2020
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Arus Sejarah Bangsa
Indonesia”. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Drs. Sri Wiratma, M. Si selaku dosen
yang memberikan bimbingan, materi, saran, dan kesempatan kepada penulis.
Kami juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan oleh karena itu kami
minta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan penulis juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun guna kesempurnaan tugas ini.
Kami berharap semoga dengan makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah saya ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah
pengetahuan bagi pembaca.
Waalaikumsalam Wr.Wb.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep dan Urgensi Pancasila Dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia
Soekarno, sebagai tokoh sentral pada kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, menyatakan bahwa
dirinya bukan “pencipta”, tetapi “penggali”:“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya,
kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan
pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini,
yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa
Indonesia (Soekarno dalam Latif, 2011: 21).”
Pernyataan itu ingin menunjukkan bahwa berbagai nilai yang terkandung dalam
Pancasila, bukan ciptaan Soekarno, tetapi sebenarnya telah hidup dan dihidupi oleh
masyarakat Indonesia. Apabila sudah ada dalam kehidupan masyarakat, mengapa Soekarno
menggunakan kata “penggali” dan bukan “pengambil”? Alasannya karena untuk mengambil
intisari berbagai nilai yang hidup dalam masyarakat, Soekarno melakukan dialog reflektif-
kritis, yaitu mengambil yang sudah baik, menyempurnakan yang kurang baik, dan mengkritik
yang tidak baik
a) Ketuhanan
Negara Indonesia dalam pandangan Soekarno harus berdiri di atas semua kebertuhanan
yang dihidupi masyarakat. Indonesia harus menjadi negara yang melindungi semua
kebertuhanan masyarakat secara adil. Pandangan itu menjadi dasar bagi Soekarno untuk
memunculkan sila “Ketuhanan yang berkeadaban”. Dengan sila itu, beliau menghendaki
negara tidak mencampuri urusan ajaran kebertuhanan masing-masing aliran dan agama.
Negara hanya mengharuskan perilaku penganut atau umat dari aliran dan agama yang ada
untuk menjunjung tinggi keadaban.
b) Kemanusiaan
Sikap untuk selalu melindungi dan menghormati orang lain dengan tanpa
mempertimbangkan asal usul etnis maupun bangsa, dalam pandangan Soekarno, perlu
dikembangkan oleh negara Indonesia.
c) Persatuan
Soekarno memandang bahwa nilai kekerabatan yang berkembang di Indonesia sangat
baik dan secara turun temurun telah menjadi identitas sosial. Meski demikian, ada yang perlu
ditambahkan untuk menjadi sempurna, yaitu kekeluargaan yang tidak terbatas pada tingkat
kesukuan (etnosentrisme) maupun kedaerahan (regionalisme). Nilai kekeluargaan itu harus
dikembangkan lintas etnis dan daerah, yaitu ke tingkat bangsa. Soekarno menyatakan
“Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera,
bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat”.
d) Kerakyatan
Sila kerakyatan, dalam formulasi asli yang disusun oleh Soekarno adalah
musyawarah/demokrasi. Dengan berlandas pada formulasi asli, terlihat bahwa beliau hendak
mengkaitkan antara praktek musyawarah yang telah turun temurun dalam masyarakat
Indonesia dengan konsep demokrasi yang berasal dari Barat. Jiwa dari permusyawarahan
adalah mencari keputusan terbaik bagi semua pihak yang terkait atau yang dewasa ini dikenal
sebagai win-win solution.
e) Kesejahteraan/Keadilan Sosial
Beliau mengatakan “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang
hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil,
ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya
kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan di
bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di
atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama
yang sebaik-baiknya.”
Jauh sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal bakal munculnya ideologi bangsa itu
diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi pembuka ke pintu gerbang
kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip
oleh Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal
Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam
gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan kesatuan bangsa.
Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku bangsa bersatu teguh menghadapi
penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928
merupakan momenmomen perumusan diri bagi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
miniatur nilai kebangsaan secara totalitas yang sudah fi nal dan harga mati. Kelahirannya
berawal dari berbagai perkembangan dan per debatan dari waktu ke waktu dan dari berbagai
kajian, pem bahasan, perumusan hingga pengesahan yang melibatkan berbagai bentuk
kelembagaan, yakni Badan Penyidik Usaha Per siapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI),
Panitia dan Sembilan dan terakhir Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI).
Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama yang
dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah
Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai
oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil
Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh
Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945.
Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok
pembicaraan calon dasar negara. Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut
menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus
HadikusumoMr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar
negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat di
antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi mewujudkan
Indonesia merdeka.
Ir. Soekarno berpidato pada 1 Juni 1945 dalam pidato Sidang BPUPKI pertama yang
disampaikan tanpa teks, Ir. Soekarno mengusulkan adanya dasar Negara yang terdiri atas
lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Kebangsaan (Nasionalisme), (2)
Peri Kemanusiaan (Internasionalisme), (3) Mufakat (demokrasi), (4) Keadilan Sosial, dan (5)
Ketuhanan Yang Maha Esa.7 Lima prinsip sebagai dasar Negara tersebut kemudian oleh
Soekarno disarikan menjadi Tri Sila yang meliputi: (1) Sosio nasionalime yang merupakan
sintesa dari “Kebangsaan” (nasionalisme) dengan “Peri Kemanusiaan” (Internasionalisme).
(2) Sosio demokarsi yang merupakan sintesa dari “mufakat” (demokrasi), dengan
“Kesejahteraan Sosial”. (3) Ketuhanan. Soekarno juga mengusulkan bahwa “Tri Sila”
tersebut juga dapat disarikan menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah “gotong royong”.
Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia atau “philosphische grondslag” yang setingkat dengan pandangan
dunia dan atau aliran-aliran besar dunia sebagai “weltanschauung” dan di atas dasar itulah
bediri Negara Indonesia. Usulan Soekarno tersebut sangat menarik untuk dikaji, karena
beliau dalam mengusulkan dasar Negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya
membandingkan dasar fi lsafat Negara “Pancasila” dengan ideologi-ideologi besar dunia
seperti liberalisme, komunisme, chauvinisme, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideologi
besar dunia lainnya.8 Setelah usulan-usulan ditampung, selanjutnya dibentuklah suatu panita
kecil berjumlah delapan orang yang kemudian dikenal dengan istilah “panitia 8” untuk
menyusun dan mengelompokkan semua usulan tertulis. Panitia 8 tersebut terdiri dari: (1) Ir.
Soekarno (Ketua), (2) Drs. Moh. Hatta, (3) M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, (4) K.H.
Wachid Hasyim, (5) Ki Bagus Hadikoesoemo, (6) Rd. Otto Iskandardinata, (7) Moh. Yamin,
dan (8) Mr. Alfred Andre Maramis. Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang
tersebut bekerja meneliti dan mengelompokkan usulan yang masuk, diketahui ada perbedaan
pendapat dari para anggota sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa Negara
berdasar Syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa Negara tidak
mendasarkan hukum salah satu agama tertentu, untuk mengatasi perbedaan ini, maka
dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah sembilan orang yang dikenal sebagai
“Panitia Sembilan” yang anggotanya juga berasal dari golongan nasionalis yaitu: (1) Ir.
Soekarno (Ketua), (2) Mr. Yamin, (3) K.H. Wachid Hasyim, (4) Drs. Moh.Hatta, (5) K.H.
Abdul Kahar Moezakir, (6) Mr. Maramis, (7) Mr. Soetardjo Kartohadikoesoemo, (8) Abi
Kusno Tjokrosoejoso, dan (9) H. Agus Salim. Panitia Sembilan bersidang pada 22 Juni 1945
dan menghasilkan kesepakatan yang menurut Ir. Soekarno adalah suatu modus kesepakatan
yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar, Alinea keempat dalam
rumu san dasar Negara sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemelukpeme luknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan
Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Dari lima
konsep di atas, Mohammad Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama
“Piagam Jakarta”.
Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian
hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan. Ketika para pemimpin
Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, secara tiba-
tiba terjadi perubahan peta politik dunia. Salah satu penyebab terjadinya perubahan peta
politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan
jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7
Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang
berisi:
Esok paginya, 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi
(Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon,
Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh). Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan
oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia
sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon,
ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh.
Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo,
Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi
Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan
(Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975: 16--17).
Jatuhnya Bom di Hiroshima belum membuat Jepang takluk, Amerika dan sekutu akhirnya
menjatuhkan bom lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota tersebut
sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin lemah. Kekuatan yang semakin melemah,
memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.
Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan
Jepang beralih kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu
dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang masih ditugasi
sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan. Kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan
oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula dibentuk Jepang karena Jepang sudah kalah dan
tidak berkuasa lagi, maka para pemimpin nasional pada waktu itu segera mengambil
keputusan politis yang penting. Keputusan politis penting itu berupa melepaskan diri dari
bayang-bayang kekuasaan Jepang dan mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.
Peristiwa penting lainnya terjadi pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan
Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon
untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan.
Namun, di luar dugaan ternyata pada 14Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa
syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia.
Kedatangan mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa
Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi
politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada
sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan,
termasuk Indonesia. Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara
kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas
diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu
“mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada
pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk.,
1975: 26).
1) Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas Pembukaan
dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah
perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah
perubahan pula.
2) Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).
3) Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah
tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945
dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.
Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI
ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini
terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia
Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata
“Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi
perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di
kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”. Setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan yang kemudian diikuti dengan pengesahaan Undang-Undang Dasar 1945,
maka roda pemerintahan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik dan tertib, ternyata
menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam kemerdekaan negara dan
eksistensiPancasila. Salah satu bentuk ancaman itu muncul dari pihak Belanda yang ingin
menjajah kembali Indonesia. Belanda ingin menguasai kembali Indonesia dengan berbagai
cara. Tindakan Belanda itu dilakukan dalam bentuk agresi selama kurang lebih 4 tahun.
Setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, maka
Indonesia pada 17 Agustus 1950 kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya berbentuk
Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan bentuk negara dari Negara Serikat ke Negara
Kesatuan tidak diikuti dengan penggunaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi dibuatlah
konstitusi baru yang dinamakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Permasalahannya ialah ketika Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata tidak
menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menimbulkan persoalan kehidupan
bernegara dikemudian hari.
Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa
penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur
hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di
puncak piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua
DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam
kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai
pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden. Pertentangan
antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan
Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang
dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI).
Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari. Supersemar yang
diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto itu kemudian dikuatkan dengan
TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan demikian, status supersemar menjadi
berubah: Mula-mula hanya sebuah surat perintah presiden kemudian menjadi ketetapan
MPRS. Jadi, yang memerintah Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS.
Hal ini merupakan fakta sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966
yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai
Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus
sebagai presiden seumur hidup.
Menurut penjelasan pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang dimaksud dengan mata kuliah pendidikan Pancasila
adalah pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa
mengenai ideologi bangsa Indonesia. Dengan landasan tersebut, Ditjen Dikti
mengembangkan esensi materi pendidikan Pancasila yang meliputi:
Oleh karena itu, menjadi suatu kewajaran bahkan keharusan Pancasila disebarluaskan
secara masif, antara lain melalui mata kuliah pendidikan Pancasila di perguruan tinggi.
Dalam hal ini, Riyanto (2009: 4) menyatakan bahwa pendidikan Pancasila di perguruan
tinggi merupakan suatu keniscayaan karena mahasiswa sebagai agen perubahan dan
intelektual muda yang di masa yang akan datang akan menjadi inti pembangunan dan
pemegang estafet kepemimpinan bangsa dalam setiap tingkatan lembaga-lembaga negara,
badan-badan negara, lembaga daerah, lembaga infrastruktur politik, lembaga-lembaga bisnis,
dan sebagainya. Dengan demikian, pemahaman nilai-nilai Pancasila di kalangan mahasiswa
amat penting, tanpa membedakan pilihan profesinya di masa yang akan datang, baik yang
akan berprofesi sebagai pengusaha/entrepreneur, pegawai swasta, pegawai pemerintah, dan
sebagainya. Semua lapisan masyarakat memiliki peran amat menentukan terhadap eksistensi
dan kejayaan bangsa di masa depan.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Kunawi dkk. (2013). Pancasila dan Kewarganegaraan. Surabaya : Sunan Ampel
Press
Nurwardani, Paristiyanti, dkk. (2016). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi
Purwanta, H. (2018). Pancasila Dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jurnal
CANDI, 18(2), 124-137.https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/view/42754
Putri, Lauren Sandila. 2016. Pancasila dalam Arus sejarah Bangsa Indonesia. Jurnal Selat:
4(1). https://osf.io/7fu9t/download/?format=pdf
RISTEKDIKTI. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Jakarta.
https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/8-PendidikanPancasila.pdf
Sumartini, A. T., & Putra, A. S. (2018). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan