Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Disusun Oleh:
Abdul Malik
NIM : 1110032100053
Abdul Malik
Puasa adalah masalah yang menarik. Mengapa demikian, ajaran puasa dalam agama
Buddha hanya sebagai media standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan
rahmat dan ampunan dari Sang Buddha. Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai
agama (asketik), yaitu agama yang tidak tergiur dengan keindahan duniawi. Ia hanya
mementingkan untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di
dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana. Sederhananya
nibbana merupakan puncak spiritualitas dalam agama Buddha yang terlepas unsur-unsur duniawi
yang membelenggu penganutnya. Maka dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya
berhubungan terhadap Sang Buddha saja. Akan tetapi, dengan berpuasa mempunyai nilai-nilai
sosial yang sangat penting dalam kehidupan.
Dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, yaitu suatu
cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik. Oleh
karena itu, penulis mencoba untuk meneliti ritual puasa dalam agama Buddha. dalam melakukan
penelitian ini, penulis mengumpulkan data kualitatif. Pertama, data kepustakaan. Penulis
mengumpulkan beberapa literatur buku-buku ilmiah dan sumber lainnya yang memiliki relevansi
dengan objek penelitian sebagai dasar-dasar teoritis. Kedua, data lapangan. Yaitu penulis terjun
langsung ke Vihara Siripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan Banten dimana umat Buddha
melakukan ritual. Ketiga, penulis melakukan wawancara dengan mengajukan beberapa
pertanyaan untuk mengumpulkan data dan memperoleh keterangan-keterangan yang sesuai
dengan tujuan penelitan.
Setelah penulis amati, bahwasannya puasa itu mengandung nilai-nilai sosial yang sangat
penting dalam kehidupan kita khususnya dalam agama Buddha. Berpuasa bukan hanya media
untuk mendekatkan diri kepada Sang Budda saja, akan tetapi implementasi nilai-nilai puasa itu
kita terapkan dalam kehidupan sosial. Apa saja nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama
Buddha? Tentunya nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama Buddha sangat banyak. Akan
tetapi, penulis mencoba meringkasnya dalam empat faktor diantaranya: dengan berpuasa
khususnya penganut Buddha harus mempunyai sifat solidaritas sosial yang tinggi, mempunyai
rasa empati, mempunyai rasa humanisme dan harus bisa mengendalikan pikiran. Karena dengan
nilai empat faktor ini bagi umat Buddha yang menjalankan ritual puasa ia akan merasa hidup
lebih tenang dan bahagia untuk mencapai tujuan akhir yaitu nibbana.
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL…………………………………………………………………………i
SURAT PERNYATAAN………………………………………………………….……...ii
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..………iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..……..…iv
ABSTRAK……………………………………………………………………..………..…v
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…………...vi
BAB I PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah…………………………………………………...……6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...…6
D. Kajian Pustaka…………………………………………………………..…7
E. Metodologi Penelitian…………………………………………………...…8
F. Sistematika Penulisan……………………………………………………..11
ix
B. Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha…………………….……….29
A. Solidaritas…………………………………………………………………46
B. Rasa Empati………………………………………………………...……..48
C. Humanisme………………………………………………………………..52
D. Pengendalian Pikiran………………………………………………...……57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….62
B. Saran………………………………………………………………………63
C. Daftar Pustaka…………………………………………………………….65
x
BAB I
PENDAHULUAN
mempunyai kekuatan di luar diri manusia. Oleh karena itu, sejarah agama-
agama yang dianut oleh umat manusia tidak dapat lepas dari sejarah
Zoroaster, Kristen, dan Islam masuk pada kategori kedua, yaitu agama yang
lahir di daratan dimana wahyu Tuhan kitab suci diturunkan. Agama masyarakat
Shinto.1
1
Erwin Kusuma, Khazanah Kearifan Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT
Intimedia Cipta Nusantara, 2010), h. 1-2.
1
Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara
Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan
dunia ini.
kewajian yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang
Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai prilaku sosial yakni prilaku
kadang prilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan
nilai-nilai sangat berpengaruh terhadap prilaku sosial. Salah satu fungsi agama
adalah sebagai penyelamat, keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah
kepada Tuhan.4
2
UUD 1945, Pasal 29.
3
Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktisi (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2006), h. 127.
4
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 261.
2
Dari semua fenomena yang berkaitan dengan ritual agama, puasa
yang sering bersemayam pada diri manusia. Seperti diketahui, banyak tingkah
dan ulah manusia di dunia ini yang tidak mencerminkan sikap yang seharusnya
menjadi sikap manusia. Secara spiritual puasa dapat mendorong untuk lebih
empati manusia untuk bertenggang rasa dan turut merasakan penderitaan orang
lain yang kurang beruntung di dunia. Salah satu hikmah yang besar dari ibadah
lebih mulia. Setiap orang yang menjalankan ibadah puasa pada hakekatnya
ruhaniah.5
agama dan budaya diseluruh dunia selama ribuan tahun. Puasa umumnya
5
Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spritual Anda (Bandung: PT Karya Kita,
2007), h. 42.
3
penebusan dosa, pemurnian, atau pelatihan mental. Ajaran puasa dapat kita
Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai agama (asketik), yaitu
untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di
dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana.
dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya hubungan terhadap Sang Buddha
sila, yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk
pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri
6
https://id-id.facebook.com/perpustakaanunik/pasts
7
Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996-2026 (Jakarta:
Yayasan Dhammadieva Arama, 1997), h. 2.
4
dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan
moha (kebodohan batin). Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang
Dasar ajaran puasa dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila,
dari atthasila (delapan peraturan hidup suci), dasasila (peraturam pada hari
terdapat tingkatan, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setian hari
Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha
telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah
peraturan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah
hari.11 Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai
tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12:00 siang. 12 Mereka
berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat
tengah hari dan melaksankan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan
8
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Cantre,
1991), h. 170.
9
Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus
Agama Buddha), h. 25.
10
Bhikku Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (t.tp: t. tt), h. 36.
11
K. Sri Dhammanada, What Buddhis Belive, h. 214.
12
Anomius Dhamma Rakkha, Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta:
Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47.
5
Hari uposatha disebut juga Uposathadivasa, yaitu hari suci dan hari
penuh berkah. Meski bukan bersifat wajib diharapkan pada hari uposatha para
sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada
berbagai agama, atau hanya sebagai media untuk mendekatkan diri kepada
Sang Buddha. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
13
www.kompasiana.com/sudhana/perbandinganpuasa-Islam-dan-puasa-Buddha-rabu-
11-Mei-21:00.
6
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat
1. Pada tinjauan akademik, kegunaan penelitian ini dibuat sebagai salah satu
D. Kajian Pustaka
menunjukan beberapa karya tulis ilmiah yang telah membahas tentang puasa
dalam agama Buddha. Beberapa karya tulis ilmiah tersebut berupa skripsi dan
buku, sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitan yang serupa membahas
7
yang saya buat lebih spesipik mengenai konsep puasa dan peran puasa
2. Puasa Dalam Perspektif Agama Islam dan Buddha. Skripsi ini ditulis oleh
mendasar. Maka dari itu, penulis akan menjelaskan peran puasa terhadap
membicarakan tentang makna, cara dan tujuan puasa saja. Dengan buku ini
E. Metodologi Penelitian
diperlukan data atau informasi yang lengkap serta penjelasan yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Dalam hal ini, unsur yang
a. Jenis Penelitian
8
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dan
alamiah, dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau
fenomena yang ada, baik fenomena secara alamiah maupun fenomena buatan
manusia.14
b. Metode Penelitian
berkaitan dengan nilai-nilai sosial puasa bagi para penganut agama Buddha.
c. Sumber Data
berikut:
a.). Data primer adalah sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi
utama dari kejadian yang lalu. Data tersebut diperoleh secara langsung di
Vihara Siripada. Data-data yang dibutuhkan dari sumber asli yang memuat
b). Data sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa, ataupun
14
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1995), h. 134.
