Spiritual
Dosen Pengampu :
Kelompok 3 (5E)
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai pengaruh keluarga, sekolah,
lingkungan pergaulan serta media terhadap keberagamaan bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Syahidah Rena, M.Ed selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Psikologi Agama. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
dapat membantu menyempurnakan makalah ini.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pengalaman beragama
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan konversi keagamaan
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan dekovensi keagamaan dan transformasi spiritual
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
menyatakan bahwa pengalaman beragama adalah suatu pengalaman yang didapat manusia
pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang Maha Mutlak.
Stark (1965) mengemukakan konsep tenlang taksonomi pengalaman beragama dengan
membagi pengalaman beragama dalam empat tipe, yartu:
confirming
Di sini seseorang secara tiba-tiba mengetahui atau merasakan bahwa
keyakinannya adalah benar. Termasuk dalam tipe ini adalah pengalaman
seseorang tentang adanya suatu kesucian dan kesadaran akan kehadiran sesuatu
yang bersifat ketuhanan.
responsive
Di sini seseorang tidak hanya menyadari adanya kehadiran tentang sesuatu yang
bersifat keluhanan, tetapi orang tersebut juga merasakan bahwa Tuhan
memperhatikan dirinya. Termasuk dalam tipe ini adalah pengalaman merasa
sebagai orang yang terpilih dan diselamatkan (salvational). Pengalaman
intervensi Tuhan terhadap kehidupan keduniaan seseorang (miraculous) dan
pengaiaman intervensi Tuhan untuk menghukum atau mencegah seseorang
berbuat kesalahan (sanctitioning).
ecstatic
Dalam tipe ini seseorang mendapatkan pengalaman keintunan dalam
berkomunikasi dengan Tuhan. Seseorang tidak hanya merasa terpitih, tetapi
dipenunt rasa cinta pada Tuhan. Pengalaman ini brasanya disertai dengan kondisi
psikis tertentu dan manifestasi tertentu. Misalnya perasaan bergelora, bahagia,
damai, dan sebagainya.
revelational
Di sini seseorang tidak hanya terpilih dan cinta kepada Tuhan, tetapt dia menjadi
utusan Tuhan. Pengalaman pada umumnya hanya dimiliki oleh orang-orang yang
dianggap Nabi oleh agama tertentu.
Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau – the farthest
reaches of human nature. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai
oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual.
4
Pengalaman spiritual ini merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow
menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia, going
beyond humanness, identity, self-actualization, and the like. Berdasarkan penjelasan yang
sudah dijelaskan, pengalaman spiritual adalah pengalaman akan kejadian yang berhubungan
dengan spiritualitas, yaitu kejadian seseorang yang mengembalikan seseorang pada diri yang
sebenarnya.
5
hither devide, and consciously right superior and happy, in consequence of its fitmer
hold upon religious realities.
Yang dimaksud dalam kutipan di atas memuat beberapa pengertian. Pertama, adanya
perubahan arah pandang dan keyakinan seseorang terhadap kepercayaan dan agama yang
dianutnya. Kedua, perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. Ketiga, perubahan tersebut bukan hanya
berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk
perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. Keempat, selain factor
kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktorr petunjuk dari
Yang Maha kuasa.
6
7) Faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
Manurut bidang psikologi bahwa yang mendorong terjadinya konversi agama adalah
faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor-faktor intern maupun faktor ektern. Faktor-
faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan
semacam gejala tekanan batin, makan akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu
ketenangan batin. Dalam uraian James (dalam Jalaluddin, 2015) yang berhasil meneliti
pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama, menyimpulkan sebagai berikut:
a. Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat
kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu
ide yang bersemi secara mantap.
b. Konversi dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu
proses) Dengan menggunakan istilah yang dikemukakan oleh Starbuck, maka James
(dalam Jalaluddin, 2015) membagi konversi agama menjadi dua tipe, yaitu:
1) Tipe Volitional (perubahan bertahap).
Konversi agam pada tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit,
sehingga menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru.
