Anda di halaman 1dari 17

Daftar Isi

Bab I...........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..................................................................................................................................2
Latar belakang...................................................................................................................................2
Rumusan masalah..............................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................................3
2.1 Pengertian Sembahyang..............................................................................................................3
Makna Sembahyang Sendiri.............................................................................................................4
Makna Sembayang Bersama/Berkelompok.....................................................................................4
2.2 Manfaat Sembahyang..................................................................................................................4
2.3 Sarana Persembahyangan...........................................................................................................5
Konsep Khiblat dalam Agama Hindu............................................................................................11
Persiapan Persembahyangan Hindu..............................................................................................11
2.4 Urutan Persembahyangan.........................................................................................................13
BAB III.....................................................................................................................................................16
PENUTUP............................................................................................................................................16
Kesimpulan......................................................................................................................................16
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................17

1
Bab I
PENDAHULUAN
Latar belakang

Dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi khususnya dalam agama Hindu di Bali, tentunya sebagai
umat wajib melakukan persembahyangan agar Beliau senantiasa melindungi dan membimbing
kita.  Jika dijabarkan, sembahyang terdiri dari dua suku kata yaitu Sembah dan Hyang. Sembah
yang artinya “sujud atau sungkem” yang dilakukan dengan cara – cara tertentu dengan tujuan
untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata – kata
maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan). Hyang artinya “yang dihormati atau dimuliakan”
sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan
menurut kepercayaan itu.

Suasana sembahyang bersama meciptakan suasana yang mendorong tumbuhnya nilai-


nilai kerohanian untuk membangun api spritual yang sangat dibutuhkan dalam menuntun hidup
yang suci. Dari suasan itulah, setiap orang dapat mendorong psykologis magis religius untuk
membina sikap kebersamaan yang produktif untuk memajukan kehidupan bersama dalam
masyarakat. Dalam persembahyangan bersama, hendaknya hilangkan sifat arogan, egois, iri,
dengki, dan sifat-sifat negatif lainnya. Baik sembahyang sendiri dan sembahyang bersama
mempunyai kedudukan yang sama dalam hal memuja Tuhan. Oleh karena itu, hendaknya
dilakukan secara seimbang dan kontinue untuk membina diri sebagai mahluk individu dan
mahluk sosial.

Rumusan masalah
Apa pengertian sembahyang ?

Apa saja manfaat bersembahyang ?

Bagamimana persiapan dan sarana sembahyang ?

Bagaimana urutan dalam melaksanakan sembahyang ?

Tujuan

Mengetahui pengertian sembahyang

Mengetahui manfaat bersembahyang

2
Mengetahui bagamimana persiapan sembahyang yang benar

Mengetahui urutan dalam melaksanakan sembahyang

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sembahyang
Setiap umat pemeluk agama pastinya melaksanakan ibadah, sebut saja Agama Hindu (Bali) di
Indonesia. Pemujaan bagi umat Hindu (Bali) disebut sembahyang. Pemujaan itu dilakukan
dengan cara dan motif yang berbeda saat sembahyang, misalnya saat persembahyangan di setiap
umat di Pelinggih masing-masing, atau saat hari Piodalan di Desa Adat, kesemuanya itu
disesuaikan dengan desa kala patra. Itulah mengapa pemujaan bisa berbeda-beda. Namun,
perbedaan itu tidak menjadi penghambat umat untuk melakukan pemujaan tertinggi dihadapan
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dan manifestasiNya. Semuanya itu, hanya untuk
mencapai persatuan dan kesatuan dengan Tuhan.

Sembahyang berasal dari bahasa Jawa Kuno, sembah yang artinya menyayangi, menghormati,
memohon, meyerahkan diri, dan menyatukan diri. Sedangkan, hyang artinya suci. Dengan
demikian, sembahyang berarti menyembah yang suci, yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa) dan semua manifestasiNya. Itulah hakekat pemujaan terhadap Tuhan, untuk dapat
mendayagunakan kepercayaan/keyakinan dan bhakti umat kepada Tuhan, serta untuk
meningkatkan harkat dan martabat kehidupan manusia.

Dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi khususnya dalam agama Hindu di Bali, tentunya sebagai
umat wajib melakukan persembahyangan agar Beliau senantiasa melindungi dan membimbing
kita.  Jika dijabarkan, sembahyang terdiri dari dua suku kata yaitu Sembah dan Hyang. Sembah
yang artinya “sujud atau sungkem” yang dilakukan dengan cara – cara tertentu dengan tujuan
untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata – kata
maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan). Hyang artinya “yang dihormati atau dimuliakan”
sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan
menurut kepercayaan itu.