9
tersebut berisi bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
buku karangan ilmiah, artikel yang ditulis oleh orang-orang yang tidak
penelitian ini.15
sebagai berikut:
sumber cetak lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini,
b). Data observasi lapangan (field research), yaitu peneliti terjun langsung ke
10
c). Interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data untuk
informan yang satu ke informan yang lainnya agar bisa mendapatkan data
F. Sistematika Penulisan
Agama Islam, Puasa Menurut Agama Kristen Protestan, Puasa Menurut Agama
Kristen Katolik, Puasa Menurut Agama Konghucu, serta Puasa Menurut Agama
Hindu.
Puasa Dalam Agama Buddha, Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha,
17
Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 182.
11
Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha, dan Tujuan dan
Daftar Pustaka.
12
BAB II
Menahan di sini, yaitu menahan dari hal-hal yang masuk ke dalam mulut dalam
bentuk makanan dan minuman, bahkan juga diartikan menahan dari perbuatan
dan bicara. Sementara Pengertian puasa menurut secara syariat Islam disepakati
para ulama, yaitu menahan dari apa pun yang membatalkan puasa, disertai niat
untuk berpuasa dari terbit fajar sampai tenggelam matahari (maghrib). Ada pula
sebagai perbuatan dua anggota badan, yaitu perut dan alat kelamin.18
oleh Allah bagi orang-orang yang beriman. Yaitu mayakini Allah sebagai Rabb
183). Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas
13
akan memelihara dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh
Allah dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang oleh Allah.”21 Jika manusia
kalian menuju kepada ampunan Allah, dan memohon surge yang luasnya
seluas langin dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.22
Oleh karena itu, kita harus mencantumkan puasa Ramadhan dalam agenda
ibadah agar tidak kehilangan kesempatan emas yang hanya dijumpai sekali
berpuasa orang akan berfikir. Kedua, puasa mengajarkan disiplin diri, ia yang
mampu menjalankan tuntutan bulan puasa ini tidak akan mengalami kesukaran
khusus, yaitu dengan melakukan puasa-puasa sunah yang dijanjikan oleh Allah
21
Yusuf Al-Qardhawy, Hidup Menjadi Taqwa (Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 65.
22
QS. 3:133.
23
Huston Smith, Agama-agama Manusia. Penerjemah: Saafrudin Bahar (Jakarta,
2008), h. 282.
14
dengan pahala yang sangat luar biasa. Apa saja puasa sunah itu, diantaranya:
puasa sunah hari Senin dan Kamis, puasa sunah Nabi Daud, puasa sunah
syawal, puasa sunah muharram, puasa sunah asyura, puasa sunah syakban,
puasa sunah hari arafah dan puasa sunah ayyamul bidh (puasa yang dilakukan
nanti. Di dunia saja orang yang berpuasa ia akan merasa hidup bahagia karena
Kata “puasa” adalah tsom dalam bahasa Ibrani, dan nesteia dalam
bahasa Yunani. Kata ini berarti berpantang secara sukarela terhadap makanan.
Kata Ibrani adalah komposisi dari kata negatif ne yang digandengkan dengan
kata kerja esthio, “makan” yang dengan demikian berarti “tidak makan”.
24
Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spiritualitas Anda (Jakarta: PT unilever
Indonesia), h. 45.
25
Hadis Arbain Nawawi, h.. 20.
15
Sebagian besar serjana percaya bahwa praktik puasa dimulai dengan hilangnya
kesedihan; namun, lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan untuk
kesedihannya; oleh karena itu, hal ini menjadi kebiasaan keagamaan untuk
perlindungan ilahi. Oleh karena itu, alami untuk sekelompok orang untuk
26
Elmer L. Towns, Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani (Jakarta: Yayasan
Pekabaran Injil), h. 26.
27
Injil Perjanjian Lama (1 Samuel: 1:7).
28
Injil Perjanjian Lama (1 Raja-raja 21:4).
16
menyatukan diri mereka dalam pengakuan dosa, menyesali dosa mereka dan
dikalangan umat Nasrani meliputi puasa hari Rabu yang merupakan hari
pengkhianatan terhadap Nabi Isa hingga tertangkap, dan puasa pada hari Jumat.
Sesudah itu, puasa Agung selama 55 hari, yang 40 hari merupakan puasa yang
dilakukan Nabi Isa ditambah dua minggu (dua pekan) sebagai persiapan dan
memakan daging hewan apapun juga atau apa saja yang bersifat hewani. Yang
Puasa bagi umat Kristen Katolik, kini lebih menekankan dalam soal
kenyang satu kali serta menahan hal-hal dari keinginan manusia terkait
duniawi, yaitu daging, seperti halnya puasa umat Kristen yang lainnya.
Disamping puasa resmi, secara pribadi umat Katolik juga disarankan untuk
berpuasa pada hari-hari yang disukai atau yang dipilih, hal ini sebagai
29
Elmer, Terobosan Rohani, h. 212-213.
30
Daging yang dimaksud dalam agama Kristen adalah manusia itu sendiri. Jadi artinya
keinginan daging yaitu keinginan manusia itu sendiri, dan juga mengerjakan puasa agar sebisa
mungkin tidak diketahui oleh sesama yang sedang berpuasa atau yang sedang tidak puasa
termasuk merahasiakan hari apa dia akan mulai berpuasa.
31
Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 56.
17
ungkapan taubat.32 Tradisi puasa dalam agama Kristen Katolik, telah bermula
pada kebiasaan kuno, berpuasa selama 40 hari 40 malam, sebagai praktek Nabi
Begitu pula Nabi Ilyas (Elias) ketika ia hendak pergi ke gunung Horeb
menerima wahyu. Terakhir tradisi berpedoman pada puasa Jesus 40 hari, yang
pernah terjadi beliau tampil di muka umum. Tetapi kenyataan Katolik dewasa
ini, mereka telah menempatkan puasanya selama 40 hari itu pada hari-hari
berbagai pantang dan puasa sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan yang
Dahulu dalam Agama Katolik memang ada ketetapan Gereja bagi tata
tertib puasa, ketatnya bagaikan juga puasa dalam Islam. Namun kini kenyataan-
dengan jalan menghapus tata tertib di sekitar puasa. Bagaimana pun puasa
Katolik tidak lagi bersifat jasmani dan rohani, tetapi rohaniah semata. Itulah
18
Sesungguhnya aku bersabda kepadamu, mereka sudah menerima
pahalanya. Akan tetapi engkau bila berpuasa minyakilah kepala-mu dan
basuhlah muka-mu supaya jangan ada yang melihatmu berpuasa,
melainkan hanya Bapak-mu yang hadir dalam kesunyian dan ia yang
melihat dalam kesunyian juga akan mengganjari engkau”. 36
Jadi pelaksanaan puasa dalam agama Kristen Katolik, mempunyai
aturan-aturan yang telah ditentukan sama seperti umat-umat yang lainnya. Para
telah dilakukan. Disamping itu, dalam agama Kristen Katolik ada hari-hari
yang tertentu untuk melaksanakan ibadat puasa, yaitu hari Rabu dan Jumat.
diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa,
Indonesia, yakni tidak makan dalam waktu tertentu atau tidak makan hewan
terciptanya kondisi untuk membina diri, yaitu mempunyai dua prinsip tujuan
yang akan dicapai, pertama: dalam bentuk pengendalian nafsu, kedua: untuk
36
Kitab Injil Perjanjian Baru, Matius 6: 16-18.
