Anda di halaman 1dari 29

PANCASILA DALAM ERA PRA KEMERDEKAAN

Dosen Pengampu:
HERU BASKORO, S.Sos., M.M

Disusun Oleh:
1. Maulidatul Karimah (D3 Farmasi)
2. Okky Ardiansyah (D3 Farmasi)
3. Fenny Eliyana (D3 Farmasi)
4. Siska Anggraeni (D3 Farmasi)
5. AKN Azizatul Maghfirah (D3 Farmasi)
6. Twelvi Desimbriana (D3 Kebidanan)
7. Ranandya M. Jahel (D3 Kebidanan)
8. Anis Laras Wati (D3 Kebidanan)
9. Dian Indriani (D3 Fisioterapi)

STIKES DAN AKBID DELIMA PERSADA


Jl. PROKLMASI No. 54 GRESIK JAWA TIMUR
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “” ini guna memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pada
mata pelajaran Pendidikan Pancasila, STIKES Delima Persada Gresik.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan makalah ini tidak lepas
dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis sudah
selayaknya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Heru Baskoro, S.Sos., M.M selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Pancasila yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua Orang tua, teman-teman dan semua pihak yang ikut berjasa dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu dengan segala kerendahan hati penulis membuka diri
bahwa ada koreksi konstruktif demi penulisan makalah ini. Akhirnya semoga
makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.

Gresik, 27 Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu
“sejarah merupakan guru kehidupan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak
memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka
bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat
oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang
dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Pancasila adalah suatu ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di dalam
pancasila terdapat isi di setiap silanya sesuai dengan cita-cita, tujuan dan harapan
terbentuknya Negara Indonesia. Pancasila pemersatu kedaulatan bangsa Indonesia
yang dulunya tersebar dari kerajaan. Dasar terbentuknya Negara Indonesia, telah
disusun dan ditetapkan oleh para tokoh dari gabungan beberapa tokoh-tokoh
terkenal.
Pada dasarnya pancasila sebagai dasar sistem pemerintahan dengan cara
menjalankan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pemerintah
sesuai dengan isi dari Pancasila tersebut. Konsekuensinya adalah Pncasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila
sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya
semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia bersumber
pada Pancasila.
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila
digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia
membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius”
selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pelaksanaan Pancasila Pada Awal Kemerdekaan?
2. Apa saja Nilai-Nilai Pancasila yang terkandung dalam Sejarah Perjuangan
Bangsa Indonesia?
3. Bagaimana Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan?
4. Bagaimana kejadian yang terjadi di masa Pancasila era Pra Kemerdekaan?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan tentang masa Pancasila pada era Pra Kemerdakaan.
2. Menjelaskan beberapa kejadian yang terjadi di masa Pancasila era Pra
Kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Pancasila Pada Awal Kemerdekaan


Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil
mendirikann Negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah baru
bisa dikatakan bahwa perjuangan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat
yang sejahtera lahir bathin, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Para pendiri Negara (the founding father) telah sepakat bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia akan diisi nilai-nilai yang telah ada dalam budaya
bangsa, kemudian yang disebut dengan nilai-nilai pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar Negara mulai tanggal 1 juni 1945
dalam siding BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 agustus 1945 pancasila
resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar Negara Republik Indonesia.
Kemudian mulai dekrit presiden 5 juni 1959 dan ketetapan MPRS No XX
/MPRS/1996 berhubungan dengan ketetapan No I /MPR/1988 No I/MPR/1993,
pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya pancasila sebagai dasar Negara, maka
seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh pancasila.
Landasan hukum pancasila sebagai dasar Negara memberi akibat hukum dan
filosofis, yaitu kehidupan Negara dari bangsa ini haruslah berpedoman pada kepada
pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi pancasila dalam sejarah Indonesia
selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai pancasila
yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan
NKRI.
Penetapan pancasila sebagai dasar Negara dapat dikatakan mulai pada masa
prde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia memproklamirkan diri
kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama
Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah
ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali pancasila yang
pertama ialah Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh
pada saat itu, memilih sila-sila berjumlah 5 yang kemudian yang dinamakan
pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia dari sabang sampai merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi Negara dan bangsa, wajib di
implementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan
pancasila melalui kebijakan, ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi
oleh pimpinanyang menguasai Negara, sehingga pengisian nilai-nilai pancasila
menampilkan bentuk dan diri tertentu.