Ada empat jenis manusia memuja Tuhan menurut Kitab Suci Bhagawad Gita VII.16. Pertama,
Artah yang artinya orang baru memuja Tuhan setelah ia mengalami penderitaan. Kedua, Arthi
yaitu mereka yang memuja Tuhan untuk memohon kekayaan. Ketiga, Jijnyasuh adalah pemuja

3
Tuhan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan kedudukan duniawi. Keempat, Jnyani yaitu
mereka yang memuja Tuhan untuk mendapat kebijaksanaan rohani.   

Melaksanakan pemujaan kepada Tuhan bisa dilakukan secara pribadi atau sendiri dan
berkelompok. Keduanya itu memiliki makna yang berbeda. Oleh karena itu, untuk lebih jelas
penulis akan memberikan sedikit informasi perihal sembahyang sendiri dan sembahyang
berkelompok, sebagai berikut :

Makna Sembahyang Sendiri


Sembahyang sendiri dalam Agama Hindu disebut Ekanta. Sembahyang sendiri bertujuan untuk
melatih diri agar struktur alam pikiran menjadi lebih kuat. Agar kesadaran budhi menjadi kuat
menguasai kadar kecerdasan pikiran dan pikiran menguasai Ego, maka Tri Guna haruslah diolah
dengan baik.

Dalam sembahyang sendiri, inilah kwalitas sembahyang untuk membenahi diri sendiri sebagai
makhluk individu. Dengan sembahyang sendiri seseorang akan dapat mendayagunakan
keyakinan dan bhakti kepada Tuhan, untuk membenahi keberadaan dirinya sebagai manusia
individu menjadi manusia yang berkwalitas. Individu-individu yang berkwalitas inilah yang akan
dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

Makna Sembayang Bersama/Berkelompok


Sembahyang bersama atau berkelompok disebut Samkirtanam. Sembahyang bersama
sesungguhnya bernilai sosiologis dan psykhologis untuk mendidik seseoarang agar ia bisa hidup
bersama secara dinamis ditengah-tengah masyarakat yang heterogen. Dalam sembahyang
bersama disamping kita harus berusaha untuk menyatukan potensi diri secara individual, juga
dituntut untuk dapat mengharmoniskan diri dengan berbagai tipe manusia yang ikut dalam
persembahyangan bersama.

2.2 Manfaat Sembahyang


Suasana sembahyang bersama meciptakan suasana yang mendorong tumbuhnya nilai-nilai
kerohanian untuk membangun api spritual yang sangat dibutuhkan dalam menuntun hidup yang
suci. Dari suasan itulah, setiap orang dapat mendorong psykologis magis religius untuk membina
sikap kebersamaan yang produktif untuk memajukan kehidupan bersama dalam masyarakat.

4
Dalam persembahyangan bersama, hendaknya hilangkan sifat arogan, egois, iri, dengki, dan
sifat-sifat negatif lainnya.

Dengan demikian, baik sembahyang sendiri dan sembahyang bersama mempunyai kedudukan
yang sama dalam hal memuja Tuhan. Oleh karena itu, hendaknya dilakukan secara seimbang dan
kontinue untuk membina diri sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.

Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti”
atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan
dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu
adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata
“maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan
kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman
dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor,
menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi,
sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah
sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang,
buah-buahan, dan sebagainya.

2.3 Sarana Persembahyangan


Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat ada beras
tertempel pada dahi terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada rambut (wanita). Apa artinya?
Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha, mesekar dan mebija, ketiganya
mempunya makna yang sangat penting bagi umat Hindu. Karenanya sebelum melakukan
persembahyangan diperlukan perlengkapan/sarana sembahyang. Sarana atau perlengkapan
sebelum melakukan persembahyangan antara lain:

➡Air (Toya)

➡Api (dupa)

➡Bunga (sekar)

➡Kewangen

➡Kalpika (kartika)

 AIR (Toya)
5
Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada 2 jenis air yang dipakai pada saat akan
sembahyang yaitu:Air untuk membersihkan mulut dan tangan dan air yang nantinya berfungsi
sebagai tirtha. Beberapa orang juga menyebutnya dengan Toya. Tirta adalah air yang telah
disucikan. kesuciannya bisa diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang
berwenang(pandita dll) atau dengan mengambil disuatu tempat dengan disertai ritual
keagamaan(wangsuhpada).