19
memperbaiki kekeliruan. 37 Jika kita mengamati kata puasa dalam agama
Konghucu “Zhai”. Dapat juga diartikan sebagai yang agung, bersih, jernih,
lurus, polos, sederhana, menjaga larangan dan prilaku yang benar. Maka makna
puasa menurut ajaran Konghucu bukan hanya dilihat dari sudut pandang
berpuasa makanan saja tapi dalam perbuatan harus selaras dengan watak
sejati.38
sejalan dengan kehendak Tuhan. Yaitu agar segala tindakan dan perkataan kita
dengan mengikuti atau menjalankan ke lima sifat kekekalan, yaitu: Ren (cinta
37
http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agama-Konghucu-dan-
pemahaman-puasa. diakses-pada-tanggal-20-Mei-2016.
38
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agama-
Konghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016.
20
kasih), Yi (kebenaran), Li (kesusilaan), Zhi (bijaksana) dan keyakinan (dapat
dipercaya).39
tetapi itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bagi penganutnya. Jadi
dan menjaga diri untuk bisa memperbaiki dari kekeliruan. Dua hal ini yang
sesuai dengan maksud tujuan dilaksanakan puasa itu, namun memiliki ending
dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya dekat atau mendekat, dan Wasa
artinya Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Upawasa atau puasa artinya
mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha esa. Puasa menurut Hindu adalah
tidak sekedar menahan haus dan lapar, tidak untuk merasakan bagaimana
menjadi orang miskin dan serba kekurangan, Puasa menurut Hindu adalah
39
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agama-
Konghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016.
21
Setelah dalam kurun waktu tertentu, semangat pengorbanan dan prilaku
terkendali akan mengakibatkan karakter moral seseorang dan yang jelas akan
berpuasa akan membuat seseorang sadar akan ketaatan dan nilai-nilai mulai di
lebih baik. Ingatlah bahwa berpuasa adalah menuju jalan kehidupan berdisiplin
surga bagi anda. 40 Dari uarayan diatas, puasa menurut Hindu bukan hanya
sekedar mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Akan tetapi, banyak keutamaan
yang akan diperoleh bagi umat Hindu yang menjalankan ibadat puasa.
Diantaranya: secara individual akan menjadi pribadi yang lebih baik, yang bisa
kesuksesan dalam kehidupan, serta menggapai tujuan yang abadi yaitu surga.
Upawasa dapat dibedakan dalam pengertian yang sempit dan luas. Dalam
pengertian yang sempit upawasa dapat diartikan sebagai dengan sengaja tidak
makan dan tidak minum, termasuk pengendalian panca indra. Sedangkan dalam
dan berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Selanjutnya dapat
40
Kaisanlal Sharma, Mengapa Tradisi dan Upacara Hindu? (Surabaya: PT Paramita,
2007), h. 111.
22
Pelaksanaan upawasa, tapa dan brata itu ada berbagai macam ragamnya,
Ada yang berpuasa atau bertapa pada waktu siang hari saja atau selama
12 jam. Tetapi ada juga yang berpuasa atau membrata pada waktu siang plus
malam hari atau selama 24 jam. Bahkan ada juga yang sampai 36 jam atau
lebih, tergantung dari pada niat, keyakinan, atau kebutuhan setiap orang,
upawasa atau tapa brata makin baik, sebab dapat mengakibatkan iman kita
semakin kuat.41 Ritual berpuasa juga dikenal dikalangan para pendeta Hindu
sangat patuh tehadap perintah puasa yang dibuat oleh para pendeta Brahma.
puasa yang sangat keras. Terutama pada aliran Yogi, ada yang berpuasa sampai
10 hari atau 15 hari bahkan lebih lama lagi dari itu, tidak memakan sesuatu apa
pun, atau paling tidak hanya minum beberapa tetes air saja. Penganut Hindu-
Brahma juga terbiasa berpuasa pada hari ke-11 setelah munculnya bulan baru
dan bulan penuh. Sementara pemuja Syiwa juga berpuasa tiap hari Senin pada
suami atau kekasih mereka pergi berperang. Kebiasaan ini terutama dilakukan
oleh para wanita di kalangan keratin, dengan alasan agar menang perang.42
41
K.M. Suhardana, Upawasa, Tapa, Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya:
Paramita 2006), h. 4-5.
42
Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika 2014), h. 56.
23
Selain itu, umat Hindu menjalankan puasa dengan tujuan memurnikan
jiwa pada hari-hari tertentu dalam setiap tahun serta selama perayaan
keagamaan. Setiap kelompok dalam agama Hindu memiliki hari mereka sendiri
untuk berdoa dan beribadah. Pada hari itu, sebagian besar para penganut agama
Hindu tidak makan dan menghabiskan seluruh malam untuk membaca Kitab
Suci serta bermeditasi kepada Tuhan.43 Dengan demikian, puasa dalam agama
43
Ali Budak, Sebuah Panduan Lengkap Puasa dan Bulan Ramadhan (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 13.
24
BAB III
diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang
mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha. Istilah ini berasal dari
hari puasa, yaitu hari Purnama Sidhi, hari bulan baru dan hari
disini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau
berada di vihara atau komplek vihara, untuk belajar dhamma melalui buku,
44
Tipitaka adalah kitab agama Buddha yang tertua, ditulis sekitar tahun 300 SM. Kitab
tersebut utamanya ditulis dengan bahasa “Pali”. Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya
Tipitaka Pali dan dalam buku/ceramah ini dikenal dengan beragam nama termasuk “teks Pali”
atau “kitab suci”, mungkin juga hanya “teks saja”.
45
Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Athasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama
Buddha), h. 21.
46
Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Freewin: Co. Tto. 1972), h. 187.
25
diskusi, mendengarkan khutbah, menjalankan delapan sila dan berlatih
meditasi.
suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri
(puasa).47 Menahan diri disini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa
nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya.
Singkatnya apa yang disebut puasa atau Uposatha itu bukan hanya
mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak gerik
pikiran, ucapan, dan jasmani. Dalam pikiran agar tidak berprasangka yang
negatif terhadap orang lain, ketika berucap harus mengandung yang manfaat
buat orang lain, tidak mencemooh dan tidak berkata kotor. Sedangkan dalam
dalam Kitab Tripitaka, tidak ada anjuran untuk berpuasa. Akan tetapi, jika
47
Bhikku Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha,
1988), h. 28.
48
Bhikku Utomo, Dasar-dasar Uposatha (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena,
1993), h. 1-2.
26
karena puasa termasuk di dalam ajaran sila, dan harus melaksanakan sila yang
telah ditentukan.49
termasuk suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan
Berbohong terhadap diri sendiri maupun berbohong terhadap orang lain. kedua,
harus berbuat benar, dengan ajaran kesusilan ini ketika umat Buddha
aktifitas apapun yang dilakukan harus yang benar dan ketiga, harus mencari
nafkah yang benar. Dalam artian mencari nafkah yang halal yang dianjurkan
pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan
49
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan, pada
tanggal 20 September 2016.
50
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center,
1991), h. 44.
27
kebencian, dan kebodohan batin.51 Disamping puasa termasuk kedalam ajaran
kesusilaan, puasa juga bisa membantu untuk mengendalikan diri dari segala
akar kejahatan, yaitu keserakahan atau dalam istilah agama Buddha disebut
Selanjutnya kebencian dalam istilah agama Buddha disebut dengan Dosa, jelas
sekali di dalam ajaran agama Buddha dilarang untuk saling membenci, bukan
hanya agama Buddha saja yang melarang kebencian, semua agama pun yang
ada dialam dunia ini melarang untuk berbuat kebencian.52 Coba kita bayangkan,
kebencian. Maka apa yang terjadi? Yang terjadi hanyalah kerusuhan di alam
muka bumi ini. Selain lobha dan dosa dalam istilah agama Buddha, ada satu hal
lagi yang akan penulis jelaskan, yaitu moha atau kebodohan batin. Kebodohan
batin disini menyangkut kepada spiritual, orang yang bodoh batinnya maka
akan sulit untuk mendekatkan diri kepada Sang Buddha. Maka denagan
berpuasa umat Buddha akan terhindar dari kebodohan batin. Dengan tiga poin
penting diatas, apabila umat Buddha bisa meredam semua itu ia akan mencapai
nibbana.53
mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang
51
Kaharuddin, Kehidupan, h. 44.
