Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PRESENTASI AGAMA

“AGAMA DAN SPIRITUALITAS”

Dosen Pengampu:
Pdt. Hananto Kusumo, S.IP., M.Si. Teol.

Oleh :
 Verlina Anggita Kartika Putri (232017076)
 Steppani (232017081)
 Ronaldo Luiz Nasario Sineri (372015024)
 Tantri Maria Anindita (372018802)
 Bhramita Cahya (372018803)
 Swastika Bangun Lembang (412017032)
 Natalia Kristianti (462018062)
 Jelmin Kristin Surat (462018074)

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA


KOTA SALATIGA
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang ................................... Error! Bookmark not defined.

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 5

2.1 Konsep Spiritualitas ............................................................................. 5

2.2 Titik Temu dan Titik Pisah Antara Agama dan Spiritualitas ............. 15

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama dan spiritualitas merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
sama lain. Jika agama bisa dikatakan sebagai landasan kita untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, maka spriritualitas merupakan sesuatu hal yang ada dalam diri
kita yang ingin mengenal lebih dekat dengan Tuhan untuk mencapai tujuan
hidupnya yang sesuai dengan ajaran yang telah dipercayai oleh kita sebagai
pengikut-Nya. Pada umumnya dalam mempelajari sebuah agama dan untuk
mendalami spiritualitas, ada tokoh-tokoh agamis yang diikuti oleh manusia agar
apa yang dia pelajari menjadi lebih konkrit.1 Misalnya dengan mengikuti jejak
para Nabi dan utusanNya yang secara langsung menyebarkan ajaran-ajaran yang
diturunkan oleh Tuhan, atau pemuka-pemuka agama yang dianggap lebih
memiliki spiritualitas lebih baik untuk membantu manusia dalam memahami
hakikat dari sebuah agama seara mendalam. Melalui tokoh-tokoh ini secara tidak
langsung dapat membantu meningkatkan kerohanian dan merubah gaya serta
pandangan hidup manusia dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi lebih
baik.

Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa penghayatan spiritualitas menjadi


tolak ukur seberapa dalam manusia mengenal Tuhannya. Dengan melakukan
penghayatan tersebut, seseorang yang beragama akan menjadi lebih spiritual
karena telah menghayati Roh Allah yang diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan latar belakang dan perannya dalam kehidupan.2 Sama
halnya ketika manusia menjalankan ibadah yang merupakan cara tersendiri dalam
menghayati konsep spiritualitas. Meskipun masih banyak pula manusia yang
belum memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran keyakinannya dalam
kehidupan sehari-hari tanpa benar-benar mendekatkan dirinya kepada Tuhan
secara spiritual.

1
Agus M. Hardjana. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas.Yogyakarta: Kanisius. Hal. 62.
2
Ibid.

3
Dalam makalah ini akan membahas secara mendalam mengenai makna
dan nilai-nilai dari agama dan spiritualitas. Seberapa penting sebuah agama bagi
manusia, dan sisi spiritualitas apa sajakah yang ditawarkan oleh sebuah agama
agar lebih dekat kepada Tuhannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah kami susun, adapun rumusan


masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep dari spiritualitas ?
2. Bagaimana titik temu dan titik pisah antara agama dengan spiritualitas?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Spiritualitas

Dalam buku yang berjudul “Buku Ajar Agama”, disebutkan bahwa kata
spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata tersebut berasal dari
bahasa Latin, yaitu spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus juga dapat
mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan, sehingga kemudian
spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Kata spiritual sendiri bisa
diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan
bergerak.

