PANCASILA
Dosen Pengampu:
Dr. Agustinus Wisnu Dewantara, SS, M.hum
Tugas (Paper) Pengganti UAS
PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dibentuk dari berbagai etnis,
suku bangsa yang memiliki beragam bahasa, agama dan budaya. Negara ini memiliki suku
asli atau atau suku pribumi yang menghuni tanah leluhurnya sejak dahulu kala. Adapun suku-
suku itu adalah suku Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda
Kecil, Maluku, dan Papua. Selain itu ada juga suku bangsa pendatang seperti Arab, Tionghoa,
India, Pakistani, dan lain sebagainya. Tentu perbedaan ini menjadikan Indonesia sebagai
Negara yang multi-kultur dan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Wikipedia, 2018, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia/, 14 November
2018)
Dengan segala keberagaman yang ada perlu proses dan perdebatan yang panjang
dalam sejarah pendirian Negara Indonesia ini. Soekarno adalah Presiden pertama yang telah
berjasa besar dalam mendirikan bangsa yang multi ras, agama, dan budaya ini. Beliau
merupakan sosok yang luar biasa karena dengan segala intelektualitas dan permenungannya
telah meletakkan Negara Indonesia di atas dasar Pancasila. Dalam sidang BPUPKI 1945
Soekarno memimpikan terwujudnya “Indonesia bagi semua”, maka semua warga harus
merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama. Di dalam Pancasila,
yang dijiwai semangat gotong royong, segala perbedaan sosial dilebur. Maka dari sinilah
Pancasila merupakan landasan yang ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan
bermasyarakat (Dewantara, 2017:86-87).
Namun dewasa ini banyak orang tidak memahami tentang Pancasila khususnya sila
pertama. Hal itu tampak nyata bagaimana orang dengan mudahnya menafsirkan sila dalam
Pancasila tersebut keluar dari makna sebenarnya, yakni dari pemaknaan ataupun maksud dari
para founding fathers kita. Tafsir yang demikian pada akhirnya menimbulkan kontroversi
yang berakibat pada kekacauan ataupun konflik antar pemeluk agama. Oleh karena itulah
penulis akan membahas terkait tafsir yang kontroversial tentang sila Pancasila yang pertama
ditinjau dari pidato Soekarno pada sidang BPUPKI dan relevansinya untuk membangun
bangsa Indonesia yang semakin rukun antar pemeluk agama.
BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia. Secara etimologi kata Pancasila
berasal dari bahasa Sanskerta dari kata pañca yang berarti lima dan silla yang berarti prinsip
atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila merupakan ideologi Negara yang diusulkan oleh
Presiden Soekarno dengan permenungan yang mendalam selama puluhan tahun. Agustinus
Wisnu Dewantara mengatakan:
Adapun sila-sila tersebut yang membentuk Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang
Dasar 1945. Kendatipun dalam proses terjadi perubahan komposisi maupun urutan lima sila
Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahapan selama masa perumusan Pancasila pada
tahun 1945, namun tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. (Wikipedia,
2018, https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila/, 14 November 2018)
2.1.2 Makna Sila Pertama Pancasila
Sila yang pertama dalam Pancasila ini berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila
pertama ini memberikan pandangan setiap orang bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan bangsa yang atheis.
Sila ini menyatakan bahwa rakyat Indonesia merupakan warga negara yang taat beribadah
kepada Tuhan dan menjalankan apa yang diajarkan dalam agama maupun kepercayaan
masing-masing. Sila ini penting bagi bangsa Indonesia dikarenakan dalam realisasinya
melalui agama menjadi salah satu faktor pendorong agar seseorang berbuat hal-hal yang baik
dan tidak bertentangan dengan hukum. Jika dilihat esensi dari agama maka akan didapati
unsur-unsur seperti: anjuran ataupun larangan yang dapat membuat manusia untuk bertindak
secara baik, tulus, peduli, dan penuh kasih sayang terhadap sesame serta lingkungan sekitar.
Sila pertama Pancasila ini pada awalnya merupakan sila kelima yang dikemukakan
Soekarno pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berbunyi “Ketuhanan Yang
Berkebudayaan” kemudian dalam piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 oleh kelompok
islamis diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya". Karena hal tersebut sila pertama ini kemudian menimbulkan banyak
kekacauan karena terkesan mengakui bahwa Indonesia rakyatnya hanya beragama Islam saja.