52
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
53
Nibbana adalah keadaan dimana sudah tidak ada lagi keserakahan, kebencian, dan
kegelapan batin. Dengan kata lain nibbana ini bersifat abadi. Atau bisa disebut juga dengan
kekosongan dan kebebasan secara mutlak.
28
menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk
larang untuk memakan makanan yang padat, para penganut agama Buddha pun
yang berniat untuk melaksanakan ibadat puasa maka dilarang pula meminum
minuman yang mengenyangkan. Seperti susu, kopi, energen daan yang lainnya
yang bisa mengenyangkan. Akan tetapi, jika ingin minum air putih itu
Dasar hukum puasa dalam agama Buddha itu tidak wajib, bisa dikatakan
Bhikku. Puasa dalam agama Buddha mungkin lebih tepatnya disebut dengan
Atthasila yaitu latihan delapan aturan kemoralan. Dalam Kitab Suci Tripitaka
Khudaka Nikaya bagian (Sutta Nipatta, 2003:93), disitu dijelaskan dalam oleh
Sang Buddha untuk pelaksanaan puasa bagi umat Buddha jatuh pada tanggal 1,
ditunjukan oleh Sang Buddha dalam sebulan empat kali. 55 Maka bagi umat
54
K. Sri Dhammanada, What Buddhist Belive (Taiwan: The Corporate Body of The
Buddha Educational Foundational, 1993), h. 214.
55
http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agama-
Buddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016.
29
minuman yang memabukan, tidak makan stelah waktu yang ditentukan, tidak
maka dikatakan sah puasanya. Akan tetapi, bila salah satu delapan kemoralan
tersebut dilarang baik secara sengaja maupun tidak sengaja berarti ia puasanya
tidak sempurna.56
diwajibkan bagi para penganutnya. Akan tetapi, jika penganut umat Buddha
Karena, dampak secara spiritual bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha
(puasa) itu akan meningkat, terutama sekali ia akan bisa melaksanakan atthasila
spiritual yang akan diperoleh, maka dampak secara sosial pun akan dapat
tercapai.
diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut uposatha. Puasa
ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam
yaitu pada saat bulan terang dan gelap (bulan purnama). Namun ada yang
56
Wawancara denagan Bapak Candra di Vihara Saripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 21 Mei 2016.
30
melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi uposatha (puasa) tersebut tidak
wajib.57
pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-benda, hal ini
Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a). Gharavasa (perumah tangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga
atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lain-
tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi
seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha
yang dilaksanakan pada hari uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari
57
https://dhammacitta.org/artikel/puasa-dalam-agama-Buddha-diakses pada tanggal 20
Juli 2016.
58
Pandita Dhammavisarada dan Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit
Bhuddis Bodhi, 1997), h. 23.
31
agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.59 Dengan waktu yang
telah ditentukan, bagi umat Buddha yang menjalankan ibadah puasa (uposatha)
mendekatkan diri kepada Sang Buddha, dalam istilah agama Buddha disebut
dengan meditasi.
Bagi para Bhikku pada hari uposatha, jika jumlah mereka lima atau
lebih dari satu Vihara mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227
pada setian hari uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut
setiap hari.61 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana
Sang Buddha telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan
59
Vijano Ven, Dhamma sekolah Tinggi Minggu Bhudis (Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1996), h. 37.
60
Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis Bagaimana Menjadi Bhuddis Sejati? (Jakarta:
Yayasan Bhuddis Karaniya, 1991), h.61.
61
Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp-tt), h. 36.
62
Dhammanada, Buddhis Belive, h. 214.
32
1. Puasa Bagi Umat Awam.
disebut upasaka dan upasika. Kata upasaka berarti yang duduk dekat dengan
bersabda:
adalah bentuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam
sila ke enam ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata,
yaitu vikala dan bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti
berbeda, berlawanan dan kebaikan; dan kata kala yang berarti waktu yang
salah. Kata bhojana berarti makanan. Gabungan dari dua kata tersebut, vikala
bohojana dapat diartikan dengan memakan makanan pada waktu yang salah.
Artinya, tidak memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah
ditentukan. Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari,
pukul12:00 siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah bisa
63
Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h.
127.
64
Kata “umat awam” di dalam konteks religius berarti mereka yang tidak ditabhiskan
menjadi Bhikku.
33
dapat melihat garis-garis pada telapak tangan sendiri, baru boleh makan
makanan.65
pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini
tidak berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan
kadang-kadang hanya digunakan dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan
kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang.
Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi ringan dan siap digunakan untuk
meditasi. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperlukan disini, yaitu makanan
minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari
adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah
bekerja seharian penuh. Bisa merasakan laper coklat murni yang diseduh/dibuat
minum, gula, madu, mentega dan sirup. Buah boleh digunakan, bila masuk
angin boleh minum jahe atau memakan jahe muda. Bila semblit maka boleh
makananyang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk
65
Pandita, Vinaya, h. 48.
66
Utomo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h. 48.
34
pauk, roti, susu dan yang lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan
makanan.67
1). Puasa bagi para Bhikku samanera (calon bhikku) adalah dilaksanakan setiap
2). Pada hari uposatha, selain berpuasa para Bhikku juga berkumpul untuk
mendengarkan 227 sila dari Patimokha yang dibacakan oleh salah seorang
Bhikku.69
3). Pada masa musim hujan, para Bhikku harus berdiam di suatu tempat, dan
Jika kita lihat dari pelaksanaan puasa dalam Buddhis sebenarnya tidak
jauh beda dari 5 sila Pancasila Buddhis, yang membedakan pada sila ke-3
isterinya sendiri tidak boleh tidur bersama. Mengapa demikian? Karena selama
67
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada, Tangerang Selatan pada
tanggal 21 Mei 2016.
68
Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung
(Jakarta: Yayasan Karaniya) h. 2.
69
Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis, h. 61.
70
Khantipalo, Bhuddis, h. 77.
35
berpuasa kita mencontoh kehidupan makhluk Brahma yaitu makhluk Brahma
keinginan indra, seperti: mata, telinga, lidah, hidung, kulit dan pikiran.
untuk mencontoh dan meniru kehidupan Arahat, yang mana seorang Arahat
telah dikatakan sebagai makhluk yang suci sehingga dalam dirinya telah
kesehatan yaitu sila ke lima, karena sila ke lima waspada terhadap makanan dan
minuman dan zat-zat tertentu yang tidak cocok dengan kondisi tubuh. Jenis
makanan dan minuman tersebut apabila dihindari maka akan bermanfaat dan
menyehatkan tubuh.72
bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha (puasa) yaitu manfaat secara
71
Wawancara dengan Bhikku Artatida, di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
72
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 21 Mei 2016.
36
kebahagiaan dan sewaktu meninggal hatinya akan tenang, selain itu di
Jadi manfaat puasa yang di dapat bagi umat Buddha yang menjalankan
akan hidup dengan tenang dan nyaman di surga. Secara jasmaniah tubuhnya
akan selalu sehat, karena menjaga pola makannya. Secara ruhaniah hatinya
akan selalu tenang, kokoh, tidak goyah sedikit pun ketika mendapatkan ujian
73
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tangerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
74
http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agama-
Buddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016.
