Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MATA KULIAH

PANCASILA
Dosen Pengampu:
Dr. Agustinus Wisnu Dewantara, SS, M.hum
Tugas (Paper) Pengganti UAS

“Tafsir Kontroversial Sila Pertama Pancasila Ditinjau dari Pidato


Soekarno Pada Sidang BPUPKI 1945 dan Relevansinya bagi
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”

Nama : Yohanes Angga Prasetya


NPM : 152865

STKIP WIDYA YUWANA MADIUN


2018
BAB I

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dibentuk dari berbagai etnis,
suku bangsa yang memiliki beragam bahasa, agama dan budaya. Negara ini memiliki suku
asli atau atau suku pribumi yang menghuni tanah leluhurnya sejak dahulu kala. Adapun suku-
suku itu adalah suku Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda
Kecil, Maluku, dan Papua. Selain itu ada juga suku bangsa pendatang seperti Arab, Tionghoa,
India, Pakistani, dan lain sebagainya. Tentu perbedaan ini menjadikan Indonesia sebagai
Negara yang multi-kultur dan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Wikipedia, 2018, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia/, 14 November
2018)

Dengan segala keberagaman yang ada perlu proses dan perdebatan yang panjang
dalam sejarah pendirian Negara Indonesia ini. Soekarno adalah Presiden pertama yang telah
berjasa besar dalam mendirikan bangsa yang multi ras, agama, dan budaya ini. Beliau
merupakan sosok yang luar biasa karena dengan segala intelektualitas dan permenungannya
telah meletakkan Negara Indonesia di atas dasar Pancasila. Dalam sidang BPUPKI 1945
Soekarno memimpikan terwujudnya “Indonesia bagi semua”, maka semua warga harus
merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama. Di dalam Pancasila,
yang dijiwai semangat gotong royong, segala perbedaan sosial dilebur. Maka dari sinilah
Pancasila merupakan landasan yang ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan
bermasyarakat (Dewantara, 2017:86-87).

Namun dewasa ini banyak orang tidak memahami tentang Pancasila khususnya sila
pertama. Hal itu tampak nyata bagaimana orang dengan mudahnya menafsirkan sila dalam
Pancasila tersebut keluar dari makna sebenarnya, yakni dari pemaknaan ataupun maksud dari
para founding fathers kita. Tafsir yang demikian pada akhirnya menimbulkan kontroversi
yang berakibat pada kekacauan ataupun konflik antar pemeluk agama. Oleh karena itulah
penulis akan membahas terkait tafsir yang kontroversial tentang sila Pancasila yang pertama
ditinjau dari pidato Soekarno pada sidang BPUPKI dan relevansinya untuk membangun
bangsa Indonesia yang semakin rukun antar pemeluk agama.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tafsir Kontroversial Sila Pancasila Yang Pertama

2.1.1 Pengertian Pancasila

Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia. Secara etimologi kata Pancasila
berasal dari bahasa Sanskerta dari kata pañca yang berarti lima dan silla yang berarti prinsip
atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila merupakan ideologi Negara yang diusulkan oleh
Presiden Soekarno dengan permenungan yang mendalam selama puluhan tahun. Agustinus
Wisnu Dewantara mengatakan:

“Soekarno memang berkepentingan untuk memperkenalkan penggaliannya


mengenai dasar Negara. Soekarno tentu tidak gegabah dalam menguraikan
dasar Negara, karena dasar semacam itu haruslah selaras dengan
Weltanschauung (atau bisa dikatakan sebagai: pandangan hidup) yang sudah
mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Soekarno meyakinkan bahwa
bahwa pandangan hidup seperti kemanusiaan, kebangsaan,
musyawarah/mufakat, keadilandan ketuhananlah yang mengakar di bumi
Indonesia sejak lama” (Dewantara, 2017:15,16)

Dalam memilihkan dasar negara bagi negara Indonesia Soekarno melakukan


permenungan yang mendalam tentang sebuah ideologi yang kompatibel dengan kehidupan
rakyat Indonesia. Soekarno tidak mengambil dasar Negara dari luar melainkan dari
kehidupan rakyat Indonesia itu sendiri. Kelima sila yang ada di dalam Pancasila adalah asli
dari kehidupan rakyat Indonesia yang mana hal itu sudah menjadi bagian atau mengakar
dalam tradisi rakyat Indonesia. Kelima nilai hidup tersebut kemudian diringkas atau diperas
dalam satu nilai, yakni gotong royong (Dewantara, 2017:16).