2) Tipe Self-Surrender (perubahan drastis)
Konversi agama pada tipe ini adalah konversi yang terjadi secara
mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah
pendirian terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan inipun terjadi dari
kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dan tidak percaya terhadap suatu
agama menjadi percaya dan sebagainya.
Masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama terjadi karenya ingin melepaskan
diri dari tekanan batin. Adapun faktor yang melatar belakangi bisa dibagi menjadi dua yaitu
faktor internal dan eksternal
a. Faktor internal, yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi
kehidupan jiwa seseorang. Dalam penelitian William James (dalam Jalaluddin,
2015) ia menemukan, bahwa tipe melankolis yang memiliki kerentanan perasaan
lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
7
Faktor Pembawaan. Menurut penelitian Swanson (dalam Jalaluddin, 2015).
bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi
agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekana batin,
sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering
mengalami stres jiwa. Kondisinya yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu
banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
8
dasar struktural yang serupa, yaitu pergeseran ideologi, respon-respon emosional, dan transformasi
diri, namun inti dari kedua aspek ini berbeda. Barbour menemukan bahwa, meskipun proses
konversi dan dekonversi mungkin identik, namun narasi tentang orang yang bertobat dan yang
mendekonversi tidaklah sama.
Dekonversi adalah istilah yang relatif baru dalam psikologi agama (Streib et al. 2009).
Sebagai sebuah fenomena telah dikonseptualisasikan di bawah sejumlah definisi yang berbeda,
sehingga sulit untuk mengidentifikasi deskripsi yang jelas (Bromley 1988). Dekonversi secara
umum adalah kembalinya seorang hamba ke agama pertamanya setelah memeluk suatu agama.
dekonversi dijelaskan sebagai hilangnya keyakinan religius (Barbour, 1994). Oleh karena itu,
gerakan menjauhi agama pada hakikatnya adalah gerakan menuju sekularitas. Dalam karyanya
yang meneliti hilangnya iman, John Barbour menyatakan bahwa “Dalam satu hal, setiap
pertobatan adalah dekonversi, dan setiap dekonversi adalah pertobatan”. Barbour sampai pada
pemahaman ini sudah dapat mengidentifikasi empat karakteristik yang ada di sebagian besar
dekonversi.
Barbour mengidentifikasi empat kriteria dekonversi yang muncul dalam banyak kasus:
9
yang mengalami dekonversi, Barbour (1994) berpendapat bahwa ada empat dimensi yang
terlibat dalam proses tersebut: keraguan intelektual mengenai sistem kepercayaan; kritik
moral terhadap cara hidup; stres dan penderitaan emosional; dan penolakan komunitas
individu sebelumnya.
Streib et al. (2009) juga menjabarkan lima karakteristik dari dekonversi :
1) Hilangnya pengalaman-pengalaman religius yang spesifik,
2) Adanya keraguan, penyanggahan, ketidaksetujuan terhadap beberapa keyakinan religius,
3) Kritik moral
4) Penderitaan emosional,
5) Disafiliasi dari perkumpulan religius (Streib, Jr., Keller, Csoff,& Silver, 2009).
10
Tuhan/dewa-dewi (Stenger, 2009). Ketidaksesuaian pada apa yang individu yakini benar dan
perilaku bisa menyebabkan adanya disonansi kognitif. Disonansi kognitif merupakan teori
yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1957) mengenai perasaan tidak nyaman yang
dirasakan seseorang ketika ada dua kognisi (kepercayaan, sikap) yang bertolak belakang,
atau ketika perilaku kita bertolak belakang dengan apa yang diyakini (Festinger, 1957).