Oleh sebab itu para tokoh pun mulai memperdebatkan sila pertama ini dalam rapat PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). Setelah melalui perdebatan yang panjang maka
sila pertama itu akhirnya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" seperti yang sekarang ini kita
semua rakyat Indonesia kenal. (Kevin Budisetio, 2017,
https://www.kompasiana.com/kevinbs/5a0dc3775a676f26b87f2232/mengenal-lebih-dalam-
sila-pertama-pancasila/, 14 November 2018)
Sebelum memahami tentang tafsir kontroversial sila pertama Pancasila ini, perlu
diketahui tentang pengertian dari kata kontroversial. Kontroversi berasal dari kata dasar
kontroversi yang berarti suatu pertentangan atau perbedaan sikap yang berupa perdebatan
terhadap sebuah masalah yang bertentangan yang memiliki dua sisi yang berlainan yang bisa
memicu konflik (Definisi Menurut Para Ahli, 2018,
https://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-kontroversi-dan-contohnya/, diakses 14
November 2018). Jadi dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa tafsir kontroversial
pada sila Pancasila yang pertama ini merupakan tafsir yang menimbulkan dua pandangan
yang berbeda dan bersifat atau berpotensi memicu permasalahan antara individu satu dengan
individu lain atau individu dengan komunitas. Dalam kasus ini adalah pernyataan
kontroversial dari seorang aktivis yang bernama Eggi Sudjana dan karena pernyatan atau
tafsirannya itu memicu reaksi dari berbagai belah pihak. Hal itu menjadi konflik karena si
penafsir menafsirkan objek tersebut keluar dari maksud atau bahkan bertentangan dari makna
yang sesungguhnya ataupun pengertian yang otentik dari objek yang ditafsirkan.
Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si adalah seorang aktivis Indonesia. Beliau berprofesi sebagai
seorang pengacara. Pemberitaan di media massa ramai tentang pernyataan kontroversial
tentang tafsirnya atas sila pertama dalam Pancasila. Tafsiran kontroversialnya yang memicu
reaksi dari berbagai pihak seperti yang dikutip oleh situs jawaban.com sebagai berikut:
“Tidak ada ajaran selain Islam ya, ingat ya, garis bawahi, selain Islam, yang
sesusai dengan Pancasila, selain Islam bertentangan,” kata Eggi, seraya menyebut
sejumlah agama yang dianggapnya bertentangan. “Kristen trinitas, Hindu trimurti,
Budha sepengetahuan saya tidak punya konsep Tuhan, kecuali dengan proses
amitabha dan apa yang diajarkan Siddharta Gautama,” tuturnya.” (Tanamal,
2107,
https://www.jawaban.com/read/article/id/2017/10/08/91/17008175551/eggi_sudja
natrinitas_kristen_bertentangan_dengan_sila_pertama_pancasila/, 14 November
2018
Pernyataan Eggi Sudjana ini merupakan tafsir yang tidak didasari pengertian ataupun
pemahaman yang benar tentang agama-agama lain, hidup berbangsa dan bernegara, terutama
hakikat dari Pancasila sila pertama itu sendiri. Oleh sebab tidak heran jika pada akkhirnya
pernyataan yang demikian mengundang reaksi dari berbagai pihak. Pancasila sendiri pada
dasarnya bertujuan untuk menyatukan rakyat Indonesia dari berbagai suku, budaya, dan
agama.
2.2 Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI 1945 terkait Sila Pertama Pancasila
Menjelang akhir persidangan pertama ini belum ada kesepakatan tentang dasar negara
Republik Indonesia sehingga dibentuklah Panitia Sembilan. Panitia Sembilan yang diketuai
oleh Ir. Soekarno ini bertujuan untuk menggodok segala konsep maupun masukan yang telah
dikemukakan oleh para anggota BPUPKI tentang dasar Negara. Dalam Panitia Sembilan itu
terjadi perundingan antara tokoh Nasionalis dan Pihak Islam. Pihak Islam berpikir karena
Islam mayoritas maka agama Islam seharusnya menjadi dasar Negara. Terjadilah perundingan
yang sengit antara 4 tokoh Naisionalis dan 4 tokoh pihak Islam hingga pada akhirnya
perundingan ini menghasilkan dokumen yang disebut “Piagam Jakarta”. Dalam dokumen ini
sila pertama dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sila pertama ini nantinya mendapat reaksi dari pihak non-
Muslim karena dianggap Negara Indonesia hanya untuk orang Muslim saja padahal Soekarno
mendirikan bangsa ini semua untuk semua.