Adapun sila-sila tersebut yang membentuk Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang
Dasar 1945. Kendatipun dalam proses terjadi perubahan komposisi maupun urutan lima sila
Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahapan selama masa perumusan Pancasila pada
tahun 1945, namun tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. (Wikipedia,
2018, https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila/, 14 November 2018)
2.1.2 Makna Sila Pertama Pancasila

Sila yang pertama dalam Pancasila ini berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila
pertama ini memberikan pandangan setiap orang bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan bangsa yang atheis.
Sila ini menyatakan bahwa rakyat Indonesia merupakan warga negara yang taat beribadah
kepada Tuhan dan menjalankan apa yang diajarkan dalam agama maupun kepercayaan
masing-masing. Sila ini penting bagi bangsa Indonesia dikarenakan dalam realisasinya
melalui agama menjadi salah satu faktor pendorong agar seseorang berbuat hal-hal yang baik
dan tidak bertentangan dengan hukum. Jika dilihat esensi dari agama maka akan didapati
unsur-unsur seperti: anjuran ataupun larangan yang dapat membuat manusia untuk bertindak
secara baik, tulus, peduli, dan penuh kasih sayang terhadap sesame serta lingkungan sekitar.

Sila pertama Pancasila ini pada awalnya merupakan sila kelima yang dikemukakan
Soekarno pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berbunyi “Ketuhanan Yang
Berkebudayaan” kemudian dalam piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 oleh kelompok
islamis diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya". Karena hal tersebut sila pertama ini kemudian menimbulkan banyak
kekacauan karena terkesan mengakui bahwa Indonesia rakyatnya hanya beragama Islam saja.
Oleh sebab itu para tokoh pun mulai memperdebatkan sila pertama ini dalam rapat PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). Setelah melalui perdebatan yang panjang maka
sila pertama itu akhirnya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" seperti yang sekarang ini kita
semua rakyat Indonesia kenal. (Kevin Budisetio, 2017,
https://www.kompasiana.com/kevinbs/5a0dc3775a676f26b87f2232/mengenal-lebih-dalam-
sila-pertama-pancasila/, 14 November 2018)

2.1.3 Tafsir Kontroversial Sila Pancasila Yang Pertama Eggi Sudjana

Sebelum memahami tentang tafsir kontroversial sila pertama Pancasila ini, perlu
diketahui tentang pengertian dari kata kontroversial. Kontroversi berasal dari kata dasar
kontroversi yang berarti suatu pertentangan atau perbedaan sikap yang berupa perdebatan
terhadap sebuah masalah yang bertentangan yang memiliki dua sisi yang berlainan yang bisa
memicu konflik (Definisi Menurut Para Ahli, 2018,
https://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-kontroversi-dan-contohnya/, diakses 14
November 2018). Jadi dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa tafsir kontroversial
pada sila Pancasila yang pertama ini merupakan tafsir yang menimbulkan dua pandangan
yang berbeda dan bersifat atau berpotensi memicu permasalahan antara individu satu dengan
individu lain atau individu dengan komunitas. Dalam kasus ini adalah pernyataan
kontroversial dari seorang aktivis yang bernama Eggi Sudjana dan karena pernyatan atau
tafsirannya itu memicu reaksi dari berbagai belah pihak. Hal itu menjadi konflik karena si
penafsir menafsirkan objek tersebut keluar dari maksud atau bahkan bertentangan dari makna
yang sesungguhnya ataupun pengertian yang otentik dari objek yang ditafsirkan.

Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si adalah seorang aktivis Indonesia. Beliau berprofesi sebagai
seorang pengacara. Pemberitaan di media massa ramai tentang pernyataan kontroversial
tentang tafsirnya atas sila pertama dalam Pancasila. Tafsiran kontroversialnya yang memicu
reaksi dari berbagai pihak seperti yang dikutip oleh situs jawaban.com sebagai berikut:

“Tidak ada ajaran selain Islam ya, ingat ya, garis bawahi, selain Islam, yang
sesusai dengan Pancasila, selain Islam bertentangan,” kata Eggi, seraya menyebut
sejumlah agama yang dianggapnya bertentangan. “Kristen trinitas, Hindu trimurti,
Budha sepengetahuan saya tidak punya konsep Tuhan, kecuali dengan proses
amitabha dan apa yang diajarkan Siddharta Gautama,” tuturnya.” (Tanamal,
2107,
https://www.jawaban.com/read/article/id/2017/10/08/91/17008175551/eggi_sudja
natrinitas_kristen_bertentangan_dengan_sila_pertama_pancasila/, 14 November
2018

Pernyataan Eggi Sudjana ini merupakan tafsir yang tidak didasari pengertian ataupun
pemahaman yang benar tentang agama-agama lain, hidup berbangsa dan bernegara, terutama
hakikat dari Pancasila sila pertama itu sendiri. Oleh sebab tidak heran jika pada akkhirnya
pernyataan yang demikian mengundang reaksi dari berbagai pihak. Pancasila sendiri pada
dasarnya bertujuan untuk menyatukan rakyat Indonesia dari berbagai suku, budaya, dan
agama.

2.2 Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI 1945 terkait Sila Pertama Pancasila

2.2.1 Rekonstruksi Sila Pertama Pancasila

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah


sebuah badan yang didirikan oleh Jepang pada tanggal 29 April 1945 dan dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Badan ini
mengadakan dua kali sidang, yaitu pada tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945
dan pada tanggal 10 sampai 17 Juli 1945. Pada sidang yang pertama membahas tentang dasar
Negara bagi Negara Republik Indonesia. Dalam sidang tersebut dikemukakan gagasan-
gagasan dari para founding fathers kita tentang dasar negara, baik itu oleh Muhamad Yamin,
Soepomo, dan yang terakhir oleh Soekarno. (Dewantara, 2017:32)

Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan gagasannya


mengenai rumusan lima sila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang dinamakan
dengan “Pancasila”. Pancasila merupakan buah permenungan Soekarno selama bertahun-
tahun dalam memahami rakyat Indonesia. Oleh sebab itulah Pancasila bukanlah produk luar
melainkan asli dari bangsa Indonesia. Pancasila merupakan weltanschauung yang telah
mengakar dalam hidup rakyat Indonesia sejak dahulu kala. Adapun lima sila dalam Pancasila
itu yang dikemukakan Soekarno adalah 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme, 3.
Mufakat, 4. Kesejahteraan sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Gagasan mengenai
rumusan Pancasila ini menurut Soekarno dapat diperas menjadi Trisila dimana sila pertama
dan kedua menjadi socio-nationalism, sila ketiga dan keempat menjadi socio-democratie, dan
Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Kemudian ketiga sila ini diperas lagi menjadi satu atau
Ekasila menjadi Gotong-Royong. Gotong-royong sendiri merupakan khas Indonesia. Gotong-
royong sudah menjadi bagian dari hidup peradaban rakyat Indonesia selama ratusan, ribuan,
bahkan jutaan tahun yang lalu. Dari sini kita dapat memahami betapa hebatnya Soekarno
yang telah mengemukakan gagasan tentang dasar Negara yang sungguh asli dari kehidupan
rakyat Indonesia (Dewantara, 2017:16).

Menjelang akhir persidangan pertama ini belum ada kesepakatan tentang dasar negara
Republik Indonesia sehingga dibentuklah Panitia Sembilan. Panitia Sembilan yang diketuai
oleh Ir. Soekarno ini bertujuan untuk menggodok segala konsep maupun masukan yang telah
dikemukakan oleh para anggota BPUPKI tentang dasar Negara. Dalam Panitia Sembilan itu
terjadi perundingan antara tokoh Nasionalis dan Pihak Islam. Pihak Islam berpikir karena
Islam mayoritas maka agama Islam seharusnya menjadi dasar Negara. Terjadilah perundingan
yang sengit antara 4 tokoh Naisionalis dan 4 tokoh pihak Islam hingga pada akhirnya
perundingan ini menghasilkan dokumen yang disebut “Piagam Jakarta”. Dalam dokumen ini
sila pertama dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sila pertama ini nantinya mendapat reaksi dari pihak non-
Muslim karena dianggap Negara Indonesia hanya untuk orang Muslim saja padahal Soekarno
mendirikan bangsa ini semua untuk semua.

Kemudian dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada


tanggal 18 Agustus 1945 terjadilah kesepakatan antara kaum beragama non-Muslim,
penganut kebatinan, kaum Nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam untuk menghapuskan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta khususnya sila pertama dalam Pancasila menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kemudian kelima sila tersebut dicantumkan dalam pembukaan dan batang
tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (Wikipedia, 2018,
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usahausaha_Persiapan_Kemerdekaan_Indone
sia, diakses pada 18 November 2018)

2.2.2 Telaah Pidato Soekarno tentang Sila Pertama Pancasila (Kelima) pada Sidang
BPUPKI

Untuk memahami makna dari sila pertama Pancasila dengan baik tidak ada jalan lain
selain mengacu pada maksud Soekarno tentang sila pertama tersebut dalam pidatonya di
sidang BPUPKI. Jika pada mulanya Pancasila dikemukan oleh Soekarno sebagai dasar negara
dimana Negara Indonesia didirikan untuk semua kalangan dan tidak hanya untuk umat Islam
saja, maka tentu maksud dari sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak bertujuan untuk
memecah belah bangsa melainkan justru menyatukannya. Baiklah kita telaah apa maksud dan
tujuan Soekarno terkait sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pidatonya tersebut:

“Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4


prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, atau perikemanusiaan
3. Mufakat, atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip K e t u h a n a n! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi


masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-
Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme
agama”. Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang ber-Tuhan!

