Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dewa Made Adi Wira Yasa

NIM : 1911011067
Kelas : PAH B1 Semester IV ( 4 )

UAS Hukum Hindu

1. Sanksi dalam Kantaka Sodhana :


a. Sanksi Hukuman Jasmani
Sanksi Hukuman Jasmani ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran atas
perbuatan yang dilakukan, yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
Pada dasarnya sanksi hukuman jasmani adalah bentuk sanksi hukum penyiksaan
dan pengasingan dari masyarakat yang melanggar norma-norma hukum Hindu.
Maksud dilaksanakan sanksi ini adalah dalam rangka mengekang kebebasan hindu
pelanggar normanorma hukum Hindu, dengan tujuan agar yang bersangkuatan
apabila dibebaskan nanti, dalam masyarakat dapat mengendalikan diri dan tidak
mengulangi perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Sanksi hukum di atas dimaksudkan untuk menjauhkan yang
bersangkutan dari aktivitas kehidupan di masyarakat sehingga tidak mengganggu
keamanan, ketentraman, ketertiban maupun kesejahtraan masyarakat. Selain itu
perilaku yang melanggar atau jahat Hukum Hindu Serta Perkembangannya 67 tidak
diadopsi oleh anggota masyarakat yang lainnya, sehingga jumlah kriminalitas atau
pelanggaran terhadap norma-norma hukum Hindu tidak berkembang.
b. Denda
Denda adalah salah satu sanksi hukum Hindu. Denda adalah sejumlah uang yang
dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu 68 Hukum Hindu Serta
Perkembangannya norma-norma atau kaidah-kaidah agama Hindu. Adakalanya
seseorang yang melanggar ketentuan dimaksud diatas, disamping denda juga
dikenakan tapa atau sanksi hukum kurungan atau dipenjarakan. Sanksi hukum
denda pada umumnya terjadi apabila ada salah satu pihak tidak menempati atau
melanggar suatu persetujuan atau perjanjian Sanksi hukum denda ini akan
diperlakukan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan kepada orang-orang
yang melanggar perjanjian yang diadakan di daerah kekuasaan hukum golongan itu
sanksi hukum denda mengenai pelanggaran terhadap perjanjian diatur dalam pasal
221 yuncto pasal 223 Astamo’dhyayah Veda Smrti.
c. Prayascitta atau Pamarisudha
Prayascitta adalah suatu upacara keagamaan dalam rangka pembersihan tempat
tertentu apabila ditempat itu terjadi suatu perbuatan yang melanggar norma-norma
hukum Hindu yang dapat dipandang mengganggu keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat. Prayascitta adalah merupakan penyucian terhadap semua dosadosa
yang telah dilakukan seseorang. Prayascitta dapat dilakukan dengan cara
mempelajari Veda, melakukan Mahayadnya menurut Hukum Hindu Serta
Perkembangannya 69 kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua
penderitaan. Hal ini akan cepat menghancurkan semua kesalahan kesalahan,
maupun sampai dengan dosa besar. Prayascitta dapat dilaksanakan dengan
pengucapan mantra-mantra veda sebagai disebutkan dalam pasal-pasal 249, sampai
dengan pasal 260 Ekadaco dhyayah Veda Smrti. Para pelaku kejahatan yang bukan
berasal dari masyarakat Hindu dapat dikenakan sanksi ini, dengan cara
menggantikan Biaya prayascitta kepada masyarakat ditempat dilakukan perbuatan
pidana yang dimaksud.
d. Sanksi Hukum Vrata
Selain sanksi-sanksi hukum yang disebut di atas di dalam kurma purana disebutkan
pula sanksi hukum vrata (brata) sebagai berikut: santapana vrata, mahasantapana
vrata, prajapatya vrata, atikrcchra vrata, paraka vrata, taptakrcchra vrata,
krcchratikrcchra vrata, padakrcchra vrata, dan candrayana vrata.

