Anda di halaman 1dari 8

Balikpapan – Tim Pembina Kerohanian Hindu (TPKH) dan Keluarga Mahasiswa Hindu (KMH)

Institut Teknologi Kalimantan (ITK) melaksanakan persembahyangan bersama pada Acara


Melasti pada hari Kamis, 15 Maret 2018 di Pantai SPN, Balikpapan. Melasti merupakan
rangkaian hari raya Nyepi yang jatuh pada Sabtu, 17 Maret 2018.

“Hari Raya Nyepi yang merupakan pergantian tahun baru Saka dan tahun 2018 merupakan tahun
baru Saka 1940. Nyepi tahun ini menjadi hari raya yang sangat special karena juga bertepatan
dengan Hari Raya Saraswati yang merupakan hari yang diperingati sebagai turunnya ilmu
pengetahuan,” papar Luh selaku Pembina TPKH ITK.
Secara garis besar ada 4 rangkaian upacara pada hari raya Nyepi:
1. Melasti
Proses spritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta (Buana Agung) dan diri kita
sendiri (Buana Alit) dari segala kotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama
setahun, yang penuh intrik, gejolak, nafsu dan berbagai sisi negatif manusia. Dalam Kitab Suci
Panaturan Pasal 1 disebutkan Tamparan Taluh Handiai (awal Semua Kejadian)

2. Tawur Kesanga
Penyelarasan alam semesta dan diri sendiri sehingga umat Hindu siap untuk melakukan Catur
Brata penyepian yang jatuh tepat di hari Sabtu. Upacara Tawur Kesanga mempunyai arti dan
makna mengembalikan atau membayar. Karena manusia hidupnya selalu mengambil sumber-
sumber alam.

Perbuatan mengambil, mengendap dalam jiwa manusia dalam bentuk karma wasana. Upacara
Tawur Agung Kesanga Nyepi bermakna memotivasi keseimbangan jiwa. Nyepi juga bermakna
sebagai tolak ukur nilai kesadaran dan toleransi sebagai kebutuhan dalam kehidupan bersama.

Kesucian, kebersihan, keharmonisan dan keserasian hidup serta kelestarian, ketiga unsur Tri Hita
Karana ini merupakan prasarat untuk meningkatkan kualitas hidup, bersama-sama introsfeksi diri
sendiri dan mendengarkan bisikan hati nurani, diri pribadi yang jujur dan murni, bersih dari
berbagai sifat negatif, seperti permusuhan, dengki, keserakahan, sombong, dan sebagainya.
Dengan demikian, Hari Raya Nyepi benar-benar kita rasakan sebagai detik-detik penting dan saat
terbaik untuk merenungkan kembali hakikat sebagai manusia.

Di dalam kitab suci Bhagawadgitha Adhyaya 9 sloka 29 menegaskan pernyataan di atas: Samo
‘ham sarva-bhutesu. Na me dvesyo’sti na priyah. Ye bhajanti tu mam bhaktya. Mayi te tesu
capyaham (Aku bersikap sama pada semua makhluk, tidak ada yang Aku benci dan tidak ada
yang Aku kasihi. Akan tetapi, mereka yang memuja-Ku dengan rasa bhakti, maka dia akan selalu
bersama-Ku dan Aku ada pada dirinya).

Umat sedharma yang berbahagia. Sloka di atas mengajarkan kita bahwasannya semua umat
dianggap sama. Bukan berarti jika umat melakukan persembahan yang mewah dan besar akan
disayang oleh Tuhan. Dan bukan berarti pula jika umat hanya mempersembahkan sehelai daun,
dibenci oleh-Nya. Seluruh persembahan yang kita lakukan hendaknya selalu didasari oleh rasa
tulus ikhlas, dan rasa bhakti. Karena hal inilah yang akan mengantarkan kita untuk mendekatkan
diri kepada-Nya sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada-Nya.

3. Nyepi
Umat Hindu melaksanakan Catur Brata penyepian yang terdiri dari Amati Geni (tidak boleh
menghidupkan api yang berhubungan dengan pengendalian hawa nafsu), Amati Karya (tidak
boleh bekerja), Amati Lelungaan (tidak boleh bepergian) dan Amati Lelanguan (tidak boleh
berpesta pora yang biasanya ditunjukkan dengan puasa selama 24 jam). Catur Brata penyepian
ini merupakan kegiatan utama nyepi yang intinya merupakan renungan, evaluasi, kilas balik,
serta intropeksi diri. Dalam Kitab Panaturan Pasal 63 Tamparan Atun Pali Tuntang Tulah (Awal
Adanya Pali dan Tulah)
Umat sedharma yang berbahagia. Jika dikaitkan moderasi dalam Bhagawadgita, tentu saja
memiliki keterikatan yang begitu kuat. Bhagawadgita dapat dijadikan penuntun dalam memijak
keberagaman di nusantara tercinta. Dalam Bhagawadgita banyak sekali sloka-sloka yang
memuat tentang moderasi tersebut. Seperti salah satu kutipan sloka yang tertuang di dalam kitab
suci Bhagawadgita Adhyaya 4 sloka 11 yang berbunyi:

Ye yatha mam prapadyante. Tams tathai ‘va bhajamy aham. Mama vartma ‘nuvartante.
Manushyah partha sarvasah. (Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Ku-
terima, dari mana – mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta)
Umat sedharma yang berbahagia. Berdasarkan terjemahan kutipan sloka di atas, dapat kita tarik
benang merah bahwasannya apapun keyakinan atau agama yang dianut seseorang dengan tujuan
untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan, akan diterima oleh-Nya.

Umat sedharma, di dalam ajaran agama Hindu juga kita mengenal ajaran catur marga, yang
merupakan empat jalan menuju Tuhan. Keempat jalan ini sesungguhnya sama, akan tetapi
umatnya diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk menuju atau
mendekatkan diri kepada-Nya. Kita rajin membaca kekawin, geguritan, dan kitab-kitab suci
lainnya, tanpa disadari itu merupakan jalan jnana marga, kita sudah mendekat diri kepada-Nya.

4. Ngembak Geni
Merupakan tahapan akhir, yakni berkomunikasi dengan para pihak, masyarakat sekitar dengan
jalan memohon maaf (Simakrama) yang dilandasi rada tulus ikhlas.

Hendaknya perayaan nyepi ini dijadikan momen untuk berintropeksi diri, merenungi kesalahan
yang sudah diperbuat selama satu tahun sebelumnya, berusaha memperbaiki diri karena
sesungguhnya hidup sebagai manusia merupakan kesempatan satu-satunya umat manusia untuk
memperbaiki kehidupannya. Sesuai dengan kitab Sarasamusccaya, disebutkan:
‘Ri sakwening sarwa bhuta, iking janwa wwang juga wenang gumawayaken ikang
cubhacubhakarma, kuneng panentasakane ring cubhakarma juga ikang acubhakarma phalaning
dadi wwang’ (Sarasamuccaya Sloka 2).
‘Di antara semua makhluk hidup yang ada, hanya kelahiran sebagai manusialah yang dapat
melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, tugas kita yang paling esensi adalah
melebur/merubah perbuatan yang tidak baik menjadi baik, inilah konsekuensi kelahiran sebagai
manusia’.
Om Swastyastu. Om Awighnam Astu Namo Siddham. Om Anobadrah Krtavo Yantu
Wisvatah. Umat sedharma yang berbahagia. Kita semua berada dan hidup di negara yang
kaya akan keberagaman suku, ras, agama, budaya, bahasa, dan masih banyak lainnya. Inilah
yang menjadi potensi besar untuk mempersatukan keberagaman ini menjadi sebuah harmoni
yang begitu indah.

Namun, dengan adanya keberagaman ini tentu saja ada tantangan yang akan kita hadapi.
Agama dijadikan tameng oleh oknum tertentu untuk melakukan ekstremisme kekerasan yang
bisa saja merusak sendi kebangsaan yang majemuk.

Keragaman itu memang selalu menimbulkan perbedaan. Perbedaan di bidang apapun,


berpotensi memunculkan konflik. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka akan sangat
berpotensi menimbulkan sikap ekstrem yang selalu membenarkan pilihan-pilihan yang
terbatas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan solusi yang mampu memberikan kedamaian dan
kebahagiaan dalam kehidupan keagamaan. Di sinilah peran moderasi beragama dibutuhkan
yang diyakini mampu menghargai keragaman pilihan dan menyelamatkan kita dari
ekstremisme, intoleran dan aksi kekerasan.

