Dosen Pengampu:
Pdt. Hananto Kusumo, S.IP., M.Si. Teol.
Oleh :
Verlina Anggita Kartika Putri (232017076)
Steppani (232017081)
Ronaldo Luiz Nasario Sineri (372015024)
Tantri Maria Anindita (372018802)
Bhramita Cahya (372018803)
Swastika Bangun Lembang (412017032)
Natalia Kristianti (462018062)
Jelmin Kristin Surat (462018074)
2.2 Titik Temu dan Titik Pisah Antara Agama dan Spiritualitas ............. 15
2
BAB I
PENDAHULUAN
Agama dan spiritualitas merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
sama lain. Jika agama bisa dikatakan sebagai landasan kita untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, maka spriritualitas merupakan sesuatu hal yang ada dalam diri
kita yang ingin mengenal lebih dekat dengan Tuhan untuk mencapai tujuan
hidupnya yang sesuai dengan ajaran yang telah dipercayai oleh kita sebagai
pengikut-Nya. Pada umumnya dalam mempelajari sebuah agama dan untuk
mendalami spiritualitas, ada tokoh-tokoh agamis yang diikuti oleh manusia agar
apa yang dia pelajari menjadi lebih konkrit.1 Misalnya dengan mengikuti jejak
para Nabi dan utusanNya yang secara langsung menyebarkan ajaran-ajaran yang
diturunkan oleh Tuhan, atau pemuka-pemuka agama yang dianggap lebih
memiliki spiritualitas lebih baik untuk membantu manusia dalam memahami
hakikat dari sebuah agama seara mendalam. Melalui tokoh-tokoh ini secara tidak
langsung dapat membantu meningkatkan kerohanian dan merubah gaya serta
pandangan hidup manusia dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi lebih
baik.
1
Agus M. Hardjana. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas.Yogyakarta: Kanisius. Hal. 62.
2
Ibid.
3
Dalam makalah ini akan membahas secara mendalam mengenai makna
dan nilai-nilai dari agama dan spiritualitas. Seberapa penting sebuah agama bagi
manusia, dan sisi spiritualitas apa sajakah yang ditawarkan oleh sebuah agama
agar lebih dekat kepada Tuhannya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam buku yang berjudul “Buku Ajar Agama”, disebutkan bahwa kata
spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata tersebut berasal dari
bahasa Latin, yaitu spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus juga dapat
mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan, sehingga kemudian
spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Kata spiritual sendiri bisa
diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan
bergerak.
Berikut ini adalah beberapa pendapat dari para ahli mengenai spiritualitas:
3
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hal.
72.
4
Ibid.,hlm. 72-73.
5
Ibid.,hlm. 73.
5
4. Sementara itu, Roussseau melihat spiritualitas adalah sebagai pencarian
pribadi untuk memahami jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan yang
ada, mengenai kehidupan, makna hidup, dan pengalaman transenden.6
5. Swidler (2014:374) memahami agama dari akar kata Latin “re-ligare”
yang artinya adalah pemahaman mengenai makna akhir dari kehidupan,
hal tersebut didasarkan pada gagasan dan pengalaman transenden
seseorang. Agama sendiri merupakan sistem yang terorganisir dari
keyakinan, praktik, ritual, dan simbol-simbol yang dirancang untuk
memfasilitasi kedekatan transenden, dan untuk mendorong pemahaman
tentang hubungan serta tanggung jawab seseorang kepada orang lain
dalam komunikasi hidup bersama di dalam komunitas. Oleh karena itu,
setiap agama mengandung empat “C”, yaitu: Creed, Code, Cult, and
Community-structure: 1) Creed mengarah pada aspek kognitif agama yang
menjelaskan mengenai makna akhir dari kehidupan; 2) Code adalah
perilaku atau etika yang mencakup segala aturan dan kebiasaan dari
tindakan manusia; 3) Semetara Cult berarti semua kegiatan ritual dan
devosional yang berhubungan dengan kepercayaan yang transenden,
seperti doa, kebiasaan ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan,
dll; 4) Sementara Community-structure mengarah kepada hubungan antara
orang-orang beragama; ini bisa bervariasi, dari hubungan yang sangat
egaliter, melalui sebuah ‘struktur seperti presbiterian, conggrational,
monarki dan lain-lain. Oleh arena itu, Swidler memahami agama sebagai
makna eksterior atau eksternal kemanusiaan.7
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa spiritual merupakan energi kehidupan yang mengarah pada
makna interior atau internal kemanusiaan, sedangkan agama adalah sebagai
makna eksterior atau eksternal kemanusiaan. Dimana spiritualitas berhubungan
dengan pengalaman religius sebagai pengalaman yang Transenden, sedangkan
agama juga merupakan pengalaman transenden, sehingga dalam hubungannya
6
Ibid.,
77
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Hal. 73-74.