2.2 Nilai-Nilai Pancasila dalam Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia


Menurut sejarah pada kira-kira abad VII-XII, Bangsa Indonesia telah
mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-
XVI didirikan pula kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan
tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu telah
memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara. Kedua
kerajaan itu telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai
wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah
mengalami kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia
tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan
nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui
tiga tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-
1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap
negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara
kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat
Negara.RI. 1995:11).
1. Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa
Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan huruf pallawa
adalah kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan
Sriwijaya menguasai selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775). Sistem
perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja
membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat sehingga
rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan
sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang
menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci
sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai
Ketuhanan (Kaelan,1999:27).
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah
dikenal di Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak
guru-guru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita
kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya
sebagai terebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya ssiddhayatra
subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an,
Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan
sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang
dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara
kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut
ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo
dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu
hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat
kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India
(Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah
tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan
konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan,
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

2. Masa Kerajaan Majapahit


Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke
VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut
adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan
candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX),
Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan
adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan
secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti
menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan
dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai
sila keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja
melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum
Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat raja Airlangga
memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian
rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293), Zaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada.
Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung
Melayu sampai ke Irian Jaya.
1) Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”.
Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat
seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak
ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas
beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di
Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama
Islam.
2) Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan
baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan
persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka Satata”.
3) Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh
Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada
tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang
berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung,
Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
4) Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang
dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti
Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat
semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu
yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong
dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk
mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
5) Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama
rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia,
menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan
rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan Majapahit sebagai
akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme sudah
ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai dan Demak,
nampaknya tidak mampu membendung tekanan Barat memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi
Indonesia ini. Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan
penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya, sebab
pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada
zaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang,
persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.

2.3 Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan


1. Perjuangan Sebelum Abad ke XX
Penjajahan Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu
tidak dibiarkan begitu saja oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis
itu menjejakkan kakinya di Indonesia, di mana-mana bangsa Indonesia
melawannya dengan semangat patriotik melalui perlawanan secara fisik.
Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih
melawan penjajah. Pada abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah
digerakkan oleh pahlawan Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta Yasa
dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin Makasar 1660), Iskandar Muda Aceh
1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), Ibnu Iskandar
(Minangkabau 1680) dan lain-lain.
Pada permulaan abad ke XIX penjajah Belanda mengubah sistem
kolonialismenya yang semula berbentuk perseroan dagang partikelir yang bernama
VOC berganti dengan Badan Pemerintahan resmi yaitu Pemerintahan Hindia
Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran Pemerintahan penjajahan dari Hindia
Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera kembali kepada
Belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya Belanda menghadapi
perlawanan bangsa Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di
Minangkabau (1822-1837), Diponogoro di Mataram (1825-1830), Badaruddin di
Palembang (1817), Pangeran Antasari di Kalimantan (1860) Jelantik di Bali (1850),
Anang Agung Made di Lombok (1895) Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut
Nya’Din di Aceh (1873-1904), Si Singamangaraja di Batak (1900).
Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap
daerah di Indonesia. Akan tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi secara
sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta koordinasi dalam
melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa Indonesia mengusir
kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan penjajah. Hal ini
membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi
penjajahan.

2. Kebangkitan Nasional 1908


Pada permulaan abad ke XX bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kegagalan perlawanan secara
fisik yang tidak adanya kordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin
Indonesia abad ke XX itu untuk merubah bentuk perlawanan yang lain. Bentuk
perlawanan itu ialah dengan membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia akan
pentingnya bernegara.
Usaha-usaha yang dilakukan adalah mendirikan berbagai macam organisasi
politik di samping organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.
Organisai sebagai pelopor pertama adalah Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Mereka yang tergabung dalam organisasi itu memulai merintis jalan baru ke arah
tercapainya cita-cita perjuangan bangsa Indonesia., tokohnya yang terkenal adalah
dr. Wahidin Sudirohusodo.
Kemudian bermunculan organisasi pergerakan lain, yaitu Sarikat Dagang
Islam (1909), kemudian berubah bentuknya menjadi pergerakan politik dengan
menganti nama menjadi Sarikat Islam (1911) di bawah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto.
Berikutnya muncul pula Indische Parti (1913) dengan pimpinan Douwes
Dekker, Ciptomangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, namun karena terlalu
radikal sehingga pemimpinnya di buang ke luar negeri (1913). Akan tetapi
perjuangan tidak kendur karena kemudian berdiri Partai Nasional Indonesia (1927)
yang di pelopori oleh Sukarno dan kawan-kawan.

3. Sumpah Pemuda 1928


Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah
perjuangan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia
yang di pelopori oleh Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain
mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan adanya Bangsa,
tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa
Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan
sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat
persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia
yang disingkat dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang dibubarkan.
Kemudian golongan Demokrat yang terdiri dari Moh. Hatta dan Sutan Syahrir
mendirikan PNI Baru, dengan semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai
dengan kekuatan sendiri.

4. Perjuangan Bangsa Indonesia Zaman Penjajahan Jepang


Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah Perang Pasifik, dengan dibomnya
Pearl Harbour oleh Jepang. Dalam waktu yang singkat Jepang dapat menduduki
daerah-daerah jajahan Sekutu di daerah Pasifik.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau
penjajah Belanda, pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia,
yaitu Kemerdekaan Bangsa dan tanah air Indonesia. Peristiwa penyerahan
Indonesia dari Belanda kepada Jepang terjadi di Kalijati Jawa Tengah tanggal 8
Maret 1942.
Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan
Indonesia dari cengkraman Belanda. Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan
pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia raya. Akan
tetapi hal itu merupakan tipu muslihat agar rakyat Indonesia membantu Jepang
untuk menghancurkan Belanda.
Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang
tidak kurang kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa
Indonesia mengalami penderitaan dan penindasan yang sampai kepada puncaknya.
Kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang didambakan tak pernah
menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa semakin menjauh
bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang.
Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan
perlawanan-perlawanan terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara legal,
seperti pemberontakan PETA di Blitar.
Sejarah berjalan terus, di mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan
berakhirnya dengan kekalahan Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan
dari rakyat Indonesia, Jepang berusaha membujuk hati bangsa Indonesia dengan
mengumumkan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari apabila perang telah
selesai. Kemudian janji yang kedua kemerdekaan diumumkan lagi oleh Jepang
berupa “Kemerdekaan tanpa syarat” yang disampaikan seminggu sebelum Jepang
menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, bahkan
menganjurkan agar berani mendirikan negara Indonesia merdeka dihadapan musuh
Jepang.

2.4 Pancasila Era Pra Kemerdekaan


Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila, menyatakan bahwa
unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara
formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah
memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan
merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam
berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan
kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci Sunoto menunjukkan
fakta historis, diantaranya adalah:
a. Ketuhanan yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-
putusnya orang percaya kepada Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal
ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
c. Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub,
rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada
dalam masyarakat kita.
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia
dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social dan
berlaku adil terhadap sesama.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa,
bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila,
namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila telah dipraktekkan
oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang.
Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah
ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek moyang.
a. Teori nilai budaya
Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada. Keberadaan Pancasila
masih belum terumuskan secara sistematis seperti sekarang yang dapat kita lihat.
Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa
Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan pedoman hidup bersama
yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama yang diikuti secara suka
rela.
Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan
yang cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara manusia
menjawab baik secara pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah yang
mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu sistem yang di
dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya akan mempengaruhi
pandangan hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga akhirnya pengaruh
itu sampai pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan mempengaruhi
pandangan hidup. Pandangan hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat
dalam menentukan nilai kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya meliputi
bagaimana masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan kehidupan
yakni hubungan manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri,
dan hubungan manusia dengan sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro
dikenal istilah-istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tiga kecenderungan mendasar
yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan
menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat
dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum
dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui
sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui kegiatan-
kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena itu, nilai
sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah dilakukan
oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa mengetahui
sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari gejala-gejala
sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi
pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi:
1) Membangkitkan perhatian serta minat kepada sejarah tanah air.
2) Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah.
3) Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah.
4) Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah.
5) Mengembangkan pikiran penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait dengan
Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-nilai
Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu :
1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi
kenyataan.
2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad, bertahap
dan menggunakan cara yang bermacam-macam.
3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi sejarah
perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh pancasila.
4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 paham negara persatuan,
negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok yang
terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila.
7. Maka penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan
berdasar kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji
Darmodihardjo, 1978: 40).

Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga


kelompok (Bakry, 1998: 20) :
a) Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap
pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam
Djakarta.
b) Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat
hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
c) Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum
berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.

b. Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September
1944, perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang
mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24
Agustus 1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret
1945 Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru
terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik
pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara
Jepang di Jawa), dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat, ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa
Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan
anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan
kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan
sebagai suatu tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-
citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama
pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada
tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.

