Anda di halaman 1dari 21

PANDANGAN PLURALISME TERHADAP AGAMA HINDHU DAN BUDHA

Plural berasal dari kata plura, plures (bahasa latin) berarti banyak atau lebih dari satu. Pluralitas mengandung makna adanya perbedaan, seperti yang terjadi dengan kemajukan bahasa, etnis, budaya, ideologi dan agama. Pengakuan terhadap pluralitas bisa dihubungkan dengan fragmentasi, sedangkan sikap atau paham pluralisme mempertalikan mempersatukan. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 1. Pluralisme menurut Agama Hindhu Hindu mengakui Pluralisme. Di dalam Ajaran Hindu ada 4 cara dalam untuk menuju Tuhan (Brahman) yang dinamakan Catur Marga (Bhakti, Kharma, Jnana dan Raja Yoga). Bhakti Marga adalah jalan menujuNya dengan berbakti (Sembahyang, menyembahNya). Kharma Marga adalah jalan menujuNya dengan melakukan perbuatan baik sesuai Ajaran Agama. Termasuk orang-orang yang mengaku tidak beragama dan betuhan juga melakukan hal ini. Jnana marga adalah jalan menujunya dengan mempelajari melalui Kitab-kitab Suci. Ini sudah sangat jelas dilakukan semua Agama. Raja Yoga Marga adalah jalan tertinggi menujunya dengan jalan meditasi tingkat tinggi, sedikit orang yang bisa melakukan ini, dimana keberadaan Tuhan sebagai Jiwa Semesta dan Jiwa Manusia telah dirasakan dan dihayati. Setahu saya ini ada dalam Hindu dan Budha. Ke empat jalan/cara ini tidak berjalan sendiri-sendiri, terutama yang 3 pertama selalu berkombinasi dan bisa ke-3 nya di jalankan. Dalam konsep Hindu, merusak Alam adalah sama dengan merusakNya, karena Alam dijiwai olehnya. Apalagi membunuh Manusia, karena semua Manusia dijiwai olehNya hanya tebal tipis selubung Maya yg membedakannya. Agama hindu merupakan agama yang sangat terbuka dengan paham pluralisme. Karena menurut kitab agama hindu yaitu Weda. Kitab suci Weda istilah ini bermakna dasar pengertahuan. Lengkapnya istilah tersebut sama dengan kata bahasa Yunani dan bahasa Jerman mengetahui ( oida dan wisen ), bahasa latin kebhinnekaan sebagai suatu kebutuhan bersama yang

video, bahasa inggris bijaksana (wise) dan kecerdasan (wit) (akar makna yang tekhir ini sebagai kata kerja tetap nyata, sebagai contoh to wit, wiitngly). Disebutkan bahwa Dalam Rg. Weda X.191.3-4, menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. VASUDAIVA KUTUMBAKAM, semua mahluk adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta. Sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi pertiwi tercinta. Oleh karena itu, Tuhan Yang Maha Esa, Sang hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati. Yayur Weda, 40.7. Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat melihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan. Kita semua tahu bahwa hindu merupakan agama yang tertua yang bertahan sampai sekarang karena selalu relevan dengan perkembangan jaman baik dimasa lalu, masa sekarang dan di masa yang akan datang. Hindu memiliki kekayaan filsafat dan kaidah spiritual yang terbentuk selama ribuan tahun. Kita patut berbangga karena ditengah tengah maraknya konflik yang mengatasnakanan agama, kita jarang mendengar Hindu ada didalamnya. Agama kita memiliki konsep yang sangat jelas tentang toleransi dan pluralisme. Dalam kehidupan kita bermasyarakat kita bersinggungan dengan orang lain dari kepercayaan dan keyakinan yang berbeda. Masing-masing keyakinan memiliki perbedaan dalam tiga aspek yaitu srada/ tatwa, acara/ritual dan etika/susila. Srada menyangkut keimanan dan konsep tentang ketuhanan, dan ritual menyangkut tata cara kita untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi. Perbedaan-

perbedaan keyakinan ini memberi rona dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity). Pertama kita mengenal ajaran atau prinsip vasudhaiva kutumbakam. Prinsip ini berasal dari kata vasudha, eva dan kutumbakan. vasudha berarti dunia, eva merupakan kata penekan yang bermakna benar adanya dan kutumbakam berarti keluarga. Dengan demikian ajaran ini bermakna bahwa seluruh dunia ini hanyalah satu keluarga besar. Ini adalah suatu ajaran yang mencoba untuk memberi kita pemahaman bahwa seluruh umat manusia pada hakekatnya adalah satu kelurga besar. Ini adalah filsafat sosial yang berakar dari pemahaman spiritual bahwa seluruh umat manusia tercipta dari satu sumber kehidupan yang sama yaitu Brahman atau Hyang Widhi Wasa.

Jika Parama Purusa atau Hyang Widhi hanya satu bagaimana mungkin atman yang menghidupi makhluk hidup berbeda? Jika atman yang bersemayam dalam setiap makhluk hidup berbeda bagaimana dia bias menyatu dengan Hyang Widhi? Bagaimana Moksatram bisa tercapai jika percikan suci atman berasal dari sumber yang berbeda?. Jika air samudra adalah satu bagaimana mungkin setetes air hujan berbeda dengan samudra? Inilah makna sesungguhnya dari prinsip vasudhaiva kutumbakan, bahwa kita semua berasal dari sumber yang sama dan dengan demikian dunia ini merupakan organisasi kesadaran kosmis Hyang Widhi Wasa. Prinsip Vasudhaiva kutumbakam berasal dari kitab Mahopanishad -VI 70: Ayam bandhurayam neti ganana laghuchetasam Udarachairitam tu vasudhaiva kutumbakam Hanya orang kerdil yang membeda-bedakan berkata: dia adalah keluarga saya; yang lain adalah orang asing. Bagi mereka yang berjiwa besar, seluruh dunia tidak lain adalah satu keluarga. Ayat ini bukan saja mengenai kedamaian dan harmoni antara masyarakat tetapi juga megajak kita semua untuk hidup bersama seperti keluarga. Dengan alasan ini Hindu mengajarkan bahwa kekuatan apapun dimuka bumi ini baik besar maupun kecil tidak bisa semena-mena, dan mengabaikan yang lainnya. Yang kedua kita memiliki ajaran Tri Hita Karana, atau tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Tri hita karana mengajarkan falsafah hidup yang harmonis dengan Tuhan, Alam sekitar dan sesama manusia. Kita manusia adalah ciptaan Hyang Widhi, sedangkan atman merupakan percikan sinar suci kebesaran Hyang Widhi yang menyebagkan kita hidup. Kita juga bergantung kepada alam dan lingkungan dimana kita hidup, dan menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan memperhatikan lingkungan. Dan kita adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain demi kelangsungan hidup kita. Oleh sebab itu hubungan dengan sesama harus selalu baik dan harmonis. Hubungan dengan sesama harus diatur dengan dasar saling asah, saling asih dan saling asuh yang artinya saling menghargai, saling mengasihi dan saling membimbing. Jika ketiga hubungan ini dapat kita jalankan dengan seimbang maka hita atau kebahagiaan akan tercapai. Kita juga menemukan berbagai ajaran toleransi dari beberapa mantram yang biasa kita gunakan baik sebagai dainika upasana atau mantra sehari-hari dan naimitika upasana atau mantra yang digunakan secara incidental pada saat-saat tertentu. Misalnya pada mantram trisandya ayat lima kita menjumpai doa sarwa prani hitangkara semoga semua makhluk bahagia. Kita bukan hanya menghormati semua makhluk tetapi juga berdoa untuk kesejahteraan mereka. Mantra lain seperti:

Om

sarve

bhavantu

sukhinah.

Sarve

santu

niraamayaah.

Sarve bhadraani pashyantu. Maa kaschid dukhbhaag bhavet. Semoga semua makhluk bahagia, semoga semua makhluk sehat Semoga semua makhluk menikmati kesejahteraan, semoga tak satupun mengalami penderitaan. Doa mantra tersebut mendemonstrasikan betapa kita peduli dengan semua makhluk secara universal tidak hanya inklusif atau terbatas bagi pemeluk hindu semata-mata. Kita memandang semua makhluk sebagai manifestasi dari satu kesadaran agung yaitu Hyang Widhi Wasa. Ekam sat vipraha badudha vadanti Hanya ada satu kebenaran, para bijaksana menyebutnya dengan nama yang berbeda. Kita bukan hanya mempromosikan toleransi tapi juga penghormatan terhadap perbedaan keyakinan atau jalan ketuhanan yang berbeda. Dengan demikian, kita berpendirian bahwa sungguh berbahaya dan cacat untuk secara sengaja memaksakan keyakinan kepada orang lain bahwa ajarannya yang paling benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan, apalagi dengan cara kekerasan, tipu muslihat, dan

merendahkan kepercayaan orang lain. Dengan ajaran dan filosofi yang sedemikian santun ini kita patut bangga menjadi hindu, bangga dilahirkan di tengah-tengah keluarga hindu. Mari kita implementasikan ajaran ini kedalam kehidupan kita. Pada hari Kamis (8/11/2012) pagi, ada tayangan langsung acara pembukaan Bali Democracy Forum V di Bali. Acara itu dibuka oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri sejumlah kepala negara dan pemerintahan. Saat menyampaikan sambutan, Presiden SBY mengucapkan basmalah, salam secara Islam, dan juga ungkapan Om Swastyastu sebuah salam khas agama Hindu. Pejabat sebelumnya pun melakukan hal yang sama. Tindakan pejabat tinggi Indonesia dalam mengucapkan salam dalam berbagai versi agama itu sudah seringkali terdengar. Bagi kaum Hindu, Om Swastyastu memang ucapan ibadah dalam agama Hindu. Seorang Hindu menjelaskan tentang makna Om Swastyastu sebagai berikut: Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa

itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan. Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng. Itulah penjelasan Hindu tentang ucapan salam khas Hindu, Om Swastyastu. Dari penjelasan itu tampak, bahwa ungkapan salam Hindu itu sangat terkait erat dengan konsep Tuhan dan sembahyang dalam agama Hindu. Jadi, kata Om dalam agama Hindu berarti Ya Tuhan. Dalam buku kecil berjudul Sembahyang, Tuntunan Bagi Umat Hindu karya Jro Mangku I Wayan Sumerta (Denpasar: CV Dharma Duta, 2007), disebutkan sejumlah contoh doa dalam agama Hindu yang diawali dengan kata Om, seperti doa sebelum mandi: OM, gangga di gangga prama gangga suke ya namah swaha. Meskipun sama-sama menyatakan bertuhan SATU, agama-agama memiliki konsep Tuhan yang berbeda-beda tentang Yang Satu itu. Kaum Hindu, misalnya, mempunyai konsep dan juga sebutan-sebutan untuk Tuhan mereka secara khas. Dalam buku karya Ngakan Made Madrasuta berjudul Tuhan, Agama dan Negara (Media Hindu, 2010), dijelaskan perbedaan konsep Tuhan antara Hindu, Kristen, Yahudi, dan Islam. Tentu saja penjelasan itu dalam perspektif Hindu. Menurut penulis buku ini, Tuhan dalam agama Hindu, yakni Sang Hyang Widhi tidak dapat disebut Allah. Membaca pemikiran kaum Hindu yang begitu berambisi untuk menghindukan kembali Indonesia, cukup memunculkan tanda tanya tentang klaim Hindu sebagai agama pluralis yang sangat toleran dengan kepercayaan agama-agama lain, sebagaimana pernah dipaparkan di Majalah MEDIA HINDU edisi April 2010. Dalam kolomnya yang berjudul Pluralisme Surga, Ngakan Putu Putra

menyebutkan dukungan kuat terhadap gagasan pluralisme agama. Ia menulis sebagai berikut :

"Meninggalnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), pada akhir Desember 2009, bagaikan momentum sebuah perayaan atas pluralisme agama. Doa bersama oleh tokoh berbagai agama dilakukan di kediaman mendiang, maupun di tempat ibadah masing-masing, berbagai tulisan diterbitkan, buku tentang Gus Dur diluncurkan, seperti yang dilakukan di Pura Aditya Jaya Rawamangun, tanggal 8 Februari yang dihadiri oleh perwakilan keluarga, perwakilan majelis agama para sahabat yang memberikan testimoni, diikuti dengan doa bersama. Penghormatan ini memang pantas, karena jasanya yang besar untuk mengembangkan pluralisme agama di Indonesia, yang dilakukannya secara konsisten sejak muda, melalui tulisan-tulisannya di media massa, dialog yang dilakukannya ketika menjadi ketua umum PBNU, dan keputusan ang diambilnya ketika menjadi Presiden, yang paling fenomenal adalah pengakuannya terhadap agama Konghucu dan diperbolehkanna Imlek. Gus Dur juga sering datang ke pura dan ashram di Bali dan ikut sembahyang dan bhajan. Namun dibalik perayaan itu, yang melambangkan optimisme akan pluralisme di Indonesia, yang sebetulnya sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular pada abad 15, terselip juga kekhawatiran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang di dalamnya terdapat wakil-wakil dari organisasi massa Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme. Sekalipun mendapat kritik keras dari berbagai kalangan sampai saat ini fatwa itu belum dicabut. Agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha, Jain, dan Sikh tidak mengalami kesulitan untuk menerima pluralisme agama. Sikap pluralistik itu berakar di dalam ajarannya. Sementara agama-agama Semitik bersifat anti-pluralisme. Paus Benedict XVI, pemimpin Gereja Katolik Roma, menolak menghadiri doa bersama para tamunya, para tokoh berbagai agama di dunia yang diundangnya untuk acara dialog antar agama, yang diadakan di Vatikan, 2007. Karena bila dia ikut dalam doa bersama itu, akan memberi kesan bahwa dia mengakui semua agama memiliki kebenaran yang sama. Tuan rumah yang arogan. Di MEDIA HINDU edisi yang sama, diturunkan artikel dari I Ketut Budiasa, berjudul Hindu, Pluralisme, dan Masa Depan Umat Manusia. Ditulis dalam artikel ini : "Agama Hindu tidak bermasalah dengan pluralisme." Lalu, ditegaskan : "Manusia membutuhkan paham ketuhanan Hindu untuk menciptakan masa depan umat manusia yang damai di bumi yang dihuni bersama ini. Hanya dengan pandangan ketuhanan Hindu dan "sifat-sifat Tuhan Hindu" menciptakan masa depan yang damai secara hakiki dan tulus." manusia dapat

Menurut penulis, Hindu tak membagi manusia ke dalam pemuja Tuhan dan musuh Tuhan. Apakah matahari hanya memberi sinarnya kepada sekelompok orang ? Bahkan, ia tidak memalingkan sinarnya dari kotoran. Selanjutnya dikatakan: "Tuhan Hindu yaitu Tuhan dalam konsep dan pandangan agama Hindu, yang disebut dengan berbagai nama : Brahman, Wisnu, Siwa, Rudra, dan ratusan atau bahkan mungkin ribuan nama lain, bukanlah Tuhan pencemburu. Membaca persepsi dan ambisi kaum Hindu, kita patut bertanya: Jika Hindu mengaku sebagai agama pluralis dan toleran dengan kepercayaan agama lain, harusnya tidak mengritik konsep agama-agama lain, dan tidak berambisi mengHindu-kan kembali Indonesia. Menurut I Nyoman Tika Ketika kita hendak menatap wajah Indonesia, belakangan ini, masih tampak wajah muram tanpa cahaya kejernihan dalam aspek berbangsa. Negara yang berdasarkan ketuhanan, yang mewajibkan warga negaranya beragama, tetap saja sepi dan khusut dalam etika, moral dan karakter, yang semestinya nihil bagi penganut agama. Apa pun agamanya, dia mesti takut berbaut dosa, namun kenyataannya masih didominasi karakter layaknya negara tanpa agama. Kenapa demikian? Banyak kasus yang menggurita pada dimensi kehidupan masyarakat kita. Contoh, kebebasan beragama masih hanya retorika, kasus korupsi semakin mewabah, TKI sering jadi korban di negara tujuan, anehnya di negara yang mengukuhkan dasar negara adalah agama, birokrat yang masih pongah menelikung hukum. Serta kasus-kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penganiayaan pemerkosaan, DPR dan penegak hukum sudah tidak ada yang takut berbuat dosa, tokoh masyarakat ikut menurunkan moralitas di masyarakat. Agama semestinya di dada pengikutnya mengubah sifat hewani manusia menjadi sifat ketuhanan yang merupakan nafas agama seakan diterjang angin, sepi tanpa bekas. Itu sebabnya Pendidikan Agama sebagai penyangga moral, etika dan karakter digugat?. Sebagian besar agama telah menjadi ritual, sepi pemahaman untuk dipraktekkan, sehingga bagi umat yang tidak cukup paham, akan berperilaku fanatik agama dan emosional. Dalam keadaan seperti ini, kerjasama multi agama tidak akan bertahan lama. Sulit juga bagi kelompok multi etnis yang berbeda budaya, agama dan saling menghormati bisa terwujud, nada pesimisme ini muncul di kalangan tokoh agama. Apa yang salah? Hanya satu yang dituding saat ini Pendidikan agama harus direvisi.

Para tokoh agama mengharapkan agar pendidikan agama mendorong penghargaan pada pluralisme dan toleransi (Bali Post, 9 Januari 2011). Sebab selama ini telah terjadi penyimpangan di tataran kehidupan, tidak sesuai dengan roh pembelajaran agama. Pendidikan agama seperti yang termasuk dalam Permendiknas RI NOMOR 24 TAHUN 2006, tentang Standar Isi sudah jelas dan bernas. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan

penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu paradigma baru pendidikan agama mulai dicanangkan. Paradigma baru pengelolaan kurikulum nasional dengan pendekatan dan desain baru, yaitu KTSP dan semangat otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna dan tagihan baru dalam pembelajaran agama. Warna dan tagihan yang dimaksud adalah, bahwa guru dituntut untuk mampu memerankan dirinya sebagai kreator dan fasilitator pembelajaran yang kreatif bagi kepentingan belajar siswa, serta mampu menjadikan siswa sebagai waga negara yang berkualitas, mandiri, cerdas, dan mampu bermasyarakat. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2005), pembelajaran Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1.) Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama (2). Membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya. Guru agama Hindu dalam KTSP diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan

kreativitas

siswa

sehingga

dapat

membuat

perubahan

paradigma.