6
dengan belief system, spiritualitas adalah agama. Oleh karena itu, baik spiritualitas
maupun agama merupakan representasi dari spiritual.8
1. KESADARAN DIRI
Kesadaran diri merupakan pemberdayaan untuk suatu perubahan sikap dan
perilaku sehat. Pemberdayaan tersebut berhubungan dengan pendidikan
yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menciptakan ide, karya,
membuat keputusan dan kemampuan untuk mengatasi masalah. Dimana
kemampuan untuk mengatasi masalah membutuhkan kesadaran diri
sebagai proses pendidikan dalam rangka melakukan suatu perbaikan untuk
meningkatkan intelegensi diri dengan tujuan sebagai berikut: (1)
Meningkatkan prestasi (akademik dan non akademik) yang berhubungan
dengan pilihan untuk belajar mengendalikan diri, percaya diri, regulasi dan
manajemen diri agar memperoleh kesuksesan di masa depan.
Berhubungan dengan tujuan ini, terdapat hasil penelitian yang dipaparkan
oleh Joshi dan Srivastava terhadap 200 remaja kota dan 200 remaja desa
dari Kabupaten Varanasi dengan usia 12 sampai 14 tahun, Di mana
terdapat perbedaan signifikan yang berkaitan dengan pencapaian akademik
remaja pedesaan yang cenderung mengalami harga diri rendah
dikarenakan permasalahan pendidikan, baik formal maupun non-formal
dalam keluarga.10 Oleh karena itu, kesadaran diri diperlukan sebagai suatu
pemberdayaan untuk perubahan sikap dan perilaku sehat, dalam rangka
meningkatkan prestasi akademik dan non-akademik. (2) Mengembangkan
kepercayaan diri untuk mempertahankan eksistensi diri, meningkatkan
komunikasi yang produktif, eksplorasi diri, penerimaan sosial (reputasi
8
Ibid, hlm. 74.
9
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hal.
76.
10
Joshi, S & Srivastava. 2009. “Self-Esteem Achievement of Adolescents: Journal of The Indian
Academy of Applied Psychology”. Vol. 35. Special Issue. Banaras Hindu University, Varanasi. Hal.
33-34.
7
diri) serta pola hidup yang positif dan konstruktif. Berkaitan dengan tujuan
ini, menurut pandangan Hutchinson dan Chapman, pendekatan
eksistensial, eksplorasi, yang berorientasi proses, dengan fokus utama
pada spiritualitas dan makna hidup, dapat memberdayakan manusia untuk
mengatasi keadaan yang paling luar biasa dalam hidup dan bertindak
untuk pengalaman manusia yang unik seperti sukacita, rasa bersalah, dan
penemuan makna yang bersumber pada kepercayaan diri untuk
mengembangkan kesadaran dirinya.11 Kesadaran diri menjadi lebih
signifikan dengan adanya pendekatan ekplorasi diri guna mengeksplor
hubungan, kebiasaan, pola berpikir, perasaan, perilaku, pilihan, dan
pengalaman yang telah menjadi sumber dalam diri pribadi.
2. PENERIMAAN DIRI
Definisi penerimaan diri dalam buku ini dijelaskan sebagai pengenalan
dan bentuk pengembangan diri menjadi pribadi yang utuh, berprestasi dan
memiliki kemampuan. Dalam hal ini pengenalan dan pengembangan diri
masih berhubungan dengan regulasi sistem dalam diri yang mencakup
strategi-strategi sebagai manajemen diri sebagai kekuatan spiritual yang
kita miliki. Sebagai sebuah kekuatan spiritual, penerimaan diri membantu
meyakinkan setiap orang untuk lebih mengenali dirinya sendiri seperti
perilakunya, kepribadian, kebiasaan sehari-hari, serta kekurangan-
kekurangan yang ada pada dirinya sebagai untuk mengatasi masalah
hidup. Dengan mengenali diri lebih mendalam akan memberi ruang
terhadap individu untuk memperbaiki kehidupannya, agar lebih
memahami bahwa dirinya memiliki kompetensi (sistem) diri dan karakter
(manajemen) untuk meningkatkan kontrol diri dan mengembangkan
identitasnya. Perubahan tersebut ditandai dengan tidak membanding-
bandingkan diri sendiri dengan orang lain, mengakui adanya kebiasaan
baik dan buruk agar dapat meringankan perasaan tidak puas, benci, marah,
atau ketidakbahagiaan pada diri sendiri. Jadi yang dimaksudkan dengan
11
Hutchinson, G.T & Chapman, B.P. 2006. “Logotherapy Enhanced REBT: An Integration of
Discovery and Reason,” Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies. Vol. VI, Hal. 57-67.
Northern Arizona USA. Hal. 57-59.
8
penerimaan diri adalah menerima kekurangan dan prestasi sebagai
kekuatan untuk mengatasi masalah hidup. Dengan itu, penerimaan diri
berhubungan dengan komitmen diri terhadap kemampuan dan prestasi
yang dicapai, serta berani mengambil tanggung jawab terhadap suatu
kegagalan, kesalahan maupun kekurangan yang dimiliki.
3. KETEGASAN DIRI
Ketegasan diri merupakan standar yang mencakup standar bersikap,
standar berbicara, standar dalam mengatur, standar penampilan yang
berhubungan dengan karakter yang diinginkannya, juga berhubungan
dengan tujuan, nilai, dan prestasi yang ingin dicapai. Ketegasan diri
berhubungan dengan kemampuan memberdayakan spiritual yang ada
dalam diri, terkait sejumlah aspirasi, cita-cita, harapan, dan nilai-nilai yang
ingin di capai, dan itulah kekuatan spiritual yang dimiliki. Erol dan Ulrich
memaparkan hasil penelitian terhadap 7100 dewasa muda antara 14-30
tahun yang berkulit hitam, kulit putih dan hispanik.12 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Hispanik memiliki harga diri rendah yang tinggi
dibanding dengan kulit hitam dan berkulit putih karena berkarakteristik
antisosial, sulit untuk menghargai orang lain dan diri sendiri. Hispanik
mengalami kesenjangan nilai-nilai diri karena ketidakmampuannya secara
spiritual terkait sejumlah aspirasi, cita-cita, harapan tidak tercapai
mengatasi masalah-masalah yang bergejolak dalam dirinya, sehingga
karakteristik anti-sosial merupakan proyeksi terhadap dirinya.
4. TUJUAN HIDUP
Tujuan hidup merupakan seperangkat nilai komitmen diri (self
commitment), melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah guna
mencapai makna dan tujuan hidupnya. Tujuan hidup mencerminkan
pribadi setiap individu yang mempunyai harkat dan martabat untuk
mencapai makna hidup dan penghargaan atas dirinya. Tujuan hidup
12
Erol, R.Y & Ulrich, O. 2011. “Self-Esteem Development From Age 14 to 30 Years: A Longitudial
Study,” Journal of Personality and Social Psychologycal. Vol. 101, No. 3. Hal. 607-608.
9
mencerminkan figur pribadi setiap individu yang mempunyai harkat dan
martabat unuk mencapai makna hidup dan penghargaan atas dirinya.
Pemaknaan hidup yang berhasil dihayati pribadi setiap individu dengan
memaknai penderitaan tersebut, merupakan suatu proses pencapaian
tujuan hidup dan penghargaan atas dirinya.
13
Esping. 2010. “International Case Study of Graduate School as Logotheraphy for an Ph.D
Student Studying in United States,” International Journal of Existential Psychology and
Psychotherapy. College of Education: Texas Christian University. Vol. 3, No. 2. Hal. 2-3.
10
6. INTEGRITAS DIRI
Integritas diri adalah penghargaan dan nilai diri yang berhubungan dengan
kepribadian, cara pribadi setiap individu memandang dirinya memiliki
dampak terhadap perkembangan psikologisnya. Beyrer mengungkapkan
bahwa eksploitasi seksual terhadap para perempuan korban trafficking
berdampak pada kehamilan korban, infertility sebagai akibat infeksi kronis
menular seksual yang tidak diobati, gagal bahkan melakukan aborsi telah
menghancurkan integritas diri dan hilangnya kepercayaan diri. Dengan itu,
integritas diri berhubungan dengan keutuhan dalam kemampuan berpikir,
bersikap dan berperasaan secara tulus, jujur dan benar.
1. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa
memiliki misi dalam hidup.
2. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif
dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-
nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-
nilai material, serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan
seseorang, diri sendiri, dan semua orang.
3. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup
kesadaran akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan
orang lain.
4. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam
hidup adalah suci.
11
Dalam buku Spirituality in Older Adults: A Cross-Cultural and Interfaith
Perspective yang ditulis oleh Homer Jernigan menjelaskan spiritualitas adalah
sebuah aspek kognitif yang berpusat pada kehidupan individu dan kelompok
untuk menemukan sebuah makna, nilai-nilai, dan hubungan yang diyakni
menciptakan kehidupan yang layak, lebih berharga, bahkan kematian yang lebih
bermakna.14 Hal tersebut didasarkan pada tradisi budaya dan agama yang
mempengaruhi pola makna, nilai-nilai, dan hubungan sekitar individu, keluarga,
dan masyarakat. Definisi ini mengacu pada bentuk dari tradisi budaya dan agama,
serta substansi yang berhubungan dengan energi kehidupan yang mencakup
pikiran, perasaan, tindakan dan karakter pribadi setiap individu maupun
kelompok. Dillon percaya bahwa baik spiritual, spiritualitas maupun agama
mempunyai hubungan dengan sesuatu yang Transenden.15 Spiritual adalah
dorongan dari dalam diri guna memenuhi kebutuhan dasar transenden,
spiritualitas merupakan kualitas hidup dalam realitas dunia nyata yang bersumber
dari spiritual sedangkan agama adalah sistem doktrin, institusi, dan praktek yang
merupakan perwujudan spiritual.