2. Sanksi Prayascita atau Pamarisudha


Prayascitta adalah merupakan penyucian terhadap semua dosa-dosa yang telah
dilakukan seseorang. Prayascitta dapat dilakukan dengan cara mempelajari Veda,
melakukan Mahayadnya menurut Hukum Hindu Serta Perkembangannya 69
kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua penderitaan. Hal ini akan cepat
menghancurkan semua kesalahan kesalahan, maupun sampai dengan dosa besar.
Prayascitta dapat dilaksanakan dengan pengucapan mantra-mantra veda sebagai
disebutkan dalam pasal-pasal 249, sampai dengan pasal 260 Ekadaco dhyayah Veda
Smrti. Para pelaku kejahatan yang bukan berasal dari masyarakat Hindu dapat
dikenakan sanksi ini, dengan cara menggantikan Biaya prayascitta kepada masyarakat
ditempat dilakukan perbuatan pidana yang dimaksud.
3. Ahli Waris menurut hukum Hindu dalam pasal 166-171 Navamo Dhyayah Weda
Smerti
a. Anak aurasa, yaitu anak yang lahir dari perkawinan sah dengan istrinya sendiri,
diatur dalam pasal 166 Navamo’dhyayah Veda Smrti
b. Anak ksetraja, yaitu anak yang lahir dari bentuk perkawinan levirat, perkawinan
yang dilakukan dengan jandanya saudara atupun anak yang lahir dengan mengawini
istri orang lain yang menderita impoten, diatur dalam pasal 167 Navamo’dhyayah
Veda Smrti.
c. Anak datrima atau anak angkat, yaitu anak yang lahir dari perka winan sederajat
yang oleh ayahnya atau ibunya memberikan dengan penuh kasih sayang sebagai
penyerahan air pada waktuwaktu yang susah sebagai anaknya, diatur dalam pasal
168 Navamo’dhyayah Veda Smrti. Hukum Hindu Serta Perkembangannya 71
d. Anak krtrima atau anak buatan yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
sederajat yang diangkat sebagai anak dalam hubungan dengan melakukan hak
kewajiban Sraddha dan sakramen kepada orang tua angkatnya, diatur dalam pasal
169 Navamo;dhyayah Veda Smrti.
e. Anak gudhotpanna atau anak rahasia, ialah anak yang dilahirkan di rumah
seseorang dan ayahnya tidak diketahui, status anak ini adalah anak dari si ibu yang
melahirkan sebab anak ini terjadi sebagai akibat seseorang yang dilakukan oleh ibu
dari anak yang dimaksud. Mengenai anak ini diatur dalam pasal 170
Navamo’dhyayah Veda Smrti.
f. Anak Apawidha atau anak buangan, ialah anak yang lahir dan ditinggalkan oleh
orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya karena penderitaan dan diterima oleh
seseorang sebagai anak. Anak ini diatur dalam pasal 171 Navamo’dhyayah Veda
Smrti.
4. Yang dimaksud dengan Diwyah, Lekhya, Bukthi, dan Saksi yaitu :
a. Diwyah merupakan bukti sumpah
b. Lekhya merupakan bukti autentik atas tertulis
c. Bukthi merupakan bukti pemilihan atas materiil
d. Saksi merupakan bukti saksi
5. Mengapa Peradilan Hukum Agama Hindu di Indonesia belum dapat terwujud ?. Karena
Hukum Hindu merupakan hukum yang dapat dibilng masih sangat tradisional karena
masih berdasarkan atau bersumber pada ajaran-ajaran Agama yang kemudian pada
bagian-bagian tertentu ada yang diundangkan menjadi undang-undang dan ada pula
karena sifatnya dibiarkan sebagaimana halnya dengan kewenangan dan kebebasan
Hakim untuk menafsirkannya. Membuat suatu peradilan tentu tidak semudah membuat
“pisang goreng” dan tentu pula tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sesingkat
menantikan matahari terbit di esok hari. Banyak hal yang masih perlu dipikirkan lebih
kongkrit, cermat, matang, teliti, dan juga penting mempertimbangkan faktor efisiensi,
kalau ingin apa yang kita wujudkan itu tidak akan mengalami nasib layu sebelum
berkembang.

Anda mungkin juga menyukai