Dilihat dari manfaat ada 3 jenis tirtha:

Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau diri seseorang. Tirta
ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha
pengelukatan,perbesihan atau parayascita.biasanya dicipratkan tika kali yang mengandung arti
sebagai simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.

Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini
dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini
adalah wangsuhpada. Selain dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali
sebagai simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol pensucian
terhadap lahir.Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya: Tirtha
Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.

Didalam Weda Parikrama dan Surya Suwana dijelaskan, maksud dari pemakaian tirta itu adalah
sebagai pensucian secara lahiriah dan rohaniah(lahir dibersihkan dengan air, bathin/rohani
dibersihkan dengan kesucian tirtha.

 API (Dupa)

 Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga berasap dan berbau
harum, Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lambang Dewa Agni yang berfungsi:
sebagai pendeta pemimpin upacara
 Perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan tuhan)
 Sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
 Sebagai saksi upacara

Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu. Setiap upacara
didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api yang ada dalam sendiri.

6
Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki
menyebabkan api mempunyai fungsi:
Panas api meresap kesegala arah baik air,tanah,udara tumbuh-tumbuhan ataupun mahkluk hidup
lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri ke angkasa memancarkan sinar yang
putih berkilauan, menyebar kesegala penjuru.

Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit,manusia
dengan Tuhan,sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan. Sinar cahayanya
memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan disetiap kegelapan.
Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apapun yang dilemparkan kepadanya sehingga
dianggap sebagai pembasmi noda,malapetaka dan penderitaan.
Api dengan sebutan sebagai Dewa Agni adalah Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat,
dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam
kehidupan.
Api selalu dinyalakan dalam rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya pimpinan atau
raja dalam rumah tangga.
Dalam Reg Weda dan Sama Weda api memiliki peranan:
🔥Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman. (Regweda X, 80 : 4)
🔥Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya
suci. (Regweda VII 15 : 10)
🔥Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut weda. (Regweda VIII 15 : 2)
Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:
Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah asep
ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-wangian sehingga memberikan aroma
yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya
api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga termasuk sebagai salah satu Dipa.
Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini adalah obor dari
perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan sebagainnya.

BUNGA (Sekar)

Sarana persembahyangan selanjutnya adalah Bunga. Bunga mempunyai dua fungsi penting
dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan(Dewa Siwa) dan sebagai sarana
persembahyangan semata. Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada unjung
kedua telapak tangan yang dicakupkan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah,

7
bunga biasanya ditajukkan diatas kepala(rambut) atau disumpangkan ditelinga.
Sebagai sarana persembahyangan bunga dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan
dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Sang Hyang
Widhi Wasa serta sinar suci-Nya,para leluhur dan para Rsi.
Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:
🌺 Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki
kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).
🌺 Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma, memiliki
kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
🌺 Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau hijau. Dipakai
untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki senjata cakra dan memancarkan
sinar berwarna hitam.
🌺 Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang
memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan
dengan bunga berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan
bunga berwarna kuning.

 KEWANGEN

Bagi umat Hindu khususnya di Bali, kewangen merupakan perlengkapan sembahyang yang
penting. Terutama kalau bersembahyang mengikuti puja pinandita. Dari puja pengantarnya dapat
diketahui bahwa kewangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud Pradana
Purusha Ardanareswari dan pemberi anugerah.
Kewangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi
perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen,
bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan
silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa
sehingga bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya
dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya.

 KALPIKA/KARTIKA
Kalpika/Kartika adalah salah satu perlengkapan yang selalu dipergunakan oleh para Sulinggih
dalam penyelesaian upacara, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Kartika dibuat dari
sehelai daun kembang sepatu dan bunganya yang berwarna merah dan bunga jepun(kamboja)
yang berwarna putih. Cara membuat kartika/kalpika; daun kembang sepatu dilipat sedemikian

8
rupa sehingga membentuk segi empat belah ketupat,membungkus bunga jepun dan kembang
sepatu.
Ditinjau dari warna kalpika melambangkan Tri Murti; warna hijau/hitam melambangka Wisnu,
warna merah melambangkan Brahma dan warna putih melambangkan Siwa.
Didalam salah satu puja Surya Sewana disebutkan:

KALPIKA MIJIL SAKING BRAHMA, VIJA MIJIL SAKING WISNU, GANDA MIJIL
SAKING ISWARA
Hal ini sesuai dengan bentuk Kalpika yaitu segi empat yang disebut Brahma Bhaga, pada bentuk
linga(segi delapan)disebut Wisnu Bhaga, dan palus disebut Siwa Bhaga.
Bagi para sulinggih kalpika/kartika memegang peranan penting sebab dipakai sebagai pengganti
tunjung(bunga teratai)untuk menurunkan(nuntun)paratma(atma).