Proses

pembelajaran yang cenderung pasif, teoritis, dan berpusat pada guru mengalami perubahan paradigma menuju proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif yang mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk menemukan kembali dan membangun pengetahuannya sendiri. Pemerintah juga melakukan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, memperbaiki metode pengajaran para guru melalui pengadaan penataran guru, seminar kependidikan, hingga pelaksanaan sertifikasi guru sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru yang akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan. Bagi pendidik agama, yang menarik perlu dilakukan adalah pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh siswa/kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan. Kemudian Model Pendidikan agama dengan pembelajaran inovatif menjadi solusi yang sangat mendesak, sebab pluralisme telah terancam, ketika masyarakat telah berkembang ke arah sosok masyarakat yang terfragmen ke dalam bentuk post society, meminjam kosep Rajendra Singh, dalam buku Social Movement Old and New(2010). Post society, adalah sebuah agregat dari kelas-kelas, kelompokkelompok dan komunitas yang tersatukan dalam suatu jalinan yang sosial yang besar, dengan ikatan yang lemah satu dengan yang lain. Indonesia nampaknya telah memasuki kondisi post society, sehingga harus ada tema-tema baru untuk memperkuat tenunan keindonesia-an itu dalam satu agregat kebangsaan yang multi etnis dan multi agama. Indonesia adalah sebuah kapal yang mudah gawat, memijam konsep Adlai Stevenson (1965), Pidatonya yang terkenal layak kita simak, Kita bepergian bersama, menumpang pada perahu angkasa yang kecil, yang bergantung pada udara dan tanah yang mudah gawat, semuanya memperhatikan keselamatan kita untuk mencapai ketentraman, dan kedamaian yang hanya dapat diselamatkan dari kemusnahan dengan perhatian, kerja dan - ingin kukatakan kecintaan yang kita berikan pada pesawat yang gampang pecah. Artinya bisa jadi dalam konteks keIndonesia-an yang beraneka, konsep pluralitas menjadi sesuatu keniscayaan, yang harus terus dibina dan kesadaran akan pluralisme dalam beragama dapat dimulai proses pendidikan agama.

Hal ini didasari pada pendidikan agama adalah panduan untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni dan hidup bahagia, sehingga dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana dan konflik. Jika agama hanya fokus pada ritual tanpa pemahaman yang mendalam dari esensi kitab suci, maka pemahaman ini sangat mudah membuat masyarakat menganggap bahwa agama adalah takhayul. Begitu juga sebaliknya, jika semua pemeluk agama dibimbing oleh pemuka agama dan tekun mempelajari ajaran agama universal yang kaya moralitas, etika, karma, serta bisa mengkonfirmasikan pada bukti-bukti ilmiah filosofi agama, maka bencana dan konflik dunia akan terurai dan dapat diselesaikan secara efektif, karena semua dinaungi oleh pohon kasih-sayang. Di bawah pohon yang rindah itulah kita bangun pendidikan agama yang baik, yang kita amalkan dari rumah diri kita sendiri, dari diri kita menjadi contoh buat anak-anak kita, contoh bagi keluarga, bagi teman sekantor, se RT dan seterusnya. Dari itu semua, maka wajar jika pendidikan moral etika agama dimulai dari kedua orang tua dan para guru di sekolah. Bagaimana kita membimbing dan mengawasi serta memberi teladan mereka. Kemudian di sekolah. Bagaimana sistem dan pengguna sistem tersebut berhasil memberikan pemahaman etika moral yang teresapi oleh si anak. Barulah faktor lain berperan kemudian. Om Nama Siwaya.

2. Pluralisme menurut Agama Budha Budhisme jelas mendukung pluralisme seperti yang dibuktikan dengan fakta bahwa umat budha sangat pluralistik sendiri. Budhisme memiliki sejarah pluralisme dari awal. Hal ini didasarkan untuk budhisme di pandangan sifat tertinggi dan realitas. Bertujuan hidup untuk mencapai penerangan sempurna seperti Sidharta Gautama yang dianggap sebagai Guru sekaligus pendiri agama Budha. Tripitaka dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Vinaya Pitaka (isinya aturan-aturan sangha untuk biksu atau biksuni ), Sutta Pitaka ( isinya tenang wacana-wacana Budha ), dan Abhidhamma Pitaka ( isinya tentang penjelasan sistematis atau ilmu pengetahuan dari Budha ). Agama Budha datang setelah agama Hindhu disiarkan di Indonesia Kerajaan yang menganut agama Budha adalah salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaa pada masa Dinasti Syailendra. Peninggalannya berupa candi-candi yang terkenal adalah candi Borodubur, Candi Muara Takus, dll. Sekarang, agama Budha mengakui adanya

3 aliran, yaitu : aliran tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Agama Budha selalu mengajarkan kasih yang terwujud hidup bebahagia. Hari raya agama Budha terdiri atas : 1. Waisak penganut Budha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa, yaitu : hari Kelahiran Pangeran Sidharta ( nama sebelum menjadi Budha ), hari Pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Budha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. 2. Kathina Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sanha setelah menjalani Vassa. Asadha Kebaktian untuk memperingati Hari Besar Asadha disebut Asadha Puja/Asalha Puja. Hari kraya Asadha diperingati 2 bulan setelah hari raya Waisak guna memperingati peristiwa dimana Budha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang ( Panca Vagiya ) di Taman Rusa Isipatana pada tahun 588 sebelum masehi. Kelima pertapa tersebut Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama, dan Asajji. a. Visi dan Misi Kemasyarakatan Buddhis

Budha mengajarkan dharma (dhammacakkapavattava sutta) yang pertama kali untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajarannya dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sesungguhnya Buddha bercitacita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem agama yang ada pada waktu itu. Beliau amat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan didunia ini. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi. Namun sekaligus menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia. Visi Buddhis didalam tindakan berhubungan dengan kisah bahwa di India pada jaman Buddha, terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah secara demokratis atau Republik-Republik Desa seperti Licchavi dan Vajji. Buddha menyebutkan komunitas-komunitas ini layak diteladani yang lain-lainnya. Beliau menunjukkan bahwa komunitas-komunitas ini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang mampu memberdayakan mereka untuk berdiri menentang campur tangan pihak luar. Menurut Buddha, ciri-ciri khas yang menonjol dari komunitas-komunitas ini adalah: pertemuan komunitas yang sering diadakan; partisipasi komunitas dalam mengambil keputusan; berkumpul dengan damai, berdiskusi dengan damai, dan bubar dengan damai; menaati hukum yang berlaku; tidak memaksakan hukum yang tak dapat

