Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH

ILMU PERBANDINGAN AGAMA


KONSEP KERUKUNAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA

Dosen Pengempu :
Dr. I NYOMAN KIRIANA. S.Ag., M. A.
Oleh :

NAMA : DEWA MADE ADI WIRA YASA


NIM : 1911011067
KELAS : PAH B1

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU


FAKULTAS DHARMA ACARYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2022
KONSEP KERUKUNAN ANTAR AGAMA DI Indonesia

1. Konsep Kerukunan Menurut Agama Hindu

Dalam konsep Hindu untuk mewujud keharmonisan dan kerukunan sesama Umat
manusia terutama Umat Beragama serta lingkungan dan semua ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa (Brahman / Ida Sang Hyang Widi Wasa) adalah Berpedoman pada ajaran Tri Hita Karana
dan Tat Twam Asi. Ajaran tersebut dijadikan konsep yang sangat essensial mengenai
bagaimana caranya bisa hidup rukun dan harmonis dalam suasana multicultural di
NegaraIndonesiayang mempunyai karakter tersendiri di bandingkan Negara-negara lain di
Dunia. Ajaran ini bersumber dari Kitab Suci Weda sebagai sumber ajaran bagi Umat Hindu
yang harus diketahui, dipahami dan di amalkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.Apabila keharmonisan dan
kerukunan sesama Umat ciptaan Tuhan di usahakan dan di upayakan secara terus menerus
dengan segala kemampuan yang dimiliki serta berpedoman pada sastra Agama maka
kedamaian yang menjadi dambaan akan dapat diciptakan , dan dengan kedamaian
kebahagiaan akan dapat dirasakan terutama bagi mereka yang menyukai kedamaian. Dalam
Ktab Atkarvaveda XIX.9.1, menyebutkan :

Santa dyuh santa prthivi, Santam idam urvantariksam, Santa udan vatir apah, Santa nah
sautu osadih.

Artinya Semoga langit penuh damai, Semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan, Semoga
suasana lapisan udara yang meliputi bumi yang luas menjadi tenang, Semoga perairan yang
mengalir menyejukan dan Semoga suasana tanaman dan tumbuhan menjadi bermanfaan
untuk kami.

Kedamaian dan ketentraman bathin merupakan dambaan setiap mahluk, tidak hanya
untuk Umat manusia , tetapi juga untuk tumbuhan atau tanaman dan binatang. Oleh karena
itu kedamaian sangat penting di wujudkan dan diharapkan seluruh komponen bangsa
berjuang, berusaha, dan berbuat untuk itu guna mempertahankan dan memperkuat Bhineka
Tunggal Ika. Tri Hita Karana mempunyai pengertian tiga penyebab keharmonisan yakni :
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa),
keharmonisan hubungan antara sesama Umat manusia dan keharmonisan hubungan antara
Umat manusia dengan alam lingkungan . Sedangkan pengertian dari pada Tat Twam Asi
yakni engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Kedua ajaran tersebut yang menjadi konsep
untuk mewujudkan keharmonisan dan kerukunan bukan hanya diketahui dan dipahami
melainkan yang terpenting adalah diamalkan dengan sebaik mungkin di masyarakat sehingga
suasana yang menjadi dambaan bersama dapat di rasakan.

Konsep Kerukunan Hindu Agama Hindu adalah agama yang pertama kali datang di
Indonesia melalui para Raja dan agama ini mempunyai pandangan tentang kerukunan hidup
atau toleransi antarumar beragama dapat diketahui dari tujuan agama Hindu adalah
“Moksartham Jagathita Ya ca iti Dharma” yang artinya mencapai kesejahteraan hidup
manusia baik jasmani maupun rohani. Dari pengertian tersebut, maka untuk mencapai
kerukunan umat beragama manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut “Catur
Purusa Artha”. Yakni Dharma Artha, Kama dan Moksa. Hal itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:

1. Dharma, berarti susila dan berbudi luhur. Dengan Dharma pula seseorang dapat
mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri, keluarga dan masyarakat [umat
manusia]. Apabila dharma ini telah terwujud, maka tujuan hidup lainnya seperti
Artha, Kama dan Moksha akan dialami pula,
2. Artha berarti kekayaan, dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup, serta cara
mencapainya harus dilandasi dharma.
3. Kama, bermakna kenikmatan dan kepuasan, seperti kesenian dapat memuaskan orang,
Kama dapat pula dipuaskan oleh artha, sehingga dalam mencari artha dan
pemakaiannya harus berdasarkan dharma. kama dan artha terlebih dahulu harus
melaksanakan dharma dan tidak boleh menyimpang dari dharma.
4. Moksha adalah merupakan kebahagian abadi, yakni berlepasnya atman [jiwa] dari
lingkaran sanfara atau bersatunya kembali atman dengan paramatma dan moksha
menjadi tujuan terakhir dari agama Hindu yang setiap saat dicari sampai berhasil.
Mencapai moksha dasarnya juga dharma, Jadi hanya dharmalah yang dapat dipakai
sebagai wahana untuk sampai kepada moksha.

Dari dasar tersebut, toleransi merupakan kerukunan hidup antar umat beragama yang
mempunyai landasan hidup harmonis saling kasih sayang dan adanya pandangan asah, asih
dan asuh. Dasar yang lain adalah statemen dari Kitab Regweda yang berbunyi “Ekan Sat
Vipra Bahuda Vadanti” yang mempunyai arti “Disebut dengan ribuan nama berbeda, namun
satu adanya”. Tidak berbeda dengan semboyan Bkinneka Tunggal Ika yang menjadi jargon
bangsa Indonesia. Jargon tersebut, diambil oleh Mpu Tantular dari konsep teologi Hindu
yang berbunyi “Bhina ika tunggal ika, tan hana dharma mengrwa”. Artinya berbeda-beda
tetap tetap satu juga, tidak ada ajaran yan menduakan. Maksudnya adalah jalan menuju
Tuhan bisa berbeda tetapi yang dituju satu adanya dan tidak ada ajaran yang menduakannya.

2. Pengertian Kerukunan Umat Beragama Buddha

“Suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa
mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.” Masing-
masing dapat hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan damai.

Secara pasif makna kerukunan adalah menjaga agar hidup rukun, sedangkan secara pasif
berarti melakukan praktik atau usaha yang dapat mengakibatkan timbulnya kerukunan.
Makna secara aktif ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang bersifat sosial kemanusiaan,
diskusi, dan musyawarah.

Kerukunan dalam Agama Buddha

Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama


Buddha pada masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram
Kuno telah mampu mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama,
sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.

Hal ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat beragama,
maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan
kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya.

Memahami arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan
kesatuan, maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama
Buddha dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.

1. Upali Sutta

Diceritakan bahwa semasa hidup Sang Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru
besar dari sekte agama Jaina mengutus Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan
berpengaruh di masyarakat untuk berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha
yaitu Hukum Karma.
Setelah berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha
tentang kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk
diterima sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya karena
Upali adalah murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang berkedudukan dan
terpandang di masyarakat.

Akhirnya Sang Buddha menerima Upali sebagai muridnya dengan mengucapkan:


“Kami terima anda sebagai umatku, sebagai muridku, dengan harapan anda tetap
menghargai bekas agamamu dan menghormati bekas gurumu itu, serta membantunya”.

Dari cerita tersebut maka tampaklah bahwa masa kehidupan Sang Buddha telah
menunjukkan demikian besarnya toleransi Sang Buddha terhadap keyakinan atau agama
lain.

2. Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)

Raja Asoka dalam menjalankan pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan


kerukunan hidup beragama, semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan adil.
Untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan
Kerukunan Hidup Beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja
Asoka”.

PRASASTI RAJA ASOKA

“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa
suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-
dasar tertentu.

Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di
samping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah
merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.

Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang
lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir;
bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah
amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan
pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran
orang lain”. (Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).
3. Era Kerajaan di Indonesia

Pada jaman Keprabuan Majapahit telah berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita
ini memasuki jaman keemasan karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni
kerukunan hidup antar umat beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang berhasil
mewujudkan persatuan dan kesatuan negara tersebut.

Pada masa tersebut seorang pujangga besar telah menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang
di dalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna terdalam guna
membina kerukunan persatuan dan persatuan antar umat beragama, yaitu: “Siwa Buddha
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti tersebut sekarang telah
dijadikan motto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara garuda
pancasila.

Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan

Pada beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, Dialog
antar umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya
lahirlah Tri Kerukunan Hidup Beragama, yaitu:

1) Kerukunan Intern Umat Beragama


2) Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah

Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan
melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika, dan
Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk,
yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat
berupa aturan, prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji dan mulia.

Selain menjaga diri dengan Sila, umat Buddha dapat mengembangkan kesempurnaan-
kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan
hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan,
pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada ayat 6, sebagai berikut:

“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur dan musnah, tetapi
mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”.
Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5,
yaitu:

“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas dengan membenci, tetapi
kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.

Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang
jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat
manusia. Maka diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya
adalah ajaran Buddha dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat
tidak baik dan Ottapa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah
Lokapala Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.

Sehubungan dengan hal itu, pada masa pembangunan umat Buddha Indonesia
hendaknya selalu menjadikan ajaran-ajaran Sang Buddha sebagai pedoman dalam
menjalankan kehidupan beragama.

Konsep kerukunan yang diajarkan Sang Buddha bukanlah konsep teoritis namun
harus dibarengi dengan praktik nyata. Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan
aktif. Banyak manfaat baik sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan
itu sendiri. Dalam hal ini jelaslah tidak ada ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat
Buddha.

1. Pada prinsipnya ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat Buddha


untuk membebaskan diri dari penderitaan, secara universal agama Buddha
mengajarkan agar semua makhluk hidup berbahagia. Konsepsi ini memberikan
peluang untuk memungkinkan terciptanya kerukunan intern dan antar umat
beragama.
2. Dengan dasar ajaran cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap
semua makhluk, agama Buddha memberikan peluang dan wawasan kepada
umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan yang insklusif mau menerima
dan menghargai kehadiran golongan agama lain di luar dirinya.
3. Dengan faktor kepribadian Pancasila, dalam bentuk hubungan kekerabatan
dalam masyarakat Indonesia merupakan faktor peredam terhadap timbulnya
pertentangan antar agama.
Konsep Kerukunan Buddha Agama Buddha adalah berkembangan dari agama Hindu
yang ada di India dan juga berkembang di Indoensia yang dibawa oleh para Raja. Agama
Buddha ini, mempunyai pandangan tentang kerukunan hidup. Bergama yang berdasarkan
empat kebenaran, yakni dhuha satya , samudaya satya, tanha dan marga satya. Dari dasar ini,
maka pelayanan Buddha Gautama terhadap manusia berarti telah dilaksanakan dengan dasar
sebagai berikut adalah

1. Keyakinan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia
2. Metta, welas asih yang menyeluruh terhadap semua makhluk, sebagai kasih ibu
terhadap putranya yang tunggal
3. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhluk dan kencendrungan untuk selalu
meringankan penderitaan makhluk lain
4. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahgian makhluk lain tanpa benci, iri hati
dan perasaan prihatin bila makhluk lain menderita
5. Karma, reinkarnasi atau hukum umum yang kekal, karena ini adalah hukum sebab
akibat. Oleh karena itu, karma adalah jumlah keseluruhan dari perbuatan-perbuatan
baik dan tidak baik.