c. Masa Sidang Pertama BPUPKI


Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan
usul yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara
Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan
dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi:
1. Peri kebangsaan
2. Peri kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri kerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat.
Tanggal 30 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya
bukan dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara
yang berpaham integralistik.
Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu yang
akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran integralistik tersebut yang sesuai
dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu:
struktur kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti,
persatuan dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara
rakyat dan pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah,
rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan
didirikan, ada tiga teori yaitu:
1. Teori negara perseorangan (individualis)
2. Paham negara kelas
3. Paham negara integralistik
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima
dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar
Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr.
M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno:
1. Nasionlisme (kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (perikemanusiaan)
3. Mufakat (demokrasi)
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang Maha Esa (berkebudayaan).
Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi tiga rumusan
yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan
(nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-
nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi
menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga,
ketuhanan yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain disingkat
menjadi ketuhanan.
Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan, “Maaf,
beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang
diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:
“Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag
itulah fundamen,filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan
abadi”(Bahar, 1995: 63).
Demikian hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut,
logis dan koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila
disebut sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima
kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya
katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila
daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali
itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya
katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi
ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun
merupakan khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam
sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia,
seperti berikut:
1. Pada Kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan pembuka jaman sejarah
Indonesia untuk pertama kali, karena telah menampilkan nilai sosial politik,
dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah kepada para
Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2. Perkembangan Kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut
sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan
nilai-nilai Pancasila material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai
persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada
raja sebagai pusat kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha
mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu. Nilai-nilai
kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang dari
pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan
Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari
birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993: 20-21).
3. Pada masa Kerajaan Majapahit, di bawah Raja Prabhu Hayam Wuruk dan
Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara.
Faktor-faktor yang dimanfaatkan untuk menciptakan Wawasan Nusantara itu
adalah: kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial
kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang
Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religius sosial dan politik yang
merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak memasuki jaman sejarah
(Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini, istilah Pancasila dikenali
yang terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma
karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah Pancasila di samping
mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga
mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).

Kedua jaman, baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah


karena pada waktu itu bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang
mempunyai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan
negara-negara yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi
seluruh Nusantara. Pada jaman tersebut bangsa Indonesia telah mengalami
kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo
dkk, 1991: 21).
Selain jaman kerajaan, masih banyak fase-fase yang harus dilewati menuju
Indonesia merdeka hingga tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun
oleh penjajahan Belanda.
Sebagai salah satu tonggak sejarah yang merefleksikan dinamika kehidupan
kebangsaan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi dalam
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi, “Kami putra dan
putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama
BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M.
Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk
menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia
kecil penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang diketuai oleh
Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia Sembila
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta
Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat
terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Setelah sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang
disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota
BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit
Nasionalis Kristen.
Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara,
namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara
Nasionalis Netral Agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam
Jakarta (22 Juni 1945)yang berisi “tujuh kata “ yaitu “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo,
1991).
Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo
demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo,
Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin
republikyang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu (Eleson dalam
Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa
Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat
disebut sebagai declaration of Indonesian Independence.

d. Masa Sidang Kedua BPUPKI


Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli
1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan
merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang
kedua ini ditambah enam orang anggota baru.
Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia
kecil atau panitia Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Disamping
menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum
Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar
yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota
yang berjumlah 19 orang.
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso
beranggotakan 23 orang.
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang
anggota.

Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil.


Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil itu
dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya
menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945 sidang
BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang dinamakan Piagam
Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli
1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan
dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya merupakan sidang
penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas badan tersebut,
yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang akan dibentuk
sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang BPUPKI ini rumusan Pancasila
dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
a. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29
Mei 1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato.
b. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945,
yakni usul pribadi dalam bentuk tertulis.
c. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi
dengan nama Pancasila.
d. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,
hasil kesepakatan bersama pertama kali
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara Indonesia,
namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi
dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat proklamasi,
semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap mempertahankan
serta mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi
Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 18
Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas Naskah Rancangan
Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar (1945).
Tugas PPKI semula hanya memeriksa hasil sidang BPUPKI, kemudian
anggotanya disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan
kedudukan dan fungsi yang sangat penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam
membentuk negara Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan,
1993: 43-45) :
a. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan Mukaddimah Hukum
Dasar oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan,
disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16
Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir. Soekarno
sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah
darurat.

Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD


1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya.
Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa
Drs. Moh. Hatta.
Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima
dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui
sebagai dasar filsafat negara secara formal. Berikut lima dasar Pancasila :
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm
permuyawaran/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian


yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu
sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai
hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun yang tidak tertulis atau
konvensi.
Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki
kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa Indonesia tak terkecuali
dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum
dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih
lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945,
yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun dalam
hukum positif lainnya.
Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat
dirinci sebagai berikut: Pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber
dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila
sebagai dasar negara meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila
sebagai dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara
Indonesia. Keempat; Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang
mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang
saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan
kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal
ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan
kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan
masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan
melewati suatu proses waktu yang sangat panjang. Dalam proses waktu yang
panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian penting yang merupakan tonggak
sejarah perjuangan. Dan dasar negara merupakan alas fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara.
Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
Pancasila.

3.2 Saran
Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang mana setiap warga
negara Indonesia harus menjujung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila
tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab. Agar Pancasila tidak
terbatas pada coretan tinta belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA

Mustopo, M.Habib, dkk. 2011. Sejarah 3. Jakarta: Yudhistira.


Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, Icce. UIN Jakarta, 2003
Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries
Lima
Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2005. Pendidikan
Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka
Winatapura, Udin. S, DKK. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta:
Universitas Terbuka

Anda mungkin juga menyukai