2. Alasan relasional. Ketidakyakinan pada keberadaan Tuhan/dewa-dewi dapat mencerminkan
sikap terhadap karakteristik atau perilaku yang individu anggap dimiliki oleh Tuhan/dewa-
dewi. Orang-orang cenderung melihat Tuhan/dewa-dewi sebagai wujud yang relasional, di
mana individu dapat memiliki human-like relationship (Granqvist & Kirkpatrick, 2013). Di
penelitian yang dilakukan oleh Exline dkk (2018), ditemukan bahwa alasan-alasan relasional
seperti pengalaman, keyakinan, rasa aman, atau cinta yang difokuskan pada Tuhan
merupakan hal-hal yang paling menguatkan keyakinan akan adanya Tuhan. Bradley (2017)
juga menemukan bahwa sejumlah ateis memiliki alasan relasional terhadap ketidakyakinan
mereka, termasuk mengalami perasaan marah, kecewa, atau tidak percaya terhadap Tuhan
yang tadinya dipercaya ada, atau menganggap Tuhan sebagai sosok yang kejam dan suka
menghukum. Dikarenakan banyak dari ateis sempat memercayai adanya Tuhan/dewa-dewi
pada satu titik dalam hidup mereka (Kosmin, Keysar, Cragun, & Navarro-Rivera, 2009).
3. Sosialisasi mengenai agama pada masa lalu dan sekarang. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Hunsberger dan Altmeyer (2006) ditemukan bahwa jika dibandingkan dengan orang-
orang yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, ateis tidak banyak mengalami penekanan
dalam hal agama ketika dibesarkan. Survey lainnya menunjukkan bahwa 27% orang yang
tidak beragama memiliki setidaknya satu orang tua yang non-relijius (Kosmin, Keysar,
Cragun, & Navarro-Rivera, 2009). Penemuan-penemuan tersebut tidak dapat memastikan
apakah caregivers dari orang yang menjadi ateis secara aktif mendorong para ateis untuk
tidak memercayai adanya Tuhan/dewa-dewi atau keyakinan relijius lainnya. Meskipun
begitu, ada beberapa pekerjaan yang digeluti oleh orang-orang yang cenderung memiliki
pandangan negatif terhadap agama (Ecklund & Park, 2009) seperti ilmuwan, yang akhirnya
memberikan tekanan sosial menuju ketidakyakinan pada Tuhan/dewa-dewi. Tekanan sosial
bisa menjadi salah satu alasan ketidakyakinan, karena memberikan pengaruh secara bawah
sadar (Bond & Smith, 1996).
11
4. Anti-agama. Pengalaman-pengalaman positif dengan orang-orang relijius dan institusi
relijius menumbuhkan keyakinan yang lebih tinggi terhadap adanya Tuhan/dewa-dewi dan
pengalaman-pengalaman negatif dapat menimbulkan ketidakyakinan terhadap Tuhan/dewa-
dewi. Contohnya, korban-korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama
menunjukkan tingkat keyakinan yang lebih rendah terhadap Tuhan (Rossetti, 1995).
Beberapa dari ateis menghabiskan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk melawan
persepsi negatif yang mereka miliki terhadap apa yang mereka anggap sebagai pengaruh
buruk dari ajaran agama pada masyarakat (Christina, 2012).
5. Intuitif. Tiap orang dapat mengambil keputusan, termasuk evaluasi terhadap klaim
kebenaran yang didasarkan pada faktor-faktor pra-sadar yang tidak dapat diartikulasi.
Faktor-faktor pra-sadar tersebut disebut sebagai intuisi (Dane & Pratt, 2007). Meskipun
begitu, proses-proses intuitif yang ada tidak selalu mengarah pada penilaian atau
pengambilan keputusan yang rasional, sehingga banyak orang kadang memberikan
penjelasan relasional yang berasal dari intuisi mereka (Cushman, Young, & Hauser, 2006).
6. Emosional. Emosi positif dan negatif dapat memengaruhi pemikiran sadar (Fridja,
Manstead, & Bem, 2000). Argumen-argumen menggunakan peripheral pathway bertujuan
untuk mengubah posisi emosional dan sikap terhadap suatu topik. Argumen peripheral
kadang lebih efektif daripada argumen-argumen menggunakan central pathway, yang
menggunakan fakta-fakta atau argumen rasional untuk mengubah keyakinan (Petty &
Cacioppo, 1984). Pada alasan ini, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa
ketidakyakinan pada Tuhan/dewa-dewi dapat mencerminkan pengaruh positif dari
ketidakyakinan atau pengaruh negatif dari keyakinan.
7. Agnostik. Ketidakyakinan agnostik melibatkan individu menjauhkan diri dari kedua sisi
keyakinan, baik ada atau tidak adanya Tuhan/dewa-dewi.