37
BAB IV
semua prilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan
etika dalam agama Buddha.75 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari
segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk
membebaskan diri dari segala akar kejahan, yaitu: lobha, Dosa, dan moha.76
kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai
manusia sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri
sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya. Kebijakan
moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang
75
Pendit, Vinaya, h. 3.
76
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170.
38
“Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk
dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang
menyempurnakan kebijakan moral (sila)”.77
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa sila dapat meningkatkan
berlatih, diantaranya:
6. Tekad untuk melatih diri tidak mengkonsumsi makanan setelah lewat tengah
hari.
8. Tekad untuk melatih diri menghindari tidur ataupun duduk ditempat yang
77
A. Joko Wryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi, 2003), h.
91.
39
Dari ungkapan Bapak Candra diatas, dapat dijelaskan secara rinci
dibawah ini:
1. Pantangan membunuh
ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar
atau kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup.
Sila ini mengajarkanagar kita selalu memiliki sifat cinta kasih dan kasih sayang
memandang perang sebagai hal yang negative dan mengecam keras mereka
pembunuhan satu sama lainnya jika mereka berselisih. Ajaran sila yang pertama
ini juga melarang aborsi, pembunuhan bayi 79 dan juga membunuh binatang.
Implikasi lebih jauh adalah bahwa para pengikut ajaran Buddha hendaknya
78
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 20 Mei 2016.
79
Sebagai penjelas. Masalah pembunuhan bayi ini sudah lama terjadi di India, bahkan
sampai saat ini. Dalam hal bayi yang dilahirkan adalah bayi perempuan.
40
menjadi vegetarian, tidak membunuh hewan untuk dimakan atau untuk
kesenangan.80
2. Pantangan mencuri
atau memiliki sesuatu barang yang berharga ataupun yang tidak berharga
mengakibatkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita miliki.
Jika orang tidak mengambil hak orang lain, banyak konflik yang akan
hilang. Di balik ajaran ini terdapat ajaran Buddha tentang nafsu. Cara
benda milik orang lain, berhenti berpikir bahwa memiliki benda dapat
lainnya sangat besar. Secara ideal, hukum akan melarang keserakahan memiliki
benda-bnda materi, mencegah pencurian (seperti praktik bisnis yang tidak jujur
atau melakukan manipulasi aturan oleh para ahli hukum sendir). Dalam biara,
spiritual milik orang lain merupakan pelanggaran serius. Para biarawan harus
80
John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci, terjemah, Tri Budhi Sastrio
(Jakarta: PT RajaGrafindo. 2003), h.55.
81
Ibid.
41
3. Pantangan melakukan seksual
persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami istri ataupun istri
sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hawa nafsu birahi
yang rendah.
ketat. Bimbingan yang paling baik dari persepektif Buddha bahwa nafsu seks
adalah api pembakar yang membuat orang tetap berada dalam perbudakan
karma. Mencintai seseorang tanpa disertai nafsu merupakan sesuatu yang luar
biasa, meskipun sulit. Jika orang-orang dapat berinteraksi dengan hangat tetapi
tanpa disertai dengan nafsu tambahan, mereka dapat mencintai satu sama
4. Pantangan berdusta
Pantangan berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur dan sadar,83
apa yang telah kita ucapkan. Dimana dengan kekuatan kejujuran dan kesadaran
tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini
82
Carmody, Guru Suci, h.56.
83
Kesadaran ini dijelaskan oleh Ajahn Buddhadasa, beliau mengatakan bahwa untuk
menjadi sadar kita harus waspada dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, bukan malah
menjadi bodoh atau terobsesi oleh benda materi. Sadar berarti tidak melekat kepada apapun
juga, melainkan kita harus sadar terhadap apa yang telah kita ucapkan, sadar terhadap diri
sendiri maupun orang lain. (Bhikku Buddhadasa The Truth of Nature, hal. 10).
42
mengajarkan agar kita senantiasa berterusterang dan bersifat konsekuen
tantangan lain untuk menjadi lebih jujur. Orang yang tidak mengatakan sesuatu
Buddha menuntut para muridnya untuk mencintai apa saja. Implikasi sosial
kebanyakan hukum akan hilang dengan sendirinya, banyak rasa saling tidak
percaya yang menghancurkan begitu banyak keluarga dan tempat kerja akan
Berdusta tidak cocok dengan sifat ke Buddhaan, karena sifat ini bermakna
akan membuat kita tidak sadar apalagi sampai mengkonsumsi alkohol terlalu
berlebihan. Sila ini menganjurkan kepada umat Buddha agar hidup sehat tanpa
dalam maupun di luar. Mereka dapat memperhatikan bahwa apa yang mereka
makan dan minum membentuk cara mereka berpikir dan merasa. Aliran
84
Ibid.
43
Makan dan meminum minuman yang mengandung terlalu banyak alkohol dapat
India selalu peka terhadap hubungan timbal balik yang intim antara pikiran dan
tubuh.85
(puasa) maka ia harus berniat di dalam dirinya untuk tidak memakan makanan
setelah waktu yang telah ditentukan. Sila ini mengajarkan kepada umat Buddha
wangian yang bertujuan untuk memperindah diri. Sila ini mengajarkan umat
untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau
sesuatu yang tinggi dan mewah. Pelaksanaan sila ini akan mengajarkan umat
kebijaksanaan.86
85
Carmody, Guru Suci, h.57.
86
A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayani Abadi, 2003), h.
96-97.
44
Ajaran sila menggambarkan jiwa yang akan menyenangkan Buddha.
komitmen yang mendalam untuk hidup di dalam cahaya; kemurnian hati dan
kebebasan dari semua nafsu; hati tenang dan jiwa yang terkendali. Jiwa
pengikut Buddha yang ideal adalah bukan jiwa yang keras. Pengekangan jiwa
sendiri tidak membuatnya terasa tertekan. Malahan, jiwa akan dipenuhi oleh
tradisi yang baik.88 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh
hasil yang luhur, karena perkembangan diri sendiri tidak mungkin tercapai
tanpa memiliki dasar sila ini. Dengan uraian diatas, maka umat Buddha harus
87
Carmody, Guru Suci, h. 58.
88
Pendit, Kehidupan, h. 170.
45
dijaga dengan sebaik-baiknya supaya pikiran jahat seperti membenci (moha),
serakah (loba), dan bodoh batin (dosa) tidak menguasai pikiran kita. Tetapi
sebaliknya pikiran cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati harus kita pupuk terus
supaya dapat berkembang dengan baik di dalam pikiran kita. Disamping itu,
harus pula untuk berusaha menghindari ucapan salah, kotor, dan menyakitkan.
B. Solidaritas Sosial
Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat
berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain.
dilaksanakan di Vihara. Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah
dampak yang positif bagi umat Buddha yang menjalankannya dalam kehidupan
bersosial, sesuai yang telah saya amati di Vihara Saripada yang yang berlokasi
di Tangerang Selatan.89
selain itu juga umat Buddha yang berada disana saling bahu membahu,
89
Sebagai penjelasan, Vihara Saripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan didirikan
pada tahun 1987, oleh Yayasan Vihara Siripada. Tempatnya tidak jauh dari bunderan BSD
Serpong, masuk komplek Taman Melati sekitar 200 meter dari gapura.
46
bekerjasama untuk mengumpulkan dana90 berupa uang, maka setelah dana itu
mereka bisa menjalankan ibadah dengan khusyu, tenang, dan nyaman. Selain
dialokasikan untuk rumah ibadah (Vihara) dana itu bisa disumbangkan kepada
dengan Vihara.
“Saya tidak akan pergi sebelum agama-ku yang murni ini berhasil,
berkembang, meluas dan merakyat dalam segala seginya, hingga agama ini
terbabar dengan baik dimata manusia”. (Digha Nikaya, II halaman 106-113).
menyangkut segi duniawi dan spiritual yang dapat di praktekan. Demi untuk
90
Di dalam tradisi Bhuddis, berdana sangatlah dihargai. Seseorang mengumpulkan
“kebajikan” dengan memberi, yang akan menghancurkan karma-karma negatif sebelumnya dan
membawa hasil-hasil positif seperti kelahiran kembali di alam dewa, atau sebagai orang kaya.
47
kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia dan
Selain itu, dampak sosial yang di dapat bagi umat Buddha adalah
C. Rasa Empati
hadapi sebagai titik awal untuk menyadari kesamaan kita dengan orang lain.
Cara ini dengan perlahan membuka pikiran kita kepada sebuah pengalaman
Kerap kali terjadi, bahwa banyak orang yang tidak tahan apabila melihat
atau mendengar keuntungan atau kebahagiaan orang lain. Mereka lebih senang
atau mengucapkan selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi malahan
mengatasi perasaan iri hati ini adalah mudita. Kerana mudita dapat mencabut
akar-akar sifat iri hati yang merusak. Di samping itu, mudita juga dapat
menolong orang lain. 93 Dari uarain di atas, tentunya orang yang mempunyai
rasa empati terhadap orang lain, ia pasti akan merasa bahagian jika orang lain
91
Cornolis Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha (Jakarta : CV Nitra Kencana
Buana, 2004), h. 8.
92
Yongey Mingyur Rinpoche, penerjemah Hendra Lim. Kebijaksanaan Yang
Membahagiakan.(Penerbit: Nirlaba Cetakan I, Mei 2010), hal.242
93
Cornolis Wowor. Pandangan Sosial Agama Buddha. (Jakarta : CV Nitra Kencana
Buana, 2004), hal. 29
48
itu mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan. Orang yang mempunyai rasa
empati tidak mungkin di dalam dirinya mempunyai sifat iri hati. Karena, ia tahu
sifat iri hati itu adalah sifat yang tercela dan Sang Buddha pun tidak
Ada sebuah cerita kuno yang tertulis di dalam beberapa sutra, tentang
seorang wanita yang sangat menderita karena kematian putranya. Ia
tidak percaya bahwa anaknya telah mati. Ia lari kesana kemari,
mengetuk pintu setiap rumah penduduk di desanya meminta obat untuk
menghidupkan anaknya kembali. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang
bisa menolongnya. Anaknya sudah mati, kata mereka, mencoba untuk
menolongnya agar bisa menerima apa yang sudah terjadi. Tetapi ada
satu orang, yang menyadari bahwa pikiran wanita itu kalut dicengkram
kesedihan, maka satu orang penduduk itu menyarankan wanita itu untuk
menemui Sang Buddha.
Sambil memeluk erat anaknya, ia berlari ketempat Buddha tinggal, dan
meminta obat untuk menolong anaknya. Buddha sedang memberikan
ceramah di depan banyak orang, tetapi wanita tersebut memaksa masuk,
dan karena melihat ia begitu menderita, Buddha langsung merespon
permintaannya. “Kembalilah ke desamu dan bawakan Aku beberapa biji
lada dari sebuah rumah yang penghuninya tidak pernah mengalami
kematian anggota keluarganya.”
Ia segera berlari kembali ke desanya dan mulai meminta beberapa biji
lada dari tetangganya. Semua tetangga dengan senang hati memberikan
apa yang ia minta. Kemudian ia bertanya, “Apakah ada yang pernah
meninggal di rumah ini?”
Mereka menatapnya dengan aneh sebagian hanya mengangguk; yang
lain menjawab ia; dan yang lain mungkin menceritakan kapan dan
penyebab kematian anggota keluarga mereka.
Setelah ia selesai mengelilingi seluruh desa, akhirnya ia paham melalui
apa yang ia alami, pengalaman yang lebih mendalam dibandingkan
dengan kata-kata, bahwa ia bukanlah satu-satunya orang di dunia yang
sangat menderita karena kehilangan seseorang. Perubahan, kehilangan
dan duka adalah sesuatu yang lazim terjadi pada semua orang. Meskipun
masih dilanda kesedihan karena kematian anaknya, ia menyadari bahwa
ia tidak sendirian; hatinya telah terbuka. Setelah upacara penguburan
anaknya selesai, ia bergabung bersama Buddha bersama siswanya,
49
mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang lain mencapai tingkat
pemahaman yang sama.94
Dapat disimpulkan dalam cerita kuno diatas, bahwasanya umat Buddha
harus sadar betul apa yang sudah terjadi, orang yang sudah mati itu tidak
mungkin bisa diobati atau dihidupkan kembali. Maka pesan Buddha kepada
artinya adalah keinginan agar setiap orang bahagia dalam kehidupan ini dan
penderitaan yang berakar dari ketidaktahuan akan sifat alami meraka, dan
uasaha yang kita lakukan untuk bisa terbebas dari kepedihan fundamental.
Dua hal ini, keinginan untuk bahagia dan ingin bebas dari penderitaan,
adalah suatu yang umum bagi semua makhluk hidup, meskipun tidak perlu
dinyatakan secara sadar atau verbal, dan tidak selalu dihubungkan dengan
94
Yongey Mingyur Rinpoche. Kebijaksanaan Yang Membahagiakan. Penerjemah,
Hendra Lim (Jakarta: Nrlaba, 2010), h. 244.
95
Cinta Kasih dalam Istilah agama Buddha disebut dengan “Metta”. Metta dirumuskan
sebagai keinginan akan kebahagiaan semua mahkluk tanpa terkecuali. Metta juga sering
dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan mahkluk-
mahkluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan dan kebahagiaan temannya.
96
Istilah Welas Asih dalam agama Buddha adalah “Karuna”. Yang diartikan sebagai
sesuatu yang dapat menggetarkan hati kea rah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang
menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan oraang lain atau menolong oran lain.
Sesungguhnya dengan unsur kasih sayanglah yang mendorong seseorang untuk menolong
orang lain dengan ketulusan hati.
50
kesadaran manusia yang rumit. 97 Dapat saya telaah, untuk menjadi seorang
yang mempunyai rasa cinta kasih atau welas asih tentunya tidak mudah seperti
membalikan dua telapak tangan kita. Akan tetapi butuh proses dan bertahap.
Tahap yang pertama sebagai umum dikenal sebagai cinta kasih dan
welas asih, yang dimulai dengan mengembangkan cinta kasih dan welas asih
yang kita kenal. Tahap yang kedua disebut dengan “cinta kasih dan welas asih
tanpa batas”, perluasan aspirasi terhadap makhluk lain dan orang-orang yang
tidak kita kenal agar juga mendapatkan kebahagiaan dan terbebas dari
membebaskan penderitaan tersebut.98 Maka dengan hal ini, umat Buddha yang
dirinya rasa cinta kasih dan welas asih. Baik itu cinta kasih dan welas asih
terhadap dirinya sendir, ataupun menjadi cinta kasih dan welas asih tanpa batas,
semua makhluk).
Hati seseorang yang penuh dengan rasa kasih sayang adalah lebih halus
dari pada bunga; ia tidak akan berhenti dan tidak akan puas sebelum dapat
97
Yongey, h. 246.
98
Yongey, Kebijaksanaan, h. 247.
51
mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala
mengenai kasih sayang ini, dimana Sutasomo sebagai seorang Bodhisatva telah
laparnya. Bodhisatva Sutasomo mencegah niat macan itu, dan sebagai gantinya
D. Humanisme
setiap pandangan religius atau filosofis yang tidak tergantung pada unsure-
keadilan dan kesejahteraan sosial dalam setiap upaya mereka untuk mencapai
manusiawi yang lebih baik di dunia, setiap program moral atau sosial untuk
99
Cornolis, Agama Buddha, h. 76.
