Anda di halaman 1dari 131

BUKU

BIMBINGAN KONSELING ISLAM

Di Susun Oleh :
KELOMPOK 2:

A.Faisal Basri Hrp


Annisa Fadillah Putri
Berli Animar
Devi Lestari
Dewi Alia Putri
Ego Andrian
Indri Aprima Saputri
Nadia Difa Aderta
Putri Purmawati
Rindi Yani
Uswatun Hasanah
Yunita Efendi

Dosen Pengampu :
SUCI HABIBAH, M.Pd.

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah
tercurah, sehingga penulis bisa menyelesaikan Buku Bimbingan Konseling Islam ini. Adapun
tujuan dari disusunnya buku ini adalah supaya para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana
cara membimbing dan berkonseling secara islami, terlepas apapun jurusan yang mereka
tempuh.

Tersusunnya buku ini tentu bukan dari usaha penulis seorang. Dukungan moral dan material
dari berbagai pihak sangatlah membantu tersusunnya buku ini. Untuk itu, penulis ucapkan
terima kasih kepada keluarga, sahabat, rekan-rekan, dan pihak-pihak lainnya yang membantu
secara moral dan material bagi tersusunnya buku ini.

Buku yang tersusun ini tentu masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diperlukan agar buku ini bisa lebih baik nantinya.

Pekanbaru, 14 Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 5
PENDAHULUAN 5
A. Latar Belakang 5
KONSEP DASAR BK ISLAMI 7
A. Definisi Bimbingan Konseling Islam 7
B. Konsep BK Islam dan Tekanan Perbedaannya dengan Bk Konvensional 10
C. Ruang Lingkup BKI 12
LANDASAN BK ISLAM 14
A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam 14
B. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam 15
C. Landasan Bimbingan Konseling Islam 16
SUBJEK DAN OBJEK BK ISLAMI 22
A. Siapa Subjek dalam Bk Islam 22
B. Objek BK Islam 26
C. Karakteristik Klien yang Islami 28
RUANG LINGKUP BK ISLAM 29
A. Ruang Lingkup dan Bimbingan Konseling Islami 29
B. Ruang Lingkup Bimbingan Konseling Islami 31
C. Ruang Lingkup dari Segi Sasaran dalam Bimbingan dan Konseling. 33
Ruang Lingkup Bki Menurut Para Ahli 33
HAKIKAT MANUSIA DAN 35
PROBLEMATIKANYA MENURUT AL-QUR”AN 35
A. Pengertian Haikat dan Manusia 36
B. Hakikat Manusia 38
C. Pengertian Problem Manusia 38
D. Problematika Manusia Menurut Al-Qur’an dan Konseling 39
FUNGSI DAN TUJUAN BK ISLAM 43
A. Pengertian Bimbingan Konseling Islam 43

3
B. Ciri-Ciri Bimbingan Konseling Islam 45
C. Tujuan Bimbingan Konseling Islam 45
D. Fungsi Bimbingan Konseling Islam 46
E. Urgensi Bimbingan Konseling Islam dalam Pembelajaran 47
AZAS BK ISLAM DAN PRINSIP-PRINSIP BK ISLAMI 49
A. Dasar dan Dimensi Bimbingan Konseling Islam 49
B. Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling Islam 52
C. Metode Bimbingan Konseling Islam 54
SYARAT, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB KONSELOR ISLAMI 58
A. Syarat Konselor Islami 58
KONSEP RASULULLAH SEBAGAI PROFIL KONSELOR TELADAN 63
A. Pengertian Konselor Profesional 63
B. Syarat-Syarat dan Kriteria Konselor Profesional 65
C. Rasulullah Sebagai Konselor Teladan/Profesional 68
D. Metode Pembelajaran Nabi Muhammad SAW. 72
ADAB PELAKSANAAN DAN KONSEP HUBUNGAN DALAM KONSELING ISLAMI
MENURUT AL-GHAZALI 74
A. Konseling Barat dan Konseling Islam 74
B. Konseling Islam 75
METODE DAN TEKNIK PENDEKATAN DALAM BK ISLAMI 81
A. Metode Bimbingan Konseling 81
B. Teknik-Teknik Bimbingan Konseling Islam 84
TEORI PSIKOANALISA TERINTEGRASI ISLAM, ADLER TERINTEGRASI ISLAM,
BEHAVIORISTIK TERINTEGRASI ISLAM, REALITAS TERINTEGRASI ISLAM, REBT
TERINTEGRASI ISLAM 89
A. Teori Psikoanalisa Terintegrasi Islam 89
B. Teori Behavioristik Teritegrasi Islam 96
C. Realitas Terintegrasi Islam 101
D. REBT Terintegrasi Islam 103

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Di awal kemunculan bimbingan dan konseling, istilah vocational guidance lebih
sering digunakan karena menunjukkan sisi bimbingan pekerjaan, karir, dan kejuruan.
Keberadaan bimbingan karir sebagai sebuah gerakan kultural sebenarnya telah dimulai
semenjak pertengahan abad ke 19. Zunker (2004) menyebutkan bahwa perkembangan
revolusi industri yang terjadi pada akhir tahun 1800-an memberikan dampak yang cukup
besar terhadap perubahan hidup dan pekerjaan masyarakat. Urbanisasi dari desa ke kota dan
serbuan para imigran yang semakin meningkat melahirkan berbagai masalah sosial yang
dihadapi oleh dunia modern. Isu-isu sosial seperti pengangguran, Pemutusan hubungan kerja,

5
peranan laki dan perempuan dalam pekerjaan, urbanisasi dan minimnya tenaga ahli menjadi
benang merah munculnya praktisi-praktisi sosial yang ingin mengabdikan dirinya untuk
membantu masyarakat dalam menghadapi kondisi sosial yang sedang terguncang. Di kancah
Internasional, paling tidak, praktik bimbingan konseling-dahulu lebih familiar dengan istilah
vocational guidance- pernah dilakukan pada akhir tahun 1800-an sampai awal tahun 1900-an
di tiga negara, seperti: Skotlandia yang dilakukan oleh Dr. Ogilvie Gordon dengan slogan
educational information and employment bureaus, kemudian di German Dr. Wolff yang
membuka layanan vocational counseling yang dibantu oleh satu orang asistennya pada tahun
1908, dan USA oleh Jessi B. Davis di High Central Detroit.

Pengetahuan pada praktik pelayanan vocational guidance (bimbingan vokasional) pada


tahun 1908 di Boston, sehingga Parson sering disebut dengan father of guidance (bapak
bimbingan konseling).2 Tidak berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, pemikiran F. Parson
juga berangkat dari keresahan atas kondisi sosial yang terjadi di Amerika. Perubahan dari
sistem sosial agriculture ke arah pabrikasi di USA menggerakkan nurani Parson untuk
membantu masyarakat yang mengalami keresahan dan kebingunan dalam mendapatkan
pekerjaan menjadikan Parson untuk memberikan solusi, minimal dapat meringankan
kesusahan masyarakat di Boston pada saat itu. Kerja keras Parson akhirnya terwujud dengan
dibukanya sebuah layanan bimbingan vokasional (vocional guidance bereau) bagi masyarakat
dan remaja yang masih bingung untuk menyalurkan kemampuannya dalam dunia kerja.
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran F. Parson (1908) terus menerus dipelajari oleh sekelompok
mahasiswa minnesota seperti Petterson dan Williamson yang akhirnya menamakan diri
menjadi minnesota approach. Hingga saat ini istilah vocational guidance yang dahulu
digunakan, berubah menjadi guidance and counseling disebabkan semakin luasnya kajian
bimbingan konseling, yang mulanya hanya membahas masalah kejuruan (karir) dan
pekerjaan, kini bimbingan konseling meluas kajiany dan pembahasannya dari berbagai sudut
pandang, seperti, konseling dipandang dari perspektif, budaya, psikologi perkembangan,
belajar, sampai agama, sehingga muncul konseling Islami. Kemunculan Konseling Islami
tidak dapat dipisahkan dari sekian problematika yang dihadapi oleh manusia, seperti kritik
terhadap pemikiran barat dan kegilasahan dalam batin. Menurut Nashori, ummat Islam harus
bangkit dan tampil untuk menguatkan gagasan tentang perlunya menjadikan Islam sebagai
sistem kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan, yang sudah terbukti dalam sejarah
manusia, sebagai landasan pijak bagi lahirnya peradaban emas yang menghargai dan
menempatkan manusia secara hakiki dan menghindarkan manusia dari kehancuran
eksistensinya seperti pada jaman Jahiliyyah. Menempatkan Al Qur’an dan Hadits sebagai
sumber ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya serta mengimplementasikan tauhid
sebagai pondasi dalam berperilaku. Semoga buku ini dapat memberikan perspektif dan
pengetahuan yang baru dan yang berkembang saat ini. Titik tekan pada uraian tiap bab dan
bagiannya adalah pada kontribusi akademik dalam memberikan sumbangsih atas diskursus
yang berkembang, agar pada titik akhirnya pelaksanaan dan penataan bimbingan konseling
Islami dapat dilakukan dengan tetap memenuhi dimensi kebutuhan siswa, yaitu dimensi
material dan dimensi spiritual sehingga terciptalah generasi-generasi yang memiliki kesalihan
individu dan sosial secara seimbang.

6
Pekanbaru, 14 Maret 2022

Penyusun

KONSEP DASAR BK ISLAMI

A. Definisi Bimbingan Konseling Islam


Pada hakikatnya konseling islami sudah ada sejak awal islam, yaitu bersamaan
dengan diturunkannya ajaran islam kepada Rasulullah saw untuk pertama kali. Ketika
ia merupakan alat pendidikan dalam sistem pendidikan islam yang dikembangkan
oleh Rasulullah. Secara spiritual bahwa Allah memberi petunjuk (bimbingan) bagi
peminta petunjuk (bimbingan).
Hakikat bimbingan dan konseling islami adalah upaya membantu individu
belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah,dengan cara
memberdayakan(enpowering) iman, akal, dan kemauan yang dikaruniakan Allah
SWT. Kepadanya untuk mempelajari  tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fitrah yang

7
ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kukuh sesuai tuntunan Allah
SWT.
Dari  rumusan di atas tampak, bahwa konseling Islami adalah aktfitas yang
bersifat “membantu”, dikatakan membantu karena pada hakikatnya individu
sendirilah yang perlu hidup sesuai tuntunan Allah (jalan yang lurus) agar mereka
selamat. Karena posisi konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya individu
sendiri yang harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan tuntunan
Islam (Al-Qur’an dan sunah rasul-Nya). Pada akhirnya diharapkan agar individu
selamat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati di dunia dan akhirat, bukan
sebaliknya kesengsaraan dan kemelaratan di dunia dan akhirat.
Pihak yang membantu adilah konselor, yaitu seorang mukmin yang memiliki
pemahaman yang mendalam tentang tuntunan Allah dan mentaatinya. Bantuan itu
terutama berbentuk pemberian dorongan dan pendampingan dalam memahami dan
mengamalkan syari’at Islam. Dengan memaharni dan mengamalkan syari’at Islam itu
diharapkan segala potensi yang dikaruniakan Allah kepada individu bisa berkembang
optimal. Akhirnya diharapkan agar individu menjadi hamba  Allah yang muttaqin
mukhlasin, mukhsisnin, dan mutawakkilin; yang terjauh dan godaan setan, terjauh
dari tindakan maksiat, dan ikhlas melaksanakan ibadah kepada Allah..
Arah yang ditempuh adalah menuju pada pengembangan fitrah dan atau
kembali kepada fitrah. Dan rumusan ini bisa dipahami bahwa dorongan dan atau
pendampingan belajar tersebut dimaksudkan agar secara bertahap individu mampu
mengembangkan fitrah dan sekaligus kembali kepadafitrah yang dikaruniakan Allah
kepadanya. Dan rumusan di atas tampak pula bahwa bimbingan dan konseling Qurani
bukan hanya bersifat “developmental” tetapi juga “klinis”, artinya dalam kOnseling
qur’ani nilai-nilai agama (al-Qur’an) bukan hanya dijadikan rujukan bagi
pengembangan fit rah tetapi juga rujukan dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi individu, konseling Qur’ani bukan hanya berorientasi pada pengembangan
potensi, tetapi juga membantu individu mengatasi hal-hal yang bisa merusak
perkembangan potensi (fitrah). Terdapat beberapa pendapat ulama tentang maksud
kata fitrah :
Seperti tertulis pada Surat Ar-Rum ayat 30. Ada yang berpendapat bahwa (1)
fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah SWT. yang telah
ditanamkan Allah dalam din setiap insan. (2) fitrah sebagai penerimaan kebenaran dan
kemantapan individu dalam penerimaannya, (3) fitrah sebagai keadaan atau kondisi
8
penciptaan yang terdapat dalam din manusia yang menjadikannya berpotensi. Melalui
fitrah itu mampu mengenal Tuhan dan syari’atnya, dan (4) fitrah sebagai unsur-unsur
dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Dalam tulisan ini fitrah
yang dimaksud adalah fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem yang dianugerahkan
Allah kepada setiap manusia, unsur-unsur itu mencakup jasmani, rohani, dan nafs; di
mana fitrah berupa “iman kepada Allah” menjadi inti-nya. Potensi iman dipandang
sebagai “inti” karena jika iman seseorang telah berkembang dan berfungsi dengan
baik, maka potensi-potensi yang lain (jasmani, rohani, dan nafs) akan berkembang
dan berfungsi dengan baik pula. Oleh sebab itu dalam tulisan mi pembahasan lebih
difokuskan pada pengembangan fitrah berupa iman.
Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai melalui kegiatan bimbingan adalah
agar individu memahami dan menaati tuntunan Al-Qur’an. Dengan tercapainya tujuan
jangka pendek ini diharapkan individu yang dibimbing memiliki keimanan yang
benar, dan secara bertahap mampu meningkatkan kualitas kepatuhannya kepada Allah
SWT, yang tampil dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah dalam
melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, dan ketaatan dalam beribadah
sesuai tuntunan-Nya. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah agar individu
yang dibimbing secara bertahap bisa berkembang menjadi pribadi kaffah. Tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui bimbingan adalah agar individu yang dibimbing
selamat dan bisa hidup bahagia di dunia dunia dan akhirat.
Dalam membantu mengembangkan fitrah individu, rujukan utama yang
dijadikan pegangan adalah “Tuntunan Allah” yaitu berupa Kitab Suci aI-Qur’an dan
sunah rasul-Nya. Dipilihnya “Tuntunan Allah” sebagai rujukan utama atas dasar
pertimbangan, bahwa: (1) Allah adalah Pencipta manusia, Dia tentu lebih mengetahui
kekuatan dan kelemahan manusia, dan untuk mengelola kekuatan dan kelemahan itu
Dia menciptakan panduan berupa kitab suci dan sunah rasul-Nya, (2) Allah yang
menciptakan manusia lengkap dengan segala potensinya tentu lebih mengetahui
tujuan dan manfaatnya, Allah juga lebih mengetahui bagaimana cara mengembangkan
dan memfungsikannya, (3) tujuan diciptakan-Nya manusia adalah sebagai khalifah
dan sekaligus ibadah kepada-Nya, sementara ibadah harus dilakukan sesuai dengan
tuntunan Allah. Jika tingkah laku manusia tidak dibimbing dengan tuntunan Allah,
maka hilanglah nilai ibadahnya, dan (4) secara keilmuan diakui, bahwa kitab suci
memiliki nilai kebenaran mutlak,universal dan berlaku sepanjang zaman; jika
konseling merujuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci dan sunah rasul,
9
maka diyakini hasilnya lebih optimal. Namun demikian, dalam konseling Qur’ani ini
tidak dilarang menggunakan rujukan ilmu pengetahuan, sejauh tidak bertentangan
dengan tuntunan agama. Paling tidak terdapat empat fungsi utama bimbingan dan
konseling Islami, yaitu :
a. Bimbingan berfungsi sebagai preventif atau pencegahan, yaitu membantu
individu manjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Pada tahap ini
setiap konselor diharapkan dapat memberikan nasihat kepada klien, agar klien
dapat melaksanakan tugas dan tangungjawabnya baik sebagai hamba Allah
(‘abdullah) maupun sebagai pemimpin di bumi ini (khalifatun fiil ardi).
b. Konseling berfungsi sebagai kuratif atau koreksi, yaitu membantu individu
memecahkan masalah yang dihadapi atau dialaminya. Jika ada seseorang yang
mempunyai masalah dan ia ingin keluar dari masalahnya, maka konselor
sebaiknya memberikan bantuan kepada klien agar dapat menyadari kesalahan
dan dosa yang ia lakukan, sehingga pada akhirnya klien tersebut kembali ke
jalan yang benar yaitu sesuai dengan ajaran agama (Islam).
c. Bimbingan dan konseling berfungsi sebagai preservatif, yaitu membantu
individu untuk menjaga agar situasi dan kondisi yang pada awalnya tidak baik
(ada masalah) menjadi baik (terpecahkan atau teratasi). Pada tahap ini konselor
berusaha memberikan motivasi kepada klien agar klien tetap mempunyai
kecenderungan untuk melaksanakan yang baik itu dalam kehidupannya. Situasi
yang baik itu tentunya sesuai dengan kaedah hukum dan norma yang berlaku,
baik norma yang dilahirkan oleh agama Islam maupun norma dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat.
d. Bimbingan konseling berfungsi sebagai developmental atau pengembangan,
yaitu membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi
yang telah baik manjadi lebih baik, sehingga pada masa – masa yang akan
datang, individu tersbut tidak pernah membuat masalah lagi, walaupun ada
masalah – masalah yang timbul, ia mampu mengatasi sendiri tanpa minta
bantuan kepada orang lain (konselor/helper).

B. Konsep BK Islam dan Tekanan Perbedaannya dengan Bk Konvensional


Konsep layanan Bimbingan dan Konseling Barat tidak membahas masalah
kehidupan setelah mati. Sedangkan bimbingan dan konseling islam meyakini adanya
kehidupan setelah mati. Konsep layanan dan bimbingan Barat tidak membahas dan

10
mengaitkan diri dengan pahala dan dosa. Sedangkan bimbingan dan konseling islami
membahas pahala dan dosa yang telah dikerjakan.
Jawaban terhadap kelemahan bimbingan konseling konvensional adalah
bimbingan konseling Islami (BKI) yang proses pelaksanaan bimbingandan
konselingnya dittjukan untuk peningkatan iman, ibadah dan jalan hipang diridhoi
Allah SWT. BKI akan memberikan rujukan dalam memfokuskan tujuan, asumsi dan
prosedur kerjanya  secara komprehensif, sebab pendekatan ini lebih memfokuskan
terhadap kehidupan konseli yang lebih luas, yaitu kehidupan dia dan akhirat kelak.
Dalam memahami BKI, upaya yang harus dilakukan yaitu menela’ah hakikat
manusia, tujuan, metode dan teknik, peran dan kualifikasi pemberi bimbingan dan
konseling maupun penilaian terhadap keberhasilan konselingnya yang semuanya
dikemas dalam sudut pandang Islam.
Landasan fiLsafat dan etika BKI  adalahAL-Qur’an dan Hadits yang
memandang bahwa keberhasilan seseorang dalam semua sisi kehidupannya tidak
lepas dan peran dan campur tangan Allah SWT sebagai Dzat yang mengatur segala
urusan di langit dan di bumi. Demikian juga dalam keberhasilan prestasi akademik
yang diraih peserta didik tentu juga Allah SWT yang mengatut Untuk itu dalam
menjalankan layanan bimbingan dan konseling, tidak hanya menekankan pada usaha
jasmani tapi juga ikhtiar rohani. Melalui penanaman nilai-nilai agama diharapkan
dapat melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas, tapijuga bertakwa kepada
Allah SWTserta memiliki akhlak yang mulia. Generasi seperti mi tentu lebih baik
daripada generasi yang sekedar cerdas akademik. Untuk itu penanaman nilai-nilai
agama dalam proses layanan bimbingan belajar memiliki keterlibatan signifikan
dalam membentuk pribadi-pribadi yang sholeh, cerdas dan berakhlakul karimah.
Pribadi-pribadi yang semacam inilah yang diharapkan mampu memimpin dan
memajukan bangsa.
Dengan kata lain, dalam khazanah dunia pendidikan Islam, konsep pendidikan
menekankan bimbingan dan konseling yang menjaga keseimbangan antara aspek
jasmani dan tohani dengan tujuan akhir tidak hanya bemuara pada aspek kognitif
peserta didik, tapi juga berbagai aspek positif yang melingkupinya. Dengan demikian,
misi pendidikan yang ideal tidak hanya terletak pada upaya mencerdaskan peserta
didik, tapi yang jauh lebih penting adalah upaya-upaya yang bermuara pada
pembentukan moral dengan menempatkan belajar sebagai aktivitas ibadah yang
diharapkan mengantarkan peserta didik memperoleh kebahagiaan duniawi dan
11
ukhrawi. Karenanya belajar haruss diniatkan untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan
akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, serta
menghilangkan kebodohan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan bimbingan
konseling Islami mestinya didasarkan atas (i) prinsip landasan dan dasar hanya
beriman kepada Allah SWT (ii) prinsip kepercayaan beriman kepada Malaikat, (iii)
prinsip kepemimpinan beriman kepada Nabi dan Rasulnya, (iv) prinsip pembelajaran
beriman kepada Al-Qur’an Al Karim, (v) prinsip masa depan beriman kepada han
kemudian, dan (vi) prinsip keteraturan beriman kepada ketentuan Allah. Dengan
menjalankan bimbingan konseling yang didasarkan pada prinsip di atas yang tidak
lain dengan Rukun Iman yang dikenal dalam Islam, maka pelaksanaan bimbingan dan
konseling akan mengarahkan peserta didik ke arah kebenaran.
Selanjutnya untuk mewujudkan tijuan bimbingan konseling sebagaimana
diharapkan di atas, dalam pelaksanaan pembimbing dan konselor tersebut diharapkan
memiliki tiga langkah, yaitu dua kalimat syahadat sebagai mission statement yang
jelas, shalat lima waktu sebagai metode pembangunan karakter sekaligus symbol
kehidupan, dan puasa sebagai alat untuk mempertahankan kemampuan pengendalian
diri.
Prinsip dan langkah tersebut di atas penting sebagai bimbingan dan konseling
muslim, karena diharapkan akan menghasilkan peserta didik yang memiliki
kecerdasan emosi dan spiritual yang sangat tinggi dengan pribadi-pribadi yang sholeh,
cerdas dan beraklilakul karimah serta membuat mereka menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada ‘lbhan Yang Maha Esa, berakiak mulia, sehat; berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab sesuai dengan yang diamanatkan oleh Sistem Pendidikan Nasional.

C. Ruang Lingkup BKI


Ruang lingkup BK Islami pada dasarnya mencakup seluruh peri  kehidupan
manusia sebagai makhluk Allah yang dijabarkan dalam dimensi-dimensi (a)
kehidupan pribadi mencakup kehidupan pribadi sebaagai makhluk Allah, makhluk
individu, dan makhluk sosial (b) kehidupan karier mencakup dua bidang utama, yaitu
masalah studi dan masalah dunia kerja/jabatan (c) kehidupan sosial/masyarakat. Yang
tecermin dalam kehidupan sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat

12
Dirumuskan pula kode etik bimbingan dan konseling Islami yaitu (a)
pembimbing harus menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah yang paling sempurna, (b) pnbimbing harus memiliki keahlian dalam bidang
bimbingan, (c) pembimbing harus senantiasa menjaga amanah dan rahasia
individu  yang dibimbing, (d) pembimbing harus menjaga nilai-nilai ukhuwwah
islamiah, (e) pembimbing harus memiliki sifat-sifat yang patut diteladani (uswatun
hasanah), (f) pelaksanaan bimbingan harus sesuaidengan syari’at Islam, (g)
pembimbing memberi kebebasan kepada individu yang dibimbing untuk mengikuti
atau tidak mengikuti nasehat  pembimbing, (h) layanan bimbingan didasari dengan
niat mencari ridha Allah, (i) sebisa mungkin konseli laki-laki dibimbing pembimbing
laki-laki, dan konseli perempuan dibimbing oleh pnbimbing perempuan, (j)
penanganan kasus hendaknya didasarkanprinsip “amar ma’ruf nahi mungkar”
Beberapa prinsip dasar (asas) yang menjadi landasan filosofis dan operasional
dan layanan bimbingan dan konseling Islami adalah (a) tauhid rububiyyah dan
uluhiyyah, artinya konselor dalam membantu  konseli hendaknya mampu
membangkitkan potensi “iman” konseli, dan harus dihindari mendorong konseli ke
arah “kemusyrikan ‘. (b) asas penyerahan diri, tunduk dan tawakkal kepada Allah
SWT, artinya dalam layanan bimbingan hendaknya menyadarkan konseli bahwa di
samping berusaha maksimal disertai dengan doa, juga harus menyerahkan hasil
sepenuhnya kepada Allah SWT., (c) asas syukur, artinya dalam layanan bimbingan
hendaknya diingat bahwa kesuksesan usaha adalah atas pertolongan dan izin Allah,
oleh sebab itu masing-masing pihak (konseli dan konselor) harus bersyukur atas
sukses yang dicapainya, (d) asas sabar, artinya pembimbing bersamasama konseli
dalam melaksanakan upaya perbaikan dan atau pengembangan din harus sabar dalam
melaksanakan tuntunan Allah, dan menunggu hasilnya sesuai izin Allah. (e) asas
hidayah Allah, artinya kesuksesan dalam membimbing pada dasarnya tidak
sepenuhnya hasil upaya pembimbing bersama konseli, tetapi ada sebagian yang masih
tergantung pada hidayah Allah, (f) asas dzikrullah artinya guna memelihara hasil
bimbingan agar lebih istiqamah, seyogianya konseli banyak mengingat Allah baik
dalam hati, dalam bentuk ucapan dan perbuatan.