Marilah kita amalkan, jalan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan
cara yang b e r k e a d a b a n. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m
a t-m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i n. (Tepuk tangan sebagian hadirin:.
Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka
yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima
daripada Negara kita ialah K e t u h a n a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n,
ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan ke-Tuhanan Ynag Maha Esa!

Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara,


segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang
sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!

Ingatlah, prinsip ketiga permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya


kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak
onverdraagzaa, yaitu dengan cara yang berkebudayaan! (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1995:80-81).”

Mencermati pidato Soekarno dalam kaitan dengan dikemukakannya prinsip untuk


bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setidaknya penulis menangkap hal yang
disampaikan Soekarno dalam pidatonya ini. Pertama, Soekarno mengajak semua rakyat
Indonesia untuk ber-Tuhan. Kedua, Tuhan yang dimaksud Soekarno ialah Tuhan menurut
kepercayaan masing-masing. Ketiga, Soekarno mengajak setiap pemeluk agama untuk
menjalankan ibadat sesuai ajaran dalam Kitab Suci masing-masing. Keempat, Soekarno
mengajak menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang memberi kebebasan untuk
menyembah Tuhan yang dipercayai masing-masing warga negaranya. Kelima, Soekarno
mengajak semua rakyatnya ber-Tuhan secara kebudayaan yang mana tiada egoisme agama
ataupun merasa agamanya yang paling benar dan yang lainnya kafir. Keenam, Negara
Indonesia adalah suatu negara yang ber-Tuhan. Ketujuh, Soekarno mengajak setiap pemeluk
agama untuk mengamalkan agamanya dengan beradab yang artinya antara satu pemeluk
agama dengan pemeluk agama lainnya saling hormat-menghormati ataupun menaruh sikap
menghargai. Kedelapan, ajakan meneladani Nabi Muhammad dan Nabi ‘Isa dalam
menghormati pemeluk agama lain. Kesembilan, ajakan untuk menyepakati rumusan sila
yang kelima atau yang sekarang kita kenal dalam sila pertama Pancasila sebagai “Ketuhanan
Yang Berkebudayaan”, ketuhanan yang berbudi luhur, ketuhanan yang saling hormat-
menghormati antara satu dengan yang lainnya. Kesepuluh, semua pemeluk agama mendapat
tempat dengan asas ke-Tuhanan yang berkebudayaan ini.
Dari telaah pidato Soekarno di atas menjadi sangat jelas bahwa maksud dan tujuan
Soekarno dalam mengemukakan prinsip bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
nantinya menjadi sila kelima “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” bukanlah dipandang dari
sudut pandang satu agama saja yang dianggap benar oleh mayoritas melainkan Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut pemeluk agama masing-masing. Misal seorang Muslim tidak bisa
memaksakan arti Ketuhanan Yang Esa dalam teologi Tauhid kepada pemeluk Kristen dengan
konsep Keesaan Tuhan dalam teologi Tritunggal Kudus. Selain itu makna ke-Tuhanan yang
disampaikan Soekarno juga berarti dimana setiap rakyat Indonesia dianjurkan untuk ber-
Tuhan dan menjadi manusia yang beradab dalam arti tidak egois menganggap bahwa dirinya
yang paling benar sehingga memaksakan kebenarannya kepada pemeluk agama atau
kepercayaan lain, melainkan saling hormat-menghormati antara satu pemeluk agama dengan
pemeluk agama yang lain. Maka menjadi jelas bahwa sila pertama Pancasila yang kita kenal
sekarang ini sebagimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni “Ketuhanan
Yang Maha Esa” memiliki intisari maupun rahimnya di dalam prinsip sila kelima
“Ketuhanan Yang Berkebudayaan” yang dikemukakan oleh Soekarno.

Adapun arti dari prinsip “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” ini pun menjawabi
keberatan Sunoto yang berpendapat bahwa sila ketuhanan tidak bisa diperas dalam gotong-
royong (Ekasila) karena dianggapnya tidak logis. Namun ternyata hal ini sangatlah logis
sebab pidato Soekarno ini memberikan pemahaman bahwa ketuhanan yang ada di sanubari
rakyat Indonesia didasari sikap maupun semangat toleransi yang menerima keberadaan
pemeluk agama lain dan menghormati segala pandangan teologisnya (Dewantara, 2017:19-
20,49).

