapa : Sebagai seorang siswa yang sangat terpelajar yang mengetahui
Sistem Ajaran gurunya dengan benar, maka hal itu telah dinyatakan oleh petapa
Jangkung kepada Bhikkhu Gotama : Bagaimana badan pikiran yang tidak penting
masuk hitungan dibandingkan dengan badan jasmani yang besar? Sebaliknya,
badan jasmani paling pantas dicela karena pelaksanaan kamma buruk dan tidak
demikian besarnya badan ucapan dan badan pikiran.'
 Dari cerita Upali dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan martabat agama
yang dianut diri sendiri , tidak perlulah untuk merendahkan maupun menjelekkan
agama orang lain

8. Kalama sutta
 Kalama Sutta terkenal karena mendorong penyelidikan bebas; semangat sutta
menandakan suatu ajaran yang bebas dari fanatisme, kefanatikan, dogmatisme, dan
intoleransi.

 Kālāma Sutta merupakan instruksi kepada suku kalam dan sebuah khotbah Sang
Buddha yang tercantum di dalam Anguttara Nikaya dari Tipiṭaka. Sutta ini berisi
tentang penerapan sikap ehipassiko seperti yang diajarkan sang Buddha di dalam
menerima ajaran-Nya. Sang Buddha dalam sutta ini mengajarkan untuk "datang
dan buktikan" ajaran-Nya, bukan "datang dan percaya".
 Sang Buddha memulai khotbahnya dengan meyakinkan para Kalama bahwa
dalam situasi seperti demikian adalah hal yang wajar bagi mereka untuk bimbang,
sebuah ketenangan yang membangkitkan kebebasan menyelidik. Dia selanjutnya
membabarkan pesan berikut, menasihati para Kalama untuk meninggalkan hal-
hal yang mereka ketahui sendiri adalah buruk dan mengambil hal-hal yang
mereka ketahui sendiri adalah baik.

‘‘Etha tumhe, kālāmā, mā anussavena, mā paramparāya, mā itikirāya, mā


piṭakasampadānena, mā takkahetu, mā nayahetu, mā ākāraparivitakkena, mā
diṭṭhinijjhānakkhantiyā, mā bhabbarūpatāya, mā samaṇo no garūti. Yadā
tumhe, kālāmā, attanāva jāneyyātha – ‘ime dhammā akusalā, ime dhammā
sāvajjā, ime dhammā viññugarahitā, ime dhammā samattā samādinnā ahitāya
dukkhāya saṃvattantī’’’ti, atha tumhe, kālāmā, pajaheyyātha. “Adalah
selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah
selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul
dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan.
Marilah, O penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-
temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan
penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup
kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi
ketika, penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal
ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para
bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju
bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.
— Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 4.65
 Instruksi kepada suku kalama yang tercantum dalam Kalama Sutta:
i. Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang
kali didengar (anussava) • Atau yang berdasarkan tradisi (parampara)
ii. Atau yang berdasarkan desas-desus (itikara)
iii. Atau yang ada di kitab suci (pitaka-sampadana)
iv. Atau yang berdasarkan dugaan (takka-hetu)
v. Atau yang berdasarkan aksioma (naya-hetu)
vi. Atau yang berdasarkan penalaran yang tampaknya bagus (naya-hetu)
vii. Atau yang berdasarkan kecondonga kea rah dugaan yang telah
dipertimbangkan berulang kali (ditthi-nijjhan-akkh-antiya)
viii. Atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabba-
rupataya)
ix. Atau yang berdasarkan pertimbangan, ‘Bikkhu itu adalah guru kita’
(samano no garu)
 Menurut saya dari ajaran Kalama sutta dapat disimpulkan hal – hal
berikut :
i. Kritis dan Pemahaman Sendiri: Buddha menekankan pentingnya
memiliki pemikiran kritis dan tidak percaya begitu saja pada ajaran
atau pandangan tertentu. Orang harus menggunakan akal sehat dan
penilaian sendiri untuk mencapai pemahaman yang benar.
ii. Hasil Kebajikan: Buddha mengajarkan bahwa tindakan-tindakan baik
dan kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan kebaikan. Orang
dapat menilai kebenaran suatu ajaran atau tindakan dengan melihat
hasil yang dihasilkannya.
iii. Ketidaktahuan dan Keinginan: Buddha menyoroti pentingnya
menyadari peran ketidaktahuan dan keinginan dalam menciptakan
penderitaan. Dukungan terhadap keinginan yang tanpa pemahaman
yang benar dapat mengarah pada penderitaan.
iv. Empat Kriteria: Buddha memberikan empat kriteria untuk membantu
dalam menilai ajaran atau nasihat:
v. Pengalaman Pribadi: Jika sesuatu sesuai dengan pengalaman pribadi
yang baik.
vi. Ketepatan Logika: Jika sesuatu masuk akal dan logis.
vii. Kesesuaian dengan Ajaran: Jika sesuatu sesuai dengan ajaran yang
diterima secara luas.
viii. Hasil Kebajikan: Jika suatu tindakan menghasilkan kebaikan dan
kebahagiaan.
ix. Tindakan dan Etika: Ajaran ini juga mencakup pedoman etika dan
tindakan yang baik sebagai bagian dari jalan menuju pemahaman yang
benar dan kebahagiaan yang sejati.

Anda mungkin juga menyukai