8. Eksistensial. Menurut Yalom (1980), manusia memiliki empat perhatian dasar terkait
keberadaan manusia: untuk menemukan arti, untuk merasa terhubung dengan manusia lain
dan alam semesta, untuk dapat menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari, dan untuk
menghadapi tanggung jawab dari perilaku yang dilakukan. Keyakinan atas adanya
Tuhan/dewa-dewi menarik karena dengan memiliki keyakinan dianggap dapat membantu
manusia dalam menghadapi keempat perhatian yang dimiliki. Bagi mereka yang memiliki
cara-cara lain untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ini dapat menganggap jika
12
pendekatan relijius tidak efektif, memilih untuk tidak menyelesaikan masalah-masalah ini,
atau tidak merasa terbebani oleh masalah-masalah tersebut, cenderung untuk tidak terlalu
percaya akan keberadaan Tuhan/dewa-dewi (Yalom, 1980).
C. Proses Dekonversi
Dekonversi terjadi melalui suatu proses keluarnya seorang individu dari perannya sebagai
penganut suatu keyakinan atau agama. Ditinggalkannya sebua peran, terutama ketika individu
telah memiliki peran tersebut sejak lahir, maka berpengaruh pada konsep diri individu. Konsep
diri yang didefenisikan sebagai identitas siri individu, sebuah skema yang terdiri dari sekumpulan
keyakinan dan perasaan mengenai dirinya sendiri (one’s sense of ‘me’ identityi) (Baron & Bryne,
1997).
Menurut penelitian Bridget And Fitzgerald (2003) mengenai dekonversi, individu melalui
tiga fase sebelum akhirnya memiliki identitas sebagai seorang ateis.
- Fase pertama adalah ketika individu mempertanyakan agamanya sendiri atau agama yang
paling familier bagi dirinya
- Fase kedua adalah ketika individu mulai meragukan signifikansi, legitimasi dan intensi dari
keagamaannya sebelum akhirnya menolak secara utuh.
- Fase ketiga adalah ketika individu mempertanyakan keberadaan Tuhan (Fitzgerald, 2003).
Role Exit adalah sebuah teori yang menjelaskan mengenai keluarnya individu dari
peran yang dimiliki dan peran tersebut adalah aspek penting dalam identitas diri individu
yang berkaitan dengan dekonversi religius. Role exit merupakan teori yang dikembangkan
oleh Helen Rose Fuchs Ebaugh pada tahun 1988. Ebaugh mendefenisikan role exit sebagai
suatu proses melepaskan diri dari suatu peran penting dari identitas diri dan penetapan
sebuah idenstitas dalam peran baru. Individu dapat keluar dari peran apapun dapat
disebabkan oelh dorongan dari luar maupun keinginan diri sendiri (Williams, 1989). Proses
keluarnya individu dari sebuah peran dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu keraguan
terhadap komitmen pada peran yang dimiliki, mencari dan mengevaluasi peran alternatif
yang ada, memutuskan untuk keluar dari peran, dan menciptakan dan beradaptasi pada
peran yang lama.
13
Perspektif dekonversi bergantung pada retorika krisis untuk menempatkan perjuangan
spiritual pada inti narasi, menekankan gerakan menjauh dari iman (Barbour; Chalfant; Harrold).
Destinasi ideologis seringkali ambigu atau tidak diketahui (Harrold). Kekecewaan dan
kekecewaan yang mendahului dekonversi memicu perasaan penolakan, keterasingan, kesedihan,
dan rasa bersalah (Adam; Harrold). Rekonstruksi biografi mengacu pada "metafora bermuatan
emosi" yang menyampaikan rasa sakit emosional dan menjadi dimasukkan ke dalam retorika krisis
dekonversi (Harrold 83; lihat juga Barbour). Penekanannya tetap pada hilangnya diri lama dan
semua ikatan agama sementara individu menegaskan kembali komitmen untuk mencari kebenaran,
moralitas, dan komunitas (Barbour; Harrold).