Bapak/Ibu umat sedharma yang saya muliakan. Pada dasarnya semua agama mengajarkan
moderasi, termasuk juga Agama Hindu. Moderasi yang dimaksud adalah cara kita beragama
secara moderat atau sesuai dengan dengan esensi agama itu sendiri.

Moderasi beragama dalam Hindu berarti pengamalan agama Hindu yang tidak berlebihan.
Kita harus semakin meneguhkan moderasi agama Hindu. Moderasi dalam artian agama
Hindu tidak boleh dibawa kepada pemahaman dan bentuk pengamalan yang ekstrem atau
yang berlebihan. Pasalnya, agama Hindu pada hakikatnya adalah moderat. Kalau sudah
berlebihan, tentu sudah keluar dari inti ajaran agama Hindu.

Oleh sebab itu, manusia Hindu berkewajiban untuk mengembalikan semua bentuk
pemahaman dan pengamalan keagamaan dalam sisi yang moderat. Untuk itu, kita perlu
mengajak kaum millenial untuk dapat memahami sikap moderasi beragama. Sebab, sikap ini
menjadi formula ampuh dalam merespon dinamika zaman kali di mana maraknya intoleransi,
ekstremisme dan fanatisme berlebihan yang bisa mencabik kerukunan umat beragama di
Indonesia. Moderasi dapat memberikan makna bagaimana kita harus hidup damai dan saling
menghargai serta berdampingan dan bertoleransi kepada sesama. Di sinilah pentingnya
moderasi beragama dibangun atas dasar filosofi universal dalam hubungan sosial
kemanusiaan.

Umat sedharma yang berbahagia. Seperti yang kita ketahui bersama, Agama Hindu banyak
sekali memiliki ajaran-ajaran kebenaran yang dapat kita pergunakan sebagai penuntun dan
pedoman dalam kehidupan. Salah satu kitab yang sudah tidak asing lagi kita dengar adalah
kitab Bhagawadgita. Kitab yang dikarang oleh Rsi Vyasa ini bersifat universal yang
diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, sepanjang masa. Kitab ini berisi pesan untuk
mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan dari
kesengsaraan dunia dan akhirat. Umat Hindu meyakini, Bhagawadgita merupakan ilmu
pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan
ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.

Umat sedharma yang berbahagia. Jika dikaitkan moderasi dalam Bhagawadgita, tentu saja
memiliki keterikatan yang begitu kuat. Bhagawadgita dapat dijadikan penuntun dalam
memijak keberagaman di nusantara tercinta. Dalam Bhagawadgita banyak sekali sloka-sloka
yang memuat tentang moderasi tersebut. Seperti salah satu kutipan sloka yang tertuang di
dalam kitab suci Bhagawadgita Adhyaya 4 sloka 11 yang berbunyi:

Ye yatha mam prapadyante. Tams tathai ‘va bhajamy aham. Mama vartma ‘nuvartante.
Manushyah partha sarvasah. (Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Ku-
terima, dari mana – mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta)
Umat sedharma yang berbahagia. Berdasarkan terjemahan kutipan sloka di atas, dapat kita
tarik benang merah bahwasannya apapun keyakinan atau agama yang dianut seseorang
dengan tujuan untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan, akan diterima oleh-Nya.

Umat sedharma, di dalam ajaran agama Hindu juga kita mengenal ajaran catur marga, yang
merupakan empat jalan menuju Tuhan. Keempat jalan ini sesungguhnya sama, akan tetapi
umatnya diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk menuju
atau mendekatkan diri kepada-Nya. Kita rajin membaca kekawin, geguritan, dan kitab-kitab
suci lainnya, tanpa disadari itu merupakan jalan jnana marga, kita sudah mendekat diri
kepada-Nya.

Ketika ada piodalan dipura, masyarakat diminta serentak untuk mengayah, membuat
upakara. Nah ini karma marga sudah kita implementasikan dalam kehidupan nyata. Setelah
upakara selesai, seluruh banten dihaturkan. Terkadang masing-masing umat membuat banten
berbeda lagi yang dibawanya dari rumah, itu juga termasuk jalan bhakti. Dengan penuh
konsentrasi kita memuja dan menyembah Tuhan, melalui meditasi atau tapa. Ketika itu, jalan
raja marga sudah kita tempuh.