dipatuhi; perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak, wanita, orang sakit, orang cacat, dan manula; melanjutkan acara-acara kebudayaan tradisional tanpa putus, serta mengundang, menunjang, dan belajar dari para arif-bijaksana seperti para biku dan petapa yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga guna mencari pencerahan spiritual. Buddha menekankan pada aturan disiplin, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual, untuk dapat dipraktekkan. Keadaan demikian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buddha dalam kitab Digha Nikaya (D.iii.127) yaitu demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Kehidupan umat Buddha ditengah-tengah masyarakat, erat sekali berhubungan dengan segala macam gerakan sosial. Buddha mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan memecahkannya dengan usaha sendiri. Seorang Buddhis yang baik tidak akan berpaling dari setiap masalah kemasyarakatan, juga tidak menolak untuk bekerja demi kebaikan umum. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan dua prinsip pandangan Buddhis yaitu:

a. Kehidupan tidak dapat lepas dari saling berhubungan, saling bergantungan dan kerja sama. Bagi orang yang baik, kepentingan orang lain sama pentingnya dengan kepentingannya sendiri. Buddha bersabda: ... orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik (A.ii.95; D.iii.223). b. Namun seseorang tak akan dapat menolong orang lain sebelum ia menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mengembangkan diri dengan sifat-sifat yang memungkinkannya menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Seperti yang disabdakan oleh Buddha: tidak mungkin orang yang terperosok ke dalam lumpur dapat menarik orang lain dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas dari lumpur dapat menolong orang lain.... (M.i.45). Setiap orang pada kontek kehidupan bermasyarakat secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu sama lain. Pada persoalan kehidupan beragama sebenarnya keanekaragaman merupakan nilai-nilai hakiki dari kehidupan. Eksistensi manusia dalam upaya membangun sosial kemasyarakatan akan sangat tergantung pada sikap individu yang terbuka terhadap perbedaan dimana hal ini tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu kerelaan dan keterbukaan individu dalam menerima perbedaan merupakan aktualisasi kehidupan sosial.

Buddhisme menganggap bahwa satu adalah semua dan semua adalah satu. Apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, mempengaruhi masyarakat dan alam di sekitar kita sebagai satu keseluruhan. Maka dari itu, apabila ingin berbahagia, bukanlah demi untuk kita sendiri, melainkan bersama-sama seluruh masyarakat; bersama-sama kita bahagia, atau menderita, oleh karena alam semesta terikat pada hukum ketergantungan. Pandangan demikian menghasilkan suatu prinsip moral sosial, yang melihat kepentingan orang lain dalam kepentingan diri sendiri. Orang yang menjalankan prinsip-prinsip moral-sosial ini disebut orang yang baik dan berharga (M.I.341). Orang yang demikian tidak pernah berpikir akan mencelakakan orang lain maupun diri sendiri; sebaliknya, ia selalu memikirkan kebaikan dirinya dan umat manusia seutuhnya, dan ia juga membantu orang lain untuk berbuat kebaikan. Ia tidak menonjolkan diri sendiri dan meremehkan orang lain; ia menghormati dan menyokong mereka yang menjalankan kebenaran (dharma).

b. Membangun Sosial Kemasyarakatan Antar Agama

Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Munculnya persoalan-persolan antar agama lebih bersumber pada kondisi-kondisi sosial politik yang kurang stabil dan fenomena pemahaman agama yang sempit. Kemudian persoalan-persoalan tersebut diakomodir oleh kepentingan pribadi dan golongan, sehingga menjadikan persoalan yang kompleks. Kesadaran umat beragama akan pluralitas keberagamaan merupakan kebutuhan bagi upaya untuk membangun sosial kemasyarakatan antar agama. Seperti kajian tersebut di atas agama Buddha menekankan dan menjunjung tinggi upaya kehidupan sosial kemasyarakatan antar agama yang harmonis. Keharmonisan ini telah dibuktikan sendiri oleh Buddha atas permintaan calon siswaNya yang bernama Upali yang ingin menjadi pengikut Buddha. Meskipun Upali menjadi pengikut Buddha tetapi tetap harus menghargai dan menghormati serta membantu mantan gurunya. Demikian besar toleransi Buddha terhadap agama lainnya. Kehidupan sosial antar agama yang harmonis telah dilaksanakan oleh raja Asoka. Asoka adalah seorang raja Buddhis yang sangat terkenal, karena benar-benar mengamalkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang. Asoka membangun sosial kemasyarakat antar agama seperti yang tertulis dalam dekrit Asoka yang berbunyi: siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lain, hanya akan merendahkan dan mengubur agamanya sendiri.

Seruan konggres umat Buddha sedunia menjelaskan yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menanamkan minat terhadap apa yang dikenal sebagai inti agama Buddha, yaitu bekerja secara langsung guna menghilangkan keinginan-keinginan yang bersifat pribadi, mengajarkan moralitas dalam rangka mendukung kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Enam macam cara kehidupan yang membawa pada keharmonisan

(saraniyadhamma) yang dapat dijadikan sebagai upaya membangun sosial kemasyarakatan antar agama yaitu: a) Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettakaya kamma). b) Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettavaci kamma). c) Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk pikiran kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettamano kamma). d) Memberikan kesempatan kepada para tokoh agama untuk ikut menikmati keuntungan-keuntungan yang telah diperoleh dengan cara yang benar dan tidak mempergunakan sendiri apa yang telah diperolehnya. e) Selalu menjaga kesucian moralitas sewaktu berkomunikasi dengan pemukanya dan tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan mereka. f) Hidup harmonis bersama-sama dan tidak bertengkar karena perbedaan pendapat dan pandangan (disarikan dari kitab Digha Nikaya, Sutta Pitaka). Seseorang yang berkelakuan sesuai dengan hal-hal tersebut akan dicintai dan dihormati oleh orang lain. Cita-cita sosial agama Buddha adalah mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan akhir spiritual (Nibbana/Nirvana). Sedangkan

kesejahteraan duniawi dianggap sebagai sesuatu yang baik. Segala cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik dinamakan tindakan yang baik (dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan), yaitu segala tindakan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang lain maupun diri sendiri. Tolok ukur kualitas kehidupan manusia di masyarakat adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Perilaku bermoral yang disebut perilaku susila menempati kedudukan penting. Buah dari kehidupan susila dalam sosial kemasyakatan adalah memperoleh kebebasan dari sesal, disamping yang

bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut: (1) memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui hasil karyanya sendiri. (2) menikmati nama harum dalam masyarakat, (3) menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah, (4) kelak meninggal dengan penuh kesadaran, (5) akan terlahir kembali di salah satu alam dewa yang menyenangkan.