2.3 Hubungan antara Tafsir Kontroversial Sila Pancasila Yang Pertama Eggi Sudjana
dengan Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI

2.3.1 Tafsir Kontroversial Eggi Sudjana ditinjau dari pidato Soekarno

Setelah penulis menguraikan telaahnya pada pidato Soekarno dalam kaitannya dengan
sila pertama Pancasila sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka kini penulis akan mencoba memberikan
sanggahan atas pernyataan yang telah dibuat oleh Dr. Eggi Sudjana, S. H, M.Si terkait
tafsirnya tentang sila Pancasila yang pertama. Dr. Eggi Sudjana menyatakan bahwa semua
agama selain Islam bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dr. Eggi berpendapat bahwa hanya agama Islamlah yang cocok dengan sila yang
pertama tersebut karena Islam menjunjung tinggi kemaha esaan Tuhan. Sebenarnya tidak
salah ketika Dr. Eggi menyatakan bahwa Islam sesuai dengan Pancasila khususnya sila
pertama tentang keesaan Tuhan. Namun menjadi masalah ataupun konflik ketika Beliau
berkata bahwa selain agama Islam bertentangan dengan Pancasila sila pertama. Pendapat Dr.
Eggi bahwa agama Kristen tidak bertuhan keesaan, begitu juga dengan Budha, Hindhu, dan
lain-lain sehingga bertentangan dengan Pancasila bisa dipastikan karena Dr. Eggi ini tidak
mengerti makna maupun hakikat dari Pancasila khususnya sila pertama yang disampaikan
oleh Ir. Soekarno dan kemudian disepakati oleh para founding fathers kita serta rakyat
Indonesia.

Jika para pembaca memahami telaah penulis tentang pidato Soekarno pada sidang
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berkaitan cikal bakal dilahirkannya sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” maka jelaslah sudah bahwa Dr. Eggi tidak memahami ataupun mengerti tentang
hakikat sila pertama dalam Pancasila. Tentu hal itu disebabkan faktor ketidakmengertian
ataupun gagal paham, sebab pada mulanya Soekarno menyampaikan pidatonya agar setiap
orang ber-Tuhan seturut agama ataupun kepercayaannya masing-masing. Hal itu berarti
bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memiliki akar “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”
memiliki makna ataupun hakikatnya untuk menghargai eksistensi ajaran atau pandangan
Tuhan Yang Esa seturut agama masing-masing. Misal jika Kristen memandang Esa dalam
teologi Trinitas maka hendaknya Muslim menghargai pandangan tersebut begitu juga
sebaliknya dan dalam semangat hidup berbangsa dan bernegara pandangan tersebut tidak
seharusnya dipertentangkan. Prinsip ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
disampaikan Soekarno itupun tidak serta merta berbicara terkait keberapaan Tuhan namun
berbicara tentang hakikatnya yang memiliki dasar dalam “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.
Hal itu berarti agar setiap pemeluk agama tidak bersikap egois dengan menjadi pemeluk
agama yang fanatik sempit sehingga memandang agama atau pemeluk agama lain lebih
rendah dari agamanya dan dari dirinya maupun memaksakan pandangannya kepada mereka
yang beragama atau berkeyakinan lain. Ketuhanan yang berkebudayaan itupun memiliki
esensi agar antar pemeluk agama memberikan keleluasaan kepada pemeluk agama lain untuk
menyembah atau beribadah kepada Tuhannya masing-masing dan tidak membatasi ruang
gerak satu sama lain dalam peribadatan. Misal mayoritas merusak tempat ibadah orang lain
ataupun mereka-reka masalah agar pemerintah tidak memberikan IMB untuk rumah ibadat
agama tertentu atau ketika sudah ada IMB dianggap pemalsuan. Jelas itu bertentangan
dengan hakikat prinsip yang disampaikan Soekarno.
Selain itu esensi dari ketuhanan yang berkebudayaan juga berarti bahwa setiap
pemeluk agama dalam mengamalkan dan menjalankan agamanya secara berkeadaban yang
berarti penuh sikap mengormati antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya.
Maka dapat ditarik sebuah pengertian bahwa pernyataan Dr. Eggi Sudjana ini justru
kontradiksi dengan nilai-nilai ataupun makna sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
berlandaskan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” tersebut, bahkan penulis dalam telaahnya ini
memandang bahwa Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si telah menciderai nilai-nilai hidup berbangsa
dan bernegara yang digagas dan diperjuangkan oleh para founding fathers kita melalui
Pancasila karena mengingat Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh rakyat
Indonesia.

2.4 Mewujudkan Kerukunan antar Umat Beragama Berdasarkan Sila Pertama


Pancasila

2.4.1 Kerukunan Hidup Diantara Umat Beragama

Sebelum penulis membahas terkait kerukunan antar umat beragama berdasarkan sila
pertama Pancasila, perlu dipahami dulu pengertian tentang kerukunan diantara umat
beragama itu sendiri. Menurut Departemen Agama RI pengertian tentang kerukunan umat
beragama adalah sebagai berikut:

“Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu


hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan
bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam
satu agama.

Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah secara resmi,


konsep kerukunan hidup beragama mencakup 3 kerukunan, yaitu: kerukunan
intern umat beragama, kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan
kerukunan antara (pemuka) umat beragama dengan Pemerintah. Tiga
kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Tri Kerukunan” (Departemen
Agama RI 2003:6).