14
Homer Jernigan. 2001. Spirituality in Older Adultas: A Cross-Cultural and Interfaith Perspective.
Pastoral Psychology. Vol. 49, No. 6. Hal. 418-419.
15
Dillon, JJ, Book review of psychological studies on spiritual and religious development: The case
of religion, Vol. 2 (edited by Reich, K.H, Oser, F.K., and Scarlett, W.G). in The iternational Journal
For The Psychology of Religion, 13 (1) (2003): Hal. 69 – 72.
16
David Rousseau. 2014. A System Model of Spirituality: Self, Spirituality, and Mysticism. The
Joint Publication Board of Zygon. Vol. 49, No. 2. Hal. 481.
12
(1) Spiritualitas lebih mengarah pada pada realitas transenden yang
merupakan kesadaran yang mendasar dan sudah ada di dalam diri manusia.
(3) Spiritualitas bukan hanya terbatas pada sikap batin saja, tetapi tentunya
juga harus nyata terlihat dalam suatu perilaku, gaya hidup, atau yang berhubungan
dengan mentalitas seseorang, perjumpaan dengan realitas dunia nyata, agar terjadi
tranformasi, kesadaran diri, pengenalan, dan hakikat diri.17
13
sikap dan menjaga jarak terhadap fenomena masalah yang dialaminya
(self-detachment).
d. Eksistensi yang menyatakan kualitas hidup, agar diterima dan dihargai
harkat martabatnya, supaya pribadi setiap individu ataupun kelompok
mengalami transformasi nilai dan modifikasi atau perbaikan sikap untuk
suatu perubahan yang lebih inovatif dan juga sebagai proses pencapaian
tujuan hidup.
e. Transformasi nilai sebagai kekuatan spiritual yang meyakinkan pribadi
setiap individu ataupun kelompok mengenai kemampuan mengembangkan
diri, melahirkan nilai-nilai sikap, bertumbuh dalam kekuatan dan
keyakinan diri dalam menghadapi rintangan.
f. Modifikasi atau perbaikan sikap yang bermanfaat serta bermakna bagi
orang lain dan lingkungan, juga dalam rangka memperbaiki hubungan
dengan sesama, menghargai dan menghormati diri sendiri, sehingga dapat
lebih bebas serta merasa aman dari adanya rasa kecemasan, ketakutan,
stress maupun depresi.
g. Tanggung jawab meningkatkan peran diri, yang mana berani menerima
kesalahan dan kegagalan sebagai pengembangan kualitas hidup untuk
meningkatkan nilai diri dan mengembangkan citra dirinya.
h. Integritas diri yang berkaitan dengan keutuhan dalam kemampuan
berpikir, berperasaan dan bersikap secara tulus, jujur dan benar.
Memperlihatkan kemampuannya terhadap aktualisasi diri dan aktualisasi
makna ke arah yang lebih positif, konstruktif, sehat dan dinamik, sehingga
mempunyai tujuan dan makna hidup yang jelas.
14
2.1 TITIK TEMU DAN TITIK PISAH ANTARA AGAMA DAN
SPIRITUALITAS
Hal ini didasari oleh tiga alasan yakni:19 pertama, karena pengalaman
agama seperti soal batin, subyektif, dan sangat individual sifatnya, Kedua, selalu
terdapat emosi yang melekat erat setiap adanya pembahasan mengenai arti agama,
sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, tujuan dari orang yang
memberikan definisi tersebut dapat mempengaruhi pada konsep tentang agama.
18
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 155-165.
19
Tadjab, Muhaimin, Abd. Mujib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Hal. 33.
15
Dari segi nilai-nilai keagamaaan, spiritualitas dan agama memiliki
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan
agama tampaknya memang tak dapat diartikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu
dalam nilai-nilai moral. Adapun nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai
utama (summum bonum) dalam setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada
nilai-nilai moral ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Murthada
Muthahhari, dorongan tersembunyi dalam diri manusia.
20
Franz Dahler, dan Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi.
Jakarta: Kanisius. Hal. 303.
16
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Dahler, Franz, dan Budianta, Eka. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut
Harapan Evolusi. Jakarta: Kanisius.
Lauterboom, Mariska, dkk. 2015. Buku Ajar Agama, Salatiga: Satya Wacana
University Press.
JURNAL
18
Existential Psychology and Psychotherapy. College of Education:
Texas Christian University. Vol. 3, No. 2.
19