13
LANDASAN BK ISLAM

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam


Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau sekumpulan
individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya,
agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan
hidupnya.

14
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar
mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap invidu agar
menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya
hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Menurut Farida dan Saliyo, Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada
individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) dengan salah satu teknik
dalam pelayanan bimbingan, dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung
melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara
konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman
yang lebih baik dari dirinya dan mampu memecahkan permasalahan pada dirinya
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
B. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam
a) Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam

Tujuan bimbingan dan konseling Islam dalam buku Daros Teknik Layanan
Bimbingan Konseling Islam mengutip dari pendapatnya Djumhur dan Surya adalah :

1. Membantu proses sosialisasi dan sentivitas kepada kebutuhan orang lain.


2. Memberikan dorongan di dalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan dan keterlibatan diri dalam proses pendidikan (peran terapik)
3. Mengembangkan nilai dan sikap perasaan sesuai dengan penerimaan diri (self
Acceptence)
4. Membantu di dalam memahami tingkah laku manusia.

b) Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam

Dalam Bimbingan dan Konseling Islam memiliki beberapa fungsi yang dapat
membantu tercapainya tujuan Bimbingan dan konseling Islam adalah sebagai berikut:

15
1. Fungsi pencegahan (preventif), yaitu membantu individu menjaga atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya dimana masalah tersebut dapat menghambat
perkembangannya.
2. Fungsi Kuratif (Korektif), yaitu membantu individu memecahkan masalahnya yang
sedang dihadapi atau dialaminya sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dengan
baik.
3. Fungsi Pemeliharaan, yaitu membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang
semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik dan kebaikan itu bertahan
lama. Fungsi pemeliharaan disini bukan sekedar mempertahankan agar masalah-
masalah yang dihadapinya tetap utuh, tidak rusak dan tetap dalam keadaan semula,
melainkan juga mengusahakan agar hal-hal tersebut bertambah lebih baik.
4. Fungsi Pengembangan (Developmental), yaitu membantu individu memelihara dan
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik dan menjadi lebih
baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya.

C. Landasan Bimbingan Konseling Islam


Yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku
pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah
bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan
tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan
itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan
konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan
kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi
taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien).

Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat
empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu
landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu
pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari
masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :

1) Landasan filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan


pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan
konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan

16
filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai
aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan
filsafat post-modern.

2) Landasan psikologis

Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi


konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan
bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah
tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu;
(d) belajar; dan (e) kepribadian

a. Motif dan Motivasi

Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang


berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki
oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif
sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan
digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu
(motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang
mengarah pada suatu tujuan.

b. Pembawaan dan Lingkungan

Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan


mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir
dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot,
warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu.
Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk
mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu
berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang
memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya
dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil,
embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam

17
lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap
potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu
yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat
berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.

c. Perkembangan Individu

Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya


individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan,
diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural
dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari
Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan
kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang
perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari
Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan
masa dewasa.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek


perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan
individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.

d. Belajar

Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia
belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-
tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan.
Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik
yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.

18
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa
teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar
Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori
Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.

e. Kepribadian

Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan
hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang
dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap
lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan
diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri.
Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses
respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi
kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta
memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.

3) Landasan Sosial-Budaya

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman


kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan
produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan
dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya
yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat
mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan
pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.
Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan
timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap
proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan
pribadi maupun sosialnya.

19
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan
klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang
berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan
yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a)
perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan
(e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang
berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali
memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe
cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka
subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain
disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-
reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain
yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan
suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama
sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor
dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu
diantisipasi.

4) Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki


dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang
bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai
metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau
analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-
tulisan ilmiah lainnya.

Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah
menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara
ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis


komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam
bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak
memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling
pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan

20
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak
hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan
secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula,
bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi
konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.

Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya
mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003)
bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan
hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.

Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia,


Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan
landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi,
yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah
satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling;
dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.

Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal
pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan
dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c)
upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan
perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang
sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan
pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren
bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari
kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai
suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa
kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang
berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan
berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

21
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang
berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari
Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta
berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan
dan konseling di Indonesia.

SUBJEK DAN OBJEK BK ISLAMI


A. Siapa Subjek dalam Bk Islam
Subjek dalam KBBI artinya salah satunya adalah pelaku. Jadi, dari sudut pandang
bimbingan dan konseling, subjek pada dasarnya adalah orang itu sendiri. Namun makna
pribadi orang tersebut adalah konselor, dan konselor adalah pihak yang membantu konseli

22
dalam proses konseling. Konselor berperan sebagai fasilitator, konselor yang mendampingi
konseli sampai ia dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya.

Dalam proses konseling, konselor harus dapat menerima keadaan konseli saat ini.
Konselor juga harus menciptakan suasana yang kondusif selama proses konseling. Secara
umum, Willis memaparkan ciri-ciri konselor yang lazim di Indonesia, yaitu:

1. Iman dan takwa


2. Nikmati manusia
3. Komunikator yang baik dan pendengar yang baik
4. Berpengetahuan dan berwawasan tentang manusia, sosial budaya yang baik
dan kompeten
5. Fleksibel, tenang, sabar
6. Dapatkan keterampilan teknis dan intuitif
7. Memahami etika kerja
8. Rasa hormat, kejujuran, ketulusan, penghargaan daripada penilaian
9. Empati, pengertian, penerimaan, hangat dan ramah
10. Fasilitator dan Motivator
11. Emosional stabil, berpikiran jernih, cepat dan mampu
12. Objektif, rasional, logis, konkrit
13. Konsisten dan Bertanggung Jawab

Menurut Carl Rogers, konselor  memiliki karakteristik, diantaranya:

1. Congruence

Menurut Rogers, konselor harus terintegrasi dan konsisten. Artinya konselor harus
terlebih dahulu memahami dirinya sendiri. Harus ada keselarasan antara pikiran,
perasaan dan pengalaman. Konselor harus benar-benar menjadi dirinya sendiri dan tidak
menyembunyikan kekurangannya. 

2. Unconditional positive regard

Konselor harus dapat menerima atau respek kepada klien walaupun dengan keadaan
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Menurut Ragers, setiap manusia memiliki
tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah

23
konselor harus memberikan kepercayaan kepada klien untuk mengembangkan dirinya.
Situasi konseling harus menciptakan hubungan kasih sayang yang mendatangkan efek
konstruktif pada diri klien sehingga klien emiliki kemampuan dalam memberi dan
menerima cinta.

3. Empahty

Maksudnya dalah memahami orang lain dari suduk kerangka berpikirnya. Selain itu
empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor harus dapat menyingkirkan
nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut dalam nilai-nilai klien. Rogers,
mengartikan empathy sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia klien tanpa
kehilangan kesadaran dirinya. Ia menyebutkan komponen yang terdapat dalam empathy
meliputi: penghargaan positif, rasa hormat, kehangatan, kekonkritan, kesiapan atau
kesegaran, konfrontasi, dan keaslian.  

Selain karakteristik yang disebutkan oleh Calr Rogers, seorang konselor yang berperan
sebagai pembantu bagi klien harus memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin
keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam hal ini, Latipun membagi dua aspek
utama yaitu:

1.  Keahlian dan keterampilan


Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan menyelesaikan
permasalah klien dengan tapat, aspek keahlian dan ketrampilan wajib dipenuhi oleh konselor
yang efektif.
2.  Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasialan proses konseling.
Dimensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai berikut:

a.       Totalitas
b.      Keterbukaan
c.       Konsentrasi
d.      Fleksibilitas
e.       Stabilitas emosi

24
f.       Pengetahuan konselor
g.      Komitmen pada rasa kemanusiaan
h.      Kemauan membantu klien mengubah lingkungannya
i.        Berkeyakinan dan kemampuan untuk berubah
j.        Spontanitas

Karakteristik konselor yang diharapkan bisa melaksanakan konseling Islami:


1. Seseorang yang sudah mendalami dan mendapat keahian khusus dalam bidang
konseling atau pendidikan profesi konseling
2. Seseorang yang memiliki pemahaman ajaran agama yang memadahi
3. Seorang yang cara hidupnya layak diteladani
4. Seseorang yang punya keinginan kuat dan ikhlas untuk membantu orang lain
5. Seseorang yang bisa memegang rahasia orang lain
6. Seseorang yang menyadari berbagai kelemahan pribadinya dan tidak enggan meminta
bantuan ahli lain
7. Seorang yang tidak mudah putus asa
8. Seorang muslim/muslimah yang secara terus menerus berudaha memperkuat iman,
ketakwaannya, dan berusaha menjadi ihsan yang suci hatinya[5]
Selain memiliki karakteristik, seorang konselor juga memiliki peran dan fungsi. Peran
didefinisikan sebagai the interaction of expectations about a “position” and perceptions of the
actual person in that position. Dari definisi yang dikembangkan oleh Baruth dan Robinson
III, dapat diartikan bahwa, peran adalah apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani
seorang konselor dan persepsi sebagai orang lain terhadap posisi konselor tersebut.
Sementara fungsi didefinisikan sebagai what he individual does in the way of specific
activity. Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa fungsi adalah hal-hal yang harus
dilakukan oleh konselor dalam menjalani profesinya.
Corey mengatakan bahwa tidak ada satupun jawaban sederhana yang mampu
menerangkan bahwa bagaimana sebenarnya peran konselor yang layak. Ada beberapa faktor
yang diperhitungan dalam menentukan peran konselor, yaitu tipe pendekatan konseling yang
digunakan, karakteristik kepribadian konselor, taraf latihan, klien yang dilayani
dan setting konseling.
Fungsi utama seorang konselor adalah membantu klien menyadari kekuatan-kekuatan
mereka sendiri, menentukan hal-hal apa yang merintangi mereka menentukan kekuatan

25
tersebut, dan memperjelas pribadi seperti apa yang mereka harapkan fungsi sensial dari
konselor adalah memberikan umpan balik yang jujur dan langsung kepada klien.
Peran dan fungsi konselor islami, yaitu:

● Peran konselor disekolah


Menurut H.M Umar dan Sartono, yaitu membantu kepala sekolah beserta staffnya
dalam menyelenggarakan kesejahteraan sekolah
● Fungsi utama konselor islami
Memandu atau menunjuki konseli untuk mencari jalan membuat pilihan yang
berlandaskan al-quran dan sunnah.

Beberapa ciri konselor islami, yaitu:

1. Beriman dan bertakwa kepada Allah SWT


2. Terampil dalam membaca dan memahami al-quran dan sunnah Nabi SAW
3. Wajib memberikan bantuan pada konseli yang memiliki masalah (minta/tidak
diminta)
4. Menjaga kode etik konselor islami
5. Dalam memberikan konseling harus merujuk pada al-quran dan sunnah Nabi SAW
6. Kehidupan konselor islami harus berada dalam bimbingan Allah dan Nabi-Nya

B. Objek BK Islam
Jika subjek adalah pelaku, maka objek dalam KBBI adalah hal, perkara, atau orang
yang menjadi pokok pembicaraan. Bila konselor menjadi subjek Bk islam, maka yang
berperan sebagai objek BK islam adalah konseli. Dimana konseli adalah pihak yang dibantu
dalam menghadapi masalahnya. Willis mendefinisikan konseli adalah setiap individu yang
diberikan bantuan profesional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya atau orang lain.
Sedangkan menurut Rogers, konseli adalah individu yang datang kepada konselor dalam
keadaan cemas dan tidak kongruens (tidak memahami diri sendiri) .

Konseli juga memiliki karakteristik, menurut Willis karakter konseli dapat dibagi
menjadi, yaitu:

1. Klien sukarela
klien sukarela adalah klien yang yang datang kepada konselor atas kesadaran dirnya
sendiri, kerana memiliki maksud dan tuuan tertentu. Hal ini dapat berupa keinginan

26
untuk memperoleh informasi, mencari penjelasan mengenai suatu masalah dan lain-
lain. Adapun ciri-ciri klien sukarela sebagai berikut:
● Datang atas kemauan sendiri
● Segera dapat beradaptasi dengan konselor
● Mudah terbuka
● Bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling
● Berusaha mengemukakan permasalahannya dengan jelas
● Sikap bersahabat, mengharap bantuan
● Berusaha mengakui kesalahan-kesalahan pribadinya
2. Konseli terpaksa
konseli terpaksa adalah konseli yang datang kepada konselor bukan atas kemauan
dirinya sendiri, melainkan atas dorongan teman atau keluarga. Adapun ciri-ciri klien
terpaksa adalah:
● Bersifat tertutup
● Enggan berbicara
● Curiga terhadap konselor
● Kurang bersahabat
● Menolak secara halus bantuan konselor
3. Konseli enggan (Relictant Client)
konseli enggan adalah orang yang datang kepada konselor bukan untuk dibantu
masalahnya, melainkan senang untuk berbincang-berbincang dengan konselor.
Namun, ada juga klien yang hanya diam karena tidak suka dibantu masalahnya.
Upaya yang dapat dilakukan menghadapi klien yang enggan sebagai berikut:
▪ Menyadarkan kekeliruannya
▪ Memberi kesempatan agar klien dibimbing oleh konselor atau lawan bicara
yang lain.

4. Konseli menetang atau bermusuhan


konseli menentang atau bermusuhan merupakan kelanjutan dari konseli terpaksa yang
bermasalah cukup serius. Ciri-ciri klien ini adalah tertutup, menetang, bermusuhan
dan menolak secara terbuka. Cara untuk mengahadapi konseli seperti ini dengan cara
sebagai berikut:
▪ Ramah, bersahabat, empati
▪ Toleransi terhadap perilaku yang tampak

27
▪ Meningkatkan kesabaran, mananti saat yang tepat untuk berbicara sesuai
bahasa tubuh konseli
▪ Memahami keinginan klien yang tidak mau dibimbing
▪ Mengajak negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan konseling

5. Konseli kritis
konseli kritis merupaka orang yang mendapat musibah seperti kematian orang-orang
terdekat, kebakaran rumah dan pemerkosaan. Tugas konselor disini adalah
memberikan bantuan kepada klien untuk menjadi lebih stabil dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan atau situasi baru. Ciri-ciri klien kritis sebagai
berikut:
● Tertutup atau menutup diri dari dunia luar
● Sangat emosional
● Tidak berdaya
● Ada yang mengalami histeria
● Kurang mampu berfikir rasional
● Tidak mampu mengurus diri dan keluarga
● Membutuhkan orang yang dapat dipercaya.

C. Karakteristik Klien yang Islami


Karakteristik klien yang Islami ada 7, yaitu:

1. Klien yang dibantu adalah klien yang beragama Islam dan bersedian dibantu
melalui pendekatan yang Islami
2. Klien yang dibantu adalah individu yang sedang mengalami masalah untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup
3. Klien secara sukarela atau didorong untuk mengikuti proses konseling
4. Klien adalah seorang yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan
bertanggung jawab atas dirinya setelah dewasa untuk kehidupan dinia akhirat.
5.  Pada dasarnya klien adalah baik, karena Allah telah membekali setiap individu
dengan potensi berupa fitrah yang suci untuk tunduk pada aturan dan petunjuk
Allah
6. Ketidaktentraman klien dalam hidupnya umumnya bersumber dari belum
dijalankannya ajaran Islam.

28
7. Klien yang bermasalah pada hakikatnya orang yang membutuhkan bantuan untuk
memfungsikan jasmani, qolb, a’qal dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu.

RUANG LINGKUP BK ISLAM

A. Ruang Lingkup dan Bimbingan Konseling Islami


1. Pengertian Ruang Lingkup

29
Ruang lingkup adalah suatu batasan yang memudahkan dilaksanakannya penelitian
agar lebih efektif dan efisien untuk memisahkan aspek tertentu pada sebuah objek. Ruang
lingkup akan sangat membantu keefektifan berjalannya sebuah penelitian. Tanpa adanya
ruang lingkup penelitian yang jelas, sebuah penelitian akan mengalami waktu yang lebih
lama karena tidak adanya sebuah batasan.
2. Pengertian Bimbingan Konseling Islam
Konseling berasal dari bahasa inggris yaitu "Counseling" dengan akar kata "To
Counsel" yang artinya memberikan nasehat atau memberi anjuran kepada orang lain secara
face to face (berhadapan muka satu sama lain) dan juga bisa diartikan "advice" yang berarti
nasehat atau perintah. (Echols dan Shadaly, 1992: 150). Menurut beberapa Ahli bimbingan
konseling Islam agama dapat dikemukan sebagai berikut:
1) Achmad Mubarok berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bimbingan
konseling agama, adalah bantuan yang bersifat mental spiritual diharap dengan
melalui kekuatan iman dan ketaqwaannya kepada Tuhan, seseorang mampu
mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapinya. Mubarak juga menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan konseling Islam adalah Al-Irsyad Al-Nafs yang
diartikan sebagai bimbingan kejiwaan, satu istilah yang cukup jelas muatannya dan
bahkan bisa lebih luas penggunaannya. Bimbingan kejiwaan yang dimaksud bukan
sebatas yang bersifat abstrak saja akan tetapi melatih konseli untuk mampu
memperoleh akhlak mulia.
2) Pengertian Konseling Islam, menurut Tohari Musnamar adalah proses pemberi
bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai
makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk
Allah, sehingga dapat mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.
3) Az-zahrani dalam bukunya yang berjudul Konseling Terapi, menjelaskan bahwa:
Konseling dalam Islam adalah salah satu dari berbagai tugas manusia dalam
membina dan membentuk manusia yang ideal. Konseling merupakan amanat yang
diberikan Allah kepada semua Rasul dan Nabi-Nya. Dengan adanya amanat
konseling inilah maka mereka menjadi demikian berharga dan bermanfaat bagi
manusia, baik dalam urusan agama, dunia, pemenuhan kebutuhan, pemecahan
masalah, dan lain-lain.
4) Lahmuddin Lubis berpendapat bahwa, bimbingan Islami merupakan proses
pemberian bantuan dari seorang pembimbing (konselor helper) kepada konseli
helpee. Dalam pelaksanaan pemberian bantuan, seorang pembimbing/helper tidak
30
boleh memaksakan kehendak mewajibkan konseli/helpee untuk mengikuti apa yang
disarankannya, melainkan sekedar memberi arahan, bimbingan dan bantuan, yang
diberikan itu lebih terfokus kepada bantuan yang berkaitan dengan kejiwaan/mental
dan bukan yang berkaitan dengan material atau finansial secara langsung.
5) Menurut Saiful Akhyar. Konseling Islami dari segi proses konseling merupakan
berlangsungnya pertemuan tatap muka (face to face) antara dua orang atau lebih (or
more two people). Pihak pertama adalah konselor yang dengan sengaja memberikan
bantuan, layanan kepada konseli secara professional, sedangkan pihak kedua adalah
konseli yang dibantu untuk memecah masalah. Selanjutnya Akhyar menjelaskan
bahwa konseling merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk mencari
ketentraman hidup baik di dunia maupun di akhirat. Ketentraman hidup di dunia-
akhirat dapat dicapai melalui upaya yang senantiasa menjadikan Allah sebagai
sandaran dalam berperilaku, sehingga setiap tindakan yang dilahirkan selalu
mendapat perlindungan dan pertolongan Allah Swt.
6) Yahya Jaya mengemukakan pendapatnya tentang konseling Agama Islam sebagai
pelayanan bantuan yang diberikan oleh konselor kepada individu (konseli) yang
mengalami masalah dalam kehidupan keberagamaanya serta ingin mengembangkan
dimensi dan potensi keberagamaannya seoptimal mungkin, baik secara individu
maupun kelompok agar menjadi manusia yang mandiri dan dewasa dalam
kehidupan beragama, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan bimbingan
akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah.

B. Ruang Lingkup Bimbingan Konseling Islami


1. Ruang Lingkup dari Segi Pelayanan dalam Bimbingan dan Konseling
Pelayanan bimbingan dan konseling memiliki peranan penting baik bagi individu yang
berada dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat pada umumnya.
Ruang lingkup pelayanan dibagi menjadi dua, yaitu pelayanan di sekolah dan
pelayanan di luar sekolah. Berikut masing masing penjelasannya.
a. Ruang Lingkup Bimbingan dan Konseling di Sekolah Bidang kurikulum dan
pengajaran, meliputi semua bentuk pengembangan kurikulum dan pelaksanaan
pengajaran, yaitu penyampaian dan pengembangan pengetahuan, keterampilan,
sikap, dan kemampuan berkomunikasi peserta didik.
- Bidang administrasi dan kepemimpinan, yaitu bidang yang meliputi berbagai
fungsi berkenaan dengan tanggung jawab dan pengambilan. kebijaksanaan,

31
serta bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan dan administrasi sekolah, seperti
perencanaan, pembiayaan, pengembangan staf, prasarana dan sarana fisik, dan
pengawasan.
- Bidang kesiswaan, yaitu bidang yang meliputi berbagai fungsi dan kegiatan
yang mengacu kepada pelayanan kesiswaan secara individual agar masing-
masing peserta didik itu dapat berkembang sesuai dengan bakat, potensi, dan
minat-peminatnya, serta tahap-tahap perkembangannya.
b. Ruang Lingkup Bimbingan dan Konseling di Luar Sekolah
Tidak hanya warga masyarakat yang berada di lingkungan sekolah saja, warga
masyarakat yang berada di luar lingkungan sekolah pun banyak yang mengalami
masalah yang perlu dituntaskan dan jika memungkinkan sekaligus di cegah.
Adapun ruang lingkup pelayanan bimbingan dan konseling di luar sekolah yaitu
keluarga dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.
a. Bimbingan dan konseling dalam keluarga
Keluarga merupakan satuan persekutuan hidup yang paling mendasar dalam
bermasyarakat. Dalam kaitan keluarga dan masyarakat itulah kebutuhan dan
kebahagiaan keluarga mutlak memerlukan perhatian bagi segenap pihak yang
berkepentingan dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat. Palmo, Lowry,
Weldon, dan Scioscia (1984) mengidentifikasikan perubahan-perubahan yang
terjadi secara signifikan yang mempengaruhi struktur dan kondisi keluarga,
yaitu meningkatnya perceraian, kedua orang tua bekerja, pengangkatan anak,
emansipasi pria dan wanita, dan kebebasan hubungan seksual. Selain itu juga
meningkatnya kesadaran tentang anak-anak cacat, depresi dan bunuh diri,
sempitnya lapangan pekerjaan menambah unsur - unsur yang mempengaruhi
kehidupan keluarga. Permasalahan itulah yang mengundang berperannya
bimbingan dan konseling ke dalam keluarga. Pelayanan tersebut ditujukan
kepada seluruh anggota keluarga yang memerlukannya khususnya untuk
keluarga yang masih duduk di bangku pendidikan formal. Peranan konselor
sekolah amat besar dan diharapkan agar menjembatani program bimbingan dan
konseling di sekolah dengan kebutuhan keluarga dalam pelayanan bimbingan
dan konseling.
b. Bimbingan dan konseling dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas
Permasalahan yang dialami oleh masyarakat tidak hanya terjadi di lingkungan
sekolah dan keluarga saja, melainkan juga di luar keduanya. Oleh karena itu,
32
disana diperlukan jasa bimbingan dan konseling. Pelayanan dan bimbingan
konseling yang menjangkau daerah kerja yang lebih luas itu perlu
diselenggarakan oleh konselor yang bersifat multidimensional (Chiles dan
Eiken, 1983), yaitu yang mampu bekerja sama selai dengan guru, orang tua, dan
juga berbagai komponen dan lembaga masyarakat secara lebih luas. Konselor
profesional yang multidimensional benar-benar menjadi ahli yang memberikan
jasa berupa bantuan kepada orang-orang yang memfungsikan dirinya pada tahap
perkembangan tertentu yang membantu mereka mengambil manfaat dengan
sebesar-besarnya dari kondisi dan dari apa yang sudah mereka miliki,
membantu mereka menangani hal-hal tertentu agar lebih efektif, merencanakan
tindak lanjut atas langkah-langkah yang telah diambil, serta membantu lembaga
ataupun organisasi dalam melakukan perubahan agar lebih efektif. Namun,
dimana pun konselor bekerja dan apapun tugas-tugas khusus yang
diselenggarakan konselor, fungsi, prinsip, jenis layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling pada dasarnya tetap sama. Modifikasi dan penyesuaian
diperlukan berdasarkan kekhususan yang ada pada sasaran layanan, lembaga
tempat bekerja, tujuan dan kondisi yang menyertai diperlukannya layanan dan
bimbingan konseling itu.