2.2.2 Telaah Pidato Soekarno tentang Sila Pertama Pancasila (Kelima) pada Sidang
BPUPKI
Untuk memahami makna dari sila pertama Pancasila dengan baik tidak ada jalan lain
selain mengacu pada maksud Soekarno tentang sila pertama tersebut dalam pidatonya di
sidang BPUPKI. Jika pada mulanya Pancasila dikemukan oleh Soekarno sebagai dasar negara
dimana Negara Indonesia didirikan untuk semua kalangan dan tidak hanya untuk umat Islam
saja, maka tentu maksud dari sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak bertujuan untuk
memecah belah bangsa melainkan justru menyatukannya. Baiklah kita telaah apa maksud dan
tujuan Soekarno terkait sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pidatonya tersebut:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, atau perikemanusiaan
3. Mufakat, atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Marilah kita amalkan, jalan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan
cara yang b e r k e a d a b a n. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m
a t-m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i n. (Tepuk tangan sebagian hadirin:.
Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka
yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima
daripada Negara kita ialah K e t u h a n a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n,
ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan ke-Tuhanan Ynag Maha Esa!
Adapun arti dari prinsip “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” ini pun menjawabi
keberatan Sunoto yang berpendapat bahwa sila ketuhanan tidak bisa diperas dalam gotong-
royong (Ekasila) karena dianggapnya tidak logis. Namun ternyata hal ini sangatlah logis
sebab pidato Soekarno ini memberikan pemahaman bahwa ketuhanan yang ada di sanubari
rakyat Indonesia didasari sikap maupun semangat toleransi yang menerima keberadaan
pemeluk agama lain dan menghormati segala pandangan teologisnya (Dewantara, 2017:19-
20,49).
2.3 Hubungan antara Tafsir Kontroversial Sila Pancasila Yang Pertama Eggi Sudjana
dengan Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI
Setelah penulis menguraikan telaahnya pada pidato Soekarno dalam kaitannya dengan
sila pertama Pancasila sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka kini penulis akan mencoba memberikan
sanggahan atas pernyataan yang telah dibuat oleh Dr. Eggi Sudjana, S. H, M.Si terkait
tafsirnya tentang sila Pancasila yang pertama. Dr. Eggi Sudjana menyatakan bahwa semua
agama selain Islam bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dr. Eggi berpendapat bahwa hanya agama Islamlah yang cocok dengan sila yang
pertama tersebut karena Islam menjunjung tinggi kemaha esaan Tuhan. Sebenarnya tidak
salah ketika Dr. Eggi menyatakan bahwa Islam sesuai dengan Pancasila khususnya sila
pertama tentang keesaan Tuhan. Namun menjadi masalah ataupun konflik ketika Beliau
berkata bahwa selain agama Islam bertentangan dengan Pancasila sila pertama. Pendapat Dr.
Eggi bahwa agama Kristen tidak bertuhan keesaan, begitu juga dengan Budha, Hindhu, dan
lain-lain sehingga bertentangan dengan Pancasila bisa dipastikan karena Dr. Eggi ini tidak
mengerti makna maupun hakikat dari Pancasila khususnya sila pertama yang disampaikan
oleh Ir. Soekarno dan kemudian disepakati oleh para founding fathers kita serta rakyat
Indonesia.
Jika para pembaca memahami telaah penulis tentang pidato Soekarno pada sidang
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berkaitan cikal bakal dilahirkannya sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” maka jelaslah sudah bahwa Dr. Eggi tidak memahami ataupun mengerti tentang
hakikat sila pertama dalam Pancasila. Tentu hal itu disebabkan faktor ketidakmengertian
ataupun gagal paham, sebab pada mulanya Soekarno menyampaikan pidatonya agar setiap
orang ber-Tuhan seturut agama ataupun kepercayaannya masing-masing. Hal itu berarti
bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memiliki akar “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”
memiliki makna ataupun hakikatnya untuk menghargai eksistensi ajaran atau pandangan
Tuhan Yang Esa seturut agama masing-masing. Misal jika Kristen memandang Esa dalam
teologi Trinitas maka hendaknya Muslim menghargai pandangan tersebut begitu juga
sebaliknya dan dalam semangat hidup berbangsa dan bernegara pandangan tersebut tidak
seharusnya dipertentangkan. Prinsip ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
disampaikan Soekarno itupun tidak serta merta berbicara terkait keberapaan Tuhan namun
berbicara tentang hakikatnya yang memiliki dasar dalam “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.