Berikut ini adalah beberapa pendapat dari para ahli mengenai spiritualitas:

1. Menurut pandangan Swidler, spiritual mengacu pada makna interior atau


internal kemanusiaan.3
2. Selain itu, Stoyles memahami spiritualitas sebagai kapasitas dan keunikan,
yang mendorong seseorang untuk bergerak melampaui diri sendiri,
mencari makna dan menyatu dalam keterkaitannya dengan dunia nyata.
Dengan kata lain, spiritualitas berarti mencari dan mengenali hubungan
antara diri dan orang lain, dan menganggap hubungan ini sebagai
ungkapan gerakan keluar dari batin dan diri sendiri untuk mencari makna
dalam realitas kehidupan (pengalaman transenden).4
3. Menurut pandangan Darmaputera, dalam hubungannya dengan belief
system, ia berpendapat bahwa spiritualitas merupakan suatu komitmen
religius, tekad, dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Oleh
karena itu Darmaputera mengartikan spiritualitas itu dengan pengalaman
agama.5

3
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hal.
72.
4
Ibid.,hlm. 72-73.
5
Ibid.,hlm. 73.

5
4. Sementara itu, Roussseau melihat spiritualitas adalah sebagai pencarian
pribadi untuk memahami jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan yang
ada, mengenai kehidupan, makna hidup, dan pengalaman transenden.6
5. Swidler (2014:374) memahami agama dari akar kata Latin “re-ligare”
yang artinya adalah pemahaman mengenai makna akhir dari kehidupan,
hal tersebut didasarkan pada gagasan dan pengalaman transenden
seseorang. Agama sendiri merupakan sistem yang terorganisir dari
keyakinan, praktik, ritual, dan simbol-simbol yang dirancang untuk
memfasilitasi kedekatan transenden, dan untuk mendorong pemahaman
tentang hubungan serta tanggung jawab seseorang kepada orang lain
dalam komunikasi hidup bersama di dalam komunitas. Oleh karena itu,
setiap agama mengandung empat “C”, yaitu: Creed, Code, Cult, and
Community-structure: 1) Creed mengarah pada aspek kognitif agama yang
menjelaskan mengenai makna akhir dari kehidupan; 2) Code adalah
perilaku atau etika yang mencakup segala aturan dan kebiasaan dari
tindakan manusia; 3) Semetara Cult berarti semua kegiatan ritual dan
devosional yang berhubungan dengan kepercayaan yang transenden,
seperti doa, kebiasaan ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan,
dll; 4) Sementara Community-structure mengarah kepada hubungan antara
orang-orang beragama; ini bisa bervariasi, dari hubungan yang sangat
egaliter, melalui sebuah ‘struktur seperti presbiterian, conggrational,
monarki dan lain-lain. Oleh arena itu, Swidler memahami agama sebagai
makna eksterior atau eksternal kemanusiaan.7

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa spiritual merupakan energi kehidupan yang mengarah pada
makna interior atau internal kemanusiaan, sedangkan agama adalah sebagai
makna eksterior atau eksternal kemanusiaan. Dimana spiritualitas berhubungan
dengan pengalaman religius sebagai pengalaman yang Transenden, sedangkan
agama juga merupakan pengalaman transenden, sehingga dalam hubungannya

6
Ibid.,
77
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Hal. 73-74.

6
dengan belief system, spiritualitas adalah agama. Oleh karena itu, baik spiritualitas
maupun agama merupakan representasi dari spiritual.8

Sebagai ukuran (kadar) spiritual yang mempengaruhi kebutuhan dasar


manusia, maka menurut Engel, secara filosofi, perkembangan spiritual seseorang
dapat dideskripsikan sebagai berikut:9