C. Ruang Lingkup dari Segi Sasaran dalam Bimbingan dan Konseling.


1) Perorangan/individual, Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang
pelayanan yang membantu individu yang memahami, menilai, dan
mengembangkan potensi, kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai
dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
2) Kelompok Bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan pada
sekelompok individu dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok itu
memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang.

Ruang Lingkup Bki Menurut Para Ahli


Ada bbrapa kelompok perbuatan yang saleh, yakni:
Menurut Anwar Sutoyo ruang lingkup Bimbingan Konseling Islami
1. Bidang Aqidah
a. Rukun Iman Q.S 4:136, Q.S 57:22-23, Q.S 11:107, Q.S 35:2, Q.S 2:284. Q.S
3:26-27
b. Tidak Berbuat syirik menyekutukan Allah Q.S. 16:51-52

33
c. Hanya berbibadah kepada Allah saja QS 29:56 d. Tidak Munafiq Q.S 2:204-205
2. Dalam kehidupan Pribadi
a. Menghargai waktu Q.S 103: 1-3
b. Menjadikan taqwa sebagai bekal untuk kembali menghadap Allah Q.S 2:197
c. Rajin mengamalkan ibadah shaleh sebagai kunci mendapatkan jaminan kehidupan
yang baik dari Allah Q.S 16:97
d. Sedikit tidur di waktu malam meminta ampun kepada Allah di akhir malam Q.S
51:17-18
e. Berlaku adil walaupun dengan kerabatsaudara sendiri Q.S 5:8
f. Mudah memaafkan, mengajak orang lain untuk mengamalkan kebajikan, dan
berpaling dari orang-orang yang bodoh Q.S 7:199
3. Dalam hal makanan
a. Hanya memakan makanan yang halal lagi baik Q.S 2:168, 5:88. 8:68, 16:114.
b. Tidak memakan makanan yang diperoleh dari jalan yang bathil Q.S 2:188, 4:29
c. Tidak memakan makanan yang disembelih bukan menggunaka asma Allah Q.S
6:118-119
d. Tidak meminum minuman yang memabukkan Q.S 5:90
e. Tidak memakan dan meminum secara berlebihan QS 7:31, 20:81
f. Tidak memakan harta Riba Q.S 3:130 g. Tidak memakan bangkai, darah, daging
babi atau daging yang disembelih tidak menggunakan Asma Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas
serta yang disembelih atas nama berhala, dan tidak mengundi nasib dengan anak
panah QS 5:3
4. Hubungan dengan kedua orang tua
a. Berbuat lebih baik kepada ibu dan bapak Q.S 2:83, 4:36, 6:151. 31:14
b. Berkata secara baik dan tidak menggunakan kata-kata kasar saat berkomunikasi
dengan orang tua Q.S 12:23
c. Memintakan ampun dan memohonkan kebaikan untuk kedua orang tua Q.S
14:41, 46:15
d. Menginfakkan sebagian rizki yang diperoleh kepada kedua orang tua dan kaum
kerabat Q.S 2:180
5. Kehidupan berkeluarga
a. Tidak menikah dengan orang musyrik Q.S 2:221
b. Dilarang menikahi perempuan yang haram untuk dinikahi Q.S 4:23-24
34
c. Tidak melakukan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi
Q.S 6:151
d. Tidak diperbolehkan memperlakukan istri dengan sewenang wenang QS 4:19
e. Menjauhi untuk menggunakan harta anak yatim yang diasuhnya. kecuali dengan
cara yang baik dan bermanfaat sampai anak mencapai usia dewasa QS 6: 152,
17:34
f. Mengajari dan mengajak keluarga untuk melaksanakan ibadah kepada Allah
semata Q.S 20:132
g. Tidak membangga-banggakan nenek moyang QS 2:200
h. Memahami dan menyadari bahwa harta dan keluarga merupakan sebahagian ujian
dari Allah Q.S 8:28, 64:15
i. Memahami bahwa harta dan keluarga bukanlah halangan untuk melakukan
ibadah kepada Allah Q.S 63:9
6. Bidang Sosial
a. Menjalin hubungan baik dengan sesama Q.S 8:1
b. Tidak menghina kelompok lain Q.S.49:11
c. Saling tolong menolong dalam perbuatan baik dan bukan dalam masalah
kekejian dan keburukan Q.S 5:2
d. Tidak melakukan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi
Q.S 6:151
e. Tidak melakukan pembunuhan kecuali dengan jalan yang dibenarkan,
menyempurnakan timbangan dengan adli, dan berkata dengan jujur sebenar-
benarnya Q.S 6:151-152
f. Bertanggung jawab apabila diberikan amanah tidak menghianati Q.S 8:27
g. Tidak mencondongkan diri kepada orang-orang zalim Q.S 11:113
Memasuki rumah orang lain dengan etika yang baik, izin terlebih dahulu dan
mengucapkan salam QS 24:27-29 i. Tidak bersumpah atas nama Allah untuk mengerjakan
sesuatu yang baik Q.S 2:224.77

HAKIKAT MANUSIA DAN


PROBLEMATIKANYA MENURUT AL-QUR”AN

35
A. Pengertian Haikat dan Manusia
Pengertian Hakikat, Menurut bahasa hakikat berarti kebenaran atau seesuatu
yang sebenar-benarnya atauasal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti
dari segala sesuatu atau yangmenjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat
adalah inti dan jiwa darisuatu syariat itu sendiri. Dikalangan tasauf orang mencari hakikat diri
manusia yangsebenarnya karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama
dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia.

Pengertian manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan


oleh Allah swt.Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi
dan tugas merekasebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia
berasal dari tanah.Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat
bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari.Para penganut
teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut
aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksiantara komponen
biologis (id), psikologis (ego), dan social (superego). Di dalam diri manusiatedapat unsur
animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai)

Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo


mehanibcus(manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme
(aliran yangmenganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran
yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis
prilakuyang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai
hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.Para penganut
teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini
manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksisecara pasif pada
lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitifmengecam pendapat
yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidakmempengaruhi
peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dansebagainya adalah
fakta kehidupan manusia.

Dalam al-quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan
maknamanusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-
nas. Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : innama anaa
basyarunmitlukum (sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Kata basyar
36
selaludihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung
kering (al-hijr : 33 ; ar-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu‟minuun : 33).
Kata insan disebutkan dalam al-quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5),
yaituallamal insaana maa lam ya‟ (dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Konsep islam selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai
makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah
makhluk yangmenjadi dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti az-zumar : 27 walakad dlarabna
linnaasifii haadzal quraani min kulli matsal (sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia
dalam al-quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua
manusia sebagaimakhluk social atau secara kolektif.Dengan demikian Al-Quran memandang
manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan social. Manusia sebagai basyar, diartikan
sebagai makhluk social yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk
lain :
⮚ Asal Mula Manusia berdasarkan Al-Qur'an (Nabi Adam a.s)Saat Allah Swt.
merencanakan penciptaan manusia, ketika Allah mulai membuat“cerita” tentang asal-usul
manusia, Malaikat Jibril seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan di
muka bumi. Di dalam Al-Quran, kejadian itu diabadikan.
"...Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
'Sesungguhnya,Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpurhitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telahmeniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud"(QS. Al Hijr: 28-29).

Firman inilah yang membuat malaikat bersujud kepada manusia, sementara iblis
tetapdalam kesombongannya dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang
pertamakali dilakukan oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan
tersebut Iblismenjadi makhluk paling celaka dan sudah dipastikan masuk neraka. Kemudian
Allahmenciptakan Hawa sebagi teman hidup Adam. Allah berpesan pada Adam dan Hawa
untuktidak mendekati salah satu buah di surga, namun Iblis menggoda mereka sehingga
terjebaklahAdam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah menghukum Adam dan
Hawasehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan Hawa bertaubat. Taubat
merekaditerima oleh Allah, namun Adam dan Hawa menetap dibumi. Baca Surat Al-Baqarah
Ayat33-39.
37
Adam adalah ciptaan Allah yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan,
bisamenerima ilmu pengetahuan dan bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan
manusiayang Allah ciptakan untuk menjadi penguasa didunia, untuk menghuni dan
memelihara bumiyang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh
permukaan bumi.Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan yang
menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung, gurun
pasir dan wilayahlainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT
yang berbunyi:
"...Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut
merekadidaratan dan di lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkanmereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami
ciptakan."(QS. al-Isra' [17]: 70).

B. Hakikat Manusia
Hakikat manusia adalah sebagai berikut :

1) Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya


untukmemenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektualdan sosial.

3) Seseorang yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur
danmengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.

4) Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah

5) Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkandirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati.

6) Individu yang mudah terpengaruh oleh lingkungan terutama dalam bidang sosial.

C. Pengertian Problem Manusia


1.) Problem manusia dalaam konseling ditujukan dengan berbagai gejala
penyimpangan yang merentang dari kategori ringan sampai berat. Dalam hal ini
Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tentang tingkatan masalah sebagai

38
berikut: Masalah ringan seperti malas dalam beribadah malas bekerja, membolos
sekolah, kesulitan belajar dan lain sebagainya.
2.) Masalah sedang seperti gangguan emosional seperti berkelahi antar tetangga,
kelahi antar sekolah, kesulitan belajar karena ada gangguan dikeluarga lain dan
sebagainya.
3.) Masalah berat seperti gangguan emosial berat, seperti kecanduan alcohol,
tindakan kriminalitas, percobaan bunuh diri dan lain sebagainya.
Didalam al-qur’an, banyak ayat yang mencela manusia. Dalam hal ini berarti manusia benar-
benar berada dalam problematika atau masalah. Ayat-ayat tersebut diantara nya adalah:
“….sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan amat bodoh” (Q.S Al-Ahzab(33) 72).
“manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat” (QS. Al-Hajj(22) 66).
“ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena melihat dirinya
serba cukup” (Q.S Al-‘alaq(96)6-7)
“…adalah manusia bersifat tergesa-gesa “(QS. Al-Isra’(17) 11)
“…apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring atau
berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahayanya, dia(kembali) melalui (jalan yang sesat),
seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
menimpannya”(QS. Yunus (10) 12)
“…adalah manusia itu sangat kikir” (QS. Al-isra’(17)100)
“… manusia adalah makhluk yang paling pandai membantah” (QS Al-Kahfi(18) 54)
“ sesungguhnya manusia di ciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ditimpa
kesusahan ia keluh kesah, dan apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila
mendapat kebahagiaan ia amat kikir” (QS Al- Ma’rij (70) 19-21).
Quran adakalanya baik da nadakalanya tidak baik, kadang dipuji dan kadang dicaci. Manusia
memiliki kesempurnaan yang potensial dan mereka harus mengarahkan diri mereka kepada”
kesempurnaan positif” dan sebaliknya. Modal untuk melaksanakanya telah diberikan oleh
Dzat yang menciptakaknya, yaitu fitrah, nafsu .hati/qolb, ruh,akal itulah sedikit gambaran
bahwa manusia itu benar-benar dalam keadaan bermasalah.

D. Problematika Manusia Menurut Al-Qur’an dan Konseling


Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain maupun

39
lingkungannya. Ayat-ayat al-qur’an disamping menerangkan tentang pribadi yang
tidak mampu mengatur diri dalam hubngannya dengan Allah SWT.
1. Tidak mampu mengatur Diri dalam hubungan nya dengan diri sendiri menurut konsep
konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensia, terapi
terpusat pada pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok:
a) Ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasi anata ide, ego ,dan super ego.
b) Dikuasai kecemasan
c) Tertutup (tidak terbuka pada pengalaman)
d) Rendah diri dan putus asa.
e) Sumber evalusi eksternal
f) Inkongruen.
g) Tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab
h) Kurangnya ksadaran diri
i) Terbelenggu ide tidak rasional.
j) Menolak diri sendiri

Al-qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri adalah pribadi yang akal dan qalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam
mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali
dan tidak bermoral QS. Yusuf : 53 yang artinya : “ dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh tuhanku, sesunggugnya tuhanku maha pengampun dan maha
penyayang. “

2. Tidak mampu mengatur diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam terapi adler, terapi
behavioral, transaksional dan terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok :
a) Egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima.
b) Memandang diri sendiri benar dan orang lain salah.
c) Tidak kontruktif, dan
d) Memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.

40
Al-Quran menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
orang lain adalah pribadi yang bakhil dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan
hartanya di jalan kebijakan, seperti yang diterangkan dalam QS.Muhammad : 38. Kemudian
tidak mau saling tolong menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima dari pada memberi
dijelaskan dalam QS. Al-Ma’arij : 19-21) memiliki sifat marhun dan takkabur yaitu sifat
sombong dan merasa diri sendiri lebih besar dan berharga dari pada orang lain yang
dijelaskan pada QA. Al-Isra’ : 37. Kemudian suka meng-ghibag arau menggunjing orang lain
dan sebagainnya telah dipaparkan pada QA. Al-Hujarat :12.

3. Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan limgkingan


Konsep konseling seperti yang telah dikemukakan dalam terapi adler dan terapi
behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri sendiri dalam hubungannya
dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola
lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan
menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al-Quran menerangkan bahwa pribadi
yang tidak mampu mengatur hubungannya dengan lingkngan adalah pribadi yang tidak
mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan
kerusakan lingkungan atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus
tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al-Quran
mengungkapkan bahwa terjadinnya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia.
Seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-Quran yaitu QS. Ar-Ruum: 40-42. Kedua ayat di
atas maka merupakan satu paket ajaran samawi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
kerusakan tanaman alam dan ligkungan di muka bumi ini pada hakekatnya bersumber dari
kerusakan yang terjadi pada diri manusia sendiri seperti:
a. Kerusakan iman: syirik.
b. Kerusakan fitrah : mengabaikan hukum-hukum allah SWT.
c. Kerusakan akal fitnah : menghalalkan segala cara.
d. Kerusakan moral : melanggar asusila, budaya dan peradaban.

4. Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan allah SWT.


Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al-Quran, pribadi yang
tidak dapat mengatur diri dalam hubungannya dengan allah antara lain adalah : pribadi yang
kufur dan syirik. Pribadi yang kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan

41
menjalankan allah syariat termasuk juga sebagai kufur orang yang sengaja tidak mau
menjalankan ibadah kepada allah SWT, dan tidak menerima dengan syukur atas segala nimat
yang telah diberikan allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang emmiliki
kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa
memperhatikan hak orang lain, seperti yang telah diejlaskan dalam QS. Al-Baqarah :6).

42
FUNGSI DAN TUJUAN BK ISLAM

A. Pengertian Bimbingan Konseling Islam


Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 29/90, Bimbingan merupakan
bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depannya. Menurut Rochman Natawidjaja, bimbingan
dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan
secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri, sehingga
dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat dan kehidupan pada umumnya,
Menurut Muhammad Surya, bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus-
menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian
dalam pemahaman diri dan perwujudan diri, dalam mencapai tingkat perkembangan yang
optimal dan penyesuain diri dengan lingkungannya.
Edwin C. Lewis (1970), mengemukakan bahwa konseling adalah suatu proses dimana
orang yang bermasalah (klien) dibantu secara pribadi untuk merasa dan berperilaku yang
lebih memuaskan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak terlibat (konselor) yang
menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan
perilaku-perilaku yang memungkinkannya berhubungan secara lebih efektif dengan dirinya
dan lingkungannya.
❖ Islam
Istilah Islam dalam wacana studi Islam berasal dari bahasa arab dalam bentuk masdar
yang secara harfiyah  berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata kerja salima diubah
menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri. Dengan demikian arti pokok Islam
secara kebahasaan adalah ketundukan, keselamatan, dan kedamaian. Secara terminologis,
Ibnu Rajab merumuskan pengertian Islam, yakni: Islam ialah penyerahan, kepatuhan dan
ketundukan manusia kepada Allah swt. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk perbuatan,
Di samping itu, Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Maliki al-Shawi mendefinisikan Islam
dengan rumusan Islam yaitu: atauran Ilahi yang dapat membawa manusia yang berakal
sehat menuju kemaslahatan atau kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhiratnya. Pendapat
lain menyatakan bahwa islam adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan
disempurnakan oleh rasullullah SAW yang memiliki sumber pokok al-quran dan sunnah
rasullullah SAW sebagai petunjuk umat islam sepanjang masa.
❖ Bimbingan Konseling Islam

43
Secara sederhana, gabungan dari masing-masing isitilah dari poin A dan B tersebut dapat
dikaitkan satu dengan lainnya sehingga menjadi sebutan Bimbingan Konseling Islam.
Dalam hal ini, Bimbingan Konseling Islam sebagaimana dimaksudkan di atas adalah
terpusat pada tiga dimensi dalam Islam, yaitu: ketundukan (keimanan), keselamatan
(keislaman) dan kedamaian (keihsanan). Batasan lebih spesifik, Bimbingan Konseling
Islam dirumuskan oleh para ahlinya secara berbeda dalam istilah dan redaksi yang
digunakannya, namun sama dalam maksud dan tujuan, bahkan satu dengan yang lain
saling melengkapinya. Berdasarkan beberapa rumusan tersebut dapat diambil suatu kesan
bahwa yang dimaksud dengan Bimbingan Konseling Islam adalah suatu proses pemberian
bantuan secara terus menerus dan sistematis terhadap individu atau sekelompok orang
yang sedang mengalami kesulitan lahir dan batin untuk dapat memahami dirinya dan
mampu memecahkan masalah yang dihadapinya sehingga dapat hidup secara harmonis
sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya demi tercapainya
kebahagiaan duniawiah dan ukhrawiah.
Pengertian tersebut antara lain didasarkan pada rumusan yang dikemukakan oleh H.M.
Arifin, Ahmad Mubarok dan Hamdani Bakran Adz-Dzaki. Bahkan pengertian yang
dimaksudkannya adalah mencakup beberapa unsur utama yang saling terkait antara satu
dengan lainnya, yaitu: konselor, konseli dan masalah yang dihadapi. Konselor
dimaksudkan sebagai orang yang membantu konseli dalam mengatasi masalahnya di saat
yang amat kritis sekalipun dalam upaya menyelamatkan konseli dari keadaan yang tidak
menguntungkan baik untuk jangka pendek dan utamanya jangka panjang dalam
kehidupan yang terus berubah. Konseli dalam hal ini berarti orang yang sedang
menghadapi masalah karena dia sendiri tidak mampu dalam menyelesaikan masalahnya.
Menurut Imam Sayuti Farid, konseli atau mitra bimbingan konseling Islam adalah
individu yang mempunyai masalah yang memerlukan bantuan bimbingan dan konseling.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan masalah ialah suatu keadaan yang mengakibatkan
individu maupun kelompok menjadi rugi atau terganggu dalam melakukan sesuatu
aktivitas.
Dalam pandangan Farid Hariyanto (Anggota IKI jogjakarta) dalam makalahnya
mengatakan bahwa bimbingan dan konseling dalam Islam adalah landasan berpijak yang
benar tentang bagaimana proses konseling itu dapat berlangsung baik dan menghasilkan
perubahan-perubahan positif pada klien mengenai cara dan paradigma berfikir, cara
menggunakan potensi nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara bertingkah
laku berdasarkan wahyu dan paradigma kenabian (Sumber Hukum Islam).
44
Beberapa ayat al-Quran yang berhubungan dengan bimbingan konseling diantaranya
adalah:

(Ali Imran: 104) “‫ َو ْلتَ ُك ْن‬ ‫ ِم ْن ُك ْم‬ ٌ‫ُأ َّمة‬  َ‫يَ ْد ُعون‬ ‫ِإلَى‬ ‫ ْال َخي ِْر‬  َ‫ َويَْأ ُمرُون‬ ‫ُوف‬ َ ‫ َوُأولَِئ‬ ‫هُ ُم‬  َ‫” ْال ُم ْفلِحُون‬
ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬  َ‫ َويَ ْنهَوْ ن‬ ‫ َع ِن‬ ‫ ْال ُم ْن َك ِر‬ ‫ك‬
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran:104)

 “(٣) ‫) َو ْال َعصْ ِر‬١( ‫ِإ َّن‬  َ‫اإل ْن َسان‬ ‫لَفِي‬ ‫ْر‬


ٍ ‫) ُخس‬٢( ‫الَّ ِذينَِإال‬ ‫آ َمنُوا‬ ‫الصَّالِ َحاتِ َو َع ِملُو‬  ‫صوْ ا‬ ِّ ‫بِ ْال َح‬ ‫صوْ ا‬
َ ‫ َوتَ َوا‬ ‫ق‬ َ ‫ َوتَ َوا‬ ‫صب ِْر‬
َّ ‫”بِال‬
Artinya:“Demi masa. Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang
beriman dan melakukan amal kebaikan, saling menasehati supaya mengikuti
kebenaran dan saling menasehati supaya mengamalkan kesabaran”. (Al-Ashr :1-3)

ُ ‫ا ْد‬ ‫ِإلَى‬ ‫يل‬
 ‫ع‬ َ ِّ‫ َرب‬ ‫بِ ْال ِح ْك َم ِة‬ ‫ َو ْال َموْ ِعظَ ِة‬ ‫ ْال َح َسنَ ِة‬ ‫ َو َجا ِد ْلهُ ْم‬ ‫بِالَّتِي‬ ‫ ِه َي‬  ُ‫َأحْ َسن‬ ‫ِإ َّن‬ ‫ك‬
ِ ِ‫ َسب‬ ‫ك‬ َ َّ‫ َرب‬ ‫ ِه َي‬  ُ‫َأحْ َسن‬ ‫ِإ َّن‬  َ‫ َربَّك‬ ‫ه َُو‬ ‫َأ ْعلَ ُم‬ ‫بِ َم ْن‬ ‫ض َّل‬
َ
( An-Nahl: 125) “‫ع َْن‬ ‫ َسبِيلِ ِه‬ ‫ َوهُ َو‬ ‫َأ ْعلَ ُم‬  َ‫بِ ْال ُم ْهتَ ِدين‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalann-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl:125)

B. Ciri-Ciri Bimbingan Konseling Islam


Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzaky, ciri khas konseling islam adalah sebagai
berikut:
1. Berparadigma pada wahyu dan keteladanan para Nabi dan para ahli warisnya.
2. Hukum konselor memberikan konseling pada klien dan klien meminta bimbingan
kepada konselor adalah wajib dan suatu keharusan dan bahkan merupakan ibadah.
3. Akibat konselor menyimpang dari wahyu dapat berakibat fatal baik bagi diri sendiri
maupun bagi kliennya.
4. Sistem konseling islam dimulai dari mengarahkan kepada kesadaran nurani dan
membaca ayat-ayat Allah.
5. Konselor sejati dan utama adalah mereka yang proses konseling selalu di bawah
bimbingan dan pimpinan Allah SWT dan Al-qur’an.

C. Tujuan Bimbingan Konseling Islam


Secara garis besar tujuan bimbingan konseling islam dapat dirumuskan untuk membantu
individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.

45
Sedangkan tujuan dari bimbingan dan konseling dalam Islam yang lebih terperinci adalah
sebagai berikut:
a. Untuk menghasilkan suatu perbuatan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan
mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai, bersikap lapang dada dan mendapatkan
pencerahan taufik dan hidayah Tuhanya.
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang
dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan
kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan
berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong-menolong dan rasa kasih sayang.
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan
berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi
segala perintahnya serta ketabahan menerima ujiannya.
e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat
melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar; ia dapat dengan baik
menanggulangi berbagai persoalan hidup; dan dapat memberikan kemanfaatan dan
keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.
f. Untuk mengembalikan pola pikir dan kebiasaan konseli yang sesuai dengan petunjuk
ajaran islam (bersumber pada Al-Quran dan paradigma kenabian .
Sedangkan dalam bukunya bimbingan dan konseling dalam islam, Aunur Rahim Faqih
membagi tujuan Bimbingan dan Konseling islam dalam tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umumnya adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Tujuan khususnya adalah:
1. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah.
2. Membantu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
3.   Membantu individu memlihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik
atau yang tetap baik menjadi tetap baik atau  menjadi lebih baik, sehingga tidak akan
menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.