Esensi membangun sosial kemasyarakatan antar agama dalam perspektif agama Buddha adalah menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kedudukan sosial yang ditentukan oleh hubungan dengan warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Hanya dengan demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak menjalankan kewajiban kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak patut diakui atau dihargai kedudukan sosialnya. Ajaran dapat dianalogikan dengan berbagai cara salah satunya seperti analogi seorang dokter yang akan mengobati pasiennya. Sang Buddha adalah seorang dokter dan para umat adalah seperti pasien yang mencari penyembuh bagi kendala-kendala yang dihadapi dalam kehidupan dan Dhamma adalah resep yang diberikan kepada si pasien. Tentunya setiap pasien mempunyai keluhan yang berbeda. oleh karena itu Sang Buddha memberi resep dengan berbagai cara sesuai dengan kebutuhan si pasien. Karena itu bahwa buddha berkembang banyak metode pengajaran namun satu di dalam tujuannya. Keanekaragaman cara mempraktekkan ajaran Sang Buddha tidak dianggap sebagai pemecah justru sebagai ke-kayaan dalam ajarannya mengingat setiap orang mempunyai watak dan kecendrungan yang berbeda jadi membutuhkan metode pengajaran yang berbeda. Buddhisme tidak bertentangan dengan pluralisme, justru Buddhisme sangat menghargai pluralisme. Ini dapat dilihat dari munculnya berbagai metode pengajaran agama Buddha dengan ciri dan kekhasannya masing-masing sesuai dengan tempat dan budaya yang dilaluinya selama penyebarannya.Seperti Thailand dengan ciri Buddha Theravada, Tionghoa dengan Buddha Mahayana, dan Tibet dengan Tantrayana. Pengakuan pluralisme ini tidak hanya diakui oleh para penganut ajaran Buddha jaman sekarang saja tapi hal ini dikatakan langsung oleh Sang Buddha sebagai berikut: Para bihkkhu, kuijinkan engkau mempelajari sabda Sang Bhagava dalam bahasamu sendiri (Vin. II, 139). Di samping hal hal yang berhubungan dengan kehidupan agama Buddha juga memberikan petunjuk bagaimana agar suatu negara dapat mempertahankan kedaulatannya dan hidup berdampingan dengan negara lain secara damai. Dan dengan sesama suku, agama, ras, bangsa dalam intern negara itu sendiri. Sang Buddha mengerti bahwa setiap individu memiliki watak dan

kecenderungan masing-masing. Oleh karena itu, sebelum mempaparkan atau menuntun orang untuk mengerti ajarannya terlebih dahulu beliau melihat

kecenderungan wataknya, mana yang lebih dominan. Apakah wataknya cenderung resah, benci, intelek, atau serakah. Di samping itu beliau melihat kesiapan dan kedewasaan berpikir dari para pendengarnya. Itulah alasan mengapa agama Buddha sekarang mempunyai metode pengajaran yang beraneka ragam namun memiliki ke-samaan di dalam inti ajarannya. Yaitu percaya pada Triratna, Hukum Kesunyataan, Buddha, Bodhisattva-Mahasattva dan beberapa hal lainnya. Walaupun agama Buddha memiliki ke-anekaragaman metode pengajaran karena disebabkan penafsiran ajaran Sang Buddha yang sesuai dengan watak dan karakternya masing-masing. Namun semua metode pengajaran tersebut dapat bergandengan satu sama lain tanpa sedikit pun pernah terjadi perselisihan satu sama lain. karena Buddhisme berlandaskan cinta kasih dan belas kasih pada semua. Mereka memanfaatkan agama untuk mencapai kebahagian lahir dan batin hingga akhirnya mencapai kebahagiaan tertinggi Nibbana. Bukan sebaliknya agama memanfaatkan mereka sehingga mereka menjadi buta dan tidak bisa berpikir rasional, menghalalkan segala cara untuk perkembangan agamanya ter-masuk dengan kekerasan yang tidak jarang menimbulkan ratap tangis mahluk lain. Ajaran Buddha bisa diibaratkan seperti sebuah jalan bagi yang ingin mencapai tujuan, sebuah obat bagi yang sedang sakit, bagai segelas air bagi yang sedang haus, sebuah payung bagi yang kepanasan, dan sebuah pulau bagi yang terdampar. Sang Buddha menyuruh para muridnya menyebarkan ajarannya dengan kata-kata sebagai berikut: Para bhikkhu pergilah ke seluruh penjuru dunia ajarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, yang indah pada pertengahannya, dan yang indah pada akhirnya kepada semua mahluk kebahagiaan dan kesejahteraan mereka dan janganlah kalian pergi berdua ke satu arah. Esensi ajaran Buddha tidak bermaksud menjadikan semua bangsa di seluruh dunia menjadi pengikut. Namun beliau menganjurkan untuk menyebarkannya untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk. Buddha hanya memberikan jalan, hanya memberikan obat, memberi peneduh, penyejuk bagi yang mau

menggunakannya silahkan bagi yang kurang cocok jangan dipakai. Agama Buddha tidak menyuruh orang untuk menganut ajarannya secara membuta tapi sang Buddha menyarankan agar sebelum percaya selidikilah dahulu, telitilah dahulu, selamilah dahulu dan kalau ajaran itu bermanfaat bagimu dan bagi orang banyak jalanilah dan terimalah sebagai jalan hidupmu. Tapi kalau ajaran tersebut merugikan dirimu dan mahluk lain, maka silakan dijauhi. Sang Buddha