100
Cornolis, Agama Buddha, h. 29.
52
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa agama yang bertujuan untuk
menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam
seperti yang telah disebutkan di atas. Pengabaian ini bisa timbul karena adanya
doktrin yang tidak seimbang antara teologi dan humanisme, atau dalam praktek,
agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi instink kelompok dalam
karunia dan hidup terbimbing Tuhan Yang Maha Esa, berbagai macam cara
Namun sekian banyak orang yang melakukan itu, sedikit sekali orang
101
A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma untuk mahasiswa (Jakarta: CV Dewi
Kayana Abadi, 2003), h. 86.
102
Cornolis, Agama Buddha, h. 27.
53
Dibawah ini ada sebuah lagenda yang diceritakan Sang Buddha untuk
dapat dianalisa.
Suatu kisah, dalam suatu hutan berdiamlah dua orang pertapa yang
berbeda. Mereka mempunyai keinginan yang sama. Keduanya
bermaksud menjadi orang yang hebat, berwibawa dan agung. Oleh
karena keinginan mereka yang kuat, maka mereka bertapa selama
bertahun-tahun lamanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, akhirnya sudah bertahun-tahun
mereka bertapa dengan sungguh-sungguh dan tanpa adanya gangguan
apapun.
Pada suatu malam yang sepi, terdengar ketukan pintu dan juga ada
seorang yang meminta pertolongan. Kedua pertapa itu mendengarnya,
mereka berpikir untuk menolongnya. Jika mereka menghentikan
pertapaan mereka, maka pertapaan yang mereka lakukan selama
bertahun-tahun itu akan sia-sia dan apa yang mereka cita-citakan tak
akan tercapai, sehingga harus dimulai dari awal lagi. Tetapi suatu minta
tolong it uterus terdengar.
“Tolong saya…….saya kelaparan dan kedinginan apa lagi saya
mempunyai seorang anak kecil. Tolong bukakan pintu….jika tidak kami
berdua akan mati”. Suara wanita itu terdengar sangat jelas dan merintih
karena kedinginan.
Mendengar permintaan itu, pertapa pertama tidak mengacuhkannya. Ia
berkata dalam hati. “Ah….biarkan saja mereka, ini malam terakhir aku
bertapa, besok aku akan medapatkan cita-cita aku itu. Jika ku hentikan
tapaanku, aku akan gagal meraih cita-cita ku itu”.103
Setelah mengambil keputusan itu, ia melanjutkan pertapaanya. Karena
merasa tidak ada yang mengacuhkannya, wanita tersebut melangkah ke
rumah sebelahnya. Mendengar ketukan dan permintaan tolong wanita
itu, pertapa kedua tersentuh hatinya. Dia untuk berfikir, “meskipun
wanita itu adalah orang jahat yang ingin menggangguku, aku akan tetap
menolongnya kasihan sekali, bayi dan ibunya pasti sedang menderita,
103
Secara tidak sadar pertapa pertama berbisik di dalam hatinya seperti itu, justru hal
itu membuat apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya itu tidak akan terlaksan. Karena
dengan ia berbisik seperti itu di dalam hatinya, justru ia sudah melanggar ajaran Sang Buddha.
ia lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada orang lain yang sedang membutuhkan
pertolongannya. Bisa di katakana si pertapa pertama tidak mempunyai sifat “metta” dan sifat
“karuna” yaitu sifat kasih sayang dan belas kasihan terhadap orang lain. maka hal itu membuat
apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya tidak terkabulkan. Jika seandainya, si pertapa
pertama mempunyai sifat metta dan karuna, bisa jadi ia akan mendapatkan kehormatan dan
kemulyaan dari Sang Buddha.
54
aku akan segera menolongnya. Biarlah tapanya dan membukakan
pintunya. Diluar bayi dan ibu itu sedang menggigil kedinginan, hujan
turun dengan lebatnya. Cepat-cepat si pertapa tersebut mempersilahkan
ibu dan bayi itu masuk. Pertapa mendengar tindakan kawannya yang
kedua itu dan ia berfikir “tolol, untuk apa ia menyia-nyiakan tapanya
yang ia lakukan. Sekian lama hanya untuk menolong seseorang yang
tidak dikenalnya”.
Oleh pertapa kedua ibu dan anaknya dijamu dengan sepenuh hati. Penuh
dengan cinta kasih dan belas kasihan pertapa itu memberikan makanan
yang ada dan minuman hangat.
Ibu itu sangat berterima kasih kepada pertapa kedua. Setelah menyantap
hidangan yang disuguhkan, si ibu meminta air hangat untuk
membersihkan bayinya. Permintaan itu di sediakan dengan sepenuh hati
dan dengan senang hati melayani, melihat hal itu si ibu sangat kagum
dan berkata, “Saya tahu anda berhenti bertapa untuk menolong saya.
Anda rela tidak mendapatkan cita-cita anda demi kami. Saya akan
membalas budi baik anda yang sedemikian benar. Besok pagi, basuhlah
muka anda dengan air hangat sisa air mandi anak saya”.
Kemudian malem itu juga si pertapa tidur dengan nyenyak, ke esokan
paginya pertapa tidak melihat ibu dan bayinya yang menginap itu.
Namun ia ingat pesan ibu itu lalu dibasuh mukanya dengan air hangat
sisa yang diberikan pada bayinya. Ternyata wajah dan badannya tiba-
tiba memancarkan wibawa dan keagungan, ia mendapatkan apa yang
dicita-citakan. Dengan penuh suka cita ia pergi ke rumah tangganya
yaitu pertapa pertama.
Saat pertapa pertama sedang merenung karena cita-citanya tidak
tercapai. Namun ia melihat temannya yang datang dengan keadaan
muka dan badannya basah. Pertapa pertama segera mengerti bahwa
wanita itu datang untuk menguji.
Ternyata untuk menjadi orang yang bijaksana, berwibawa, penuh
kepentingan orang lain dan mementingkan jiwa manusia. 104 Dapat disipulkan
dari lagenda Sang Buddha diatas, sangatlah penting kita sebagai makhluk yang
terlahir sebagai manusia jelas tidak bisa dapat hidup sendiri. Sangat
104
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 86-88.
55
membutuhkan orang lain. lagenda tadi mengajarkan kepada kita agar
menekankan untuk berbuat baik, banyak berdana, bersikap dan berprilaku yang
baik, banyak menolong orang yang baik dan banyak menolong yang menderita
dan kesusahan. Tentunya dengan mempunyai sifat empati terhadap orang lain
dan rasa humanisme terhadap sesama. Sikap hidup yang sesuai dengan Buddha
Dharma diperlukan proses yang panjang melalui aspek kejiwaan dan falsafah
sehari-hari.
Agama bukanlah hanya menekankan pada tradisi dan upacara saja, melainkan
oleh dari pengaruh luar, melainkan dari cara berpikir yang tidak benar. 105 Oleh
karena itu, perbaikan cara berpikir setiap individu adalah merupakan kunci
perdamaian dunia. Karena apabila setiap orang benar cara berpikirnya, maka
keluarganya akan benar pula. Bila keluarga benar cara berpikirnya, maka
masyarakat akan tentram dan damai. Jika masyarakat berpikir yang terbebas
dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, maka bangsa dan negara yang
dibentuknya menjadi tentram dan damai. Apabila setiap bangsa bisa berpikir
dengan benar, maka tentu saja akan terwujud kondisi global yang tentram dan
105
Berfikir tidak benar yaitu: Cara berpikir yang dibarengi dengan ketamakan,
kebencian dan kegelapan batin itulah yang sesungguhnya menjadi sumber segala bentuk
konflik. Seperti Moha (kebodohan batin), Lobha (keserakahan) dan Dosa (kebencian).