D. Fungsi Bimbingan Konseling Islam


Menurut Ainur R. Faqih fungsi bimbingan konseling islam terdiri dari:

46
1. Fungsi Preventif, dapat diartikan sebagai upaya membantu individu atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya sendiri.
2. Fungsi Kuratif, diartikan sebagai membantu individu dalam pengentasan masalah
yang sedang dihadapinya.
3. Fungsi Preservative, diartikan sebagai upaya membantu individu menjaga kondisi
yang semula tidak baik menjadi baik dan kebaikan itu bertahan lama.
4.  Fungsi Development, diartikan sebagai upaya membantu individu memelihara dan
mengembangkan dituasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi
lebih baik, sehingga  tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya
permasalahan baginya.

Sedangkan Yahya Jaya menyatakan ada empat fungsi bimbingan dan konseling islam,
yaitu:
a. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi pelayanan bimbingan dan konseling yang
menghasilkan pemahama tentang sesuatu oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan
kepentingan pengembangan individu, seperti pemahaman tentang diri, lingkungan
terbatas (keluarga, sekolah) dan lingkungan yang lebih luas (dunia pendidikan, kerja,
budaya, agama, dan adat).
b. Fungsi pencegahan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang menghasilkan
tercegahnya atau terhindarnya individu dari berbagai  permasalahan yang dapat
mengganggu, menghambat atau menimbulkan kesulitan dala proses pendidikan dan
pengembangannya.
c. Fungsi pengentasan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang menghasilkan 
teratasinya berbagai permasalahan yang dialami individu.
d.  Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang
menghasilkan terpelihara dan terkembangnya berbagai potensi dan kondisi positif
individu dalam rangka pengembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.

E. Urgensi Bimbingan Konseling Islam dalam Pembelajaran


Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling disekolah/madrasah, bukan
terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang undangan) atau ketentuan
dari atas, namun yang lebih penting adalah upaya memfasilitasi peserta didik yang
selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai
tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, social, dan moral-
47
spiritual). Konseli sebagai seorang individu yang berada dalam proses berkembang atau
menjadi (on becaming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk
mencapai kematangan dan kemandirian tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena
mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan
lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu
terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung
secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain proses perkembangan itu tidak selalu
berjalan dalam arus linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang
dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun
social. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam
lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila
perubahan ang terjadi itu sulit diprediksi, atau diluar jangkauan kemampuan, maka akan
melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli,seperti terjadinya stagnasi
(kemandekan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Iklim
lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti maraknya tayangan televisi dan media-
media lain, penyalahgunaan alat kontraspsi, ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga,
dan dekandensi moral orang dewasa ini mempengaruhi perilaku atau gaya hidup konseli
(terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak
yang mulia), seperti pelanggaran tata tertib, pergaulan bebas, tawuran, dan kriminalitas.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti yang
disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara
sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Dengan
demikian, pendidikan yang bermutu efektif dan ideal adalah pendidikan yang tidak
mengesampingkan bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang
administrative dan instruksional dengan mengabaikan bimbingan dan konseling, hanya akan
menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang
memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Dengan dasar itulah bimbingan dan konseling sangat berperan penting dalam pembentukan
sosok peserta didik yang dicita-citakan seperti yang dicantumkan dalam undang-undang
nomor 20 tahun 2003, yaitu:
1. Beriman dan bertaqwa terhadap tuhan yang maha esa.
2.  Berakhlak mulia.
3. Memiliki pengetahuan dan keterampilan
48
4. Memiliki kesehatan jasmani dan rohani
5. Memiliki kepribadian yang mantap dan kebangsaan
6. Memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan itu bimbingan konseling disekolah
di orientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi
aspek pribadi, belajar dan karir, atau terkait dengan perkembangan konseli sebagai
makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial dan spiritual).

AZAS BK ISLAM DAN PRINSIP-PRINSIP BK ISLAMI


A. Dasar dan Dimensi Bimbingan Konseling Islam
Konseling Islami memiliki dimensi, yakni: dimensi spiritual dan dimensi material.
Layanan bantuan yang diberikan akan disesuaikan pada masing-masing dimensi yang
menjadi prioritas pada saat berlangsungnya proses konseling. Demikian juga peranan
konselor akan terlihat lebih mengarah pada dimensi yang diproiritaskan. Dalam hal ini Saiful
Akhyar Lubis mengemukakan bahwa dimensi spiritual menjadi bagian sentral dari konseling

49
Islami. Tujuannya difokuskan untuk memperoleh ketenangan hati, sebab ketidaktenangan
hati atau disharmoni, disintegrasi, disorganisasi, disekuilibirium diri self adalah sumber
penyakit mental. Penyakit mental harus segera disembuhkan, dan untuk memperoleh
kesehatan mental manusia harus menemukan ketenangan hati. Kemudian dimensi material,
yaitu upaya konseling bermaksud membantu klienkonseli untuk meningkatkan daya
intelektualnya dalam menerima dan memahami permasalahannya serta sekaligus dapat
merumuskan dan mendiagnosis, agar dapat memilih alternatif penyelesaian masalah yang
terbaik. Dalam hal ini, klien konseli didasarkan bahwa ia harus berikhtiar secara mandiri
menyelesaikan masalahanya. Ia dibantu agar mampu melakukan self counseling dan
sekaligus meyakinkan bahwa itulah yang terbaik, serta ia dibantu agar rajin melatih diri.
Pemaparan diatas menjelaskan bahwa dimensi konseling Islami yaitu dimensi spiritual dan
material sama-sama sifatnya membantu klien konseli dalam mengatasi masalah, baik yang
timbul dari dalam dirinya maupun dari luar.
Penetapan dasar suatu aktifitas manusia selalu berpedoman kepada pandangan hidup
dan hukum-hukum dasar yang dianutnya, karena hal ini yang menjadi pegangan dasar
kehidupannya. Apabila pandangan hidup dan hukum dasar yang dianut manusia berbeda,
maka berbeda pulalah dasar dan tujuannya. Dasar utama bimbingan dan konseling Islam
adalah Al-Qur’an dan Sunnah rasul, sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber
pedoman kehidupan umat Islam.
a. Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW, dengan lafadz bahasa arab dan makna hakiki untuk
menjadi hujjah bagi Rasulullah atas kerasulannya dan menjadi pedoman bagi
manusia dengan petunjuk beribadah membacanya. Nabi Muhammad SAW
sebagai seorang konselor pertama pada masa awal pertumbuhan Islam menjadikan
Al-Qur’an sebagai dasar bimbingan dan konseling Islam disamping sunah beliau
sendiri. AlQur’an secara normatif mengungkapkan lima aspek yang terkait dengan
bimbingan dalam dimensi kehidupan manusia yang dijelaskan oleh Ramayulis
meliputi: “Pertama, membimbing manusia (hifidz al-din) yang mampu menjaga
eksistensi agamanya, memahami dan melaksanakan ajaran agama secara
konsekuen dan konsisten, mengembangkan dan meramaikan, mendakwahkan dan
menyiarkan agama. Kedua, membimbing dan menjaga jiwa (hifdz al-nafs) yang
memenuhi hak dan kelangsungan hidup diri sendiri dan masing-masing anggota
masyarakat, karenanya perlu diterapkan hukum pidana Islam bagi yang
50
melanggarnya. Ketiga, membimbing manusia menjaga akal pikiran (hifdz al-aql)
yang menggunakan akal pikirannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah
SWT dan hukum-hukum-Nya dan menghindari dari perbuatan yang merusak diri
dan akal pikirannya. Keempat, membimbing manusia menjaga keturunannya
(hifdz al-nash) yang mampu menjaga dan melestarikan generasi muslim yang
tangguh dan berkualitas. Kelima, membimbing manusia menjaga harta dan
kehormatan (hifdz al-mal wa al-„irdh) yang mampu mempertahankan hidup
melalui pencarian rezeki yang halal, menjaga kehormatan diri dari pencurian,
penipuan, perampokan, riba, dan perbuatan zalim lainnya.”

b. Al-Sunnah
Al-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang biasa dilakukan, atau
jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang
tercela. Al-Sunnah sebagai sumber bimbingan konseling Islam dapat dipahami
dari analisis dari Muhammad Fadhil Al-Jamali berikut:
“Pertama, nabi Muhammad SAW tidak hanya memiliki kompetensi professional
(pengetahuan yang mendalam dan luas dalam ilmu agama dan ilmu lainnya)
seperti psikologi, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya, melainkan juga
memiliki kompetensi kepribadian berupa sifat terpuji, kompetensi pedagogic
(teaching skill) kemampuan dalam mendidik yang prima serta kompetensi sosial
berupa interaksi dan komunikasi dengan segala unsur masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa nabi Muhammad SAW konselor yang professional. Kedua,
nabi Muhammad SAW sewaktu berada di Makkah pernah menyelenggarakan
kegiatan bimbingan dan konseling Islam di Dar al-Arqam dan di tempat-tempat
lain secara tertutup. Ketika beliau berada di Madinah nabi Muhammad SAW
pernah menyelanggarakan kegiatan bimbingan dan konseling Islam di tempat
khusus pada bagian masjid yang dikenal dengan nama Suffah. Usaha-usaha
tersebut menggambarkan bahwa nabi Muhammad SAW memiliki perhatian yang
besar terhadap penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling Islam klien
(jamaahnya). Ketiga, sejarah mencatat, bahwa nabi Muhammad SAW sebagai
nabi yang paling berhasil mengemban risalah Ilahiyah, yakni membimbing
manusia dari Jahiliyyah menjadi beradab, dari tersesat menjadi lurus, dari
kegelapan menuju terang benderang dari kehancuran moral menjadi berakhlak
mulia, dari musyrik menjadi bertauhid. Keberhasilan ini terkait erat dengan
51
keberhasilannya dalam bidang budaya Islam serta revolusi yang mempunyai
tempo yang tak tertandingi dan gairah menantang. Dari sudut pragmatis,
seseorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran diantara
para pendidik.”

B. Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling Islam


Membangun asas bimbingan dan konseling Islam harus dari substansi dan eksistensi
manusia yang berdimensi vertikal, horizontal, dan diagonal. Pada dimensi vertical, manusia
dituntut untuk memahami makna diri sebagai hamba yang memiliki ketergantungan kepada
Allah. Dimensi horizontal dan diagonal, manusia dituntut kemampuannya untuk
menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungan sosialnya. Manusia tidak akan terbebas sama
sekali dari berbagai permasalahan hidup, dan kerapkali permasalahan tersebut dapat
melepaskan manusia dari kodrat fitrahnya, sehingga tidak lagi mampu memahami hakikat
dirinya sebagai makhluk Allah. Adapun asas-asas pelaksanaan bimbingan dan konseling
Islam yang ditulis oleh Ramayulis adalah:
1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat
Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
membantu klien atau orang yang dibimbing mencapai kebahagiaan hidup yang
senantiasa didambakan oleh setiap muslim.

2. Asas Fitrah
Sesuai dengan tujuan bimbingan dan konseling dalam Islam yaitu untuk
membantu klien mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya sebagai insan yang
beragama.

3. Asas Lillahi Ta‟ala (Keikhlasan)


Bimbingan dan konseling Islam itu senantiasa dilaksanakan dengan niat ikhlas
semata-mata karena Allah ta’ala sesuai dengan tujuan hidup manusia yang harus
senantiasa mengabdi kepada-Nya.

4. Asas Bimbingan Seumur Hidup


Bimbingan dan konseling ditinjau dari segi pendidikan itu wajib diterima
manusia sepanjang hidup.

52
5. Asas Kesatuan Jasmani dan Rohani
Bimbingan dan konseling Islam membantu individu untuk hidup dalam
keseimbangan antara jasmani dan rohani.

6. Asas Kemajuan Individu


Bimbingan dan konseling Islam berlangsung pada citra manusia menurut
Islam, memandang individu merupakan suatu maujud (eksistensi) tersendiri yang
tidak sama antara individu yang satu dengan yang lain.

7. Asas Kekhalifahan Manusia


Manusia menurut Islam diberikan kedudukan yang tinggi sekaligus tanggung
jawab yang besar yaitu sebagai pengelola alam semesta.

8. Asas Keselarasan dan Keadilan


Karena Islam menghendaki keadilan ditegakkan dalam semua segi kehidupan
manusia.
9. Asas Pembinaan Akhlakul Karimah
Menurut pandangan Islam manusia memiliki sifat baik dan sifat buruk. Maka
bimbingan dan konseling Islam untuk membantu klien menyempurnakan sifat baik.

10. Asas Kasih Sayang


Setiap manusia berhak mendapatkan cinta kasih dan rasa sayang dari orang
lain. Maka bimbingan dan konseling Islam dilakukan berlandaskan kasih sayang.

11. Asas Keahlian


Karena bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh orang yang punya
keahlian di bidang tersebut, baik dalam bidang metodologi maupun dalam bidang
teknik-teknik penyelenggaraan bimbingan dan konseling.

12. Asas Musyawarah


Dalam bimbingan dan konseling antara konselor dengan yang dibimbing
(klien) terjadi dialog yang baik, tidak ada perasaan tertekan atau pemaksaan.

13. Asas Sosialisasi Manusia


53
Bimbingan dan konseling Islam tetap menghargai hakikat manusia sebagai
makhluk sosial, dengan cara membimbing manusia untuk selalu berpartisipasi di
lingkungan sosial dimana dia berada.

14. Asas Saling Menghargai dan Menghormati


Bimbingan dan konseling Islam kedudukan pembimbing atau konselor dengan
yang dibimbing atau klien pada dasarnya sama atau sederajat. Perbedaannya terletak
pada fungsinya saja, yakni pihak yang satu memberikan bantuan dan yang satu
menerima bantuan. Hubungan yang terjalin pembimbing dengan yang dibimbing
merupakan hubungan yang saling menghormati sesuai dengan kedudukan masing-
masing.”

Asas dimaksudkan sebagai kaidah, ketentuan yang ditetapkan serta dijadikan


landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan konseling Islam. Semua asas-asas di
atas dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyelenggarakan bimbingan dan
konseling Islam.

C. Metode Bimbingan Konseling Islam


Dilihat dari cara memperoleh (metodologi), sumber psiko-terapi berwawasan Islam ada
empat, yaitu: 1) metode Istimbath; 2) metode Iqtibas; 3) metode Istiqro; dan 4)
metode jami bayna nufus al-zakiyyah wal-‘uqul al-shafiyyah. Dari manhaj-manhaj ini
dikembangkan beberapa metode seperti: 1) terapi dengan Al-quran; 2) terapi dengan
doa; 3) terapi dzikir; 4) terapi sholat; 5) terapi mandi; 6) terapi puasa; 7) terapi
hikmah; dan 8) terapi tarikat dan tasawuf, (Isep Zainal Arifin, 2009:42-45). Di
antaranya tidak hanya itu metode-metode yang dilakukan oleh seorang konselor, karena
pada saat ini banyak sekali para ahli yang menciptakan perubahan pada metode-metode
yang baru. Para konselor sangat memerlukan beberapa metode yang digunakan dalam
menangani kliennya. Antara lain metodenya sebagai  berikut:
1.   Metode Interview
Yaitu informasi yang merupakan suatu alat untuk memperoleh fakta/data/informasi dari
murid seacara lisan. Wawancara informatif dapat dibedakan atas wawancara yang
terencana dan wawancara yang tidak terencana.
2.   Group Guidance (dengan menggunakan kelompok)

54
Pembimbing dan konseling akan mengembangkan sikap sosial, sikap memahami
peranan anak bimbing dalam lingkungannya yang menurut penglihatan orang lain
dalam kelompok itu karena ingin mendapatkan pandangan baru tentang dirinya
dari orang lain serta hubungannya dengan orang lain.
3.    Client Centered Method
Metode ini sering disebut tidak mengarahkan, dalam metode ini terdapat dasar
pandangan bahwa klien sebagai mahluk yang bulat yang memiliki kemampuan
berkembang sendiri. Menurut  Dr. William  E. Hulme  dan Wayne K. Climer lebih
cocok  dipergunakan oleh pastoral konselor (penyuluh agama). Karena konselor
akan lebih dapat memahami kenyataan penderitaan klien yang biasanya bersumber
pada perasaan dosa yang banyak menimbulkan perasaan cemas, konflik kejiwaan
dan gangguan jiwa lainnya. Jadi jika konselor menggunakn metode ini, ia harus
bersikap sabar mendengarkan dengan penuh perhatian segala ungkapan batin klien
yang di utarakan kepadanya.
4.    Directive Counseling
Sebenarnya merupakan bentuk psikoterapi yang paling sederhana, karena konselor, atas
dasar metode ini, secara langsung  memberikan jawaban-jawaban terhadap problem
yang oleh klien disadari menjadi sumber kecemasannya, (Samsul Munir
Amin, 2010:69-72). Waiters, dan Singgi D Gunarasa, menyebutkan ada tiga teknik
dalam wawancara konseling, yang dikenal dengan the three traditional approach,
yaitu teknik langsung  (directive) tak langsung (non directive) dan teknik
campuran (eclective).
a)      Teknik Langsung (Directive Approach)

Teknik ini juga disebut dengan pendekatan berpusat pada konselor. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam interaksi konseling, konselor lebih banyak berperan
untuk menentukan sesuatu. Teknik langsung dapat diberikan secara langsung dalam
berbagai cara, konselor yakin ada dasar-dasar teori untuk melakukan seketika
sehingga lebih merupakan suatu kegiatan dengan pertimbangan harus segera
dilakukan. Teknik ini dapat dilakukan terhadap klien yang mungkin
memerlukan waktu yang tidak lama. Teknik langsung juga bisa dilakukan dengan
teknik informative.
Willimson membagi kegiatan teknik langsung menjadi enam langkah yaitu:
1)      Analisis
55
2)   Sintesis
3)   Diagnosis
4)   Prognosis
5)   Konseling
6)   Follow up

b)     Teknik  Tidak Langsung (Non Directive Approach)


Istilah non directive menggambarkan penekanan pada penerimaan
klien,  pembentukan suasana positif yang netral, percaya kepada klien dan
mempergunakan penjelasan dari dunia klien sebagai tehnik utama, dan istilah client
centered menggambarkan penekanan kepada pemantulan kembali perasaan-
perasaan klien, menyatukan perbedaan-perbedaan antara diri yang ideal (ideal self)
dengan dirinya yang sesudahnya (real self), menghindarkan sesuatu yang
mengancam klien secara pribadi. Secara singkat dapat ditegaskan bahwa non
directive menggambarkan peran konselor sebagai pendengar yang baik dan pemberi
dorongan klien, dan pada klient centered, menggambarkan pemusatan pada
tanggung jawab klien terhadap perkembangan dirinya sendiri.
Teknik tidak langsung ini mendasarkan kepada suatu teori tentang hakikat manusia
yang menyatakan   “jika dalam proses konseling bisa tercipta suasana hangat,
penerimaan, maka orang akan menaruh kepercayaan terhadap konselor, bahwa dia
(konselor)  ikut memikirkan bersama dan konselor tidak melakukan penilaian-
penilaian, maka orang akan merasa bebas untuk memeriksa prasaan dan dan
perilakunya yang mana hal itu berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan
dan penyesuaian diri. Teknik ini menekankan pada titik pandang bahwa setiap individu
(termasuk klien) pada dasarnya memiliki kapasitas untuk bekerja secara efektif dengan
aspek kehidupan yang disadari. Salah satu hipotesis utama yang terkenal dari Rogers,
yang mendasari pendekatan yang berpusat pada klien adalah orang memiliki sumber-
sumber di dalam dirinya sendiri untuk mengenali diri sendiri, untuk mengubah-ubah
konsep diri sendiri, sikap dasar, tindakan pengarahan diri”.
Langkah-langkah non directive
Menurut Carl Rogers dan Dewa Ketut Sukardi, terdapat dua belas langkah yang dapat
dipedomani dalam melaksanakan teknik non directive. Namun langkah-langkah
tersebut dapat berubah karena langkah-langkah tersebut bukanlah yang baku dan
kaku. Langkah tersebut diantaranya adalah:
56
1)  Klien datang sendiri kepada konselor secara sukarela.
2)  Merumuskan situasi bantuan.
3) Mendorong klien untuk mau berbuat mengungkapkan perasaan yang dirasakan
sangat bebas dan obyektif.
4) Konselor berusaha dengan tulus dapat menerima dan menjernihkan perasaan klien
yang bersifat negatif.
5) Apabila perasaan-perasaan negatif telah terungkapkan sepenuhnya maka secara
psikologis bebannya akan berkurang.
6)   Konselor berusaha menerima perasaan positif pada klien.
7)  Pada waktu mengungkapkan perasaan itu diikuti oleh perkembangan
secara berangsur-angsur tentang wawasan klien mengenai dirinya.
8) Apabila telah memiliki pemahaman tentang masalahnya dan menerimanya, mulailah
membuat suatu keputusan untuk langkah  selanjutnya.
9)  Mulai melakukan tindakan-tindakan yang positif.
10)  Perkembangan lebih lanjut tentang wawasan klien.
11)  Meningkatkan tindakan positif secara terintegratif pada diri klien.
12) Mengurangi ketergantungan klien atas konselor dan memberitahukan secara
bijaksana bahwa proses konseling  perlu diakhiri.
c)      Konseling Eklektik (Eclectic Counseling)
Adalah pandangan yang berupaya menyelidiki berbagai sistem, metode, teori, atau
doktrin. Dengan maksud untuk memahami dan (bagaimana) menerapkannya dalam
situasi yang tepat. Konseling eklektik juga bisa disebut dengan campuran dari
kedua teknik di atas (directive counseling dan non directive counseling). Dalam  eklektik
ini ada beberapa pokok perhatian diantaranya  yaitu:
1)      Esensial bagi konselor yang berpengalaman dalam pemahaman dan penerimaan
diri klien serta berkemampuan mengkomunikasikannya dengan klien.
2)      Penerimaan diri klien.
3)      Penekanan terhadap sifat hubungan dari pada teknik yang dipergunakan, yang
diwarnai oleh suasana kepercayaan, respek dan simpatik.
4)      Konselor membantu untuk melengkapi dan menggunakan sumber-sumber pribadi
dan lingkungan, (Sjahudi Siradj, 2010:105-119).
5.     Educative Method (metode pencerahan)
        Metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode client
centered hanya bedanya terletak pada usaha mengorek sumber perasaan yang menjadi
57
beban tekanan batin klien serta mengaktifkan kekuatan/atau tenaga kejiwaan klien
(potensi dinamis) melalui pengertian tentang realitas situasi yang dialami olehnya. Oleh
karena itu inti dari metode adalah pemberian “insight” dan klarifikasi           unsur-unsur
kejiwaan yang menjadi sumber konflik sesorang. Jadi, di sini juga tampak bahwa sikap
konselor ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk
mengekpresikan (melahirkan) segala gangguan kejiwaan yang disadari menjadi
permasalahan baginya.
6.         Psychoanalysis Method
Metode psikoanalisis juga terkenal dalam konseling  yang mula-mula diciptakan oleh
Sigmund  Freud, metode ini berpangkal pada pandangan bahwa semua manusia itu jika
pikiran dan perasaannya tertekan oleh kesadaran dan perasaan atau motif-motif  tertekan
tersebut tetap masih aktif  mempengaruhi segala tingkah lakunya meskipun mengendap
ke dalam tidak sadaran (Das es) yang disebutnya “verdrogen komplexen”.
Dari Das es inilah Freud mengembangkan teorinya tentang struktur kepribadian manusia.
Setiap manusia di dalam perkembangan kepribadiannya senantiasa dipengaruhi oleh
unsur-unsur Das es (lapisan ketidaksadaran) dan Das es (lapisan sadar) serta Das Heber
Ich (lapisan atas kasadaran ) atau dalam bahasa Inggris disebut masing-masing “ the id
ego dan the super ego”. Kepribadian manusia menurut teori ini sangat dipengaruhi oleh
faktor pengalaman masa kanak-kanak kemudian berlanjut sampai masa dewasa, (Samsul
Munir Amin, 2010:72-74).