Jika diibaratkan seperti kita ingin mendaki gunung, banyak sekali jalan yang dapat kita pilih
untuk sampai ke puncak. Bisa lewat jalur kiri, kanan, samping, sesungguhnya semua jalan itu
sama yang akan mengantarkan kita sampai ke puncak gung yang kita tuju.

Setiap agama tentu akan mengajarkan tentang kebaikan atau dharma, tidak hanya untuk
sesama manusia saja, akan tetapi kepada semua makhluk ciptaan-Nya “Sarwa Prani
Hitankara”. Umat sedharma, dalam ajaran agama tidak ada yang bersifat menjerumuskan
umatnya ke jalan yang sesat atau merugikan umatnya. Akan tetapi, umatnyalah yang
terkadang belum memahami secara utuh mengenai ajaran agama tersebut. Di sinilah tugas
kita sebagai manusia yang memiliki wiweka harus mampu memupuk kesadaran dalam diri.

Umat sedharma yang berbahagia. Dengan adanya keberagaman ini, jadikanlah sarana untuk
bisa saling bertukar pikiran, tidak saling menjatuhkan. Karena sesungguhnya di hadapan
Tuhan, kita adalah sama.

Kitab Bhagawadgita Adhyaya 7 sloka 21 berbunyi: Yo yo yam yam tanum bhaktah.


Sraddhayarcitum icchati. Tasya tasya chalam sraddham. Tam eva vidadhamy aham. (Apapun
bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, aku perlakukan kepercayaan
mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera).

Umat sedharma yang berbahagia. Isi di dalam sloka di atas memberikan penegasan ulang
terhadap sloka sebelumnya dan bersifat universal. Setiap umat Hindu memliki keberagaman
bentuk pemujaan yang ditujukan kepada Tuhan.

Keberagamanan ini dapat kita jadikan cermin bahwa agama Hindu bersifat universal dan
fleksibel. Kita lihat saja contoh sarana persembahan kita yang sederhana seperti canang sari.
Antara daerah satu dengan lainnya memiliki bentuk yang berbeda baik itu dari segi
ukurannya, ada yang segitiga, ada bulat, ada segi empat. Kemudian ada yang berisi
reringitan, ada yang polos.

Dari sini dapat kita lihat bahwa perbedaan ini terjadi karena adanya seni dan keindahan yang
menyelimuti umat dalam mengekspresikan bentuk sarana persembahan. Sehingga dapat pula
menjadi ciri khas pada setiap daerah. Perbedaan ini sah-sah saja terjadi l, namun
sesungguhnya memiliki esensi dan tujuan yang sama.

Sri Kresna memberitahukan kepada umat manusia, bahwa di dunia ini akan ada lebih dari
satu agama dan Tuhan mempersilahkan manusia untuk memilih, mana yang akan dijadikan
dasar keyakinannya. Dan oleh setiap agama akan diajarkan bagaimana cara sembahyang,
berdoa, mantra-mantra, pujian-pujian yang menuju kepada Tuhan. Sloka ini juga
mengajarkan kita untuk menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Janganlah saling
menghina, menyombongkan agama. Karena semua agama bisa ada di dunia ini adalah
kehendak Tuhan. Apabila ada orang yang menghina atau melecehkan agama lain.
Sebenarnya orang tersebut sangat tidak mengerti secara mendalam tentang keberadaan
agamanya sendiri.

Umat sedharma yang berbahagia, pepatah boleh saja mengatakan “rumput tetangga lebih
hijau dibandingkan rumput sendiri”. Maka umat beragama jangan sampai melihat agama lain
itu sebagai suatu keindahan maka tertarik untuk memasukinya. Karena sesungguhnya agama
apa yang sudah kita anut sekarang jika diyakini dan dijalankan ajarannya, sesungguhnya
sama dengan agama lainnya, namun bentuk dan caranya saja yang berbeda.

Di dalam kitab suci Bhagawadgitha Adhyaya 9 sloka 29 menegaskan pernyataan di atas:


Samo ‘ham sarva-bhutesu. Na me dvesyo’sti na priyah. Ye bhajanti tu mam bhaktya. Mayi te
tesu capyaham (Aku bersikap sama pada semua makhluk, tidak ada yang Aku benci dan
tidak ada yang Aku kasihi. Akan tetapi, mereka yang memuja-Ku dengan rasa bhakti, maka
dia akan selalu bersama-Ku dan Aku ada pada dirinya).

