Anda di halaman 1dari 4

Sejarah agama Buddha 

Agama Buddha diketahui berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan


para ilmuwan dengan memanfaatkan berbagai objek pengamatan seperti
peninggalan sejarah, cerita-cerita kuno, dan apa yang tertulis dalam
berbagai kitab masa lampau. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa
agama Buddha terlahir di abad ke-6 SM di Nepal. Orang yang menjadi
pencetusnya adalah seorang ksatria bernama Siddharta Gautama. Agama
ini muncul dari perpaduan berbagai kebudayaan seperti kebudayaan
helinistik (Yunani), kebudayaan Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia
Tenggara. Agama ini juga muncul karena adanya reaksi terhadap hadirnya
agama Hindu yang muncul lebih awal. Dari Nepal, agama Buddha
menyebar dengan cepat mengalahkan penyebaran agama Hindu ke
berbagai daerah di India, hingga ke seluruh benua Asia. Hingga kini,
agama Buddha sudah menjadi agama mayoritas di beberapa negara
seperti Thailand, Kamboja, Singapura, Myanmar, dan Taiwan.

Perkembangan Agama Buddha Agama


Buddha mencapai masa kejayaan di zaman pemerintahan Raja Ashoka
(273-232 SM) yang menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi
negara. Pada zaman raja Ashoka banyak dibangun bangunan-bangunan
yang sangat berharga bagi Agama Buddha seperti stupa dan tugu-tugu
yang terkenal dengan sebutan Tiang-Tiang Ashoka.

Dalam perjalanannya yakni setelah 100 tahun meninggalnya Sang Buddha,


agama Buddha terpecah menjadi 2 aliran. Perpecahan tersebut terjadi
karena adanya penafsiran yang berbeda dari masing-masing kubu. Ke dua
aliran tersebut adalah aliran Buddha Hinayana dan aliran Buddha
Mahayana. Aliran buddha Hinayana mempunyai sifat-sifat tertutup, dalam
artian aliran yang berpendapat bahwa setiap orang hanya dapat mengejar
pembebasan dari samsara untuk dirinya sendiri. Sedangkan aliran buddha
Mahayana mempunyai sifat-sifat terbuka, dalam arti setiap umat manusia
berhak menjadi seorang Buddha sehingga pengaruhnya dapat
membebaskan dirinya dan orang lain dari samsara (kesengsaraan).
CARA PANDANG AGAMA BUDDHA TERHADAP AGAMA
LAINNYA
tidak setiap orang memiliki kecenderungan dan minat yang sama, Buddha mengajarkan
beragam cara pada beragam orang. Mengutip contoh ini, Yang Mulia Dalai Lama berkata
sungguh luar biasa bahwa ada beragam agama di dunia ini. Persis seperti satu jenis
makanan yang tidak akan dapat memenuhi selera setiap orang, satu agama atau satu
perangkat kepercayaan tidak akan memuaskan kebutuhan semua orang. Oleh karena itu,
teramat sangat bermanfaat bahwa beragam agama tersedia untuk dipilih. Beliau menyambut
dan bersukacita akan hal ini.
Sekarang ini, ada tumbuh sebuah percakapan, yang berdasar pada sikap saling
menghormati, antara para guru Buddha dan pemimpin agama lainnya. Dalai Lama,
contohnya, kerap bertemu dengan Paus. Di Assisi, Italia, pada Oktober 1986, Paus
mengundang para pemimpin agama seluruh dunia dalam sebuah pertemuan akbar. Sekitar
seratus lima puluh perwakilan hadir. Dalai Lama duduk di sebelah Paus dan diberi
kehormatan untuk menyampaikan pidato pertama. Di muktamar itu, para pemimpin rohani
membahas pokok-pokok yang umum dalam semua agama, seperti kesusilaan, cinta, dan
welas asih. Orang-orang sungguh disemangati oleh kerjasama, keselarasan, dan sikap
saling menghormati yang dirasakan oleh pemimpin berbagai agama itu satu sama lain.
Tentunya, jika kita membahas metafisika dan teologi, ada perbedaan yang jamak. Tidak ada
jalan menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa kita perlu
berembug dengan sikap “Ayahku lebih kuat daripada ayahmu.” Ini sangat kekanak-kanakan.
Lebih bermanfaat jika kita melihat hal-hal yang serupa. Semua agama dunia berusaha
memperbaiki keadaan kemanusiaan kita dan membuat hidup lebih baik dengan mengajar
orang untuk mengikuti perilaku berbudi pekerti. Semua agama tidak mengajarkan orang
untuk secara mutlak terperangkap dalam sisi kebendaan dari kehidupan ini, tapi setidaknya
memantapkan keseimbangan antara kemajuan kebendaan dan kemajuan rohani.
Akan banyak membantu jika semua agama bekerja bersama untuk memperbaiki keadaan
dunia. Kita tidak hanya butuh kemajuan kebendaan, tapi juga kemajuan rohani. Jika kita
hanya menekankan pada unsur kebendaan dari kehidupan, mencari cara untuk membuat
bom yang lebih dahsyat untuk memusnahkan semua orang bakal jadi tujuan yang
menggairahkan. Jika, di lain pihak, kita berpikir dalam kerangka kemanusiaan atau
kerohanian, kita menyadari ketakutan dan masalah-masalah lain yang muncul jika kita terus
mengembangkan senjata pemusnah massa. Jika kita hanya berkembang secara rohani dan
tak ambil peduli dengan sisi kebendaan, orang akan kelaparan, dan hal ini juga tidak ada
bagusnya. Kita butuh keseimbangan.
Satu unsur dari hubungan di antara agama-agama dunia adalah bahwa agama-agama
tersebut saling berbagi ciri khasnya masing-masing. Contohnya, coba pikirkan tentang
hubungan antara umat Buddha dan Kristen. Banyak umat Kristen perenung yang tertarik
mempelajari cara-cara untuk memusatkan perhatian dan meditasi dari ajaran Buddha.
Banyak pastor, kepala biara, biarawan, dan biarawati Katolik datang ke Dharamsala, India
mempelajari keterampilan ini untuk dibawa pulang ke aliran-aliran mereka sendiri. Beberapa
orang beragama Buddha telah mengajar di seminari Katolik. Saya juga telah diundang
dalam beberapa kesempatan untuk mengajar di sana tentang cara meditasi, cara
mengembangkan pemusatan perhatian, dan cara mengembangkan cinta kasih. Kekristenan
mengajarkan kita untuk mengasihi setiap orang, tapi tak menjelaskan secara terperinci cara
melakukannya. Ajaran Buddha kaya akan cara-cara untuk mengembangkan cinta kasih.
Agama Kristen, pada tingkatannya yang tertinggi, terbuka untuk mempelajari cara-cara ini
dari agama Buddha. Ini tidak berarti bahwa semua orang Kristen akan menganut agama
Buddha – tak ada yang sedang mencoba membuat orang pindah agama. Cara-cara ini
dapat disesuaikan dalam kerangka agama mereka sendiri untuk menolong mereka menjadi
orang Kristen yang lebih baik.
Demikian pula, banyak umat Buddha yang tertarik untuk mempelajari hal pelayanan sosial
dari agama Kristen. Banyak aliran Kristen yang menekankan agar para biarawan dan
biarawati mereka terlibat dalam pengajaran, karya di rumah sakit, merawat para lanjut usia,
para yatim piatu, dan seterusnya. Walau beberapa negara Buddha telah mengembangkan
pelayanan-pelayanan sosial ini, tidak semuanya begitu, untuk beragam alasan sosial dan
geografis. Umat Buddha dapat belajar tentang pelayanan sosial dari umat Kristen. Yang
Mulia Dalai Lama sangat terbuka untuk hal ini. Ini tidak berarti bahwa umat Buddha menjadi
Kristen. Alih-alih, ada unsur-unsur tertentu dari pengalaman agama Kristen yang dapat
dipelajari oleh umat Buddha; ada juga hal-hal dari pengalaman agama Buddha yang dapat
dipelajari umat Kristen.