Heinz Streib dan rekan-rekannya telah memimpin di Universitas Bielefeld, Jerman, dalam
menjadikan dekonversi sebagai bidang penelitian yang diakui dalam studi sosial-ilmiah agama.
Penggunaan metode campuran memungkinkan perbandingan data kuantitatif dan kualitatif untuk
saling melengkapi dalam menjelaskan dinamika kompleks dekonversi dari kelompok agama yang
relatif baru (dalam budaya Jerman). Dari data kualitatif, Streib dan rekan-rekannya
mengidentifikasi empat jenis utama narasi dekonversi.
Ringkasan provokatif dari data kuantitatif mengungkapkan perbedaan budaya yang
menunjukkan bahwa dekonversi adalah proses yang berorientasi pada pertumbuhan bagi orang
Amerika, yang dalam penelitian ini mencari otonomi dan pertumbuhan pribadi (seperti yang
ditunjukkan oleh skor subskala yang lebih tinggi pada ukuran Ryff-Singer) dalam agama yang
lebih terbuka. “pasar.” Namun, untuk orang Jerman, dekonversi dikaitkan dengan skor yang lebih
rendah pada subskala Ryff-Singer yang mengukur penguasaan lingkungan, hubungan pribadi
dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri. Hasil gabungan menunjukkan bahwa bagi
orang Jerman, mengingat "pasar" agama Jerman yang lebih terbatas, dekonversi dapat dikaitkan
dengan status yang lebih bermasalah—mungkin menunjukkan krisis pribadi yang terkait dengan
dekonversi.
Proyek dekonversi Bielefeld yang dipimpin Streib sangat mirip dengan model konversi dan
transformasi spiritual Rambo (1993). Baik Streib dan Rambo menerima kompleksitas proses yang
terlibat dalam konversi, transformasi spiritual, dan dekonversi, dan menolak untuk menyatakan
satu narasi menyeluruh atau mekanisme kausal. Ini adalah semangat terbaik dari panggilan untuk
paradigma baru, di mana metode campuran merupakan salah satu komponen penting.
Beberapa Kemungkinan Proses Lintasan Dekonveri menurut Streib (2009) :
14
1. Jalan Keluar Sekulerisasi: penghentian (kepedulian terhadap) keyakinan dan praksis
agama dan, sebagai tambahan, disafiliasi dari agama yang terorganisir;
2. Jalan Keluar Oposisi: mengadopsi sistem kepercayaan yang berbeda dan terlibat dalam
praktik ritualistik yang berbeda, sementara berafiliasi dengan organisasi keagamaan yang
lebih bertegangan lebih tinggi, seperti konversi menjadi kelompok fundamentalis;
3. Perpindahan Agama: migrasi ke organisasi keagamaan dengan sistem kepercayaan dan
ritual yang serupa dan tanpa, atau hanya marjinal, perbedaan dalam hal integrasi;
4. Mengintegrasikan Keluar: mengadopsi sistem kepercayaan yang berbeda dan terlibat
dalam praktik ritualistik yang berbeda, sambil berafiliasi dengan organisasi keagamaan
yang terintegrasi atau lebih terakomodasi
5. Privatisasi Keluar: Tidak berafiliasi dari organisasi agama, akhirnya termasuk
penghentian keanggotaan, tetapi kelanjutan dari keyakinan agama pribadi dan praksis
agama pribadi
6. Keluar Sesat: Tidak berafiliasi dari organisasi keagamaan, yang pada akhirnya termasuk
penghentian keanggotaan, dan penyimpangan sesat individu dari sistem kepercayaan baru
atau keterlibatan dalam praksis agama yang berbeda tetapi tanpa afiliasi organisasi baru.