1. KESADARAN DIRI
Kesadaran diri merupakan pemberdayaan untuk suatu perubahan sikap dan
perilaku sehat. Pemberdayaan tersebut berhubungan dengan pendidikan
yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menciptakan ide, karya,
membuat keputusan dan kemampuan untuk mengatasi masalah. Dimana
kemampuan untuk mengatasi masalah membutuhkan kesadaran diri
sebagai proses pendidikan dalam rangka melakukan suatu perbaikan untuk
meningkatkan intelegensi diri dengan tujuan sebagai berikut: (1)
Meningkatkan prestasi (akademik dan non akademik) yang berhubungan
dengan pilihan untuk belajar mengendalikan diri, percaya diri, regulasi dan
manajemen diri agar memperoleh kesuksesan di masa depan.
Berhubungan dengan tujuan ini, terdapat hasil penelitian yang dipaparkan
oleh Joshi dan Srivastava terhadap 200 remaja kota dan 200 remaja desa
dari Kabupaten Varanasi dengan usia 12 sampai 14 tahun, Di mana
terdapat perbedaan signifikan yang berkaitan dengan pencapaian akademik
remaja pedesaan yang cenderung mengalami harga diri rendah
dikarenakan permasalahan pendidikan, baik formal maupun non-formal
dalam keluarga.10 Oleh karena itu, kesadaran diri diperlukan sebagai suatu
pemberdayaan untuk perubahan sikap dan perilaku sehat, dalam rangka
meningkatkan prestasi akademik dan non-akademik. (2) Mengembangkan
kepercayaan diri untuk mempertahankan eksistensi diri, meningkatkan
komunikasi yang produktif, eksplorasi diri, penerimaan sosial (reputasi
8
Ibid, hlm. 74.

9
Mariska Lauterboom, dkk. 2015. Buku Ajar Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hal.
76.
10
Joshi, S & Srivastava. 2009. “Self-Esteem Achievement of Adolescents: Journal of The Indian
Academy of Applied Psychology”. Vol. 35. Special Issue. Banaras Hindu University, Varanasi. Hal.
33-34.

7
diri) serta pola hidup yang positif dan konstruktif. Berkaitan dengan tujuan
ini, menurut pandangan Hutchinson dan Chapman, pendekatan
eksistensial, eksplorasi, yang berorientasi proses, dengan fokus utama
pada spiritualitas dan makna hidup, dapat memberdayakan manusia untuk
mengatasi keadaan yang paling luar biasa dalam hidup dan bertindak
untuk pengalaman manusia yang unik seperti sukacita, rasa bersalah, dan
penemuan makna yang bersumber pada kepercayaan diri untuk
mengembangkan kesadaran dirinya.11 Kesadaran diri menjadi lebih
signifikan dengan adanya pendekatan ekplorasi diri guna mengeksplor
hubungan, kebiasaan, pola berpikir, perasaan, perilaku, pilihan, dan
pengalaman yang telah menjadi sumber dalam diri pribadi.

2. PENERIMAAN DIRI
Definisi penerimaan diri dalam buku ini dijelaskan sebagai pengenalan
dan bentuk pengembangan diri menjadi pribadi yang utuh, berprestasi dan
memiliki kemampuan. Dalam hal ini pengenalan dan pengembangan diri
masih berhubungan dengan regulasi sistem dalam diri yang mencakup
strategi-strategi sebagai manajemen diri sebagai kekuatan spiritual yang
kita miliki. Sebagai sebuah kekuatan spiritual, penerimaan diri membantu
meyakinkan setiap orang untuk lebih mengenali dirinya sendiri seperti
perilakunya, kepribadian, kebiasaan sehari-hari, serta kekurangan-
kekurangan yang ada pada dirinya sebagai untuk mengatasi masalah
hidup. Dengan mengenali diri lebih mendalam akan memberi ruang
terhadap individu untuk memperbaiki kehidupannya, agar lebih
memahami bahwa dirinya memiliki kompetensi (sistem) diri dan karakter
(manajemen) untuk meningkatkan kontrol diri dan mengembangkan
identitasnya. Perubahan tersebut ditandai dengan tidak membanding-
bandingkan diri sendiri dengan orang lain, mengakui adanya kebiasaan
baik dan buruk agar dapat meringankan perasaan tidak puas, benci, marah,
atau ketidakbahagiaan pada diri sendiri. Jadi yang dimaksudkan dengan

11
Hutchinson, G.T & Chapman, B.P. 2006. “Logotherapy Enhanced REBT: An Integration of
Discovery and Reason,” Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies. Vol. VI, Hal. 57-67.
Northern Arizona USA. Hal. 57-59.