WIJA (Bija)

Sarana persembahyangan yang lain adalah Wija/Bija, disebut pula Gandaksata, berasal dari kata
ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Mawija atau mabija
dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara
persembahyangan.
Oleh karena itu hendaknya dipergunakan beras yang utuh/tidak patah, dicuci bersih kemudian
dicampur dengan wangi-wangian, misalnya: air cendana serta bunga yang harum. Bija dianggap
sebagai simbul benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanareswari/Purusa-
Pradana. Pemakaiannya hampir sama, dengan tirtha yaitu ditaburkan pada bangunan yang
dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan
memberikan kesucian. Ini biasanya dilakukan sebelum persembahyangan atau upacara
keagamaan yang lainnya.
Sehabis sembahyang umat Hindu selalu mengenakan Wija/Bija, umumnya penggunaaan bija:

Diletakkan diantara kedua kening(disebut Cudamani). Penempatan wija/bija disini diharapkan


menumbuhkan dan memberikan sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
Diletakkan di tengah-tengah dada sebagai simbol pensucian dan mendapat kebahagiaan.

Ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh
kesempurnaan hidup.
Wija atau Bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya
yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap
orang. Mawija/Mabija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam

9
diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka
itu mewija dilakukan setelah mathirta

Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya.


Mangku Darsana memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun
berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan
halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah
lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-
kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.

Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning
Sembah yang bermakna (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:29) sebagai berikut:
1. Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon
kesucian dan memusatkan pikiran.
2. Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga
dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat
kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian
permohonan maaf dan permohonan anugrah.
3. Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa
terima kasih atas rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini
dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini
dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati
adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana &
Susila, 2002:31)
Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian
terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau
air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija
atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung
makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat (Sujana & Susila,
2002:31-32).

Mangku Gede Darsa memberi saran dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang
dipimpin oleh Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa
Pinandita itu seperti supir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan
penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan
timbul kegaduhan. Sehingga, persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain

10
yang ingin mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan
tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut
Mangku Gede Darsa bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar
menghapalkan mantram tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang
sembahyang.

Konsep Khiblat dalam Agama Hindu


Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam persembahyangan, tidak hanya
sekedar “nyakupang tangan” dan “ngelungsur”. Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan
tata cara persembahyangan umat Hindu dapat bermanfaat bagi umat seDharma.

Seperti halnya terdapat konsep Dewata Nawa Sanga (sembilan penguasa di setiap penjuru mata
angin) dan semua adalah perwujudan dari kekuatan Tuhan dalam berbagai manifestasi beliau.
Dengan demikian semua arah ialah suci.

Namun dalam perkembangan Hindu di Bali, dalam pemujaan kepada Tuhan terdapat sebuah
istilah yaitu “Hulu Teben”. Hulu Teben adalah konsep penataan sebuah tempat secara vertikal
dan horisontal yang dapat membawa tatanan kehidupan skala (nyata) dan niskala (tidak nyata).
Hulu Teben berasal dari dua kata yaitu hulu dan teben :
 Hulu artinya arah yang utama, sedangkan
 Teben artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu

Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu :

 Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau


 Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben

Timur sebagai hulu karena di timur merupakan arah matahari terbit. Matahari dalam pandangan
Hindu merupakan sumber energi yang menghidupi semua mahluk. Timur artinya juga wetan,
berasal dari kata wit  yang berarti asal mula. Jadi semua mahluk dan alam semesta berasal dari-
Nya dan akan kembali ke asal-Nya.

Sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi
hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan
karena tiada kehidupan tanpa air.

Penetapan Hulu Teben hanya sebagai kesepakatan dan etika pemujaan Hindu di Bali. Akan tetapi
ada juga tempat pemujaan yang menghadap ke barat, ke selatan dll. Tapi itu bukanlah sebuah hal
yang perlu di debatkan atau menjadi pertentangan karena seperti yang sudah diterangkan diatas
bahwa dalam Hindu sejatinya semua arah adalah suci.