Hal itu berarti agar setiap pemeluk agama tidak bersikap egois dengan menjadi pemeluk
agama yang fanatik sempit sehingga memandang agama atau pemeluk agama lain lebih
rendah dari agamanya dan dari dirinya maupun memaksakan pandangannya kepada mereka
yang beragama atau berkeyakinan lain. Ketuhanan yang berkebudayaan itupun memiliki
esensi agar antar pemeluk agama memberikan keleluasaan kepada pemeluk agama lain untuk
menyembah atau beribadah kepada Tuhannya masing-masing dan tidak membatasi ruang
gerak satu sama lain dalam peribadatan. Misal mayoritas merusak tempat ibadah orang lain
ataupun mereka-reka masalah agar pemerintah tidak memberikan IMB untuk rumah ibadat
agama tertentu atau ketika sudah ada IMB dianggap pemalsuan. Jelas itu bertentangan
dengan hakikat prinsip yang disampaikan Soekarno.
Selain itu esensi dari ketuhanan yang berkebudayaan juga berarti bahwa setiap
pemeluk agama dalam mengamalkan dan menjalankan agamanya secara berkeadaban yang
berarti penuh sikap mengormati antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya.
Maka dapat ditarik sebuah pengertian bahwa pernyataan Dr. Eggi Sudjana ini justru
kontradiksi dengan nilai-nilai ataupun makna sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
berlandaskan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” tersebut, bahkan penulis dalam telaahnya ini
memandang bahwa Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si telah menciderai nilai-nilai hidup berbangsa
dan bernegara yang digagas dan diperjuangkan oleh para founding fathers kita melalui
Pancasila karena mengingat Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh rakyat
Indonesia.
Sebelum penulis membahas terkait kerukunan antar umat beragama berdasarkan sila
pertama Pancasila, perlu dipahami dulu pengertian tentang kerukunan diantara umat
beragama itu sendiri. Menurut Departemen Agama RI pengertian tentang kerukunan umat
beragama adalah sebagai berikut:
Jadi menurut Departemen Agama RI pengertian dari kerukunan hidup antar umat
beragama diartikan sebagai keadaan dimana ada suatu hubungan yang harmonis dan kesatuan
diantara para pemeluk agama, baik itu pemeluk agama Kristen dengan Islam, Islam dengan
Buddha, Kristen dengan Hindu, Buddha dengan Hindu ataupun dengan aliran kepercayaan,
dan seterusnya maupun dengan sesama pemeluk agama yang sama. Selain itu Depatemen
Agama RI juga menyoroti arti kerukunan hidup antar umat beragama menyinggung kata
“pemuka agama”. Penulis berpendapat bahwa kerukunan yang direalisasikan dengan adanya
hubungan yang damai ataupun bersaudara antar pemuka agama itu sangatlah penting. Misal,
seorang Pastur, Pendeta, Ustadz, Bhante, Biksu, dan seterusnya dapat menjalin tali
persaudaraan. Pentingnya hubungan diantara pemuka agama ini akan menjadi hal yang
luarbiasa jika dapat terealisasi tidak hanya di satu tempat melainkan di segala penjuru
Indonesia. Pada dasarnya umat dari agama atau kepercayaan apapun sangat menjunjung
tinggi nasihat dari pemuka agamanya. Jadi kerukunan antar umat beragama salah satu faktor
penentu adalah bagaimana pemuka agama menggembalakan umatnya. Tentu pemuka agama
yang ekstrim dan mudah memprovokasi serta menampilkan muatan-muatan yang
mengandung ujaran kebencian akan menimbulkan kebencian ataupun rasa curiga di antara
umat beragama satu dengan umat beragama yang lainnya. Hal itulah yang terkadang memicu
perpecahan diantara umat beragama. Maka diperlukan pemuka-pemuka agama yang
menyejukkan dalam menyampaikan pengajarannya kepada umat dan selalu mengedepankan
perdamaian ataupun penghormatan kepada mereka yang berhaluan iman ataupun
kepercayaan berbeda. Kemudian kerukunan antar umat beragama tersebut juga berarti
dimana seluruh pemuka agama dari agama apapun dapat menjalin hubungan baik dengan
Pemerintah. Tentu hal ini adalah penting sebab Pemerintah netral dan mengkoordinir banyak
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika seluruh pemuka agama menaati arahan
Pemerintah demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama tentu bangsa ini akan mudah
disatukan sebab Pemerintah merupakan pemimpin rakyat. Jadi pada intinya Departemen
Agama RI telah memberikan pengertian secara gamblang tentang “Kerukunan Hidup Antar
Umat Beragama” yang mencakup tiga hal, baik itu hubungan diantara pemeluk agama yang
sama, berbeda agama, dan pemuka agama dengan pemerintah.