8
penerimaan diri adalah menerima kekurangan dan prestasi sebagai
kekuatan untuk mengatasi masalah hidup. Dengan itu, penerimaan diri
berhubungan dengan komitmen diri terhadap kemampuan dan prestasi
yang dicapai, serta berani mengambil tanggung jawab terhadap suatu
kegagalan, kesalahan maupun kekurangan yang dimiliki.

3. KETEGASAN DIRI
Ketegasan diri merupakan standar yang mencakup standar bersikap,
standar berbicara, standar dalam mengatur, standar penampilan yang
berhubungan dengan karakter yang diinginkannya, juga berhubungan
dengan tujuan, nilai, dan prestasi yang ingin dicapai. Ketegasan diri
berhubungan dengan kemampuan memberdayakan spiritual yang ada
dalam diri, terkait sejumlah aspirasi, cita-cita, harapan, dan nilai-nilai yang
ingin di capai, dan itulah kekuatan spiritual yang dimiliki. Erol dan Ulrich
memaparkan hasil penelitian terhadap 7100 dewasa muda antara 14-30
tahun yang berkulit hitam, kulit putih dan hispanik.12 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Hispanik memiliki harga diri rendah yang tinggi
dibanding dengan kulit hitam dan berkulit putih karena berkarakteristik
antisosial, sulit untuk menghargai orang lain dan diri sendiri. Hispanik
mengalami kesenjangan nilai-nilai diri karena ketidakmampuannya secara
spiritual terkait sejumlah aspirasi, cita-cita, harapan tidak tercapai
mengatasi masalah-masalah yang bergejolak dalam dirinya, sehingga
karakteristik anti-sosial merupakan proyeksi terhadap dirinya.

4. TUJUAN HIDUP
Tujuan hidup merupakan seperangkat nilai komitmen diri (self
commitment), melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah guna
mencapai makna dan tujuan hidupnya. Tujuan hidup mencerminkan
pribadi setiap individu yang mempunyai harkat dan martabat untuk
mencapai makna hidup dan penghargaan atas dirinya. Tujuan hidup

12
Erol, R.Y & Ulrich, O. 2011. “Self-Esteem Development From Age 14 to 30 Years: A Longitudial
Study,” Journal of Personality and Social Psychologycal. Vol. 101, No. 3. Hal. 607-608.

9
mencerminkan figur pribadi setiap individu yang mempunyai harkat dan
martabat unuk mencapai makna hidup dan penghargaan atas dirinya.
Pemaknaan hidup yang berhasil dihayati pribadi setiap individu dengan
memaknai penderitaan tersebut, merupakan suatu proses pencapaian
tujuan hidup dan penghargaan atas dirinya.

5. TANGGUNG JAWAB DIRI


Tanggung jawab diri adalah nilai-nilai sikap untuk mengembangkan
evaluasi diri seimbang. Nilai-nilai sikap berhubungan dengan kemampuan
pribadi setiap individu melakukan instropeksi diri dalam rangka
penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang inovatif, sehingga terjadi
modifikasi sikap dalam diri pribadi setiap individu. Esping melakukan
penelitian tentang pengalaman Lorena, seorang mahasiswa internasional
yang sedang mengejar gelar Ph.D. di Amerika Serikat, menunjukkan
bahwa modifikasi sikap sebagai suatu pendekatan psikoterapi dapat
memfasilitasi Lorena menemukan makna hidup dalam rangka
menyelesaikan studinya melalui nilai kreatif, nilai pengalaman, dan nilai
sikap secara bersamaan, yang berfokus pada reorientasi terhadap nilai-nilai
sikap seseorang.13 Tanggung jawab diri memungkinkan pribadi setiap
individu untuk memperbaiki kebutuhan keluarga dan meningkatkan peran
diri, dengan indikatornya adalah memahami tugas dan tanggung jawab diri
agar terhindar dari konflik peran, bekerja tepat waktu, tanpa harus
mengabaikan tanggung jawabnya dalam melayani suami/istri, mendidik
anak, demikian juga tanggungjawab dalam masyarakat. Di sisi lain,
pribadi setiap individu harus berani mengambil tanggung jawab atas
kelalaian, kegagalan dan kesalahan dalam kehidupannya sendiri, mampu
berbicara dan bertindak dari keyakinan diri sebagai pengembangan
kualitas hidup, dan memiliki arah serta tujuan hidup yang jelas.