SYARAT, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB KONSELOR ISLAMI

A. Syarat Konselor Islami


Landasan religius dalam bimbingan dan konseling Islami mengimplikasikan bahwa
konselor sebagai ‘’ helper’’ , pemberian bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman
akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling kepada klien. Konselor Islami seyogiyanya menyadari bahwa memberikan
layanan bimbingan dan konseling kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang
bernilai ibadah karena dalam proses bantuannya terkadang nilai menegakkan ‘’amar

58
ma’ruf nahyi munkar’’ (memerintahkan kebikan dan mencegah kemungkaran). Agar
layanan bantuan yang diberikan itu mengandung nilai ibadah, maka aktivitas bimbingan
dan konseling tersebut harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesebaran.
Kaitannya dengan persyaratan bagi seorang konselor agama Islam, harus diperhatikan
kriteria-kriteria sebagai berikut:
a) Konselor Islam hendaknya orang yang menguasai materi khususnya dalam masalah
keilmuan agama slam, sehingga pengetahuannya mencakup dalam hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keagamaaan.
b) Konselor Islam hendaklah orang yang mengamalkan nilai-nilai agama Islam dan
konsekuen, tercermin melalui keimanan, ketakwaan, dan pengalaman dalam
kehidupannya sehari-hari.
c) Konselor Islami sedapat mungkin mampu mentransfer kaidah-kaidah agama Islam
secara garis besar yang relevan dengan masalah yang dihadapi klien.
d) Konselor islami hendaknya menguasai metode dan strategi yang tepat dalam
menyampaikan bimbingan dan konseling kepada klien, sehingga klien dengan tulus
akan menerima nasihat konselor.
e) Konselor Islami memiliki pribadi yang terpuji sebagai teladan dalam perilaku baik di
tempatnya bekerja maupun di luar tempat bekerja. Perilakunya adalah perilaku yang
terpuji sebagai ”uswatun hasanah”, yang mampu menegakkan “amar ma’ruf nahi
munkar”
f) Konselor Islami hendaknya menguasai bidang psikologi secara internal, sehingga
dalam tugasnya melaksanakan bimbingan dan konseling akan dengan mudah
menyampaikan nasihat dengan pendekatan psikologi.
Untuk lebih mengetahuai persyaratan konselor Islami akan diuraiakan sebagai
berikut:
1. Persyaratan yang berkaitan dengan pendidikan
Seorang konselor serendah-rendahnya harus mempunyai ijazah sarjana muda dan
memiliki sertifikat mengajar. Sedangkan untuk menjadi konselor profesional, paling tidak
harus memiliki ijazah sarjana (S1) bidang bimbongn konseling.
Bidang –bidang yang harus dikuasai meliputi: a. Proses konseling b. Pemahaman tentang
individu c. Informasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan jabatan d. Administrasi dan kaitannya
dengan program bimbngan e. Prosedur penelitian dan penilaian bimbingan
Dari aspek pengalaman, seorang konselor yang propesional harus memiliki pengalaman
yang mengajar atau melaksanakan praktek konseling selama dua tahun, ditambah satu tahun
59
pengalaman bekerja di luar bidang pendidikan, dan selama tiga hingga enam bulan
mengadakan praktek konseling yang diawasi oleh team pembimbing secara intensif,
pengalaman-pengalaman yang ada kaitannya dengan kegiatan sosial serta kemampuan
memimpin dengan baik.
2. Persyaratan Yang Berkaitan Dengan Kepribadian
Seorang konselor sebaiknya memiliki sifat-sifat kepribadian tertentu, diantaranya: a.
Memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik. b. Memiliki
kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik. c. Memahami batas-batas
kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. d. Memiliki minat yang mendalam mengenai
murid-murid, dan berkeinginan. dengan sunguh-sungguh untuk memberikan bantuan kepada
mereka. e. Memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, dan estabilan emosi.
3. Persyaratan yang berkaitan dengan sifat dan sikap
a. Sifat Asli Seorang konselor sebaiknya dapat memperlihatkan sifat keasliannya dan
menghindari sifat berpura-pura, sebab sifat kepura-puraan yang ditampilkan konselor akan
menyebabkan kekecewaan dan ketidakpercayaan kliean kepada konselor setelah klien
mengetahui sifat asli konslor tersebut, dan jika hal itu dapat dibaca oleh klien maka klien
akan bersifat tertutup pada konselor. Sebagai akibat ketertutupan itu, maka proses konseling
tidak dapat berjalan dengan baik.
b. Penerimaan Terhadap klien Konselor sebaiknya dapat menerima klien apa adanya,
konselor juga sebaiknya dapat memberikan penghargaan pada klien. Penghargaan yang di
maksud adalah dalam bentuk financial atau material, tetapi cara konselor dalam menerima
klien. Konselor tidak boleh menuntut cara-cara tertentu pada klien, lebih-lebih lagi meminta
bayaran yang tinggi yang dapat menyulitkan klien, karena hal seumpama ini akan dapat
merubah pandangan dan keyakinan klien kepada konselor bahkan cara sepeti ini sangat
bertentangan dengan kode etik bimbingan. Oleh karena itu, setiap konselor disarankan agar
dapat menerima klien apa adanya dan bukan apa seharusnya.
c. Penuh pengertian Setiap konselor sebaiknya dapat menunjukkan sifat penuh pengertian
terhadapa kliennya. Konselor juga diharapkan dapat memahami apa yang diungkapkan oleh
klien, baik melalui kata-kata maupun melalui isyrat. Pada halhal seperti inilah kecekata dan
kemahiran konselor dipertaruhkan, artinya mampukah konselor mendeteksi melalui gejala-
gejala yang ada tentang masalah yang tengah dihadapi klien atau tidak. Bagi konselor yang
profesional, informasi yang diberikan klien serta roman muka yang diperlihatkan klien ketika
dialog berlangsung akan mampu di baca oleh konselor sejauh mana masalah yang tengah ia
hadapi. Untuk itu sebelum konselor memberikan terapi follow-up kepada klien, konselor
60
sebaiknya memberikan informasi dari orang-orang yang terdekat dari klien seperti orang tua
klien, saudaranya ataupun teman-dekat klien, disamping diri klien tersendiri.
d. Sifat jujur dan bersungguh-sungguh Setiap konselor harus mempunyai sifat jujur dan
penuh kesungguhan, sebab kejujuran dan kesungguhan dapat meningkatkan saling pengertian
dan menghargai. Sifat kejujuran dan kesungguhan yang diperlihatkan oleh konselor kepada
klien, dapat memotivasi klien menemukan jati dirinya dan klien akan menghadapi semua
persoalan lebih realitas lagi.
e. Kemampuan berkomunikasi Keterampilan barkomunikasi sangat menentukan berhasil
atau gagalnya konselor dalam melaksanakan proses konselor. Sebaiknya konselor mampu
memotivasi klien agar klien dapat mengekpresikan diri dengan cara yang hangat dan
sungguh-sungguh. Dalam proses konseling, konselor dianjurkan untuk menghidupkan
komunikasi dua arah, di mana pada saat-saat tertentu konselor sebaiknya memberikan
peluang atau waktu bagi klien untuk menceritakan pengalamannya yang merupakan
penyebab munculnya masalah yang dihadapinya, tetapi pada sat-saat tertentu pula konselor
harus mencari tehnik yang tepar sehingga klien mau bercerita, sebab tanpa informasi yang
tepat, maka konselor akan sulit melaksanakan proses konseling, bahkan terapi yang diberikan
dikhawatirkan tidak sesuai dengan jenis penyakit(masalah) yang dihadapi klien.
f. Kemampuan berempati Secara sederhana berempati dapat diartikan mengerti dan dapat
merasakan perasaan orang lain. Empati tidak sama dengan simpati, karena simpati hanya
sebatas ada rasa kagum, salut, gembira atau sedih pada kondisi seseorang, sementara empati
adalah merasakan apa yang dirasakan dan dihadapi seseorang itu, dan seakan-akan masalah
orang lain (klien) masalah pribadinya. Jika saja konselor merasa bahwa masakah klien sama
dengan masalah pribadinya, maka ia akan berusaha dengan berbagai cara sehingga masalah
yang mengganggu itu hilang dari dirinya.
g. Membina keakraban Hubungan yang harmonis dan serasi antara konselor dengan klien
perlu diciptakan. Setiap konselor dituntut agar memiliki kemampuan untuk membina
keakraban dengan klien dalam batas-batas yang wajar dan sesuai dengan prinsip agama dan
etika. Keakraban akan semakin cepat tumbuh dan berkembang jika saja konselor bisa
menaruh perhatian dan menerima klien apa adanya.
h. Terbuka Untuk lebih berhasil dan berdaya gunanya proses konseling,sebaiknya konselor
dan klien harus terbuka. Konselor sebaiknya harus memiliki kiat-kiat tersendiri sehingga bisa
berdialog secara terbuka dengan klien, dan andainya klien bersikap tertutup dan tidak mau
menceritakan masalah yang dihadapinya secara terbuka kepada konselor, maka proses

61
konseling tidak bisa terwujud dengan baik, artinya kalaupun proses konseling tetap
dijalankan, tetapi tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
4. Persyaratan yang berkaitan dengan kepemimpinan
Dalam pandangan islam konselor dapat diidentifikasikan dengan seorang pemimpin, karena
tugas konselor termasuk memimpin dan mengarahkan orangorang yang dipimpinnya atau
orang-orang yang bermasalah supaya mereka memahami diri mereka dan pada akhirnya
mereka (klien) dapat menerima diri mereka dengan baik dan dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Sehubungan dengan itulah, konselor sebaiknya menguasai gaya
kepemimpinan, karena dalam proses konseling, konselor mungkin saja menggunakan
bimbingan kelompok atau mungkin juga melalui konseling individual secara berhadapan.
A. Tugas dan Tanggung Jawab Konselor Islami
Menurut W. S Winkel, layanan-layanan bimbingan konseling (quidance services) yang
menjadi tanggung jawab/petugas dari ahli bimbinggan adalah sebagai berikut :
1. Orientasi (orientation service) memperkenalkan lingkungan sekolah kepada siswa baru,
misalnya tentang program pengajaran , kegiatan ekstrakulikuler, aturan sekolah dan suasana
pergaulan, serta cara-cara belajar yang baik, pelayanan ini biasanya dilaksanakan secara
sekelompok.dari pula kontak dengan orang tua.
2. Pengumpulan data tentang siswa yaitu untuk memperoleh informasi tentang berbagai
aspek pada siswa, yaitu untuk memperoleh informasi tentang barbagai aspek pada siswa
misalnya latar belakang keluarga riwayat sekolah, riwayat kesehatan, kemampuan intelektual,
dan bakat khsusus, minat dan cita-cita hidup, serta ciri-ciri hidup dan ciri-ciri kepribadianya.
3. Penyebaran informasi kepada siswa di sampaikan sejumlah hal-hal yang perlu
diperhatikan siswa misalnya tantang cara memilih jurusan, sekolah lanjutan, dan jenis-jenis
parguruan tinggi yang tersedia, kesempatan kerja yang terbuka dan informasi yang di berikan
secara kelompok.
4. Bantuan dalam mencari pekerjaan atau sekolah lanjutan (placement service),
penyaluran lulusan-lulusan sekolah di dunia kerja dan kejenjang  pendididkan yang lebih
tinggi sebagai persiapan untuk memasuki bidang kerja, pelayanan ini di berikan secara
individu.
5. Wawancara konseling (caunseling service) di berikan kesempatan seama jam sekolah
untuk berkonsultasi dengan seorang yang akhli dalam bidang konseliing. jalur pelayanan ini
yang paling penting dalam program bimbingan yang merupakan pusat dari kegiatan
bimbingan, dan biasanya di berikan secara individu maupun kelompok.

62
6. Risert tentang keberhasilan program bimbingan dan pelayanan terhadap mereka yang
sudah lulus sekolah.
Tanggung jawab seorang pembimbing di sekolah ialah membantu kepala sekolah beserta
stafnya di dalam penyelenggaraan kesejahteraan sekolah. Sehubungan dengan fungsi ini,
maka seorang pembimbing mempunyai tugs-tugas tertentu, yaitu:
1. Mengadakan penelitian ataupun observasi terhadap situasi atau keadaan sekolah, baik
mengenai peralatannya, tenaganya, penyelenggaranya, maupun aktivitas-aktivitas lannya.
2. Berdasarkan atas hasil penelitian atau observasi tersebut, maka pembimbing berkewajiban
memberika saran-saran ataupun pendapat-pendapat kepada kepala sekolah ataupun stas
pengajar lain demi kelancaran dan kebaikan sekolah
3. Menyelengarakan bimbingan terhadap anak-anak baik yg bersifat preventif, maupun
bersifat korektif atau kuratif.
a.Yang bersifat preventif yaitu tujuan menjaga agar anak-anak tidak mengalami kesulitan-
kesulitan, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
b.Yang bersifat preservative ialah suatu usaha untuk menjaga keadaan yang telah baik agar
tetap baik,.
c.Yang bersifat korektif ialah mengadakan konseling kapada anak-anak yang mengalami
kesulitan-kesulitan, yang tidak dapat dipecahkan sendiri.
4. Pembimbing dapat mengambil langkah-langkah tertentu yang dipandang perlu untuk
kesejahteraan sekolah atas pesertuuan pihak sekolah.

KONSEP RASULULLAH SEBAGAI PROFIL KONSELOR TELADAN

A. Pengertian Konselor Profesional


Konselor merupakan pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi digambarkan dengan tampilnya
konselor yang dapat memberikan ketenteraman, kenyaman dan harapan baru bagi

63
klien. Untuk menjadi seorang konselor professional haruslah menampilkan sikap
hangat, empati, jujur, menghargai, dan yang paling penting dapat dipercaya (terjaga
kerahasiaan konseli). Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati
dirinya secara utuh, tepat dan berarti, serta membangun hubungan antar pribadi yang
unik dan harmonis, dinamis, persuasif, dan kreatif, sehingga menjadi motor penggerak
keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini alat yang paling penting
untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai
pribadi. Disamping itu, dalam mengambil keputusan secara efektif, diperlukan
kualitas hubungan antar pribadi yang baik dari konselor dalam konseling.
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya
layanan bimbingan dan konseling secara efektif, sebagaimana adanya tuntutan
profesi, konselor harus memiliki kualitas pribadi. Keberhasilan konseling lebih
tergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik.
Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan
pendidikan akademik strata satu program studi bimbingan dan konseling serta
program pendidikan profesi konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Dibalik itu, bagi individu yang
menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan pelayanan
bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal
diselenggarakan oleh konselor. Dalam mencapai kualitas yang professional, seorang
konselor hendaknya mengembangkan struktur internal, ini dimulai dari diri konselor
sendiri untuk memfasilitasi kemampuan untuk mengidentifikasi keterampilan dan
wawasan ilmu pengetahuan, mengenali kesulitan yang terjadi pada setiap sesi
pelayanan bimbingan dan proses konseling, memperhatikan tema atau topik selama
melakukan pemberian sesi pelayanan bimbingan dan proses konseling, mulai
menyadari setiap gangguan hambatan konseli yang mengganggu kemajuan
pelaksanaan bimbingan dan konseling, senantiasa menghidupkan kembali gairah dan
rasa ingin tahu dalam membantu bimbingan dan konseling serta menumbuhkan
kemampuan akses intuisi dan kreativitas pada ketika berperan sebagai konselor.
Adapun istilah professional berasal dari kata profesi yang artinya suatu pekerjaan
yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise).
Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni
pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan
intelektualitas. Sedangkan menurut Jasin Muhammad profesi adalah suatu pekerjaan
64
yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki
dedikasi, serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang beorientasi pada pelayanan
yang ahli. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan
kompetensi intelektualitas, sikap, dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui
proses pendidikan secara akademis yang intensif. Profesional dalam UndangUndang
Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Di dalamnya terintegrasikan tiga komponen menjadi satu, yaitu sebagai berikut:
a. Dasar keilmuan profesi konseling dimaksudkan sebagai basis keintelektualan
profesi dalam bidang keilmuannya, yang selanjutnya menjadi landasan dalam
pengembangan/pengolahan substansi profesi, maka dasar keilmuan wawasan
konseling adalah ilmu pendidikan.
b. Substansi profesi konselor terliput di dalamnya objek praktis spesifik dan
kompetensi profesi, di dalam komponen substansi profesi, dalam wawasan konseling
mengandung muatan kondisi peserta didik dan proses pembelajaran melalui modus
pelayanan konseling.
c. Praktik profesi konseling merupakan wujud karyaguna pemegang profesi yang
sepenuhnya terlaksana dalam suasana motivasi dan aplikasi melalui proses
pembelajaran melalui modus pelayanan konseling.
Sejatinya, Rasulullah telah mempraktekkan dan menjalankan semuanya itu, hanya
saja keadaan pendidikan yang tidak beliau dapatkan dikarenakan zaman yang berbeda
dengan saat sekarang.

B. Syarat-Syarat dan Kriteria Konselor Profesional


Kualitas pribadi dari seorang konselor dipandang sebagai kualitas umum yang
diperlukan untuk menentukan hasil dari usaha profesional dalam proses bimbingan
dan konseling. Kualitas umum akan senantiasa terkait dengan kaidah nilai dan norma
yang dianut oleh konselor itu sendiri. Salah satu kaedah nilai dan norma yang terkait

65
tersebut diantaranya adalah keyakinan dan pandangan hidup yang terbentuk melalui
keyakinan beragama.

Pada sisi yang berbeda Ahmad & Setiawan memandang bahwa terdapat hubungan yang khas
antara keterampilan konseling dengan pelaksanaan proses konseling sebagai bagian dari
kompetensi profesionalisme konselor dengan menyebutkan sejumlah hadist tentang hal
tersebut.

Salah satunya yaitu pada ayat-ayat surah Al Ashar dapat kita identifikasi sejumlah kriteria
yang dapat menjadi dasar dari kompetensi profesionalisme konselor.

a. Kriteria mengacu pada potongan ayat:”...orang-orang yang beriman...” Seorang


konselor hendaknya memiliki kompetensi profesionalisme yang dilandasi oleh iman dan
takwa. Kompetensi profesionalisme berlandaskan iman dan takwa memiliki posisi strategis
dalam tiga hal: pertama, meyakini dan mengimplementasikan segenap ajaran Islam sebagai
media konseling untuk membantu konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling secara
menyeluruh; kedua, selain meyakini dan mengimplementasikan juga dimaksudkan juga
sebagai asas mendasar yang menunjukkan bahwa ajaran Islam merupakan penyelamat umat
manusia dari garis fitnah menjadi garis fitrah tanpa kecuali; ketiga, menjadikan Rasulullah
Saw sebagai teladan ideal seorang konselor melaksanakan proses konseling.

Mengacu pada kemutlakan posisi strategis keimanan dan ketakwaan tersebut selaras
dengan semangat surah Al Ashr maka kompetensi profesionalisme konselor didorong untuk
memiliki rasa empati, saling mengasihi dan bersimpati yang dilandasi oleh cinta kasih yang
tulus bukan hubungan profesional yang kaku antara pengobat dan mereka yang berobat.
Sebagaimana hadist yang disebutkan bersumber dari Al Nu‟man Bin Bashir Ra bahwa
Rasulullah Saw pernah bersabda,”Kau lihat orang-orang mukmin saling mengasihi,
mencintai, bersikap baik satu sama lain layaknya sebuah tubuh. Apabila salah satu dari
bagian tubuhnya sakit maka bagian tubuhnya yang lain merasakan sakit pula.”(HR.
Bukhari). Oleh karena itu, sikap berprasangka buruk dihindari dan senanatiasa menganggap
konseli dalam perspektif yang positif, sebagaimana hadist yang disabdakan oleh Rasulullah
Saw dan bersumber dari Abu Hurairah Ra: Nabi Saw pernah bersabda, “Hati-hatilah
dengan prasangka karena prasangka adalah yang terburuk dari kabar palsu, jangan
mencari-cari dan memata-matai kesalahan orang lain; jangan saling mencemburui (iri) satu
sama lain; dan jangan memutuskan hubungan satu sama lain ; jangan saling membenci satu
sama lain, dan jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara.”(HR. Bukhari)

66
Menurut Feltham, bahwa untuk membangun hubungan yang berkualitas, spontan dengan
berlandaskan akurasi yang tepat dalam proses bimbingan dan konseling sangat diperlukan.

b. Kriteria yang mengacu pada:”...dan mengerjakan amal saleh…” Profesi konselor


pada hakikatnya tidak lepas dari nilainilai kebajikan untuk mendorong konseli untuk lebih
memperbaiki diri agar menjadi orang yang lebih baik lagi. Istilahnya hal tersebut dikatakan
sebagai mengerjakan amal saleh. Hanya saja dalam implementasi amal saleh sebagaimana
selaras dengan semangat surah Al Ashr adalah menjadikan konseli lebih mendekatkan diri
kepada Allah Swt dan menjadi pribadi yang positif. Kita dapat berpatokan pada sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Jabir Bin Abdullah Ra: Nabi Saw pernah bersabda, “Setiap
perbuatan ma‟ruf (tauhid dan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan
dalam agama Islam) adalah sedekah.”(HR. Bukhari).

c. Kriteria yang mengacu pada:”…saling menasihati supaya mentaati kebenaran…”


Berbeda dengan beragam profesi yang lain maka profesi bimbingan dan konseling memiliki
dinamika yang berkembang cukup luas karena pada satu sisi, menghasilkan medan yang kaya
dengan dinamika yang bersifat komprehensif dan inklusif namun juga pada sisi yang lain
berbeda telah memberikan kontribusi untuk identitas berkesinambungan yang tidak memiliki
peran dan fungsi yang jelas, demikian penggambaran yang diberikan oleh Irmo Marini &
Mark A. Stebnicki tentang bimbingan dan konseling. Namun apabila kita kembalikan pada
kriteria surah Al Ashr maka kita akan menyadari bahwa kriteria yang mengacu pada:”…
saling menasihati supaya mentaati kebenaran…” akan menghapus sisi ketidakjelasan
gambaran dinamika pelaksanaan bimbingan dan konseling Dengan demikian sikap yang
sebaiknya ditunjukkan kepada konseli sebagaimana kemudian ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW, diriwayatkan dari Anas Bin Malik Ra: Nabi Saw, bukan seorang sabbab (pencela),
fahisy dan pengutuk. Seandainya Nabi Saw ingin menegur salah seorang dari kami, beliau
cukup berkata, “Apa yang salah dengannya. Semoga keningnya dipenuhi dengan debu.”(HR.
Bukhari).

d. Kriteria yang mengacu pada:”… saling menasihati supaya menetapi kesabaran”


Kriteria yang terakhir dari semangat surah Al Ashr adalah menetapi kesabaran. Poin ini
merupakan poin terakhir namun juga sekaligus penting karena disinilah terletak essensi
bimbingan dan konseling itu sendiri.

Untuk itu, Rasulullah Saw menunjukkan sikap kesabaran sebagaimana dimaksud melalui
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana disaksikan oleh Anas Ra.

67
Diriwayatkan dari Anas Ra: Selama sepuluh tahun aku menjadi pelayan Rasulullah Saw dan
beliau tidak pernah berkata kepadaku ‟uff‟ (ungkapan buruk yang menunjukkan
ketidaksabaran) dan tidak pernah menyalahkanku dengan berkata, “Mengapa engkau
lakukan ini, mengapa engkau tidak lakukan itu?”(HR. Bukhari). Salah satu yang penting
dalam melihat keprofesionalitas konselor ialah mengamati kompetensi akademiknya.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional,
yang meliputi: a. Memahami secara mendalam konseli yang dilayani, b. Menguasai landasan
dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, c. Menyelenggarakan pelayanan bimbingan
dan konseling yang memandirikan, dan d. Mengembangkan pribadi dan profesionalitas
konselor secara berkelanjutan.

C. Rasulullah Sebagai Konselor Teladan/Profesional


Rasulullah dikatakan sebagai sebagai seorang pemimpin yang istimewa dan
mempunyai kepribadian yang agung. Rasul merupakan sosok yang sangat bijak dalam
menjalani kehidupan sosialnya, beliau senantiasa menghargai orang-orang
disekitarnya. Rasulullah SAW senantiasa bekerja sama dengan masyarakat
disekitarnya, selama mendapatkan yang baik, maka dia mau bekerja sama dan ikut
serta di dalamnya. Jika tidak mengandung kebaikan, maka dia lebih suka dengan
kesendiriannya. Selama masa pertumbuhannya dari anak-anak hingga beranjak
dewasa Rasulullah SAW tidak pernah minum khamar sebagaimana kebiasaan
masyarakat Arab dikala itu, beliau juga tidak pernah makan binatang yang disembelih
dengan nama berhala dan perbuatan syirik lainnya.

Rasulullah memunyai sifat siddiq yang artinya benar, lawannya adala kadzib atau
dusta. Sifat siddiq ini menjadi dasar dalam menjalankan aktifitas. Siddiq berarti memiliki
kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, serta perbuatan berdasarkan ajaran Islam.
Tidak ada kontradiksi dan pertentangan yang disengaja antara ucapan dan perbuatan. Oleh
karena itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa memiliki sifat
iddiq dan menciptakan lingkungan yang - siddiq.