Umat sedharma yang berbahagia. Sloka di atas mengajarkan kita bahwasannya semua umat
dianggap sama. Bukan berarti jika umat melakukan persembahan yang mewah dan besar
akan disayang oleh Tuhan. Dan bukan berarti pula jika umat hanya mempersembahkan
sehelai daun, dibenci oleh-Nya. Seluruh persembahan yang kita lakukan hendaknya selalu
didasari oleh rasa tulus ikhlas, dan rasa bhakti. Karena hal inilah yang akan mengantarkan
kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada-
Nya.

Dengan demikian umat sedharma yang berbahagia, begitu jelas sudah dipaparkan dalam
kitab suci Bhagawadgita mengenai moderasi kita sebagai umat Hindu. Sehingga itu dapat
kita jadikan dasar dan teladan agar terhindar dari perselisihan atau ketidaksepahaman antar
umat.

Melalui sastra suci Bhagawadgita, Tuhan telah mengajarkan sebuah laku yang mulia dan
penuh dengan kebijaksanaan, tentang hakikat terlahir, hidup, serta berkarma dan membawa
sang jiwa yang bersemayam di dalam badan untuk tidak membedakan mana yang lebih
dikasihi ataupun yang dibenci. Inilah pentingnya moderasi beragama dalam hidup ber-
Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika. Jangan sampai karena perbedaan pandangan
politik, keadaan ekonomi yang sulit, pergaulan, kita sebagai umat Hindu yang memegang
teguh spirit pluralisme salah menempatkan diri serta ikut larut dalam suasana yang
menghancurkan kedaulatan.

Kita sebagai umat Hindu seharusnya mampu membawa angin segar kemajemukan dan ke-
Bhinekaan. Apa yang sesungguhnya diajarkan oleh agama Hindu adalah pluralisme agama,
beragama dengan cara moderat, bukan beragama dengan cara ekstem dan intoleran terhadap
perbedaan-perbedaan ritual atau acara agama.

Umat sedharma yang berbahagia, berdasarkan sloka Bhagawadgita di atas Tuhan tidak ada
membedakan umatnya berdasarkan suku, rasa, agama, bahasa, budaya ataupun lain
sebagainya. Sembah dan sujud bhakti yang tulus ikhlas dalam persembahan itulah yang
terpenting dan utama di hadapan-Nya. Bila negara kita satu, bila bangsa kita satu, maka
sesungguhnya kita semua adalah bersaudara dalam satu kesatuan negara-bangsa. Dan
sesungguhnya adalah satu dan bersaudara.

Dengan demikian umat sedharma yang berbahagia, kita semua adalah saudara “Vasudhaiva
Kutumbakam” harus saling jaga, saling menghormati, saling menghargai, saling asah, asih,
asuh, “Paras Paros Sarpanaya” agar terciptanya keharmonian shanti jagadhita.

Umat sedharma yang berbahagia semoga pelita dharma ini dapat bermanfaat bagi kita untuk
menguatkan keberagaman kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Om Swastyastu. Om Ano Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah. Mimbar Hindu pekan ini akan
membahas tentang implementasi nilai-nilai Hari Raya Suci Nyepi dalam kehidupan sehari
hari, guna menuju kehidupan yang harmoni, satyamsivamsundharam.

Diawali dengan matur piuning di Pura Banguntapan sebagai sentral pusat kegiatan. Matur
Piuning dan nunas Tirta ke Merapi, Pura Beji Tirta Kamandalu, di Tugu dan di Candi
Prambanan sebagai alangkah awal pelaksanaan Nyepi dengan harapan supaya semau dapat
berjalan dengan baik, sidha karya dan sidhasempurna menuju harmonisasi terhadap berbagai
kehidupan. Termasuk upacara Melasti atau, labuhan di Pantai Parangtritis dengan tujuan
membersihkan berbagai kepapan lahir dan bhatin dan mengambil air kehidupan/ Angamet
Tirtha Kaman dalu ring telengin segara, guna menyucikan diri secara lahir dan bhatin.