CERITA SINGKAT TENTANG AGAMA BUDDHA


Pada awal mulanya, Buddha bukan sebuah agama, tetapi hanya merupakan suatu
paham baru dalam agama Hindu, yang disebut Budhisme. Muncul sebagai protes
terhadap perbedaan kasta, terutama Kasta Brahmana yang dianggap terlalu banyak
mempunyai hak-hak istimewa, dan kasta-kasta lain yang dianggap terlalu membedakan
kedudukan seseorang. Semua itu dipandang kurang adil. Paham tersebut disebut
Budhisme karena dikembangkan dan disebarluaskan oleh Sidharta Buddha Gautama,
seorang putra Raja Sudhodana dari Kerajaan Kapilawastu, termasuk keturunan suku
bangsa Sakya. Kemudian ajarannya berkembang menjadi agama Buddha.

Konsep agama Buddha mengajarkan bahwa hidup adalah menderita, dan penderitaan itu
terjadi karena ketidaktahuan manusia akan kebenaran yang hakiki, kebenaran yang
mutlak. Namun ada jalan keluar untuk mengentas manusia dari ketidaktahuan (awidya),
yaitu melalui jalan kebenaran yang harus ditempuh manusia selama hidupnya.

Penganut agama Buddha percaya bahwa tujuan hidup manusia di dunia adalah
menghentikan reinkarnasi, karena reinkarnasi adalah penderitaan (samsara) yang
bersifat sementara. Sedangkan penderitaan sebenarnya adalah apabila seseorang terus-
menerus mengalami reinkarnasi, atau selalu dilahirkan kembali ke dunia, yang berarti
terus-menerus mengalami penderitaan. Oleh karena itu, konsep agama Buddha
mengajarkan bagaimana agar manusia terbebas dari kehidupan yang berulang-ulang,
yaitu apabila telah dapat mencapai nirwana. Seseorang yang dapat masuk nirwana,
dianggap telah terbebas dari ketidaktahuan, terbebas dari penderitaan, terbebas dari
kelahiran kembali, dan orang tersebut sudah moksha.

Seluruh ajaran agama Buddha terdapat dalam Buku Tripitaka yang terdiri atas sebagai
berikut.
 berisi tentang peraturan dan hukum yang menentukan cara hidup para pemeluk
agama Buddha.
 berisi tentang wejangan-wejangan Sang Buddha.
 berisi tentang penjelasan dan uraian mengenai agama Buddha.
Ada kesamaan konsep antara Hindu/Syiwa dan Buddha. Konsep kebenaran yang hakiki
menurut agama Hindu (Syiwa) dan agama Buddha ialah meleburkan diri ke dalam ang
Mutlak, berupa kekosongan atau kehampaan (s ). Meskipun jalan yang ditempuh untuk
menuju ke sunyarupa tersebut berbeda antara kedua agama, tetapi tujuan keduanya
sama, yaitu  sh atau tidak dilahirkan kembali. Lahir cukup sekali selama hidup untuk
selanjutnya sebagai penghuni nirwana yang kekal abadi

Anda mungkin juga menyukai