Firman Allah At-Taubah: 119

‫ص ِدقِ ْينَ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو ُك ْونُ ْوا َم َع‬
ّ ٰ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو ُك ْونُ ْوا َم َع ال‬
ّ ٰ ‫ال‬
‫ص ِدقِيْن‬

68
yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar”. (At-Taubah :119).

Perilaku dan ucapan seorang konselor haruslah benar adanya, sesuai dengan kenyataan.
Sifat siddiq ini bisa kita samakan dengan kompetensi kepribadian. Dalam menjalankan
profesinya, konselor dituntut untuk senantiasa memiliki kepribadian yang benar yaitu sebuah
rasa kebanggaan terhadap apa yang dijalani selama ini. Kepribadian yang jujur, akhlak mulia,
norma, etika, ajaran agama harus dipegang erat oleh seorang konselor. Konselor dengan
kompetensi kepribadian yang baik akan berpengaruh pula terhadap perilaku klien. Dalam
berinteraksi dengan klien, konselor akan mengajarkan klien untuk disiplin, tanggung jawab,
mandiri, dan selalu optimis menjalani hidup, namun sebelum memberikan bimbingan dan
arahan, konselor sudah melakukan kegiatan tersebut. Dalam ajaran Islam bisa disebut dengan
uswatun hasanah, atau meberikan teladan bagi kliennya.

Sifat Rasulullah selanjutnya adalah amanah, yaitu dapat dipercaya. Ciri-ciri perilaku
amanah adalah tidak menceritakan rahasia orang lain, tidak menggunakan titipan barang yang
dititipkan, berprilaku sopan, tidak bergunjing (bergosip), taat kepada Allah SWT dan Rasul-
nya. Sejak kecil Muhammad saw sudah memiliki sifat amanah, bahkan dia dijuluki oleh
masyarakat dengan al-Amin yang artinya dapat dipercaya. Dengan sifat al-Amin itulah
masyarakat Arab menghormati Muhammad. Amanah, berarti memiliki tanggung jawab
dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan,
kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal.
Amanah, berarti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban.
Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan
(berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah bisa dianalogikan dengan kompetensi
sosial. Dalam menjalankan tugasnya interaksi dengan masyarakat adalah suatu keniscayaan.
Keterampilan dalam berkomunikasi, berinteraksi, bekerja sama, bergaul simpatik adalah
bagian dari kompetensi social yang harus dimiliki seorang konselor.

Dengan sifat tersebut diatas Nabi Muhammad SAW. menjadi seorang pemimpin
kepercayaan bagi orang-orang yang hidup semasanya. Beliau selalu memperlakukan orang
dengan adil dan jujur. Beliau tidak hanya berbicara dengan kata-kata, tetapi juga dengan
perbuatan dan keteladanan. Kata-kata beliau selalu konsisten. Tidak ada perbedaan antara
kata dan perbuatan. Rasulullah SAW. dikenal sangat memiliki kesiapan dalam memikul
tanggungjawab,memperoleh kepercayaan dari orang lain. Rasulullah saw. dikenal sebagai
orang yang sangat terpercaya, dan ini diakui oleh musuh-musuhnya, seperti Abu Sufyan
ketika ditanya oleh Hiraklius (Kaisar Romawi) tentang perilaku beliau.

69
Tabligh adalah salah satu sifat seorang rasul. Tabligh artinya menyampaikan. Risalah
dan perintah Allah SWT akan langsung disampaikan kepada umatnya, segala perintah dari
Allah tidak ada yang disembunyikan meskipun itu berkaitan dengan hal-hal yang menyindir
Nabi. Sifat tabligh bisa kita sesuaikan dengan kompetensi professional. Seorang konselor
ketika menyampaikan materi perlu menggunakan metode pembelajaran dengan tepat. Sama
halnya ketika Nabi menggunakan metode yang berbeda dalam menyampaiakan setiap wahyu
dan perintah Allah. Sejak itulah beliau menjadi utusan Allah swt. dengan tugas menyeru,
mengajak dan memperingatkan manusia agar hanya menyembah kepada Allah SWT.

Satu istilah yang disandang Nabi Muhammad SAW. pemberian Allah yaitu mundhir
(pemberi peringatan) diutusnya Nabi Muhammad saw., sebagai orang yang memberi
peringatan yakni untuk membimbing umat, memperbaiki dan mempersiapkan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Begitu juga konselor, dituntut memiliki
kemampuan dalam perencanaan dan pelaksanaan proses konseling. konselor mempunyai
tugas untuk mengarahkan diri klien untuk mencapai tujuan terbaik pada dirinya, untuk itu
konselor dituntut mampu menyampaikan arahan yang tepat. konselor harus selalu meng
update, dan menguasai materi konseling yang berikan kepada klien. Persiapan diri tentang
materi diusahakan dengan jalan mencari informasi melalui berbagai sumber seperti membaca
buku-buku terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan
terakhir tentang materi yang disajikan.

Sifat selanjutnya adalah fathanah. Fatanah dapat diartikan bahwa bijaksana dalam segala
sesuatu sikap, perkataan, dan perbuatan. Kecerdasan pasti dimiliki oleh seorang nabi,
bagaimanapun nabi penyampai wahyu Allah dan menafsirkan dengan sabdanya. Dengan
ribuan hadits yang beliau keluarkan dan dengan berbagai masalah dakwah yang beliau
selesaikan wajarlah jika nabi memiliki sifat fathonah. Fathonah artinya cerdas, lawannya
adalah jahlun atau bodoh. Sifat fathonah ini bisa diibaratkan dengan kompetensi pedagogik.
konseling adalah suatu kegiatan yang terprogram dan terarah untuk mengembangkan potensi
dan kemandirian klien. Kecerdasan untuk mengaplikasikan konsep pada konseling dibarengi
dengan kecermatan dalam memilih metode dalam melangsungkan sebuah proses konseling.
Karena itu pemahaman terhadap karakter kepribadian, kejiwaan, sifat dan interest klien,
penguasaan tentang teknik konseling dan prinsip konseling sangatlah diperlukan agar klien
dapat mengaktualisasilkan kemampuannya dalam menghadapi permasalahan yang klien
hadapi.

70
Sifat-sifat mulia dan agung yang dicontohkan Rasulullah dalam memberi layanan dan
penasihatan kepada klien melebihi dari sifat dan sikap yang dituntut dari seorang konselor
profesional seperti yang dirumuskan oleh Persatuan Bimbingan Jabatan Nasional (National
Vocational Guidance Association) yaitu: Interes terhadap orang lain, sabar, peka terhadap
berbagai sikap dan reaksi, memiliki emosi yang stabil dan objektif, sungguh-sungguh, respek
terhadap orang lain dan dapat dipercaya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dari Abû Umâmah, diceritakan, seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara
lantang di hadapan para sahabat: Wahai Rasulullah, apakah engkau dapat mengizinkan saya
untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu para sahabat ribut dan mau
memukulinya, Nabi segera melarang dan memanggil, bawalah pemuda itu dekat-dekat
kepadaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, Nabi bertanya kepada pemuda itu:
Bagaimana jika ada orang yang akan menzinai ibumu? Pemuda itu menjawab, demi Allah
saya tidak akan membiarkannya. Bagaimana terhadap anak perempuanmu? Pemuda itu
menjawab, tidak juga ya Rasul, demi Allah saya tidak akan membiarkannya. Nabi
melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga ya Rasul, saya
tidak akan membiarkannya. Nabi meneruskan, begitu juga orang tidak akan membiarkan
putrinya atau saudara perempuannya atau bibinya dizinai. Nabi kemudian meletakkan
tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa: “Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini,
ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya.” Dari kisah di atas terlihatlah bagaimana
Rasulullah (sebagai seorang konselor Islami) memberikan nasihat, arahan dan bimbingan
dengan penuh persuasif, lemah lembut, penuh kesungguhan dan kesabaran menghadapi
seorang pemuda (klien) yang meminta pendapat kepada beliau. Lebih jauh dari itu, Allah
SWT. Memberikan penjelasan bahwa di antara tugas Rasulullah SAW. diutus ke muka bumi
ini adalah untuk menyampaikan kebenaran dan pengajaran kepada manusia.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Yûnus/10: 57

ٌ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َج ۤا َء ْت ُك ْم َّم ْو ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِشفَ ۤا ٌء لِّ َما فِى الصُّ ُد ْو ۙ ِر َوهُدًى َّو َرحْ َمة‬
‫لِّ ْل ُمْؤ ِمنِي َْن‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuhan bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman”.

71
D. Metode Pembelajaran Nabi Muhammad SAW.
1. Melatih dan Membiasakan
Melatih dan Membiasakan adalah hal yang penting dilaksanakan di madrasah untuk
membangun karakter anak didik, terutama pada tingkat dasar. Mulai dari masalah
ibadah, akhlak, kebersihan, kerapihan, sampai masalah disiplin. Misalnya
membiasakan salam setiap masuk kelas, atau ketika bertemu guru atau sesama teman,
berpakaian rapi, berdoa sebelum pelajaran dimulai, shalat dhuha, shalat berjamaah,
membaca Al-Qur’an, infaq, sedekah, membuang sampah pada tempatnya, jujur dalam
mengerjakan ujian, dan lain sebagainya. Bahkan sekarang di madrasah sudah ada
program pengembangan diri dan pembiasaan. Masing-masing lembaga tinggal
mengoptimalkan program pembiasaan tersebut ke dalam sebuah program yang
tersusun dengan baik dan teratur.
2. Bimbingan dan Konseling
Metode bimbingan, pengarahan, dan nasehat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka ada satu peluang yang dioptimalkan di
madrasah yaitu guru bimbingan dan konseling (BK), di samping itu peran guru lain
secara umum. Bimbingan dan Konseling memuat program bimbingan masalah
pribadi, sosial,, dan karier anak didik. Jika program ini dilaksanakan dengan baik dan
benar, maka hasilnya tentu akan dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua pihak.
Al-Maghribi memberikan catatan agar bimbingan dan nasehat dapat mencapai hasil
yang maksimal, berupa : 1) Nasehat dan bimbingan itu hendaknya dilakukan secara
terus menerus, rutinitas, dan diulang-ulang serta diperbarui, karena karakter manusia
itu labil dan lupa. 2) Nasehat dan bimbingan itu hendaknya menggunalan cara yang
mudah, sesuai usia, daya tangkap, dan akal anak didik. 3) Hendaknya orang yang
memberikan nasehat seorang yang bijak,memiliki keilmuan tentang perkembangan
anak didik yang cukup dalam mendidik. 4) Hendaknya orang yang memberikan
nasehat seorang yang dapat menyesuaikan antara perbuatan dan perkataan. 5)
Hendaknya orang yang memberikan nasehat seorang yang berperi laku benar, mampu
memotivasi anak didik untuk dapat melakukan saran dan arahannya.
3. Evaluasi Sistem
Evaluasi yang hanya menekankan pada aspek kognitif semata, seperti pelaksanaan
ujian nasional dengan beberapa mata pelajaran tertentu, tidak sesuai jika dikaitkan
dengan pendidikan karakter yang diharapkan. Karena tidak memuat aspek afekti dan
psikomotor, serta aspek iman dan akhlak peserta ujian nasional. Belum lagi

72
mempermasalahkan pertimbangan antara domisili anak didik di desa dan di kota,
daerah perpencil dan kota besar, antara penduduk jawa dan luar jawa, dan seterusnya.
Meskipun pemerintah sudah menyatakan bahwa hasil ujian nasional bukan satu-
satunya kriteria kelulusan, 18 tetapi dengan sistem yang ada ini masyarakat tetap
menilai bahwa kriteria kelulusan adalah hasil ujian nasional. Sistem evaluasi
pendidikan karakter Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam, penekannya
terletak pada pelaksanaan ajaran lslam. Artinya aspek afektif (sikap) dan
psikomotorik (perbuatan) harus menjadi pertimbangan, dan diberi aspek yang sama
dengan aspek kognitif.
Ahmad Dimyati Rosyid memberi kritikan, tentang rumusan tiga ranah masih belum
cukup, harus ditambah dengan konasi (akhlak) dan iman. Dilihat dari tipe hasil
belajar, rumusan Bloom dkk dalam tiga domain; kognitif, afektif, dan psikomotor
agaknya belum menjangkau totalitas pandangan terhadap manusia. Hal ini karena
didasarkan pada unsur manusia yang terdiri dari jasmani, ruhani, jiwa, akal, dan hati
nurani. Program pendidikan dikonstruksikan tidak semata-mata aspek kognitif, afektif
dan psikomotor, tetapi juga menekankan konasi dan iman Ahmad Dimyati Rosyid
sebagai bangian dari dimensi manusia.
Pendidikan iman dan akhlak harus mendapatkan porsi yang tepat jika ingin
pendidikan karakter mendapat hasil yang maksimal. Pelaksanaan ajaran agama lslam
harus menjadi pertimbangan kelulusan pendidikan anak didik, kalau ingin pendidikan
karakter berbasis lslam mencapai hasil yang maksimal. Allah telah memberikan
tuntunan dalam firman-Nya : “Katakanlah: berjalanlah kalian, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mu akan melihat pekerjaan kalian, dan kalian akan
dikembalikan kepada Allah untuk mngetahui yang mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan”

73
ADAB PELAKSANAAN DAN KONSEP HUBUNGAN DALAM
KONSELING ISLAMI MENURUT AL-GHAZALI
A. Konseling Barat dan Konseling Islam
1. Konseling Barat
Konseling merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris yaitu
counselling dengan kata dasar counsel yang berarti nasihat atau menasihati.
Konseling merupakan inti dari layanan bimbingan dan konseling sehingga
disebut sebagai jantungnya bimbingan.
Konsep tentang bimbingan dan konseling sudah muncul pada abad ke-
20 lebih tepatnya pada sekitar tahun 1908-1909 periode dasar dari kajian
konseling secara ilmiah. Amerika Serikat adalah tempat berawalnya
bimbingan dan konseling dengan bergerak di bidang bimbingan pekerjaan
(Vocational Guide).
Erhamwilda menyebutkan beberapa poin tentang makna konseling yaitu:
a. Konseling adalah sebuah layanan profesional yang diberikan oleh
konselor kepada konseli yang mengalami masalah.
b. Dalam proses konseling, konselor mendorong konseli agar ia mampu
mengenali potensinya, mengenali dirinya dan lingkugannya sehingga
ia terbantu dan mampu mengambil keputusan sesuai keadaan dirinya
dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
c. Konselor membantu mengubah sikap dan perilaku konseli menjadi
lebih baik.
d. Konselor membantu konseli mengubah cara pandangnya.
e. Konselor mendorong konseli agar ia bisa bertanggung jawab atas
dirinya sendiri.
f. Konseling berkaitan dengan emosi dan bukan rasio

Dari makna di atas dapat dipahami bahwa tujuan konseling adalah


untuk membantu, membimbing, memahami dan mengarahkan konseli. Dalam
praktiknya baik konseling Barat maupun konseling Islam memiliki model
konseling yang berbeda. Dalam psikologi Barat berkembang berbagai teori
dan praktik konseling dan psikoterapi yang sampai saat ini masih menjadi
rujukan bagi pelaksanaan sebagai model konseling. Beberapa teori psikologi
Barat tersebut diantaranya Pendekatan psikoanalitik, terapi humanistik, terapi

74
client centered, terapi gestalt, terapi behavioral (tingkah laku), terapi rasional-
emotif dan terapi realitas. Semua terapi yang disebutkan di atas masing-
masing berdasarkan pandangan tentang struktur kepribadian, sifat manusia,
perkembangan kepribadian, dan proses terapeutik. Dalam bimbingan dan
konseling, prinsip digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan. Biasanya
prinsip ini bersumber dari kajian tentang hakikat, perkembangan dan
kehidupan manusia.

B. Konseling Islam
Dilihat dari segi perkembangan sejarah agama-agama besar di dunia,
bimbingan dan konseling agama sebenarnya telah dilakukan oleh para nabi dan rasul,
sahabat nabi, para ulama, pendeta, rahib dan juga para pendidik di lingkungan
masyarakat dari zaman ke zaman. Oleh karena itu masalah bimbingan dan konseling
sudah dikenal oleh masyarakat beragama hanya saja kegiatannya tidak berdasarkan
teori yang berlaku saat ini karena pada zaman dahulu teori konseling seperti sekarang
belum ada.
Dalam Islam, praktik bimbingan dan konseling Islam sudah pernah dilakukan
pada zaman nabi Adam AS. Ketika itu nabi Adam dan Siti Hawa pernah melakukan
kesalahan karena tidak mentaati peraturan Allah SWT. Nabi Adam dan siti hawa
merasa bersalah dan menyesal, kemudian mereka memohon ampunan dan bertaubat
kepada Allah SWT. Rasa penyesalan terhadap kesalahan yang dilakukan merupakan
bagian dari pembahasan bimbingan dan konseling.
Dalam Islam, konseling didefinisikan sebagai proses bantuan yang diberikan
kepada konseli oleh seorang yang ahli di bidang konseling yang tujuannya untuk
membantu konseli memecahkan masalahnya sesuai dengan ajaran yang berdasarkan
pada al-Quran dan Hadis.
Dalam konseling Islam, dikenal juga beberapa teori konseling. Teori konseling
ini berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat al-Nahl ayat 125. Hamdani Bakran
az-Zaky menjabarkan teori tersebut dalam tiga bentuk yaitu:
 Teori al-H}ikmah, yaitu konselor mampu menyampaikan kata-kata yang mengandung
hikmah, kebijaksanaan dan kebenaran.
 Teori al-Mau‘iz}ah al-H}asanah, yaitu konselor membimbing konseli dengan cara
mengambil pelajaran dari perjalanan hidup para nabi, rasul dan wali Allah SWT.

75
 Teori Muja>dalah yang baik, yaitu konselor membantu konseli yang sedang dalam
kebimbangan, keraguan dan kesulitan dalam mengambil keputusan.

Sama halnya dengan konseling menurut Barat, konseling Islam pun memiliki
prinsip-prinsip yang digunakan agar konseli dapat mengembangkan fitrah yang ia
miliki. Willis menyatakan ada lima prinsip dasar yang terdapat dalam konseling Islam
yaitu:

a. Konseli adalah subjek dan hamba Allah yang menjadi amanah bagi konselor dan
harus diperlakukan dan dihargai secara baik berdasarkan nilai keagamaan. Dengan
kata lain, konseli di sini lebih aktif dalam mengungkapkan permasalahnnya
sehingga konselor dapat menggali potensi dan menganalisis masalah yang
dihadapi konseli.
b. Konselor menghargai konseli tanpa syarat, hal tersebut merupakan syarat yang
menjadikan hubungan konseling menjadi baik. Jika konseli sudah merasa dihargai
oleh konselor maka konseli akan gembira dan terbuka terhadap permasalahannya.
c. Dalam hubungan konseling, konselor membuat situasi membuat konseli gembira
dengan tidak buru-buru mengungkap kelemahan dan kesulitan konseli. Hal ini
bertujuan untuk menarik konseli agar ia mau melibatkan dirinya dalam kegiatan
konseling dan bisa terbuka terhadap permasalahnnya sendiri.
d. Dalam melaksanakan kegiatan konseling, konselor menggunakan pendekatan
agama untuk menyentuh hati konseli. Ketika hati konseli sudah terbuka, konseli
dengan jujur dan tulus akan mengungkapkan perasaannya kepada konselor.
e. Konselor harus memperlihatkan perilaku yang dapat menjadi teladan bagi konseli.
Dengan demikian konseli akan tersugesti dengan keteladanan konselor dan
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Dari prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa antara prinsip dasar


bimbingan dan konseling baik menurut Barat maupun Islam hampir memiliki
kesamaan yaitu berfokus pada tujuan membantu konseli dalam menyelesaikan
masalah. Namun di sini dapat dilihat perbedaan yang mencolok dari kedua prinsip
tersebut. Pelaksanaan kegiatan konseling menurut Barat dikelola oleh seseorang yang
ahli di bidang bimbingan dengan menggunakan sumber yang relevan sehingga
konselor dapat secara tepat memberikan solusi dari permasalahan konseli. Sedangkan
menurut Islam dalam pelaksanaan konseling, konselor harus menganggap bahwa

76
konseli adalah amanah dari Allah SWT yang harus dibantu dalam menyelesaikan
masalahnya dengan berdasarkan pada al-Quran dan Hadis.

Lebih jelas lagi menurut konseling Islam, konselor yang menunjukan


keteladanan pada konseli akan memberikan sugesti yang baik bagi konseli untuk
berubah ke arah yang positif.16 Namun bukan berarti konselor tidak bisa berbuat
salah, maka ada hal yang harus diperhatikan oleh konselor dalam tugas
bimbingannya. Misalnya saja ketika konselor menghadapi konseli yang tidak dikenal,
situasi ini tidak menuntut konselor berkepribadian baik atau tidak karena pertemuan
antara konselor dan konseli hanya terjadi pada setting konseling. Berbeda halnya
ketika konselor menghadapi konseli yang sudah mengenal dirinya. Pada konteks ini
selain dalam setting konseling, konselor juga dituntut untuk menjadi teladan bagi
konseli di mana pun dan kapan pun berada.

Menurut konseling Barat sendiri, konselor harus memiliki kepribadian yang


baik. Kepribadian tersebut tercermin dari kesadaran dirinya terhadap posisi nilai-nilai
agama dan budaya. Kesadaran diri konselor akan membantunya bersikap jujur dan
menghindari melakukan perbuatan yang tidak etis saat proses konseling dengan
konseli.

A. Konseling Menurut al-Gazali


Al-Gazali merupakan ulama yang dikenal dengan julukan Hujjat al-Islam. Ia
mengusai berbagai bidang keilmuan dan mengajarkannya kepada murid-muridnya.
Tercatat lebih dari tiga ratus murid yang sudah dibimbing oleh Al-Gazali.
Selama hidupnya Al-Gazali tidak pernah berhenti untuk belajar, hingga ia
membuat satu kitab yang dikhususkan untuk murid-muridnya. Kitab tersebut bernama
Ayyuha al-Walad. Kitab ini berisi tentang nasihat-nasihat untuk murid-muridnya agar
mereka dapat memperoleh petunjuk dari setiap ilmu yang sudah dipelajari dan bisa
memilah antara yang benar dan yang salah.
Dalam istilah Arab, bimbingan disebut dengan kata irsyad atau tawjih dan
pembimbing disebut dengan kata mursyid. dalam kitab Bidayat al-Hidayah Al-Gazali
menggunakan kata irsyad untuk menjelaskan nasihat dan memberikan petunjuk.
Salah satu kutipan Al-Gazali yang berkaitan dengan irsyad: Maka
sesungguhnya Allah menciptakan nikmat lidah untukmu agar engkau
menggunakannya untuk berzikir kepada Allah SWT, membaca al-Quran, dan

77
memberikan petunjuk kepada makhluk Allah kepada jalan yang yang diridai-Nya dan
untuk menyampaikan maksud hatimu dalam urusan agama dan urusan dunia.
B. Adab Konseling Menurut al-Gazali
Dalam kegiatan konseling ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Salah satu hal
yang harus diperhatikan adalah abad konseling. Dalam dunia konseling, adab
biasanya diartikan sebagai etika. Etika atau adab harus dimiliki oleh ‘alim maupun
murid, hal tersebut bertujuan agar kegiatan konseling bisa terlaksana dengan baik dan
tidak ada kesalah pahaman antara kedua belah pihak. Dalam kitab Bidayat al-
Hidayah, al-Gazali menyebutkan ada etika yang harus dimiliki oleh ‘alim dan murid.
1) Adab ‘alim
Dalam Kitab Bidayat al-Hidayah, al-Gazali menyebutkan ada tujuh belas adab
bagi ‘alim di antaranya adalah
 bersabar dengan murid-muridnya,
 selalu bermurah hati,
 duduk dengan berwibawa atau berkarisma,
 tidak menunjukan kesombongan,
 mengutamakan tawadu’ dalam setiap pertemuan,
 tidak bersenda gurau (bercanda dan mengolokolok),
 bersikap lemah lembut kepada murid dan tidak terburuburu dalam
menghadapi murid yang sombong,
 memberikan petunjuk kepada murid dengan arahan yang baik,
 tidak memarahi murid yang sulit dalam memahami materi,
 meninggalkan perkataan yang bernada sombong,
 memberikan perhatian penuh terhadap penanya dan memahami
pertanyaannya,
 menerima argumen,
 mengakui kebenaran dan mengakui kekeliruan,
 mencegah murid untuk mempelajari ilmu yang berbahaya,
 memotivasi murid agar mempunyai niat belajar yang teguh karena
Allah, p)mengarahkan murid untuk mempelajari ilmu-ilmu yang
bersifat fardu ‘ayn sebelum ilmuilmu yang bersifat fardu kifayah, dan
 memberikan pemahaman kepada murid bahwa ilmu yang bersifat fardu
‘ayn bisa memperbaiki lahiriyah dan batiniyahnya dengan takwa,

78
membiasakan diri untuk bertakwa agar dapat menjadi figur yang baik
bagi murid-nya.