56
damai. Maka dari diri sendirilah harus dimulai perbaikan yang bisa membawa
E. Pengendalian Pikiran
“Pikiran adalah pelopor dari semua tindakan kita. Segala sesuatu dilakukan
oleh pikiran”.106 Pikiran yang menentukan kualitas moral dari semua tindakan
kita. Pikiran yang baik dapat membuat orang berakal budi tinggi, tatapi pikiran
tidak baik dan tidak terkontrol serta tidak terkendali dapat membuat orang jatuh
pada jurang penderitaan. Pada dasarnya pikiran adalah sesuatu yang tidak
pernah berhenti. Sang Buddha bersabda “Saya menganggap bahwa tidak ada
sesuatu yang datang dan pergi secepat pikiran”. Pikiran yang tidak terkontrol
ini menjadi masalah manusia dan malahan akan memperbudak manusia. Karena
inilah Sang Buddha bersabda “Dunia dipimpin oleh pikiran, dibawa oleh
dunia ini, pikirannya diliputi oleh hal-hal yang baik, maka niscaya dunia ini
tidak terkendali dan tidak terkontrol, serta hanya mementingkan diri sendiri,
maka kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud dan dunia ini menjadi kacau dan
tidak tentram.107 Jadi pikiran adalah salah satu bagian yang terpenting dalam
diri seseorang maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial, jika kita
106
Dikutip dari Wiryanto dalam Pengetahuan Dharma, h. 53.
107
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 55.
57
mempunyai pemikiran yang positif terhadap seseorang maupun terhadap
pikiran dan ingin meningkatkan kualitas pikiran, maka orang tersebut harus
108
melakukan latihan pengendalian pikiran. Pengendalian pikiran tidak
hidup dan kehidupan. Hidup hendaknya dijalani dengan apa adanya, karena
segala sesuatu yang ada itu pada dasarnya selalu berubah-ubah dan tidak
kekal. 109 Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga dan megawasi
dan menjalankan sila, pikiran kita dan diri kita akan terbebas dari sifat-sifat
tentunya kita harus selalu bersifat positif. Dengan demikian kebahagiaan akan
selalu menghampiri kita. Cara memperbaiki pola pikir ini adalah dengan
108
Pengendalian pikiran bisa dikatan dengan latihan pengendalian diri. Maka jika kita
ingin bisa mengendalikan pikiran atau diri kita harus menjalankan upostha (puasa) dan
menjalankan sila.
109
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 56.
58
melepas baik materi maupun tenaga. Namun, tujuan kerelaan ini adalah
latihan disiplin, yaitu berusaha mengevaluasi hasil kerja yang sudah diperoleh
untuk diperbaiki bila ada kekurangan dan untuk ditingkatkan bila sudah ada
yang tenang dan seimbang dapat mengevaluasi segala perilaku dengan baik dan
menyenangkan.110
110
Cornolis, Agama Buddha, h. 46.
59
Semoga kita selalu dapat menjaga pikiran dan dapat mengendalikan
pikiran kita agar terhindar dari keserakahan, kebencian, kebodohan dan iri hati.
Semoga kita selalu “eling” atau ingat bahwa kita adalah manusia yang harus
bertutur kata dan bertindak layaknya manusia dan memperlakukan orang lain
sebagai manusia juga. Semoga pikiran kita yang terkendali dapat menolong diri
sendiri dan orang lain dalam menghadapi tantangan “zaman edan”111 sehingga
pikiran yang baik, tentunya dengan menjalankan uposatha (puasa) umat Buddha
oleh Sang Buddha. Demikian pemaparan tentang nilai-nilai sosial puasa dalam
agama Buddha.
menahan diri dan menahan hawa nafsu bukan membunuh hawa nafsu, puasa
111
Sebagai penjelas. Jaman edan adalah jaman sekarang, dimana nilai-nilai dalam
masyarakat “kalang kabut” masyarakat yang tadinya “community oriented” beralih menjadi
“materialistic” dari yang dagang untuk hidup, ke yang hidup untuk dagang. Dulu orang yang
jujur dan suka memberi kesempatan kepada orang lain dipuji, sekarang dianggap bodoh sendiri.
Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Sesuai dengan
pujangga Ronggo Warsito (1802-1873) dalam Serat Kalatidha mengingatkan kita akan keadaan
jaman edan yang penuh delematis sebagai berikut: “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing
pambudi. Milu edan ora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kadumen melik. Kaliren
wekasanipun”. Yang artinya: Hidup di jaman edan, memang repot tidak karuan, ikut edan tidak
tahan. Jika tidak ikut-ikutan, tidak kebagian kekayaan, akhirnya hanya kelaparan. (A. Joko
Wiryanto, Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa, hal. 22).
60
mendidik manusia agar dapat melakukan pengendalian diri (self controll) dan
2. Puasa mendidik kejujuran. Orang yang sedang berpuasa atas dasar imanan
wahtisaban, ia tidak akan makan dan minum serta melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa betapapun tidak ada orang yang melihat dan tidak ada
orang yang tahu kecuali dirinya dan Allah Swt. Ia akan selalu bersikap jujur
ketika bermasyarakat.
Allah Swt. Lebih merasa dekat dengan Allah dan lebih sayang
sesame manusia.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puasa Terhadap Nilai sosial Dalam Perspektif Agama Buddha”, maka dapat
berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan prilaku untuk menjadi orang
yang baik lagi. Agar bisa menjadi orang yang lebih baik, maka untuk umat
Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Atthasila,
Ibadah puasa tentunya menjadi peran yang amat sangat penting bagi
yang tinggi, rasa empati, humanisme dan pikiran yang bisa dekendalikan
menjadikan hidup di alam dunia ini terasa bahagia dan indah. Dengan hal itu,
kita semua bisa saling menghargai satu sama lain, saling menghormati dan
dari pukul 12.00 siang sampai dengan 06.00 pagi. Dan di Vihara Siripada
Tangerang Selatan diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227
62
setelah pembacaan tersebut sekitar pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan
permohonan sila atau Athasila untuk umat awam. Setelah permohonan sila,
biasanya umat tidak pulang ke rumah, akan tetapi menetap di Vihara selama
satu hari atau biasa disebut Uposhatavasamvasati, yaitu pada hari Uposatha
yang dilakukan oleh para Bhikku, samanera (calon bhikku) dan umat awam
juga yang menjalankan sila untuk berlatih meditasi. Kemudian, selama pukul
06.00 pagi sampai sebelum pukul 12.00 siang, umat masih diperbolehkan untuk
makan tetapi untuk para Bhikku dan samanera mereka hanya diperbolehkan
makan 1 atau 2 kali. Jika makannya 2 kali, yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00
siang. Akan tetapi jika Bhikku dan samanera hanya ingin makan 1 kali, maka
B. Saran-saran
Buddha.
63
memahami lebih mendalam tentang atthasila, silahkan teliti tentang
Agama agar bisa menyediakan referensi buku lebih banyak lagi tentang
64
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Muhammad Azam. Fiqih Ibadah. Penerbit Azam Jakarta 2003.
Persada, 1995.
Agama Buddha).
Buddha 1988).
Carmody. John Tully. Jejak Rohani Sang Guru Suci. Diterjemahkan oleh Tri
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, (Jakarta:
65
Kitab Suci Tripitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Tangerang: Vihara Saripada,
2016).
1998).
Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006).
Cantre, 1991).
Bandung_Indonesia 2007.
1993).
66
Towns, Elmer L. Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani. Penerbit:
Refensi Internet
Buddha.
https://id-id.facebook.com/perpustakaanunim/posts
http://www.pastvnews.com./nasional-hal-1/bedanya-puasa-umat-Islam-
Budha-Khatolik-Protestas-Konghucu-dan-Tionghoa.html.
http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agama-
Konghucu-dan-pemahan-puasa.
http//belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agama-
67