Jadi menurut Departemen Agama RI pengertian dari kerukunan hidup antar umat
beragama diartikan sebagai keadaan dimana ada suatu hubungan yang harmonis dan kesatuan
diantara para pemeluk agama, baik itu pemeluk agama Kristen dengan Islam, Islam dengan
Buddha, Kristen dengan Hindu, Buddha dengan Hindu ataupun dengan aliran kepercayaan,
dan seterusnya maupun dengan sesama pemeluk agama yang sama. Selain itu Depatemen
Agama RI juga menyoroti arti kerukunan hidup antar umat beragama menyinggung kata
“pemuka agama”. Penulis berpendapat bahwa kerukunan yang direalisasikan dengan adanya
hubungan yang damai ataupun bersaudara antar pemuka agama itu sangatlah penting. Misal,
seorang Pastur, Pendeta, Ustadz, Bhante, Biksu, dan seterusnya dapat menjalin tali
persaudaraan. Pentingnya hubungan diantara pemuka agama ini akan menjadi hal yang
luarbiasa jika dapat terealisasi tidak hanya di satu tempat melainkan di segala penjuru
Indonesia. Pada dasarnya umat dari agama atau kepercayaan apapun sangat menjunjung
tinggi nasihat dari pemuka agamanya. Jadi kerukunan antar umat beragama salah satu faktor
penentu adalah bagaimana pemuka agama menggembalakan umatnya. Tentu pemuka agama
yang ekstrim dan mudah memprovokasi serta menampilkan muatan-muatan yang
mengandung ujaran kebencian akan menimbulkan kebencian ataupun rasa curiga di antara
umat beragama satu dengan umat beragama yang lainnya. Hal itulah yang terkadang memicu
perpecahan diantara umat beragama. Maka diperlukan pemuka-pemuka agama yang
menyejukkan dalam menyampaikan pengajarannya kepada umat dan selalu mengedepankan
perdamaian ataupun penghormatan kepada mereka yang berhaluan iman ataupun
kepercayaan berbeda. Kemudian kerukunan antar umat beragama tersebut juga berarti
dimana seluruh pemuka agama dari agama apapun dapat menjalin hubungan baik dengan
Pemerintah. Tentu hal ini adalah penting sebab Pemerintah netral dan mengkoordinir banyak
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika seluruh pemuka agama menaati arahan
Pemerintah demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama tentu bangsa ini akan mudah
disatukan sebab Pemerintah merupakan pemimpin rakyat. Jadi pada intinya Departemen
Agama RI telah memberikan pengertian secara gamblang tentang “Kerukunan Hidup Antar
Umat Beragama” yang mencakup tiga hal, baik itu hubungan diantara pemeluk agama yang
sama, berbeda agama, dan pemuka agama dengan pemerintah.

2.4.2 Sila Pertama Pancasila untuk Mewujudkan Kerukunan diantara Umat Beragama

Penulis telah menguraikan telaahnya terkait pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI
tentang sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”dalam hubungannya dengan
pidato kontroversial Eggi Sudjana. Setelah menyoroti bahwa pidato Eggi Sudjana telah
kontradiksi dengan hakikat dari sila pertama Pancasila itu sendiri, bahkan menciderai nilai-
nilai hidup berbangsa dan bernegara, kini penulis akan mencoba membahas bagaimana sila
pertama ini dapat dihayati untuk mewujudkan kerukunan di antara umat beragama. Namun
sebelum memasuki pembahasan perlu dipahami hakikat Pancasila secara lebih mendalam.
Abdurrahman Wahid terkait makna Pancasila pernah menuliskan demikian:
“Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang
hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan, seluhur apa pun, tidak
akan banyak berfungsi jika tidak didudukkan dalam status yang jelas.
Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai
ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga
Negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat
mendasar, yang tertuang dalam sila yang lima” (Wahid, 1991:163)

Almarhum Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa Pancasila merupakan


kesepakatan para leluhur yang telah diresmikan dalam sebuah wadah sebagai ideologi dan
falsafah negara. Oleh sebab itu sudah seharusnya setiap generasi menjunjung tinggi nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Dengan menjadi sebuah ideologi bangsa maka seluruh
warga negara terikat untuk merealisasikan nilai-nilai yang tertuang dalam lima sila dalam
hidup sehari-hari. Jika Pancasila sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia, maka
tidak seharusnya kesepakatan yang ada tersebut dikhianati dengan melakukan tafsir-tafsir
yang bertentangan dari hakikat sebenarnya, terkhusus dalam hal ini adalah sila pertama dalam
Pancasila. Dengan menciderai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila maka hal itu
secara otomatis telah mengkhianati kesepakatan yang telah dibuat oleh para leluhur kita dan
menciderai hidup berbangsa dan bernegara. Maka tidak heran jika banyak pihak dalam kasus
Eggi Sudjana memberikan reaksi, sebab Pancasila mencakup hidup banyak orang dari segala
ragam manusia Indonesia. Oleh sebab itu seperti disampaikan Gunawan Setiardja bahwa
Pancasila perlu dipandang sebagai ideologi bangsa Indonesia yang harus dihayati dan
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam setiap aspek kehidupan
sehingga menjadi benar-benar bentuk hidup dari manusia Indonesia (Setiardja, 1993:169).