Etika tentang guru juga di bahas oleh al-Gazali dalam kitab


’Ihya‘Ulum al-Din. Dalam kitab ’Ihya, al-Gazali menjelaskan empat poin
mengenai etika guru di antaranya

1) menyayangi murid dan memperlakukannya seperti anak sendiri,


2) meneladani Rasulullah,
3) memberikan nasihat yang baik dan menasihati murid dan
4) melarang mereka agar tidak memiliki akhlak yang tercela.
2) Adab murid
Dalam kitab Bidayat al-Hidayah al-Gazali menerangkan bahwa ada tiga belas
adab yang harus di miliki oleh ‘alim terhadap murid di antaranya :
 memberikan salam dan penghormatan kepada ‘alim terlebih dahulu,
 tidak banyak bicara yang tidak diperlukan (bermanfaat),
 tidak banyak berbicara, kecuali jika ‘alim yang bertanya,
 memohon izin jika ingin mengajukan pertanyaan,
 tidak menentang pendapat ‘alim dengan mengungkapkan argumen dari
orang lain,
 tidak merasa lebih pintar dengan cara menentang pendapat ‘alim,
 tidak boleh berdiskusi dengan teman selama pelajaran berlangsung,
 fokuskan diri dalam pembelajaran, tidak boleh menoleh kepada orang
yang ada di samping,
 tidak boleh mempersulit ‘alim dengan mengajukan banyak pertanyaan,
 menghormati ‘alim,
 tidak menyela perkataan‘alim,
 tidak bertanya kepada ‘alim ketika berjalan sehingga ia sampai di
rumah,
 percaya kepada ‘alim dan tidak berburuk sangka kepadanya, dan
 tidak menyela perkataan ‘alim. al-Gazali juga menuliskan dalam ’Ih
ya‘Ulum al-Din bahwa ada tujuh adab yang harus dilakukan oleh
seorang murid, yaitu :

79
membersihkan jiwa dari kotoran akhlak agar akal mendapatkan
ilmu yang bermanfaat dan hati akan diterangi dengan cahaya
ilmu,
bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam menerima masukan,
tidak boleh menyombongkan diri, serta tidak boleh mengatur
konselor,
melihat semua manusia sama dan tidak ada yang dibedakan,
fokus terhadap satu cabang ilmu (satu permasalahan),
mengarahkan perhatian pada ilmu yang paling penting dan
istiqomah terhadap tujuannya yaitu karena Allah SWT.

80
METODE DAN TEKNIK PENDEKATAN DALAM BK ISLAMI
A. Metode Bimbingan Konseling
Dalam menguraikan metode mendapatkan data untuk bimbingan konseling, H.M Umar dan
Sartono secara panjang lebar mengungkapkan metode yang dipergunakan untuk
mengumpulkan data dalam rangka merealisasikan bimbingan dan konseling. Pengumpulan
data ini sangat penting dalam penyelidikan-penyelidikan pada umumnya maupun dalam
bimbingan konseling. Oleh karena itu, pada bagian ini, perlu dikemukakan beberapa metode
yang dapat dipergunakan untuk memperoleh data dalam bimbingan konseling diantaranya:
1. Observasi yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data yang diinginkan dengan mengadakan
pengamatan secara langsung.
2. Questionnaire yaitu merupakan suatu daftar yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus
dijawab atau dikerjakan oleh orang yang menjadi sasaran questionnaire tersebut.
3. Interview yaitu suatu metode yang mendapatkan data dengan mengadakan face to face
relation.
4. Sosiometri dalam hal ini menunjukkan kepada kita tentang ukuran berteman. Jadi dengan
sosiometri dapat kita lihat bagaimana hubungan sosial atau hubungan berteman atau bergaul.
Dengan demikian, besar sekali bantuan sosiometri untuk mendapatkan data-data anak,
terutama dalam hubungan atau kontak sosialnya.
5. Tes yaitu suatu metode yang digunakan dalam penyelidikan dengan menggunakan soal-
soal yang telah dipilih oleh sesama, artinya dengan standar tertentu.
6. Case Study yaitu suatu metode penyelidikan untuk mempelajari kejadian mengenai
perseorangan.
Dengan kata lain, suatu metode untuk menyelidiki riwayat hidup seseorang, ( Drs. Anas
Salahudin, M. Pd., 2010:72-83). Dilihat dari cara memperoleh (metodologi), sumber psiko-
terapi berwawasan Islam ada empat, yaitu: 1) metode Istimbath; 2) metode Iqtibas; 3) metode
Istiqro; dan 4) metode jami bayna nufus alzakiyyah wal-‘uqul al-shafiyyah. Dari manhaj-
manhaj ini dikembangkan beberapa metode seperti: 1) terapi dengan Al-quran; 2) terapi
dengan doa; 3) terapi dzikir; 4) terapi sholat; 5) terapi mandi; 6) terapi puasa; 7) terapi
hikmah; dan 8) terapi tarikat dan tasawuf, (Isep Zainal Arifin, 2009:42-45).
Di antaranya tidak hanya itu metode-metode yang dilakukan oleh seorang konselor, karena
pada saat ini banyak sekali para ahli yang menciptakan perubahan pada metode-metode yang
baru. Para konselor sangat memerlukan beberapa metode yang digunakan dalam menangani
kliennya. Antara lain metodenya sebagai berikut:

81
1. Metode Interview Yaitu informasi yang merupakan suatu alat untuk memperoleh
fakta/data/informasi dari murid seacara lisan. Wawancara informatif dapat dibedakan atas
wawancara yang terencana dan wawancara yang tidak terencana.
2. Group Guidance (dengan menggunakan kelompok) Pembimbing dan konseling akan
mengembangkan sikap sosial, sikap memahami peranan anak bimbing dalam lingkungannya
yang menurut penglihatan orang lain dalam kelompok itu karena ingin mendapatkan
pandangan baru tentang dirinya dari orang lain serta hubungannya dengan orang lain.
3. Client Centered Method Metode ini sering disebut tidak mengarahkan, dalam metode ini
terdapat dasar pandangan bahwa klien sebagai mahluk yang bulat yang memiliki kemampuan
berkembang sendiri.
Menurut Dr. William E. Hulme dan Wayne K. Climer lebih cocok dipergunakan oleh pastoral
konselor (penyuluh agama). Karena konselor akan lebih dapat memahami kenyataan
penderitaan klien yang biasanya bersumber pada perasaan dosa yang banyak menimbulkan
perasaan cemas, konflik kejiwaan dan gangguan jiwa lainnya. Jadi jika konselor menggunakn
metode ini, ia harus bersikap sabar mendengarkan dengan penuh perhatian segala ungkapan
batin klien yang di utarakan kepadanya.
4.Directive Counseling Sebenarnya merupakan bentuk psikoterapi yang paling sederhana,
karena konselor, atas dasar metode ini, secara langsung memberikan jawaban-jawaban
terhadap problem yang oleh klien disadari menjadi sumber kecemasannya, (Samsul Munir
Amin, 2010:69-72). Waiters, dan Singgi D Gunarasa, menyebutkan ada tiga teknik dalam
wawancara konseling, yang dikenal dengan the three traditional approach, yaitu teknik
langsung (directive) tak langsung (non directive) dan teknik campuran (eclective). a) Teknik
Langsung (Directive Approach) Teknik ini juga disebut dengan pendekatan berpusat pada
konselor. Hal ini menunjukkan bahwa dalam interaksi konseling, konselor lebih banyak
berperan untuk menentukan sesuatu. Teknik langsung dapat diberikan secara langsung dalam
berbagai cara, konselor yakin ada dasar-dasar teori untuk melakukan seketika sehingga lebih
merupakan suatu kegiatan dengan pertimbangan harus segera dilakukan. Teknik ini dapat
dilakukan terhadap klien yang mungkin memerlukan waktu yang tidak lama. Teknik
langsung juga bisa dilakukan dengan teknik informative.
Willimson membagi kegiatan teknik langsung menjadi enam langkah yaitu: 1) Analisis 2)
Sintesis 3) Diagnosis 4) Prognosis 5) Konseling 6) Follow up b) Teknik Tidak Langsung
(Non Directive Approach) Istilah non directive menggambarkan penekanan pada penerimaan
klien, pembentukan suasana positif yang netral, percaya kepada klien dan mempergunakan
penjelasan dari dunia klien sebagai tehnik utama, dan istilah client centered menggambarkan
82
penekanan kepada pemantulan kembali perasaan-perasaan klien, menyatukan perbedaan-
perbedaan antara diri yang ideal (ideal self) dengan dirinya yang sesudahnya (real self),
menghindarkan sesuatu yang mengancam klien secara pribadi. Secara singkat dapat
ditegaskan bahwa non directive menggambarkan peran konselor sebagai pendengar yang baik
dan pemberi dorongan klien, dan pada klient centered, menggambarkan pemusatan pada
tanggung jawab klien terhadap perkembangan dirinya sendiri. Teknik tidak langsung ini
mendasarkan kepada suatu teori tentang hakikat manusia yang menyatakan “jika dalam
proses konseling bisa tercipta suasana hangat, penerimaan, maka orang akan menaruh
kepercayaan terhadap konselor, bahwa dia (konselor) ikut memikirkan bersama dan konselor
tidak melakukan penilaian-penilaian, maka orang akan merasa bebas untuk memeriksa
prasaan dan dan perilakunya yang mana hal itu berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan dan penyesuaian diri.
Teknik ini menekankan pada titik pandang bahwa setiap individu (termasuk klien) pada
dasarnya memiliki kapasitas untuk bekerja secara efektif dengan aspek kehidupan yang
disadari. Salah satu hipotesis utama yang terkenal dari Rogers, yang mendasari pendekatan
yang berpusat pada klien adalah orang memiliki sumber-sumber di dalam dirinya sendiri
untuk mengenali diri sendiri, untuk mengubah-ubah konsep diri sendiri, sikap dasar, tindakan
pengarahan diri”.
Langkah-langkah non directive Menurut Carl Rogers dan Dewa Ketut Sukardi, terdapat dua
belas langkah yang dapat dipedomani dalam melaksanakan teknik non directive. Namun
langkah-langkah tersebut dapat berubah karena langkah-langkah tersebut bukanlah yang baku
dan kaku.
Langkah tersebut diantaranya adalah: 1) Klien datang sendiri kepada konselor secara
sukarela. 2) Merumuskan situasi bantuan. 3) Mendorong klien untuk mau berbuat
mengungkapkan perasaan yang dirasakan sangat bebas dan obyektif. 4) Konselor berusaha
dengan tulus dapat menerima dan menjernihkan perasaan klien yang bersifat negatif. 5)
Apabila perasaan-perasaan negatif telah terungkapkan sepenuhnya maka secara psikologis
bebannya akan berkurang. 6) Konselor berusaha menerima perasaan positif pada klien. 7)
Pada waktu mengungkapkan perasaan itu diikuti oleh perkembangan secara berangsur-angsur
tentang wawasan klien mengenai dirinya. 8) Apabila telah memiliki pemahaman tentang
masalahnya dan menerimanya, mulailah membuat suatu keputusan untuk langkah
selanjutnya. 9) Mulai melakukan tindakan-tindakan yang positif. 10) Perkembangan lebih
lanjut tentang wawasan klien. 11) Meningkatkan tindakan positif secara terintegratif pada diri
klien. 12) Mengurangi ketergantungan klien atas konselor dan memberitahukan secara
83
bijaksana bahwa proses konseling perlu diakhiri. c) Konseling Eklektik (Eclectic Counseling)
Adalah pandangan yang berupaya menyelidiki berbagai sistem, metode, teori, atau doktrin.
Dengan maksud untuk memahami dan (bagaimana) menerapkannya dalam situasi yang tepat.
Konseling eklektik juga bisa disebut dengan campuran dari kedua teknik di atas (directive
counseling dan non directive counseling). Dalam eklektik ini ada beberapa pokok perhatian
diantaranya yaitu: 1) Esensial bagi konselor yang berpengalaman dalam pemahaman dan
penerimaan diri klien serta berkemampuan mengkomunikasikannya dengan klien. 2)
Penerimaan diri klien. 3) Penekanan terhadap sifat hubungan dari pada teknik yang
dipergunakan, yang diwarnai oleh suasana kepercayaan, respek dan simpatik. 4) Konselor
membantu untuk melengkapi dan menggunakan sumber-sumber pribadi dan lingkungan,
(Sjahudi Siradj, 2010:105-119). 5. Educative Method (metode pencerahan) Metode ini
sebenarnya hampir sama dengan metode client centered hanya bedanya terletak pada usaha
mengorek sumber perasaan yang menjadi beban tekanan batin klien serta mengaktifkan
kekuatan/atau tenaga kejiwaan klien (potensi dinamis) melalui pengertian tentang realitas
situasi yang dialami olehnya. Oleh karena itu inti dari metode adalah pemberian “insight” dan
klarifikasi unsur-unsur kejiwaan yang menjadi sumber konflik sesorang. Jadi, di sini juga
tampak bahwa sikap konselor ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien
untuk mengekpresikan (melahirkan) segala gangguan kejiwaan yang disadari menjadi
permasalahan baginya. 6. Psychoanalysis Method Metode psikoanalisis juga terkenal dalam
konseling yang mula-mula diciptakan oleh Sigmund Freud, metode ini berpangkal pada
pandangan bahwa semua manusia itu jika pikiran dan perasaannya tertekan oleh kesadaran
dan perasaan atau motif-motif tertekan tersebut tetap masih aktif mempengaruhi segala
tingkah lakunya meskipun mengendap ke dalam tidak sadaran (Das es) yang disebutnya
“verdrogen komplexen”. Dari Das es inilah Freud mengembangkan teorinya tentang struktur
kepribadian manusia. Setiap manusia di dalam perkembangan kepribadiannya senantiasa
dipengaruhi oleh unsur-unsur Das es (lapisan ketidaksadaran) dan Das es (lapisan sadar) serta
Das Heber Ich (lapisan atas kasadaran ) atau dalam bahasa Inggris disebut masing-masing “
the id ego dan the super ego” Kepribadian manusia menurut teori ini sangat dipengaruhi oleh
faktor pengalaman masa kanak-kanak kemudian berlanjut sampai masa dewasa, (Samsul
Munir Amin, 2010:72-74).

B. Teknik-Teknik Bimbingan Konseling Islam


Konseling merupakan suatu aktifitas yang hidup dan mengharapkan akan lahirnya
perubahanperubahan dan perbaikan-perbaikan yang sangat didambakan oleh konselor dan

84
klien. Untuk mencapai tujuan yang mulia itu maka sangat diperlukan adanya beberapa teknik
yang memadai. Apabila tidak didukung dengan teknik-teknik itu, maka tujuan utama
konseling tidak akan dapat tercapai dengan baik kedua pihak, konselor maupun klien.
Rasulallah SAW bersabda: ‫ك‬³³‫ه وذل‬³³‫تطع فبقلب‬³³‫إن لم يس‬³³‫انه ف‬³³‫تطع فبلس‬³³‫من راى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يس‬
‫)رواه مسلم عن ابى سعيد الخد رى‬. ‫أضعف اإليمان‬
( “siapa saja diantara kalian telah mengetahui kemungkaran/penyimpangan, maka ia harus
mengubahnya dengan menggunakan tangannya, maka jika tidak mampu, ia harus
mengubahnya dengan lidahnya, maka jika tidak mampu ia harus merubahnya dengan
menggunakan qalbunya, dan itu adalah selemah-lemah iman’’. (HR. Muslim dari Abu Said
Al-Khuduri R.A) Hadits ini mengandung pesan-pesan yang sangat luas dan memberikan
perjalanan tentang teknik dalam melakukan konseling dan terapi secara luas; dan teknik itu
ada dua macam, yaitu: Pertama: teknik yang bersifat lahir. Teknik yang bersifat lahir ini
menggunakan alat yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan oleh klien, yaitu dengan
menggunakan tangan dan lisan. Dalam penggunaan tangan tersirat beberapa makna antara
lain: a) Dengan menggunakan kekuatan, power dan otoritas: ‫لطا ن‬³‫ا وس‬³‫ا تن‬³³‫ولقد ارسلنا موسى با ي‬
‫)هود‬. ‫ (مبين‬Artinya: “dan sesunggunya kami telah mengutus musa dengan ayat-ayat kami dan
kekuatam yang nyata”.
( Hud, 11:96 ) b) Keinginan, kesungguhan dan usaha yang keras. ‫الذين امنوا وهجا روا فى سبيل هلال‬
‫ )التو به‬.‫ بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند هلال‬:
( “orang-orang yang telah beriman, berhijrah dan sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah
dengan harta benda dan siapa mereka adalah lebih agung derajatnya di sisi Allah”.
(At-Taubah, 9:20) Rasulallah .SAW bersabda: ,‫ من عادى لى وليا فقد اذنته با الحرب‬:‫إن هلال تعالى قال‬
‫ه كنت‬³‫اذ احببت‬³‫ه ف‬³‫تى احب‬³‫ل ح‬³‫االنو افي‬³‫ وما يزال عبده يتقرب الى ب‬,‫وما تقرب الى عبده بشيء احب الى مما افترضت عليه‬
‫تعا ن‬³³‫ولئن اس‬, ‫ه‬³³‫سمعه الذى يسمع به وبصر الذي يبصره به ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها ولئن سألنى ألعطين‬
‫) رواه البخا رى عن ابى هريرة‬. ‫نى ألعيذنه‬
( “Sesunggunya Allah Ta’ala telah berfirman: “siapa saja yang telah memusuhi kekasihKu
maka Aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidak mendekat diri seorang hambaKu dengan
sesuatu yang lebih Aku senangi dari menjalankan kewajibannya; dan hambaKu itu senantiasa
mendekatkan diri kepadaKu dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga aku
mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya Aku telah menjadi pendengarnya yang
ia akan mendengar dengannya. Menjadi penglihatannya yang ia akan melihat dengannya,
menjadi tangannya yang ia akan berbuat dengannya, menjadi kakinya yang ia akan berjalan
dengannya, dan jika ia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberinya, dan jika ia
memohon perlindunganKu pasti Aku akan melindunginya’’. (HR. Bukhori dari Hurairah
85
RA.) Seorang hamba yang memiliki kesungguhan perjuangan dan upaya yang tidak kenal
putus asa, niscaya ia akan memperoleh qudrat iradat Allah SWT. Yang akan eksis dalam
pendengaran, penglihatan tangan dan kaki serta pembelaan pertolongan dan perlindungan.
Salah satu diantara anugerah yang agung itu adalah “tangan Allah akan eksis dalam tangan
hambanya” yang shalih dan bertauhid kepadanya secara aplikasi, nyata yang trasendental.
Dan dengan tangan itulah konselor dapat berupaya dan menyentuh klien, dan hasilnya adalah
memberikan rasa yang nyaman dan kesembuhan atas izinnya. c) Sentuhan Tangan Terhadap
klien yang mengalami stress atau ketegangan dapat diberikan sedikit pijatan atau tekanan
pada urat dan otot yang tegang sehingga akan dapat mengendorkan urat dan otot-otot,
khususnya pada bagian kepala, leher dan pundak. Teknik ini disamping dapat meringankan
secara fisik tetapi dapat juga memberikan sugesti dan keyakinan awal, bahwa semua
permasalahan yang dihadapi akan dapat terselesaikan.
Hadits penyembuhan melalui tangan: ‫م وجعا يجده فى‬.‫عن عثما ن بن ابى العا ص انه شكا إلى رسول هلال ص‬
‫بع‬³‫ل س‬³‫ا وق‬³‫م هلال ثالث‬³‫دك بس‬³‫ألم من جس‬³‫ذى ت‬³‫دك على ال‬³‫ع ي‬³‫ ض‬: ‫لم‬³‫جسده منذ أسلم فقال له رسول هلال صل هلال عليه وس‬
‫مرات أعوذو با هلال وقدر ته من شر ما أجد وأحا ذر) رواه مسلم‬
“Dari Utsman bin Abil ‘Ash ra. Bahwasnnya ia pernah mengadukan penderitaannya kepada
Rasulullah saw, karena ia telah menemukan suatu penyakit ditubuhnya sejak ia masuk Islam.
Lalu Rasulullah saw, bersabda kepadanya : ‘letakkanlah tanganmu pada tubuhmu yang
merasa sakit, lalu ucapkanlah bismillah sebanyak tiga kali dan ucapkanlah
(berdo’alah)dengan kalimat’ aku berlindung kepada Allah dari kejahatan yang aku temui dan
yang aku waspadai.”( HR. Muslim) Teknik ini sering penulis lakukan pada klien yang sedang
mengalami stres dan kegelisahan. Sebelum proses konseling tentang bagaimama cara
mengatasi stres dan kegelisahan itu, penulis melakukan pemijatan dan sentuhan pada leher,
kepala dan pundaknya. Dan itu selalu penulis lakukan sebelum aktitifitas konseling
berlangsung. Penggunaan teknik konseling dan terapi yang lain secara lahir adalah dengan
menggunakan lisan. Makna penggunakan lisan dalam hadits dalam hadits ini memiliki makna
yang konstektual, yaitu: 1) Nasehat, wejangan, himbauan dan ajakan yang baik dan benar.
Sabda Rasullah SAW: ‫) متفق عليه‬.‫“ ( إتقو ا النا ر ولو بشق تمرة فمن لم يجد فبكلمة طيبة‬peliharalah dirimu
dari api neraka walau hanya sedekah, separuh dari biji kurma, lalu siapa saja yang tidak dapat
sedekah itu, maka dengan kata-kata yang baik.”(HR.Bukhori dan Muslim dari Ady bin Hatim
RA) Dalam konseling konselor lebih banyak menggunakan lisan, yaitu berupa pertanyaan-
pertanyaan yang harus dijawab oleh klien dengan baik, jujur dan benar. Agar konselor bisa
mendapatkan jawabanjawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang jujur dan terbuka dari klien,
maka kalimat-kalimat yang dilontarkan konselor harus berupa kata-kata yang mudah
86
dipahami, sopan dan tidak menyinggung atau melukai hati dan perasaan klien. 2) membaca
do’a atau berdo’a dengan menggunakan lisan. Untuk memantapkan klien, maka do’a yang
diucapkan oleh konselor sangat penting dan dapat didengar oleh klien agar ia dapat turut serta
mengaminkan, agar Allah berkenan mengabulkan do’a itu. Teknik ini dapat dilakukan
konselor pada konseling yang bersifat kelompok dan sangat besar manfaatnya, baik bagi
konselor lebih-lebih klien. Karena do’a itu optimisme akan senantiasa muncul pada jiwa
klien. 3) sesuatu yang dekat dengan lisan, yakni dengan air liur atau hembusan (tiupan). ‫كان إذا‬
‫ا‬³³‫لم عن ع‬³³‫ )رواه مس‬.‫استكى يقر أ على نفسه با لمعو ذات وينفث فلما اشتد وجعه كنت عليه وامسح عنه بيده رجا ء بر كتها‬
‫“ ( ئشة‬Apabila Rasulullah SAW. Menderita sakit, beliau membaca surat Al-Falaq dan AnNas
untuk menyembuhkan dirinya dan ia membaca sambil meniupkan. Maka tatkala sakitnya
sangat keras, maka saya yang membacanya lalu usapkan dengan tangan beliau demi
mengharapkan berkahnya.’’ (HR. Muslim dari Aisyah RA.) Teknik itupun sering penulis
lakukan ketika klien merasa belum mantap selama proses konseling. Ia meminta agar penulis
membaca beberapa ayat atau surat yang memiliki potensi atau jalan agar Allah segera
berkenan menyembuhkan melalui doa yang dibaca. Kedua : Teknik yang bersifat batin Yaitu
yang hanya dilakukan dalam hati dengan do’a dan harapan, namun tidak ada usaha dan upaya
yang keras secara konkrit, seperti dengan menggunakan potensi tangan dan lisan. Oleh karena
itulah Rasulullah SAW. Mengatakan bahwa melakukan perbaikan dan perubahan dalam hati
saja merupakan selemah-lemah keimanan. Teknik konseling yang ideal adalah dengan
kekuatan, keinginan dan usaha yang keras serta bersungguh-sungguh dan diwujudkan dengan
nyata melalui perbuatan-perbuatan, baik dengan menggunakan fungsi tangan dan lisan
maupun sikap-sikap yang lain. W.S. Winkel dalam tulisannya “Bimbingan dan Koseling di
Institusi Pendidikan” membagi teknik konseling kepada kedua bagian: a) konseling yang
bersifat verbal. b) konseling yang bersifat non verbal Subandi, mengajukan beberapa metode
dan teknik terapi yang ia bagi dalam beberapa fase, yaitu: pertama, tahap takhilli, yakni
bertujuan mengobati dan membersihkan diri dari segala kotoran, penyakit dan dosa yang
menyebabkan berbagai kegelisahan. Teknik yang dapat digunakan dalam tahap ini adalah: 1.
Teknik pengendalian diri 2. Teknik pengembangan kontrol diri melalui puasa dan teknik
paradok (kebalikan); 2. Teknik pembersihan diri melaui teknik dzikrullah, teknik puasa dan
teknik membaca Al-quran: Kedua, tahap tahalli, yaitu tahap pengembangan untuk
menumbuhkan sifat-sifat yang baik, terpuji dan berbagai sifat yang harus diisikan pada klien
yang telah dibersihkan pada tahap takhilli. Teknik yang dapat diterapkan pada tahap ini
adalah: 1) teknik teladan rasul; 2) teknik internalisasi asmaul husna; 3) teknik pengembangan
hablum minannas (hubungan sesama manusia). Ketiga, tahap tajalli, yaitu tahap peningkatan
87
hubungan dengan Allah sehingga ibadah bukan hanya bersifat ritual, tetapi dalam tahap ini
harus berbobot spiritual. Lebih dari itu tahap ini adalah bagaimana memunculkan sifat-sifat
ilahiyah dalam batas-batas kemanusiaan.