pernah bersabda Janganlah engkau percaya pada apa yang dikatakan kitab suci yang walau-pun umurnya ribuan tahun, pada desas-desus yang disampai-kan orang, dari orang yang engkau hormati, atau karena hal itu disampaikan oleh gurumu, atau karena hal itu cocok dengan pemikiranmu. Namun setelah engkau membuktikannya, meneliti, melihat dengan seksama dan hal itu membawa manfaat bagi dirimu dan orang lain maka terimalah ajaran tersebut. Sang Buddha adalah orang yang berpandangan realistis ia tidak menghina ajaran agama lain dan menyanjung ajarannya sendiri bahkan beliau menyuruh siapapun juga untuk menguji, memeriksa dan membuktikan kebenaran ajarannya sebelum dianut dan dipraktekkan sebagai jalan hidup bagi seseorang. Dan kalaupun ajaran Buddha tidak cocok sang Buddha tidak mengikat atau memaksanya untuk tetap berada didalam Buddhis karena pada dasarnya Buddhisme adalah ajaran kesunyataan yang membimbing setiap individu untuk mengenal realitas dirinya sendiri. Nilai universal dari agama mengatasi perbedaan bangsa, tetapi agama Buddha tidak meniadakan kebangsaan. Dalam riwayat hidup Buddha Gotama paling tidak tercatat enam belas negara, dan Buddha menghargai eksistensi masing-masing, misalnya pengakuan terhadap bahasa mereka seperti yang ter-tulis di atas. Menurut tradisi kuno bangsa diartikan sebagai kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal keturunan, sama pula dalam hal bahasa dan adat. Asal keturunan memang penting, karena itu Buddha mengajarkan kita untuk berbakti kepada orang tua dan menghormat leluhur (D. III, 189), tapi martabat manusia tidak diturunkan menurut kasta dan kelahiran. Karena asal keturunan tidak mengikat, dan manusia bisa menentukan karmanya sendiri, mulia tidak mulia dan suci atau tidak suci itu tergantung dari diri sendiri, dimungkinkannya terbentuknya suatu bangsa sebagai kesatuan dari orang-orang yang berbeda keturunan. Kebangsaan inilah yang kita kenal sekarang. Terdapat sejumlah bangsa yang tumbuh dan negara yang menjadikan agama Buddha sebagai identitas bangsanya. Sejarah Srilanka, Thailand, Myanmar, Tibet dapat dikatakan adalah sejarah agama Buddha, hubungan antara sejarah bangsa India, Tionghoa, Jepang, Korea dan beberapa negara Asia lain dengan perkembangan agama Buddha merupakan suatu yang tidak terpisahkan. Seperti juga berbicara mengenai sejarah Sriwijaya dan Majapahit di Indonesia tidak lepas dari sejarah agama Buddha.

Pengakuan akan pluralisme dalam agama Buddha juga dapat dilihat dari kerukunan yang ditunjukkkan oleh agama Buddha dan Hindu pada jaman-jaman dahulu. Raja-raja Mataram (abad ke 8-10) ada yang beragama Siwa, ada yang beragama Buddha, alkulturasi budaya adalah suatu hal yang tak terhindarkan. Penganutan agama di Jawa yang cenderung sikretisme berlanjut hingga kerajaan Singasari (1222-1292) dan Majapahit (1293-1528). Kitab Kakawin Sutasoma (menyimpang dari Sutasoma Jataka) menyatakan Buddha tak lain dari BrahmaWisnu-Iswara, Trimurti Hindu. Pada hakikat-nya Siwa dan Buddha itu adalah satu: Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Kitab Arjunawyaya menceritakan para bhikkhsu mengakui bahwa semua Buddha yang dibedakan menurut penjuru alam adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Kitab Kunjara Karna menyebutkan tiada seorang pun, apakah ia pengikut Siwa atau pengikut Buddha, yang bisa mencapai kesempurnaan jika ia memisahkan Siwa Buddha yang sebenarnya satu. Rassers melihat Siwa ataupun Buddha merupakan salah satu aspek saja dari satu agama yang tunggal, yang bersifat Jawa, sehingga tidak dipandang bersaing. Ia menunjukkan cerita Jawa kuno Bubuksah yang mengunggulkan agama Buddha namun dilukiskan pada candi Siwa, Candi Panataran. Di jaman Majapahit Siwa Buddha tidak menyatu dalam ke-seluruhan sistemnya. Menurut kitab

Negarakartagama kedua-nya tetap terpisah, berbeda ajaran, berbeda pendeta dan tempat peribadatan. Terdapat pejabat yang mengurus agama Buddha (Kasogatan) dan agama Siwa (Kasiwaan). Bahkan daerah binaan pun diatur. Pendeta penganut Sugata (Buddha) dalam perjalanan mengemban pemerintah Baginda Nata dilarang menginjakkan tanah sebelah barat pulau Jawa, karena penghuninya bukan penganut ajaran Buddha. Jaman sekarang pun agama Buddha tetap selaras dengan dan dapat tumbuh dan berkembang bersama dengan agama-agama lain, ras, suku, adat-istiadat yang beraneka ragam di Indonesia. Ini menunjukkan jiwa toleransi dalam ajaran Buddha sudah menyatu ke dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dari penganutnya. Tidak seorang pun memilih untuk dilahirkan sebagai ke-turunan ras tertentu yang kemudian menjadi ikatan pramodial baginya, seorang anak semula belum tahu dan tidak membeda-bedakan keturunan bangsa, sampai dia diajar untuk membuat perbedaan. Kelahiran di salah satu alam kehidupan dan lingkungan atau ras tertentu merupakan buah dari karma masa lalu. Tetapi kehidupan seseorang jua ditentukan

oleh karma atau perbuatan sekarang. Setiap orang dapat berpikir dan me-laksanakan apa yang dipikirkannya baik, untuk menjadi dirinya sendiri, apakah itu dengan memilih kewarganegaraan atau ke-bangsaannya terlepas dari keturunan.