2.4.2 Sila Pertama Pancasila untuk Mewujudkan Kerukunan diantara Umat Beragama
Penulis telah menguraikan telaahnya terkait pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI
tentang sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”dalam hubungannya dengan
pidato kontroversial Eggi Sudjana. Setelah menyoroti bahwa pidato Eggi Sudjana telah
kontradiksi dengan hakikat dari sila pertama Pancasila itu sendiri, bahkan menciderai nilai-
nilai hidup berbangsa dan bernegara, kini penulis akan mencoba membahas bagaimana sila
pertama ini dapat dihayati untuk mewujudkan kerukunan di antara umat beragama. Namun
sebelum memasuki pembahasan perlu dipahami hakikat Pancasila secara lebih mendalam.
Abdurrahman Wahid terkait makna Pancasila pernah menuliskan demikian:
“Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang
hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan, seluhur apa pun, tidak
akan banyak berfungsi jika tidak didudukkan dalam status yang jelas.
Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai
ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga
Negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat
mendasar, yang tertuang dalam sila yang lima” (Wahid, 1991:163)
BAB III
KESIMPULAN
Pada hakikatnya negara Indonesia terbentuk dari berbagai etnis, suku bangsa, bahasa,
budaya maupun agama. Perbedaan itu telah disatukan dalam kesepakatan ideologi Pancasila
yang terdiri dari lima sila yang merupakan perjuangan para founding fathers, terutama
Soekarno dalam menyatukan bangsa ini. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila memiliki
akarnya dalam kehidupan manusia Indonesia sejak dahulu kala. Pancasila pada intinya
ideologi pemersatu bukan pemecah belah. Melaluinya beragam etnis, suku bangsa yang
beragam bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu.
Kesepakatan dalam Pancasila menyangkut relasi hidup seluruh manusia Indonesia dan
perlu dijunjung tinggi bagi keberlangsungan kesejahteraan bangsa Indonesia. Sila Pertama
dalam Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki akarnya dalam prinsip yang
dikemukakan Soekarno tentang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berlandaskan
“Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Prinsip tersebut mengandung arti bahwa setiap warga
negara Indonesia untuk ber-Tuhan seturut Tuhan yang dityakininya, memberi keleluasaan
bagi yang lain agama ataupun kepercayaan untuk menjalankan ibadah, dan mengahargai
agama dan pemeluk agama lain.
Pada intinya tafsir Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si tentang sila pertama Pancasila telah
bertentangan dari hakikat aslinya seturut maksud dan tujuan dari para founding fathers. Tafsir
Dr. Eggi berpotensi menimbulkan konflik sebab seperti telah dibahas bahwa Pancasila
merupakan kesepakatan yang berhubungan dengan hidup jutaan masyarakat Indonesia.
Dengan menafsirkan sila Pancasila yang tidak semestinya dapat menciderai hidup berbangsa
dan bernegara.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jakarta
Tanamal, Daniel. 2017. “Eggi Sudjana: Trinitas Kristen Bertentangan dengan Sila Pertama
Pancasila”,https://www.jawaban.com/read/article/id/2017/10/08/91/17008175551/eggi_sudja
natrinitas_kristen_bertentangan_dengan_sila_pertama_pancasila, diakses pada 14 November
2018 pukul 10.15