Sehari sebelum memasuki acara puncak, umat Hindu wajib melaksanakan Upacara Tawur
Agung Kesanga. Pelaksanaannya dimulai dari rumah tangga masing-masing. Setiap rumah
tangga wajib membuat upacara tawur, di setiap Pura. Di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dan
Tingkat Provinsi Yogyakarta, upacara dipusatkan di Pelataran Candi Prambanan sebagai
realisasi dari ajaran (Tri Hita Karana), tiga penyebab harmoni.

Umat Hindu di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sekitarnya melaksanakan
Upacara Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan. Menyadari sebagai ciptaan Tuhan,
manusia sebenarnya mempunyai utang yang tidak bisa dibayar selama kehidupan ini, baik
hutang kepada sesama manusia, kepada alam semseta (Bhuana Agung), dan kepada Tuhan.
Ketiga utang ini hanya dapat dibayar lewat pelaksanaan ajaran agama, dan keagamaan yang
tertuang dalam kitab Suci Weda.

Kepada Tuhan, kita punya utang kehidupan. Kepada manusia, kita dilahirkan oleh seorang
ibu. Dan utang kepada alam semesta berupa, oksigen sandang, papan dan pangan serta
berbagai kebutuhan kehidupan yang disediakan alam semesta. Apa yang kita ambil, yang kita
miliki, sesungguhnya milik Tuhan. Maka, wajib sebagai umat untuk melaksanakan upacara
Tawur yang pada prinsipnya mengharmoniskan alam dan kehidupan sesuai dengan
dharmanya.

Alam semesta, setiap detik diekploitasi untuk kepentingan manusia. Maka, prilaku seperti ini
terjadi terus-menerus sehingga alam mengalami kerusakan seperti sekarang. Hal itu akan
berdampak pada manusia karena merupakan hukum sebab akibat.

Makna Tawur Agung Kesanga memelihara keselarasan dan keharmonisan peredaran alam,
supaya beredar sesuai dengan dharmanya. Umat Hindu mempunyai kewajiban untuk
memelihara dan merawat alam seperti memelihara/merawat tubuh kita. Maka alam ini akan
memberikan berbagai kenikmatan, memberikan berbagai kebahagiaan dan sebagainya
kepada seluruh kehidupan. Hindu selalu adaptasi dan antisipatif terhadap berbagai
perubahan, lebih-lebih perubahan alam semesta yang sangat berdampak dalam kehidupan.
Setiap perubahan membawa dampak psikologis dalam kehidupan, terkait dengan hal tersebut
hendaknya kita selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Mari kita saling menyadari terutama
dalam berbagai perbedaan menuju perdamian. Setelah pelaksaan Tawur agung kesanga
berjalan dengan baik dan sempurna maka bisa memasuki ritual Catur Brata Penyepian yang
penuh dengan nilai keidupan.

Melalui ritual dan pelaksanaan Catur Brata Nyepi, kita menyongsong Tahun Baru Saka
dengan penuh kesucian, sepi dan sunya. Dalam keadaan suci, sepi, dan sunya, umat Hindu
melaksanakan introspeksi diri/subhaasubha karma. Selanjutnya, umat Hindu melaksanakan
hidup yang berkualitas, yakni: Satyam Siwam Sundharam, kejujuran, kesucian,
keharmonisan.

Di samping itu, nyepi pada hakikatnya melaksanakan Mulat Sarira Anyekung Jnana Sudha
Nirmala. Pengekangan nafsu guna mencapai tingkat spiritual. Nafsu dan pikiran tidak
terkendali dapat menghambat berbagai aktivitas kehidupan, lebih-lebih aktivitas moral dan
etik.

Catur Brata Nyepi hendaknya diimplementasikan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan Tri
Kaya Parisudha, pikiran yang bersih dan suci, perkataan yang baik, dan jujur mengutamakan
kebenaran dan perbuatan baik dapat dipertanggungjawabkan secara agama. Nyepi
merupakan kesadaran batin dalam memasuki Tahun Baru Saka yang lebih baik dan
harmonis. Nyepi menghentikan tindakan dan perbuatan keduniawian secara total setiap
tahun, guna mengevaluasi bhatin (subhaasubha karma).