11
Persiapan Persembahyangan Hindu

Menurut Mangku Linggih, sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya “melukat”
terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan
mohon ijin secara niskala. Mangku Gede Darsa menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke
Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai
dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.Dalam melakukan persembahyangan ada
beberapa hal yang harus dipersiapkan yaitu sebagai berikut:
1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi.
2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu
ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan).
3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bungan yang
segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti
dengan bunga. Menurut Mangku Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung
Salak Bogor, kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum
kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga menyimbolkan alam
bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa
yang kita mohon menuju pada diri kita.
4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.
5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan
beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.
6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada
empat yaitu padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.
7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah “cakupang kara kalih”, yaitu kedua
telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada
ujung jari.

Atau secara lebih lengkapnya seperti ini :

1. Kebersihan jasmani

2. Mempersiapkan sarana-sarana seperti:

 Alas duduk (tikar, karpet, dsb)


 Sebuah nampam yag berisikan: Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di
pelingih, pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha wangsuhpada.
 Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi wewangian (bija)

12
 Dupa secukupnya
 Bunga / canang sari / kwangen secukupnya

3. Mempersiapkan secara Rohani, serperti:

 Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita),
Padasana (berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.
 Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba
puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba kepadaMu.
 Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja
Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam menyucikan dan
menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
 Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya Tuhan,
sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
 Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan,
anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.

4. Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:

 Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan
sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
 Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara
dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
 Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur
segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.

5. Karasoddhana

1. Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani
hamba
2. Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuha, sucikanlah seluruh badan rohani
hamba

13
2.4 Urutan Persembahyangan

Setelah semua dilakukan selanjutnya melakukan Puja Tri Sandya kemudian dilanjutkan dengan
Kramaning Sembah. Berikut urutan untuk kramaning sembah:

Muspa Muyung:

Om Atma tattvatma suddha mam svaha

Ya Tuhan, Engkau adalah merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah
hambaMu.

Muspa dengan bunga ke hadapan Siva Adhitya sebagai saksi pemujaan:

Om Adityasya param jyotih


Rakta teja namo’stute
Sveta pangkaja madhyasta
Bhaskaraya namo’stute
Om Hrang Hring Sah paramasiva adhitya ya namah svaha

Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber cahaya yang merah cemerlang, penuh kesucian
yang bersemayam di tengah-tengah teratai berwarna putih, sembah sujud hamba kepada sumber
segala cahaya, Ya Tuhan, Engkau adalah ayah semesta alam, ibu semesta alam, Engkau adalah
Paramasiva devanya matahari,anugrahkanlah kesejahtraan lahir-bathin.

Muspa dengan kwangen/bunga ke hadapan Hyang Widhi dengan Ista devataNya:

Om namo devaya adhistanaya


Sarva vyapi vai sivaya
Padmasana eka prathistaya
Ardhanaresvarya namah svaha

Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling
utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam
pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.

14
Muspa dengan kwangen/bunga kehadapan Hyang Widhi untuk memohon waranugraha:

Om anugraha manoharam
Deva datta nugrahaka
Arcanam sarva pujanam
Namh sarva nugrahaka
Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmakam
Laksmi siddhisca dirgahayuh
Nirvighna sukha vrddhisca

Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan
segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva
dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari
rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.

Muspa Muyung, sebagai penutup persembahyangan:

Om deva suksma paramacintya ya namah svaha


Om santih santih santih Om

Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya
Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga
semuanya damai atas anugrahMu

15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Sembahyang sendiri dalam Agama Hindu disebut Ekanta. Sembahyang sendiri bertujuan
untuk melatih diri agar struktur alam pikiran menjadi lebih kuat.Sembahyang bersama atau
berkelompok disebut Samkirtanam. Sembahyang bersama sesungguhnya bernilai sosiologis dan
psykhologis untuk mendidik seseoarang agar ia bisa hidup bersama secara dinamis ditengah-
tengah masyarakat yang heterogen.
Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya.
Mangku Darsana memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun
berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan
halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah
lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-
kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan
Dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita, hendaknya umat
tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti supir bus, sedangkan
umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau
terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga,
persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah
hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-Nya menghadapi
masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Gede Darsa bahwa
mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram
tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.

16
Daftar Pustaka

http://inputbali.com/budaya-bali/tata-cara-sembahyang-dalam-agama-hindu

https://www.mutiarahindu.com/2018/06/cara-sembahyang-agama-hindu-secara-umum.html

https://yanartha.wordpress.com/sembahyang-dalam-agama-hindu/

http://phdi.or.id/artikel/arti-sarana-persembahyangan

http://agamahinduisme.blogspot.com/2015/10/pengertian-sembahyang-dalam-agama-hindu.html

17

Anda mungkin juga menyukai