13
Esping. 2010. “International Case Study of Graduate School as Logotheraphy for an Ph.D
Student Studying in United States,” International Journal of Existential Psychology and
Psychotherapy. College of Education: Texas Christian University. Vol. 3, No. 2. Hal. 2-3.

10
6. INTEGRITAS DIRI
Integritas diri adalah penghargaan dan nilai diri yang berhubungan dengan
kepribadian, cara pribadi setiap individu memandang dirinya memiliki
dampak terhadap perkembangan psikologisnya. Beyrer mengungkapkan
bahwa eksploitasi seksual terhadap para perempuan korban trafficking
berdampak pada kehamilan korban, infertility sebagai akibat infeksi kronis
menular seksual yang tidak diobati, gagal bahkan melakukan aborsi telah
menghancurkan integritas diri dan hilangnya kepercayaan diri. Dengan itu,
integritas diri berhubungan dengan keutuhan dalam kemampuan berpikir,
bersikap dan berperasaan secara tulus, jujur dan benar.

Kepribadian yang ada dalam setiap individu tersebut diharapkan mampu


menyadari bahwa nilai-nilai tersebut jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
akan membawa dampak yang lebih positif untuk mengurangi kecemasan dan
ketakutan, perubahan sikap menjadi lebih positif, sehat, konstruktif, dan dinamis,
memiliki tujuan dan makna hidup yang lebih jelas, sehingga tercipta transfer of
meaning dalam kehidupannya.

Ada empat aspek dalam spiritualitas sebagaimana dijelaskan oleh Smith


(1994) berikut:

1. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa
memiliki misi dalam hidup.
2. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif
dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-
nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-
nilai material, serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan
seseorang, diri sendiri, dan semua orang.
3. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup
kesadaran akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan
orang lain.
4. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam
hidup adalah suci.

11
Dalam buku Spirituality in Older Adults: A Cross-Cultural and Interfaith
Perspective yang ditulis oleh Homer Jernigan menjelaskan spiritualitas adalah
sebuah aspek kognitif yang berpusat pada kehidupan individu dan kelompok
untuk menemukan sebuah makna, nilai-nilai, dan hubungan yang diyakni
menciptakan kehidupan yang layak, lebih berharga, bahkan kematian yang lebih
bermakna.14 Hal tersebut didasarkan pada tradisi budaya dan agama yang
mempengaruhi pola makna, nilai-nilai, dan hubungan sekitar individu, keluarga,
dan masyarakat. Definisi ini mengacu pada bentuk dari tradisi budaya dan agama,
serta substansi yang berhubungan dengan energi kehidupan yang mencakup
pikiran, perasaan, tindakan dan karakter pribadi setiap individu maupun
kelompok. Dillon percaya bahwa baik spiritual, spiritualitas maupun agama
mempunyai hubungan dengan sesuatu yang Transenden.15 Spiritual adalah
dorongan dari dalam diri guna memenuhi kebutuhan dasar transenden,
spiritualitas merupakan kualitas hidup dalam realitas dunia nyata yang bersumber
dari spiritual sedangkan agama adalah sistem doktrin, institusi, dan praktek yang
merupakan perwujudan spiritual.