Perbuatannya merupa-kan rahim dari mana dia dilahirkan (A.V, 291). Ia adalah pelindung bagi dirinya sendiri (Dhp. 160). Bukan seorang ibu, ayah atau sanak keluarga lain yang melakukan; melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan meng-angkat derajat seseorang (Dhp. 43). Kalau kita renungkan apa yang tertulis di atas dapat kita simpulkan bahwa merupakan suatu hal yang kurang bagi se-orang individu, kelompok, atau suatu bangsa yang menganggap ras atau bangsanya sebagai suatu yang unggul, terpilih dan lain sebagainya. Kita datang dan lahir di dunia ini pada dasarnya tidak membawa apa-apa, tanah, rumah, pakaian, atau bahkan agama. Kita mengenal istilah ras, suku, agama, dan bangsa itu setelah kita diperkenalkan oleh masyarakat, bergaul dengan masyarakat barulah kemudian kita menyerap berbagai istilah-istilah, kesepakatankesepakatan serta konvensi-konvensi yang dibuat oleh masyarakat. Sehingga kita mulai membedakan diri dengan yang lain. Mulai melihat kejelekan orang lain dan menyanjung diri sendiri. Tapi kalau sesungguh-nya kalau kita mau kembali merenung pada hakikatnya kita adalah sama-sama manusia, sama-sama ingin bahagia dan tidak ingin menderita. Kalau kita bisa menyadari hakikat ini maka kita tidak akan saling menghina satu sama lain, karena pada hakikatnya kita sama. Ada sebuah cerita Zen yang menggambarkan bahwa kita adalah sama. Diceritakan ada sebuah ombak kecil di sebuah samudera. Ombak kecil ini kelihatannya sedang murung dan bersedih. Setelah diselediki ternyata si Ombak Kecil ini bersedih karena melihat dirinya terlalu kecil, lemah, dan tak berdaya sedangkan ombak yang lain besar-besar dan gagah. Saat si ombak kecil ini sedang asyik merenungkan nasibnya tersebut datanglah Ombak Bijaksana. Ia menghampiri si Ombak Kecil tersebut dan menayakan mengapa ia kelihatan sangat bersedih dan berduka cita? Sang Ombak Kecil lalu menceritakan perasaannya pada si Ombak Bijaksana: Wahai Ombak Yang Bijaksana aku saat ini sedang bersedih merenungkan diriku yang kecil, lemah dan tak berdaya sedangkan ombak-ombak yang lain besar-besar dan gagah. Mengapa hal ini terjadi padaku rasanya ini tak adil. Bantulah aku wahai Ombak Bijaksana carikan jalan keluar agar kesedihanku tidak berlarut-larut.

Kemudian Ombak Bijaksana berkata: Engkau sebenarnya tak perlu bersedih karena kalau engkau mengerti hakikat dirimu sesungguhnya, maka engkau tak akan bersedih. Cobalah masuklah ke dalam dirimu sendiri renungkan hakikatmu. Maka engkau akan mengerti semua. Si Ombak Kecil pun mulai merenung dan tiba-tiba dia berteriak gembira: Ya.aku mengerti sekarang, pada dasarnya aku adalah sama dengan mereka tak ada yang besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, terpilih ataupun tersisih, pada dasarnya kita adalah sama. Sama-sama adalah air dalam samudera kehidupan yang maha luas ini. Lalu kenapa aku harus iri dengan air padahal aku sendiri adalah air. Akhirnya si Ombak Kecil menyadari hakikat dirinya dan semua. Sejak saat itu ia tidak bersedih atau merasa rendah diri lagi. Dari cerita di atas kita dapat melihat walaupun kita berasal dari suku, ras, agama, dan bangsa yang berbeda namun pada hakikatnya kita adalah sama-sama manusia dan sama-sama ingin bahagia. Andai saja semua orang menyadari hakkat diri-nya dan orang lain apa adanya. Maka kita bisa hidup rukun tenang dan bahagia dalam keanekaragaman kehidupan ini. Orang menjadi warga negara dengan memiliki kewajiban dan hak sebagai anggota suatu bangsa yang menegara. Seperti juga menjadi bhikkhu harus melatih dalam sila, samadhi dan kebijaksanaan. Atau ia dapat diibaratkan sebagai seekor keledai yang tidak memiliki rupa dan suara yang menyerupai seekor sapi seraya berkata: Tengoklah aku pun seekor sapi juga. (A.I, 229). Sudah tentu identitas bangsa yang modern tidak dilihat menurut penampilan fisik seperti raut wajah dan warna kulit. Identitas merujuk pada pikiran, ucapan dan per-buatan. Orang-orang bodoh, apa gunanya rambut kondemu, apa gunanya pakaian kulit rusamu? Engkau hanya memoles bagian luarmu, sedangkan batinmu penuh dengan kotoran. (DhP.n 394). Membedakan suku bangsa dan ras, keturunan asli dan tidak asli terkait dengan prasangka sosial selalu merupakan potensi konflik. Ketika yang satu merendahkan atau memojok-kan yang lain. Jika keasliaan darah yang mengalir dalam tubuh seseorang menentukan kehormatan dan kedudukannya, manusia akan berusaha untuk menjaga kemurniannya. Mereka akan menikahi saudara sendiri. Seperti kisah Ambattha yang tidak berbeda dari orang yang rasialis di masa kini, menyadari kekeliruannya. Bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Sekalipun aspek kuantitas membedakan golongan mayoritas dan minoritas, negara mengakui hak dan

kewajiban yang sama dari setiap warga negaranya. Tidak ada dominasi golongan mayoritas terhadap minoritas, tak ada yang dikalahkan dan dimenangkan. Dalam konteks inilah bahasa melayu yang bercikal bakal dari jaman Sriwijaya diangkat sebagai bahasa Indonesia, diterima sebagai bahasa nasional. Pluralisme dalam Buddhisme adalah suatu hal yang wajar karena pada dasarnya kehidupan kita dipengaruhi oleh kondisi alam, cuaca, persediaan bahan makanan dan berbagai faktor yang lain. Sehingga melahirkan berbagai keanekaragaman baik suku, ras, agama, bangsa, adat istiadat dan negara. Dan kita tidak bisa menghindari hal ini. Mau tak mau kita harus menerima pluralisme dalam berbagai sisi kehidupan. Dengan saling melengkapi satu sama lain sehingga akan menghasilkan harmoni kehidupan yang selaras dan damai. Dengan begitu bumi yang kita tempati bisa menjadi surga umat manusia. Tentunya kita akan menganggap bahwa ras, agama, suku, bangsa kitalah yang paling baik dan bagus. Tapi di samping itu, kita tidak menganggap rendah yang lain. Ibarat sebuah seruling yang suaranya bagus dan merdu, demikian juga gitar mempunyai suara yang nyaring, genderang mempunyai suara berdegup dan kalau semua alat musik itu dipadukan dalam suatu paduan orkestra, maka akan menghasilkan suatu irama yang sangat luar biasa indahnya. Semoga kita semua bisa menjadi alat-alat musik yang indah dan ketika kita berkumpul dan bertemu satu sama lain. kita bisa saling berkerjasama hingga melahirkan irama ke-hidupan yang damai bahagai dan harmonis.

Anda mungkin juga menyukai