Nyepi/sipeng secara teologis menyadarkan manusia supaya eling lan waspodo, mempunyai
tanggung jawab besar terhadap kehidupan di alam semesta ini, yang harus kita harmoniskan
melalui Tawur Kesanga Nyepi dan Catur Brata Nyepi. Amati Gni, tidak menyalakan api dan
sejenisnya. Kita mematikan api secara duniawi, tidak memasak, justru melakukan upawasa,
memadamkan api amarah, permusuhan, mengendalikanhawa nafsu, tidak sombong. Secara
filosofis kita diajarakan menumbuhkan toleransi, hidup rukun, saling menghormati berbagai
perbedaan yang ada sebagai ciri bangsa yang hitrogen.

Amati Gni mengandung makna tapa saliro, rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang tulus.
Di sinilah umat Hindu Mulat Sarira melakukan Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, mati
sejeroning hurip dan hurip ring sejoroning pati. Sehingga, dia dapat memasuki Tahun Baru
Saka dengan selamat dan sukses bersih lahir dan batin.

Amati Karya, adalah tidak bekerja atau menghentikan pekerjaan secara fisik. Pada saat
Nyepi, kita mengintrospeksi diri, dengan mengevaluasi kinerja yang kita lakukan dalam
kehidupan, apakah sudah sesuai dengan dharma ataun belum. Jika belum perlu ada
perbaikan, jika sudah baik terus kita tingkatkan guna mencapai kebahagaian.

Amati Lelungan, tidak berpergian keluar rumah secara hakikat adalah melakukan pemujaan,
mengidungkan nama Tuhan dengan melakukan Japa Mantra dan meditasi. “Anyekung Jnana
Sudha Nirmala” melakukan pengendalian diri dengan mengontrol berbagai pikiran,
perkataan, dan perbuatan, dengan harapan dapat hidup yang baik berdasarkan dharmaning
kehidupan. Segala yang kita lakukan hendaknya dapat dipertanggungjawabkan kepada Sang
Pencipta, bukan kepada diri kita sendiri.
Amati Lelanguan adalah tidak mendengarkan dan menikmati hiburan, melainkan
menjauhkan diri dari dunia ramai. Kita mencari sunyi, mencari sepi. Sebab, di dalam sepi,
kita mendapatkan kebahagian batin. Pelaksanaan Nyepi mendapatkan berbagai kenikmatan
rohani yang tersembunyi dalam diri. Inilah makna dari Amati Lelungan yang harus kita cari
dalam kehidupan dengan tindakan laku dan kesadaran batin. Tujuan utama dari Catur Brta
Nyepi guna menguasai diri, menuju kesucian hidup dan melaksanakan dharma sebaik-
baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama, dan moksah.
Secara filosofis, Catur Brata Nyepi mengandung arti dan makna yang relevan dengan
tuntunan untuk melestariakan alam sebagai tujuan utama dari pada Upacara Tawur Kesanga,
tentunya merupakan tuntunan hidup, masa kini dan masa yang akan datang. Upacara Tawur
Kesanga mempunyai arti dan makna mengembalikan atau membayar. Karena manusia
hidupnya selalu mengambil sumber-sumber alam.

Perbuatan mengambil, mengendap dalam jiwa manusia dalam bentuk karma wasana.
Upacara Tawur Agung Kesanga Nyepi bermakna memotivasi keseimbangan jiwa. Nyepi
juga bermakna sebagai tolak ukur nilai kesadaran dan toleransi sebagai kebutuhan dalam
kehidupan bersama.

Kesucian, kebersihan, keharmonisan dan keserasian hidup serta kelestarian, ketiga unsur Tri
Hita Karana ini merupakan prasarat untuk meningkatkan kualitas hidup, bersama-sama
introsfeksi diri sendiri dan mendengarkan bisikan hati nurani, diri pribadi yang jujur dan
murni, bersih dari berbagai sifat negatif, seperti permusuhan, dengki, keserakahan, sombong,
dan sebagainya. Dengan demikian, Hari Raya Nyepi benar-benar kita rasakan sebagai detik-
detik penting dan saat terbaik untuk merenungkan kembali hakikat sebagai manusia.

Inilah yang menjadi tujuan umat Hindu merayakan Nyepi. Umat Hindu diharapkan dapat
menemukan makna hidup yang sebenarnya dan menemukan keseimbangan jiwa. Om Santi-
Santi-Santi Om.

Anda mungkin juga menyukai