Sementara Roussseau menjelaskan spiritualitas menjadi sebuah pencarian


makna dan tujuan hidup, sebagai energi hidup yang menghidupkan, sedangkan
agama sebagai pengalaman transenden dalam kehidupan nyata untuk menemukan
makna hidup.16 Heuken menyatakan bahwa “spiritualitas dapat disebut sebagai
cara mengamalkan seluruh kehidupan yang mengacu pada kualitas hidup yang
meliputi cinta, moralitas, apresiasi terhadap alam, kebaikan, dan kesalehan.
Dimana agar hal tersebut dapat tercapai, terdapat beberapa hal yang menjadi
penekanan dalam spiritualitas itu sendiri, yaitu:

14
Homer Jernigan. 2001. Spirituality in Older Adultas: A Cross-Cultural and Interfaith Perspective.
Pastoral Psychology. Vol. 49, No. 6. Hal. 418-419.
15
Dillon, JJ, Book review of psychological studies on spiritual and religious development: The case
of religion, Vol. 2 (edited by Reich, K.H, Oser, F.K., and Scarlett, W.G). in The iternational Journal
For The Psychology of Religion, 13 (1) (2003): Hal. 69 – 72.
16
David Rousseau. 2014. A System Model of Spirituality: Self, Spirituality, and Mysticism. The
Joint Publication Board of Zygon. Vol. 49, No. 2. Hal. 481.

12
(1) Spiritualitas lebih mengarah pada pada realitas transenden yang
merupakan kesadaran yang mendasar dan sudah ada di dalam diri manusia.

(2) Spiritualitas membawa pada perubahan menyeluruh kepribadian


seseorang, pengenalan atau kesadaran yang lebih utuh mengenai dirinya.

(3) Spiritualitas bukan hanya terbatas pada sikap batin saja, tetapi tentunya
juga harus nyata terlihat dalam suatu perilaku, gaya hidup, atau yang berhubungan
dengan mentalitas seseorang, perjumpaan dengan realitas dunia nyata, agar terjadi
tranformasi, kesadaran diri, pengenalan, dan hakikat diri.17

Berdasarkan pemaparan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa


spiritualitas menggambarkan kualitas hidup yang mencakup tanggung jawab,
kesejahteraan dan kesehatan spiritual dalam berbagai pengalaman agama. Asumsi
tersebut berdasarkan pemahaman bahwa spiritualitas melampaui keagamaan,
kebudayaan, dan individu, yang berhubungan dengan kesejahteraan dan tanggung
jawab. Dalam hubungannya dengan spiritual, maka spiritualitas memberikan
kemampuan kepada pribadi setiap individu maupun kelompok untuk melakukan
transendensi diri dalam pengalaman religius dan budaya dengan tujuan:

a. Eksplorasi agar dapat memahami kemampuan dan keyakinan diri, untuk


mengeksplor hubungan, kebiasaan, pola berpikir, perasaan, perilaku,
pilihan, dan pengalaman yang telah menjadi sumber dalam diri pribadi
maupun kelompok.
b. Penerimaan agar dapat menerima kekurangan dan prestasi sebagai
kekuatan dalam mengatasi masalah hidup. Bertujuan untuk membantu
pribadi setiap individu ataupun kelompok agar dapat mengatasi dirinya
sendiri dan mengembangkan kekuatan dirinya untuk mengatasi derita atau
kesusahan yang dialaminya.
c. Ketegasan dalam hubungan dengan standar hidup dan ketahanan diri
dalam situasi apapun, dapat memenuhi kebutuhan penanganan yang
diperlukan pada tingkat ketegasan diri yaitu berperilaku dan bertindak
berdasarkan standar, aspirasi, tujuan dan kemampuan untuk mengambil
17
Heuken. 2002. Spiritualitas Kristen “Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad”.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hal. 12.