Dari dasar tersebut, keyakinan menurut umat agama Buddha bahwa toleransi adalah
kerukunan hidup beragama dapat dicapai dengan bertilik tolak kepada knsep dharma. Dalam
dharma ini diajarkan bagaimana cara melaksanakan perbuatan baik, bagaimana cara
menghindarkan perbuatan jahat, mengajar cinta kasih dan menumbuhkan sikap toleransi dan
partisipasi, rukun antar umat beragama. Bahkan bukti sejarah ajaran toleransi Budha ini bisa
dilihat dalam prasti dalam Batu Lingga XXII Raja Asoka [abad III SM] antara lain
disebutkan bahwa umat Budha tidak boleh mencela agama orang lain tanpa dasar yang kuat.
Sebaliknya umat Budha diperintahkan untuk memberikan penghormatan kepada agama lain
sehingga secara tidak langsung akan membantu agama Budha berkembang.

Perbedaan Agama Hindu dan Budha

Perbedaan agama Hindu dan Budha terletak sedikitnya pada 5 aspek. Aspek pertama
yait dari asal usulnya. Asal usul agama Hindu diyakini muncul dari perpaduan kebudayaan
bangsa Aria dan bangsa Dravida, sedangkan agama Budha muncul dari hasil pemikiran dan
pencerahan yang didapatkan Sidharta Gautama dalam mencari jalan lain untuk menuju
kesempurnaan (nirwana).
Selain ditinjau dari asal usulnya, perbedaan agama Hindu dan Budha juga terletak
pada pengakuan ajarannya terhadap eksistensi Dewa. Dalam agama Hindu dikenal istilah
Trimurti yang berarti 3 dewa tertinggi agama Hindu yang memegang kendali terhadap
kehidupan semesta, sedangkan dalam agama Budha, konsep ke-dewa-an lebih dipinggirkan.
Seorang yang menganut agama Budha mengakui Sidharta sebagai guru besar Budha yang
dapat membimbing mereka pada kesempurnaan.

Dalam agama Hindu, dikenal pula Sistem Kasta bagi para pemeluknya. Kehidupan
masyarakat Hindu dikelompokkan ke dalam 4 golongan yang didasarkan pada keturunan.
Sedangkan dalam agama Budha, sistem ekskulivitas masyarakat pemeluknya tidak berlaku.
Ajaran agama Budha menganggap jika semua manusia berkedudukan dan memiliki hak
kewajiban yang sama.

Reinkarnasi juga menjadi aspek penting yang membedakan ajaran agama Hindu dan
Budha. Dalam ajaran Hindu, kelahiran kembali setelah kematian  atau reinkarnasi tidak
berlaku. Hukuman bagi seorang yang jahat akan didapatkan melalui karma, sedangkan dalam
agama Budha, reinkarnasi akan terus berlaku bagi orang yang belum mendapatkan
pencerahan hingga akhirnya ia bisa mencapai nirwana.

Dalam agama Budha, penyembelihan hewan melalui Upacara Korban tidak diperkenankan
karena ini bertentangan dengan ajaran mereka yang menyatakan bahwa membunuh hewan
termasuk perbuatan keji. Ini berbeda dengan konsep ajaran Hindu yang justru menganjurkan
untuk melakukan upacara kurban di setiap hari-hari besar.

Persamaan Agama Hindu dan Budha

Terlepas dari beberapa perbedaan di atas, agama Hindu dan Budha nyatanya juga
memiliki beberapa kesamaan. Persamaan agama Hindu dan Budha misalnya terletak dari
tempat awal kemunculannya. Agama Hindu dan Budha sama-sama berasal dari India dan
muncul di masa yang nyaris bersamaan. Keduanya juga merupakan agama Ardhi yang berarti
muncul dari kebiasaan masyarakat di bumi tanpa adanya campur tangan dari langit seperti
halnya agama samawi.

Persamaan agama Hindu dan Budha juga terletak pada kebenaran ajarannya. Masing-
masing mengajarkan kebenaran dan mengusahakan pembimbingan pada kehidupan manusia
untuk berjalan di atas panduan hidup yang baik. Meskipun berasal dari India, namun kedua
agama ini justru cenderung lebih menyebar ke regional di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Keduanya juga mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat Indonesia di masa silam yang
kenyataannya dibuktikan oleh beberapa peninggalan sejarah yang bisa kita temukan hingga
saat ini.

Anda mungkin juga menyukai