D. Transformasi Spiritual
Kata transformasi berasal dari dua kata ialah “Trans” dan “Form”. Trans yang berarti
melintas dari satu sisi ke sisi lainnya (across) atau melampaui (Beyond) dan kata form yang berarti
bentuk. Transformasi mengandung makna perubahan bentuk yang lebih dari sesuatu yang
bersangkutan (Poewordarminto, 1976). Sedangkan spiritual terbentuk dari kata dasar berbahasa
inggris yang merupakan “Spirit”, dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary istilah spirit lebih
diacukan terhadap makna jiwa, roh, soal ataupun tujuan atau makna yang hakiki. Dalam Bahasa
Arab spiritual dikaitkan dengan ruh dan manawi, dengan kata lain spiritual merupakan sesuatu
yang berada didalam diri individu yang sifatnya dapat berhubungan dengan ketuhanan dan
kepercayaan yang diyakini. Transformasi spiritual disisi lain juga merupakan salah satu istilah lain
yang kerap digunakan oleh para ahli dalam menggambarkan konsep pengertian dari konversi
agama itu sendiri. Transformasi spiritual digambarkan pada perubahan keyakinan dari suatu
individu ke aliran kepercayaan, kelompok gerakan spiritual ataupun gerakan kemanusiaan secara
umum.
15
Dalam Psychology of Religion (Ralph, Peter & Bernard., 2009) dikatakan bahwasannya
perubahan beragama individu sebelumnya disebut dengan “Konversi” sedangkan belakangan ini
perubahan beragama tersebut dinamakan dengan “Transformasi Spiritual”. Oleh karenanya,
transformasi spiritual lebih diungkapkan kedalam bahasa kegaamaan yang konvensional yang
berasosiasi dengan lembaga keagamaan. Oleh karenanya, transformasi spiritual lebih diungkapkan
kedalam bahasa kegaamaan yang konvensional yang berasosiasi dengan lembaga keagamaan.
Tranformasi spiritual juga merupakan suatu bentuk konversi yang berbentuk klasik. Transformasi
spiritual juga kerap diekspresikan kedalam bentuk bahasa agama yang nonkonvesional dan juga
kerap bertentangan dengan institusi keagamaan, hal ini terjadi apabila individu melakukan
dekonversi (Streib et al., 2009)
Transformasi spiritual dikaitkan dengan banyak gerakan keagamaan baru, serta dengan
dekonversi dari tradisi agama arus utama (Hood, 2003; Streib et al., 2009; Streib & Hood, 2016),
dan dibebaskan dari model konversi Protestan klasik yang mendominasi studi awal konversi
agama. Perbedaan konsep antara “spiritualitas” dan “agama” saat ini mendominasi sebagian besar
ilmu pengetahuan studi agama. Kebanyakan individu yang berada di negara Amerika Serikat
mengidentifikasikan diri meraka sebagai seseorang yang memiliki spiritual dan juga religius.
Meskipun mungkin ada tumpang tindih antara agama dan identifikasi diri spiritual, Schlenhofer,
Omotto, dan Adelman (2008) mencatat dalam studi kualitatif mendalam tentang orang dewasa
yang lebih tua bahwa spiritualitas adalah konsep yang lebih abstrak daripada agama dan mencakup
gagasan nonteistik tentang kekuatan yang lebih tinggi. Agama, di sisi lain, lebih erat terkait dengan
partisipasi masyarakat, keyakinan tertentu, dan praktik terorganisir.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan
yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah) karenanya
psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok
keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau masuk akal dan tidaknya
keyakinan agama. Pengalaman beragama akan menghantarkan perasaan tenang dan kelegaan
kepada seseorang, selepas orang tersebut melaksanakan ibadah, seperti shalat, dzikir dan
sebagainya.
Menurut Clark (dalam Darajat, 2015) konversi agama sebagai sutau macam
pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup
berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi,
konversi agama menunjukkan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba mendapat hidayah
Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal.
Perubahan tersebut dapat juga terjadi secara berangsur- angsur.
Dekonversi dan konversi adalah hal yang berbeda, dimana elemen yang ada didalam
kedua aspek ini secara kualitatif berbeda. Meskipun proses antara konversi dan dekonversi
memiliki dasar struktural yang serupa, yaitu pergeseran ideologi, respon-respon emosional,
dan transformasi diri, namun inti dari kedua aspek ini berbeda. Barbour menemukan bahwa,
meskipun proses konversi dan dekonversi mungkin identik, namun narasi tentang orang yang
bertobat dan yang mendekonversi tidaklah sama.
17
DAFTAR PUSTAKA
18