13
sikap dan menjaga jarak terhadap fenomena masalah yang dialaminya
(self-detachment).
d. Eksistensi yang menyatakan kualitas hidup, agar diterima dan dihargai
harkat martabatnya, supaya pribadi setiap individu ataupun kelompok
mengalami transformasi nilai dan modifikasi atau perbaikan sikap untuk
suatu perubahan yang lebih inovatif dan juga sebagai proses pencapaian
tujuan hidup.
e. Transformasi nilai sebagai kekuatan spiritual yang meyakinkan pribadi
setiap individu ataupun kelompok mengenai kemampuan mengembangkan
diri, melahirkan nilai-nilai sikap, bertumbuh dalam kekuatan dan
keyakinan diri dalam menghadapi rintangan.
f. Modifikasi atau perbaikan sikap yang bermanfaat serta bermakna bagi
orang lain dan lingkungan, juga dalam rangka memperbaiki hubungan
dengan sesama, menghargai dan menghormati diri sendiri, sehingga dapat
lebih bebas serta merasa aman dari adanya rasa kecemasan, ketakutan,
stress maupun depresi.
g. Tanggung jawab meningkatkan peran diri, yang mana berani menerima
kesalahan dan kegagalan sebagai pengembangan kualitas hidup untuk
meningkatkan nilai diri dan mengembangkan citra dirinya.
h. Integritas diri yang berkaitan dengan keutuhan dalam kemampuan
berpikir, berperasaan dan bersikap secara tulus, jujur dan benar.
Memperlihatkan kemampuannya terhadap aktualisasi diri dan aktualisasi
makna ke arah yang lebih positif, konstruktif, sehat dan dinamik, sehingga
mempunyai tujuan dan makna hidup yang jelas.

14
2.1 TITIK TEMU DAN TITIK PISAH ANTARA AGAMA DAN
SPIRITUALITAS

Spiritual merupakan energi dan kualitas hidup, sedangkan agama


merupakan pengalaman transenden. Hubungan antara spiritual, spiritualitas dan
agama adalah suatu kehidupan tentang pengalaman religius dari kapasitas
pencarian makna, nilai, dan tujuan hidup yang bersumber pada energi dan kualitas
kehidupan.18

Agama adalah kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran yang


bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Akan tetapi, definisi seperti ini masih
belum bisa disepakati oleh semua orang. Karena, adanya perbedaan cara
pandangan pada setiap orang dalam mendefinisikan arti dari kata agama tersebut.
Untuk mencari dan mengetahui pengertian agama yang sesungguhnya dan dapat
diterima oleh semua pihak atau penganut agama yang berbeda keyakinan sulit
sekali ditemukan.

Hal ini didasari oleh tiga alasan yakni:19 pertama, karena pengalaman
agama seperti soal batin, subyektif, dan sangat individual sifatnya, Kedua, selalu
terdapat emosi yang melekat erat setiap adanya pembahasan mengenai arti agama,
sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, tujuan dari orang yang
memberikan definisi tersebut dapat mempengaruhi pada konsep tentang agama.

Kemudian kaitannya dengan pengertian spiritualitas merangkum sisi-sisi


kehidupan rohaniah dalam dimensi yang cukup luas. Secara garis besarnya
spiritualitas merupakan cara berfikir, merasa, berdoa, dan berkarya dari bentuk
perwujudan dalam kehidupan rohani. Sejatinya kedamaian hidup bisa diwujudkan
melalui nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas hakekatnya adalah kepedulian lintas
agama, lintas ras, lintas bangsa, maupun lintas geografis. Jelasnya, spiritualitas
merupakan kepedulian lintas makhluk.

18
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 155-165.
19
Tadjab, Muhaimin, Abd. Mujib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Hal. 33.

15
Dari segi nilai-nilai keagamaaan, spiritualitas dan agama memiliki
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan
agama tampaknya memang tak dapat diartikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu
dalam nilai-nilai moral. Adapun nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai
utama (summum bonum) dalam setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada
nilai-nilai moral ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Murthada
Muthahhari, dorongan tersembunyi dalam diri manusia.