Sebenarnya dalam pidatonya, Soekarno telah menyampaikan bagaimana setiap


warga negara Indonesia yang berbeda agama dapat hidup rukun. Hal itu tampak jelas dalam
pidatonya yang mengajak setiap warga negara untuk menghayati nilai-nilai yang ada dalam
sila kelima atau yang kita kenal saat ini dalam sila pertama dengan berlandaskan “Ketuhanan
Yang Berkebudayaan”. Ketuhanan yang berkebudayaan mengandung arti bahwa rakyat ber-
Tuhan seturut keyakinannya masing-masing, bertuhan dengan tidak merendahkan yang lain,
bertuhan dengan memberi kebebasan yang leluasa agar pemeluk agama lain dapat
menjalankan ibadah, dan bertuhan untuk menghormati agama dan pemeluk agama lain. Jika
setipa warga negara Indonesia menyadari dan menjunjung tinggi apa yang disampaikan
Soekarno ini tentu kerukunan antar umat beragama di Indonesia akan terwujud.
Tidaklah mustahil mempertemukan umat beragama dalam sebuah hubungan
keharmonisan kendatipun memiliki pandangan iman ataupun kepercayaan yang berbeda. Hal
itu sebagaimana disampaikan oleh Abdurrahman Wahid:

“Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan


tetap saling berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi
kehidupannya. Namun, di balik perbedaan-perbedaan itu, secara keseluruhan
agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap
mengembangkan sejumlah pandangan yang bersifat universal. Tekanan pada
kejujuran (baik sikap maupun perilaku), keikhlasan dan ketulusan dalam
sikap dan tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam
porsi cukup seimbang, dan sejumlah hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik
dari agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa” (Wahid, 1991:168)

Abdurrahman Wahid secara gamblang menjelaskan bagaimana sebuah agama itu


berbeda satu sama lain, namun memiliki persamaan dalam pandangan universal tentang sikap
moral kebaikan yang disepakati, seperti kejujuran, keikhlasan, dan semua sikap yang disebut
baik. Selain itu Abdurrahman Wahid juga memandang bahwa agama-agama pada dasarnya
juga memiliki pandangan terkait adanya dua kehidupan di akhirat dan di dunia dengan segala
dinamikanya walaupun dengan penjelasan yang berbeda. Maka penulis ingin menyampaikan
bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” sebagai cikal bakal sila pertama
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat mewujudkan adanya hubungan yang rukun maupun
persaudaraan antar umat beragama. Ada sebuah hubungan diantara apa yang telah
disampaikan Abdurrahman Wahid dengan apa yang disampaikan Soekarno. Jika
Abdurrahman Wahid memandang dalam setiap agama ada kesepakatan pandangan tentang
kebaikan maka melalui pidato Soekarno itu kebaikan yang ada dapat diapakai untuk menjalin
persaudaraan, toleransi, kesadaran akan kebaikan untuk memberi kebebasan bagi saudaranya
beribadah, dan rasa saling menghargai maupun menghormati di antara umat beragama.

Adapun semangat merealisasikan prinsip sila pertama yang berlandaskan “Ketuhanan


Yang Berkebudayaan” dapat diwujudkan melalui dialog antar umat beragama, seperti dialog
kehidupan, dialog karya, dan dialog pengalaman iman. Dialog-dialog tersebut akan
menumbuhkan rasa persaudaraan dan meningkatkan kesejahteraan sosial di antara umat
beragama. Maka jika masyarakat Indonesia menyadari perannya sebagai masyarakat
Indonesia yang Pancasilais, menghayati setiap sila dalam Pancasila, khususnya sila pertama,
merealisasikannya tentu kerukunan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang
beragam suku, budaya maupun agama dapat terwujud dan fenomena Eggi Sudjana tidak akan
terulang kembali. (florez, 2017, https://musafirlorez.blogspot..com/2017/10/
mengembangkan-dialog-antaumat-beragama.html?m=1 diakses pada 20 November 2018)

BAB III

KESIMPULAN

Pada akhirnya penulis menyimpulkan terkait pembahasan dalam paper yang


bertemakan “Tafsir Kontroversial Sila Pertama Pancasila ditinjau dari Pidato Soekarno Pada
Sidang BPUPKI dan Relevansinya bagi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia” adalah
sebagai berikut:

Pada hakikatnya negara Indonesia terbentuk dari berbagai etnis, suku bangsa, bahasa,
budaya maupun agama. Perbedaan itu telah disatukan dalam kesepakatan ideologi Pancasila
yang terdiri dari lima sila yang merupakan perjuangan para founding fathers, terutama
Soekarno dalam menyatukan bangsa ini. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila memiliki
akarnya dalam kehidupan manusia Indonesia sejak dahulu kala. Pancasila pada intinya
ideologi pemersatu bukan pemecah belah. Melaluinya beragam etnis, suku bangsa yang
beragam bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu.

Kesepakatan dalam Pancasila menyangkut relasi hidup seluruh manusia Indonesia dan
perlu dijunjung tinggi bagi keberlangsungan kesejahteraan bangsa Indonesia. Sila Pertama
dalam Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki akarnya dalam prinsip yang
dikemukakan Soekarno tentang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berlandaskan
“Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Prinsip tersebut mengandung arti bahwa setiap warga
negara Indonesia untuk ber-Tuhan seturut Tuhan yang dityakininya, memberi keleluasaan
bagi yang lain agama ataupun kepercayaan untuk menjalankan ibadah, dan mengahargai
agama dan pemeluk agama lain.

Pada intinya tafsir Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si tentang sila pertama Pancasila telah
bertentangan dari hakikat aslinya seturut maksud dan tujuan dari para founding fathers. Tafsir
Dr. Eggi berpotensi menimbulkan konflik sebab seperti telah dibahas bahwa Pancasila
merupakan kesepakatan yang berhubungan dengan hidup jutaan masyarakat Indonesia.
Dengan menafsirkan sila Pancasila yang tidak semestinya dapat menciderai hidup berbangsa
dan bernegara.

Sila Pertama Pancasila yang berlandaskan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” pada


hakikatnya memiliki potensi yang besar untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama
di negara Indonesia. Oleh karena itulah menjadi jelas bahwa tafsir yang dinyatakan oleh
aktivis Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si yang memicu konflik ataupun reaksi dari berbagai
elemen bertentangan dengan hakikat sila pertama itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jakarta

Departemen Agama RI. 2003. : “Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan


Hidup Umat Beragama”. Jawa Timur: Kantor Wilayah Departemen Agama

Dewantara, Agustinus. 2017. “Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong”. Yogyakarta:


Kanisius

Dewantara, Agustinus. 2017. “Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini”. Yogyakarta:


Kanisius

Setiardja, Gunawan. 1993. “Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila”.


Yogyakarta: Kanisius

Wahid, Abdurrahman. 1991: “Pancasila Sebagai Ideologi (Dalam Berbagai Bidang


Kehidupan Bermasyarat, Berbangsa dan Bernegara”. Jakarta: BP-7

Wikipedia. 2018. “Suku Bangsa di Indonesia”,


http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia, diakses pada 14 November 2018
pukul 10.33

Wikipedia. 2018. “Pancasila”, https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila, diakses pada 14


November 2018 pukul 11.12

Budisetio, Kevin. 2017.”Mengenal Lebih Dalam Sila Pertama Pancasila”,


https://www.kompasiana.com/kevinbs/5a0dc3775a676f26b87f2232/mengenal-lebih-dalam-
sila-pertama-pancasila, diakses pada 18.30 November 2018 pukul 18.30
Definisi Menurut Para Ahli. 2018. “Pengertian Kontroversi dan Contohnya”,
https://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-kontroversi-dan-contohnya, diakses 14
November 2018 pukul 19.12

Wikipedia. 2018.”Eggi Sudjana”, https://id.wikipedia.org/wiki/Eggi_Sudjana, diakses pada


15 November 2018 pukul 09.17

Tanamal, Daniel. 2017. “Eggi Sudjana: Trinitas Kristen Bertentangan dengan Sila Pertama
Pancasila”,https://www.jawaban.com/read/article/id/2017/10/08/91/17008175551/eggi_sudja
natrinitas_kristen_bertentangan_dengan_sila_pertama_pancasila, diakses pada 14 November
2018 pukul 10.15

Wikipedia. 2018. “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”,


http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usahausaha_Persiapan_Kemerdekaan_Indone
sia, diakses pada 18 November 2018 pukul 08.23

Florez, Musafir. 2017.”Mengembangkan Dialog Antarumat Beragama di Indonesia”,


https://musafirlorez.blogspot..com/2017/10/ mengembangkan-dialog-antaumat-
beragama.html?m=1 diakses pada 20 November 2018 pukul 15.33

Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam


Kacamata Soekarno).

Anda mungkin juga menyukai