Pemahaman ini menunjukkan, bahwa sebenarnya spiritualitas adalah


potensi batini manusia. Sebagai potensi yang memberikan dorongan bagi manusia
untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak mengherankan bila
spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam setiap ajaran
agama. Dalam agama Hindu, misalnya spiritualitas itu terlukis dari
pernyataan Swami Vivekananda. Ia mengatakan: jika seorang mengenal Tuhan,
wajahnya, suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk
umat manusia.20

20
Franz Dahler, dan Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi.
Jakarta: Kanisius. Hal. 303.

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Secara garis besarnya spiritualitas merupakan cara berfikir, merasa,


berdoa, dan berkarya dari bentuk perwujudan dalam kehidupan rohani. Sejatinya
kedamaian hidup bisa diwujudkan melalui nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas
hakekatnya adalah kepedulian lintas agama, lintas ras, lintas bangsa, maupun
lintas geografis. Jelasnya, spiritualitas merupakan kepedulian lintas makhluk.

Dari segi nilai-nilai keagamaaan, spiritualitas dan agama memiliki


hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan
agama tampaknya memang tak dapat diartikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu
dalam nilai-nilai moral. Adapun nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai
utama (summum bonum) dalam setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada
nilai-nilai moral ini sudah ada dalam diri manusia.

Dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi terarah. Ada ajaran-


ajaran yang disampaikan oleh agama yang dapat kita lakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun mempelajari agama saja tidaklah cukup, karena sebagai umat
beragama pun kita perlu mendekatkan diri pada Tuhan sebagai Sang Pencipta itu
sendiri. Menghayati sebuah agama akan membawa kita pada pencapaian
spiritualitas, dimana kita akan semakin dekat dengan Tuhan dan mengimani hal-
hal tidak nampak lainnya sebagai bagian dari penghayatan spiritualitas. Manusia
yang beragama belum tentu ia mampu mencapai spiritualitas terhadap Tuhannya.
Tetapi manusia yang mempelajari agama dan menghayatinya maka bisa dikatakan
ia akan mampu mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari.

17
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dahler, Franz, dan Budianta, Eka. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut
Harapan Evolusi. Jakarta: Kanisius.

Engel, J. D. 2014. Nilai Dasar Logo Konseling. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas.Yogyakarta:


Kanisius.

Heuken. 2002. Spiritualitas Kristen “Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua


Puluh Abad”. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jernigan, Homer. 2001. Spirituality in Older Adultas: A Cross-Cultural and


Interfaith Perspective. Pastoral Psychology, Vol. 49, No. 6.

Lauterboom, Mariska, dkk. 2015. Buku Ajar Agama, Salatiga: Satya Wacana
University Press.

Tadjab, Muhaimin, Abd. Mujib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya:


Karya Abditama.

JURNAL

Dillon, JJ, Book review of psychological studies on spiritual and religious


development: The case of religion, Vol. 2 (edited by Reich, K.H,
Oser, F.K., and Scarlett, W.G). in The iternational Journal For The
Psychology of Religion, 13 (1) (2003).

Erol, R.Y & Ulrich, O. 2011. “Self-Esteem Development From Age 14 to 30


Years: A Longitudial Study,” Journal of Personality and Social
Psychologycal. Vol. 101, No. 3.

Esping. 2010. “International Case Study of Graduate School as Logotheraphy for


an Ph.D Student Studying in United States,” International Journal of

18
Existential Psychology and Psychotherapy. College of Education:
Texas Christian University. Vol. 3, No. 2.

Hutchinson, G.T & Chapman, B.P. 2006. “Logotherapy Enhanced REBT: An


Integration of Discovery and Reason,” Journal of Cognitive and
Behavioral Psychotherapies. Vol. VI, Hal. 57-67. Northern Arizona
USA.

Joshi, S & Srivastava. 2009. “Self-Esteem Achievement of Adolescents: Journal


of The Indian Academy of Applied Psychology”. Vol. 35. Special
Issue. Banaras Hindu University, Varanasi.

Rousseau, David. 2014. ”A Systems Model of Spirituality: Self, Spirituality, and


Mysticism,” The Joint Publication Board of Zygo. Vol. 49, No 2481.

19

Anda mungkin juga menyukai