TEORI PSIKOANALISA TERINTEGRASI ISLAM, ADLER


TERINTEGRASI ISLAM, BEHAVIORISTIK TERINTEGRASI ISLAM,
REALITAS TERINTEGRASI ISLAM, REBT TERINTEGRASI ISLAM
A. Teori Psikoanalisa Terintegrasi Islam
Perspektif Islam Dalam Struktur Kepribadian Manusia

88
Di dalam Psikologi Islam terdapat beberapa kritikan terhadap psikoanalisis tentang pendapat
Freud tentang teorinya. Konsep Psikoanalisis yang terlalu menekankan pengaruh masa lalu
(kecil) terhadap perjalanan manusia ini dikritik banyak kalangan, karena dalam diri aliran ini
terkandung pesimisme yang besar pada setiap upaya pengembangan diri manusia. Setelah
seseorang mengalami masa kecil yang kelam seakan-akan tidak ada lagi harapan baginya
untuk hidup secara normal.

Pendapat Freud juga menyatakan bahwa agama bukanlah suatu dorongan yang alami atau
asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. Freud juga menyatakan
bahwa agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Bagi freud, agama dalam
ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah
angan-angan. Adapun dalam Islam, karakter dasar penciptaan manusia bukan hanya pada
aspek naluriah semata. Di samping itu ia memiliki potensi-potensi positif yang diberikan oleh
Allah kepada dirinya guna menyempurnakan kekurangannya, seperti akal dengan daya rasa
dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan
petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya. Selain itu, ia juga
adalah makhluk yang memiliki iradah (kehendak-kehendak yang mulia), bebas menentukan
tingkah lakunya berdasarkan pikiran dan perasaannya. Dengan kelengkapan-kelengkapan
yang diberikan Allah ini, ia bisa menjadi makhluk yang sempurna, tidak hanya dikuasai oleh
aspek biologisnya. Dengan segala potensi dan kelebihan ini ia pun menjadi makhluk yang
memiliki tanggung jawab melestarikan alam, menyejahterakan manusia dan tanggung jawab
kepada Tuhan atas segala tingkah lakunya serta kewajiban mencari ridha-Nya Hal ini terurai
di dalam QS. Ar-rum ayat 30:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Yang dimaksud fitrah pada ayat tersebut adalah fitrah manusia yang mempunyai
naluri beragama. Jika ada seseorang yang tidak beragama, maka hal itu dikatakan tidak wajar.
Justru mereka tidak beragama tauhid lantaran pengaruh lingkungan. Jadi, yang terpapar
dalam penafsiran QS. Ar-rum ayat 30 diatas dengan pendapat Freud saling bertolak belakang

Nilai-nilai fundamental Islam tentang kepribadian lebih banyak merujuk pada


substansi manusia yang terdiri dari substansi Jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani.
Ketiga substansi ini secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan.

89
Substansi jasmani adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang bersifat material. Bentuk
dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia, seperti tubuh dan anggota-anggotanya
seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain. Dengan kata lain, ia terdiri dari struktur
organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik
makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriah memiliki unsur material yang sama,
yakni terbuat dari tanah, air, api, dan udara. Energi kehidupan ini lazimnya disebut dengan
nyawa, karena nyawa manusia hidup. Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernafas,
merasakan sakit, panas-dingin, pahit-manis, haus lapar dan segala rasa fisik bilogis lainnya.

Di dalam aspek nafsiyah ini terdapat tiga dimensi yang memiliki peranan yang berbeda satu
sama lain, yaitu:

1. Al-qolb: → (super ego) Terkait dengan dimensi ini, Al-Ghazali membagi pengertian
Kalbu menjadi dua; yaitu kalbu yang bersifat jasmani dan kalbu yang bersifat ruhani.
Kalbu jasmani adalah salah satu organ yang terdapat di dalam tubuh manusia berupa
segumpal daging yang berbentuk seperti buah sanubar (sanubari) atau seperti jantung
pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung.
Sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani dan ruhani
yang berhubungan dengan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia
2. Akal: → ego Akal adalah substansi nafsani yang berkedudukan di otak dan berfungsi
untuk berpikir. Akal merupakan hasil dari kerja otak, dimana akal memiliki cahaya
nurani yang dipersiapkan untuk mampu memperoleh pengetahuan serta kognisi. Akal
merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat
rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Akal mampu memperoleh
pengetahuan melalui daya argumentatif dan juga menunjukan substansi berpikir, aku-
nya pribadi, mampu berpendapat, mampu memahami, menggambarkan, menghafal,
menemukan dan mengucapkan sesuatu. Karena itulah maka sifat akal adalah
kemanusiaan (insaniyah), sehingga ia disebut juga fithrah insaniyah. Secara
psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta).
3. Nafsu: → id Nafsu dalam terminologi psikologi dekat dengan sebutan konasi (daya
karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan
berkehendak. Aspek konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan
dan impuls untuk berbuat. Nafsu menunjukan struktur di bawah sadar dari
kepribadian manusia. Apabila manusia mengumbar dominasi nafsunya, maka
kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia apalagi di akhirat.

90
Manusia yang memiliki sifat ini pada hakikatnya memiliki kedudukan sama dengan
binatang bahkan lebih hina. Sebagaimana dalam ayat QS: Al-a’raf: 179:
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayatayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
A. Adler Terintegrasi Islam
Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al
hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat
materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta
cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung
membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau
kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis
nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk
melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu
muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti
mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud
dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam
pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa
dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri
(thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di
luar kesadaran manusia.
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir
secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki
kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung
jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya
sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk
mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu
91
juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui
sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain
oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu
menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir
rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan,
bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai
bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu
terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa,
namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak.
Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah
mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa
anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok,
bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya).
Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut
dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia
ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa
adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang
tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap
lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu
pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila
keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan
orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri
sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai
ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan
kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia
secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun
manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak,

92
dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai
makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan
tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan
memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia,
serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri
adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan
dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan
bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik
terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang
memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman
sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah
diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal,
serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri
sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu
memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego,
bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan
tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk
tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan
kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah
pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan
menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun
pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia
juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun,

93
dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain,
baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap
orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima
pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok
your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa
harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah
pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang
mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler
dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah
pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna
mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak
lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah
pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan
ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang
ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai
abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan
kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas)
sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.
3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri
dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri
adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan
nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak
bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu
sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia,
94
ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak
bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu
beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif,
tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak
mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai
berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai
kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak
bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak
konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah
pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan
hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan
takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain,
su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah
yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar,
gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung
hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan
tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your
are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri
secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang
lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan
adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia
tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak
lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi
kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa

95
membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa
merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi
yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan
menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang
dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang
diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala
nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang
memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa
memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap
Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu
memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik
hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan
ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

B. Teori Behavioristik Teritegrasi Islam


Konsep Dasar Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behavioristik, belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang dapat diamati
secara langsung, yang terjadi melalui hubungan stimulus-stimulus dan respon-respon (Dahar,
1988: 24). Para penganut teori ini berpendapat bahwa sudah cukup bagi siswa untuk
mengasosiasikan stimulus-stimulus dan respon-respon yang diberi reinforcement apabila ia
memberikan respon yang benar. Mereka tidak mempersoalkan apa yang terjadi dalam pikiran
siswa sebelum dan sesudah respon dibuat. Behavioris berkeyakinan bahwa setiap anak
manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang
bersifat abstrak lainnya (Muhibbin Syah, 2004: 104) dan menganggap manusia bersifat
mekanistik, yaitu merespon terhadap lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan
mempunyai peran yang sedikit terhadap dirinya sendiri.

Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa perilaku individu merupakan hasil
belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar
dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk mempertahankan perilaku

96
atau hasil belajar yang dikehendaki (Sanyata, 2012: 3). Semuanya itu timbul setelah manusia
mengalami kontak dengan alam dan lingkungan sosial budayanya dalam proses pendidikan.
Maka individu akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak lainnya
tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan lingkungannya.

Model-Model Teori Belajar Behavioristik

1). Connectionisme atau Bond-Psychology (Trial and Error) Teori belajar behavioristik
model ini dipelopori oleh Thorndike (1874-1949) dengan teorinya connectionisme yang
disebut juga dengan trial and error. Pada tahun 1980, Thorndike melakukan eksperimen
dengan kucing sebagai subyeknya

(Suryabrata, 1990: 266). Menurutnya, belajar adalah pembentukan hubungan (koneksi) antara
stimulus dengan respon yang diberikan oleh organisme terhadap stimulus tadi. Cara belajar
yang khas yang ditunjukkannya adalah trial dan error). Di samping itu, Thorndike juga
menggunakan pedoman ”pembawa kepuasan (satisfier)” apabila subyek melakukan hal-hal
yang mendatangkan kesenangan, dan ”pembawa kebosanan (annoyer)” apabila subyek
menghindari keadaan yang tidak menyenangkan (Winkel, 1991: 380). Dari eksperimen
Thorndike ini, bisa diambil tiga hukum dalam belajar, yaitu: (1) Law of readiness (hukum
kesiapan). Belajar akan berhasil apabila subyek memiliki kesiapan untuk belajar
(Sukmadinata, 2003: 169). (2) Law of exercise (hukum latihan), merupakan generalisasi dari
law of use dan law of disuse, yaitu jika perilaku itu sering dilatih atau digunakan, maka
eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (Law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi
tidak dilatih, maka perilaku tersebut akan menjadi bertambah lemah atau tidak digunakan
sama sekali (law of disuse). Dengan kata lain, belajar akan berhasil apabila banyak latihan
atau ulangan. (3) Law of effect, yaitu jika respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, jika respon
menghasilkan efek yang tidak memuaskan, maka semakin lemah hubungan antara stimulus
dan respon tersebut (Suryabrata, 1990: 271). Dengan kata lain, subyek akan bersemangat
dalam belajar apabila ia mengetahui atau mendapatkan hasil yang baik.

2). Classical Conditioning. Teori ini dikemukakakn oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Menurut
Terrace (1973), Classical Conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan
cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Muhibbin Syah, 2004: 95).

97
3). Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon) Selain dua model teori behavioristik
di atas, muncul Burhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) dengan teorinya Operant
Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon) yang mengadakan eksperimen terhadap tikus
(Muhibbin Syah, 2004: 99). Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.Reinforcer adalah stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu. Berdasarkan teori ini
dapat disimpulkan bahwa proses belajar tunduk kepada dua hukum, yaitu: (1) Law of operant
conditioning, yaitu jika timbulnya tingkah laku operantdiiringi dengan stimulus reinforcer,
maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Artinya tingkah laku yang ingin
dibiasakan akan meningkat dan bertahan apabila ada reinforcer. (2) Law of operant
extinction, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant tidak diiringi dengan stimulus respon,
maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun bahkan musnah. Ini bermakna bahwa
tingkah laku yang ingin dibiasakan tidak akan eksis, apabila tidak ada reinforcer. Selain itu,
Skinner juga memberikan konsekuensi tingkah laku yaitu ada yang menyenangkan (reward)
dan tidak menyenangkan (punishment).

4. Edwin R. Guthrie (18886-1959) dengan teorinya Contiguous Conditioning (Pembiasaan


Asosiasi Dekat)yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan
hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan. Di dalamnya terdapat prinsip
kontiguitas (contiguity) yang berarti kedekatan antara stimulus dan respon (Muhibbin Syah,
2004: 101). Oleh karena itu, menurutnya peningkatan hasil belajar itu bukanlah hasil pelbagai
respon yang kompleks terhadap stimulus-stimulus yang ada, melainkan karena dekatnya
asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperlukan. Misalnya, seorang siswa diberi
stimulus berupa penjumlahan 2 + 2, maka siswa akan merespon dengan (Muhibbin Syah,
2004: 101). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan antara stimulus dengan respon. . John B.
Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori
belajar Ivan Pavlov dengan teorinya Sarbon (Stimulus and response Bond Theory). Watson
berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons
bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan beberapa
refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku
lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulusrespons baru melalui ”conditioning”
(Soemanto, 1990: 118). Jadi, menurut Watson, belajar dipandang sebagai cara menanamkan
sejumlah ikatan antara perangsang dan reaksi (asosiasi-asosiasi tunggal) dalam sistem
susunan saraf (Winkel, 1991: 381). Social Learning Theory (Teori belajar sosial) Albert

98
Bandura dikatakan sebagai neo-behaviorism muncul dengan teorinya Social Learning Theory
(Teori belajar sosial).Teori ini merupakan kombinasi antara teori classical dan operant
conditioning (Sanyata, 2012: 3).

Hal yang paling asas dalam teori ini adalah kemampuan seseorang untuk
mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain kemudian mengambil keputusan
mengenai perilaku mana yang akan ditiru yang selanjutnya akan dilakukan sesuai dengan
pilihannya (Mahmud, 1989: 145). Artinya tingkah laku manusia itu bukan semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri (Muhibbin Syah,
2004: 106). Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral
siswa adalah dengan mengadakan conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation
(peniruan). Dalam conditioning ini diperlukan adanya rewarddan punishment (Muhibbin
Syah, 2004: 107). Sedangkan dalam imitasi, seorang guru dan orang tua memainkan peranan
penting sebagai model yang akan dicontohkan oleh perilaku sosialnya.

Pandangan Islam Terhadap Manusia

Dalam pandangan Islam, proses penciptaan manusia terdiri dari dua proses dengan
enam tahapan. Proses pertama, adalah pembentukan fisik/jasad dengan lima tahap, yaitu dari
nutfah, ‘alaqah, mudhghah, ‘idzham, dan lahm (QS. AlMukminun: 14). Lahm ini
membungkus ‘idzham yang kemudian menggambarkan bentuk manusia. Proses kedua adalah
non fisik/immateri, yaitu peniupan ruh pada diri manusia (QS. As-Sajdah: 9) sehingga ia
berbeda dengan makhluk lainnya. Pada saat itu, manusia memiliki berbagai potensi, fitrah
dan hikmah yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin; bahkan pada setiap anggota
tubuhnya dapat dikembangkan menuju kemajuan peradaban manusia.

Di samping itu, dalam pandangan Islam manusia juga dibekali potensi beserta alatnya
yang bisa dikembangkan melalui belajar. Alat-alat potensi manusia berupa: (a) al-Lams dan
al-Syuam, alat peraba dan penciuman (QS. Al-An’am: 7 dan Yusuf: 74), (b)al-Sam’u, alat
pendengaran. Alat ini dihubungkan dengan qalb yang menunjukkan adanya hubungan saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lain untuk mencapai ilmu pengetahuan (QS. Al-
Isra’: 36, QS. Al-Mukminun: 78, al-Sajdah: 9, al-Mulk: 23), (c) al-Bashar, alat penglihatan.
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa
yang dilihatnya, sehingga ia dapat mencapai hakikatnya (QS.al-A’raf: 185, Yunus: 101, al-
Sajdah: 27), (d) al-Aql, alat untuk berpikir (QS. Ali ’Imron: 191), dan (e)al-Qalb (kalbu),

99
yaitu alat ma’rifah yang digunakan untuk mencapai ilmu (QS. Al-Haj: 46, Muhammad:24).
Qalb ini mempunyai kedudukan yang khusus dalam ma’rifah ilahiyah sebagaimana wahyu
yang diturunkan ke dalam qalb nabi Muhammad (QS. Al-Syu’ara: 192-194). Dengan alat-alat
potensi yang dimiliki manusia, maka ia mempunyai potensi dasar yang berupa fitrah(Nizar,
2002: 52).

Ditinjau dari bahasa, fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana yang setiap
maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, dan sifat pembawaan sejak lahir
(Ma’luf, 1886: 588). AlRaghib al-Asfahani menjelaskan fitrah Allah yang terdapat dalam
Surat al-Rum ayat 30, yaitu suatu kekuatan atau daya untuk mengenal atau mengakui Allah
(keimanan kepada-Nya) yang menetap dalam diri manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan
bahwa Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia. Ajaran Islam itu sarat dengan nilai-
nilai ilahiah yang universal dan manusiawi yang patut dikembangkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Bahkan segala perintah dan larangan-Nya pun sesuai dengan fitrah
manusia (Nizar, 2002: 41-43).

Ditinjau dari aspek tersebut, maka fitrah manusia itu bermacam-macam, yaitu fitrah
beragama (potensi untuk tunduk kepada Tuhan), fitrah berakal budi (untuk berkreasi dan
berbudaya), fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah bermoral, fitrah kebenaran (mendorong
untuk elalu mencari kebenaran), fitrah keadilan, fitrah individu (mendorong untuk mandiri
dan bertanggung jawab), fitrah sosial, fitrah seksual (mendorong manusia untuk
mengembangkan potensinya).

Relevansi Teori Belajar Clark Hull dan Ivan Pavlov dalam Pendidikan Islam

Meskipun Hull sangat hati-hati dengan membatasi teori dan implikasinya, kita juga bisa
mengeksplorasi implikasi teori Hull untuk pendidikan Islam. Teori belajar Hull adalah
reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorongan. Menurutnya, belajar melibatkan dorongan
yang dapat direduksi. Sulit membayangkan bagaimana reduksi dorongan primer dapat
berperan dalam belajar di kelas, namun beberapa pengikut Hull (misalnya Janet Taylor
Spence) menekankan kecemasan sebagai sebentuk dorongan dalam proses belajar manusia.

Latihan harus didistribusikan dengan cermat agar hambatan tidak muncul. Guru harus
membagi topik-topik yang diajarkannya sehingga siswa tidak akan kelelahan yang bisa
mengganggu proses belajar. Topik-topik tersebut juga diatur sedemikian rupa sehingga topik
yang berbeda-beda akan saling berurutan. Misalnya urutan pelajaran yang baik adalah Akidah

100
Akhlak, al Qur’an Hadis, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Dengan teori Hull, siswa
belajar tentang hal-hal yang mereka lakukan secara kontekstual. Dalam hal pendidikan Islam,
Islam bukan hanya konsep dan doktrin mengenai Islam itu sendiri, melainkan harus dapat
dikontekstualisasikan, diaplikasikan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Ini juga
sejalan dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 atau K-13 berorientasi pada tiga aspek
yang bertujuan untuk peningkatan dan keseimbangan di antara tiga ranah; pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan (skill) yang terintegrasi.

Pengaruh keadaan klasik membantu menjelaskan banyak pelajaran di mana satu


stimulus diganti/digantikan untuk yang lain. Satu contoh yang penting tentang proses ini
adalah pelajaran atraksi emosional dan ketakutan. Bahwa bentakan seorang guru seringkali
membuat takut murid-muridnya, hal yang sama seorang polisi mempermainkan penjahat
dengan ancungan tangannya, atau seorang perawat hendak memberi suntikan kepada
pasiennya. Semua perilaku ini menciptakan tanggapan perhatian dan ketakutan di hati orang-
orang tersebut, di bawah kesadaran mereka. Situasi ini memberikan pengaruh ketakutan bila
stimulus tidak netral.

Namun, tanggapan positif dapat dibangun secara sederhana untuk mengkondisikan


stimulus. Jika seorang guru memuji seorang siswa maka akan menimbulkan hal positif
baginya, bahkan ketika dia tidak lagi dipuji. Pada akhirnya, proses ini dapat membangun
hubungan baik di kelas. Hal yang sama untuk polisi, perawat, atau orang yang bekerja dengan
orang-orang: stimuli yang dapat dipercaya menimbulkan hal positif tanggapan tersebut dapat
dikondisikan untuk lain. Penggantian stimulus dapat membantu bahkan pada pelajaran
tertentu yang tidak berisi unsur perasaan. Pengaruh tersebut tidak memerlukan refleks sebagai
titik awal.

Analisis Komparatif Teori Belajar Behaviorisme Dengan Teori Belajar Akhlak

Menurut teori behavioristik, belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang dapat
diamati secara langsung, yang terjadi melalui terkaitnya stimulusstimulus dan respon-respon
menurut prinsip-prinsip mekanistik. Cara belajar yang khas ditunjukkan dengan ”trial and
error” atau coba-coba salah dan mengurangi kesalahan. Di samping itu, para behavioris
menggunakan reinforcement (peneguh) atau satisfyier (pembawa kepuasan) dalam
mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki. Artinya individu akan belajar apabila ia
melakukan perbuatan yang mendatangkan reinforcement, jika yang dilakukan tidak
mendatangkan reinforcement, maka perbuatan tersebut tidak akan dilakukannya, bahkan

101
dihilangkannya. Sebenarnya teknik operant conditioning-nya Skinner telah dipergunakan
oleh manusia selama berabad-abad sebelum ilmuwan ini lahir. Misalnya telah digunakan oleh
orang Arab kuno untuk melatih anjing dan burung elang berburu. Al-Qur’an telah
mengungkapkan hal ini secara jelas sekaligus mempertimbangkan kemampuan manusia
untuk mengkondisikan binatangbinatang sebagai salah satu pengajaran Tuhan kepada
manusia (Badri, 1986: 7).

Walaupun teori ini sudah tersebar ke berbagai sekolah di berbagai penjuru dunia,
namun teori ini mempunyai beberapa kelemahan. Diantaranya adalah dalam pandangan
behavioris, berpikir hanyalah kumpulan berbagai stimulus dan respon yang terkait satu
dengan lainnya yang tidak lebih dari sekedar pembicaraan dalam diri individu. Di sini jelas
bahwakaum behavioris beranggapan proses belajar merupakan proses yang dapat diamati,
padahal sebenarnya proses belajar terjadi di internal individu sementara yang nampak di luar
hanyalah sebagian gejalanya. Selain itu, dalam teori ini, proses belajar dianggap sebagai
sesuatu yang bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan menjadikan manusia bagaikan
robot yang harus selalu merespon setiap kali diberi stimulus. Padahal setiap siswa
mempunyai kontrol diri, kebebasan dan pilihan dalam bertingkah laku, sehingga wajar jika
terkadang ia tidak berkehendak untuk merespon suatu stimulus. Dalam teori ini, siswa
dianggap pasif, sementara guru bersikap otoriter dan sebagai sumber pengetahuan.
Kelemahan lain teori ini adalah proses belajar yang ditawarkan merupakan hasil eksperimen
terhadap binatang, yang tentunya kapasitas binatang jauh berbeda dengan kapasitas manusia
yang dibekali akal oleh Tuhannya (Muhibbin Syah, 2004: 100-101).

Sementara dalam Islam, istilah belajar menggunakan terminologi ta’allama atau darosa.
Selain itu, istilah yang sering digunakan dan banyak dijumpai dalam al -Hadits untuk belajar
adalah thalabul ’Ilmu (menuntut ilmu). Belajar diartikan sebagai proses pencarian ilmu
pengetahuan yang termanifestasikan dalam perbuatan sehingga terbentuk manusia paripurna.
Pengertian ini mengisyaratkan bahwa Islam telah menempatkan manusia pada tempat yang
sebenarnya. Artinya proses belajar dalam Islam menuntut peserta didiknya untuk aktif, tidak
pasif dan belajar dilakukan untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi manusia paripurna. Di
samping itu, proses ini tidak mengesampingkan perbuatan mental manusia, yaitu belajar
menuntut adanya perubahan dalam tingkah laku, dan tingkah laku seseorang tidak akan
berubah tanpa adanya dorongan dari dalam diri individu itu sendiri. Selain itu, apabila
diamati lebih dalam, eksperimen yang dilakukan oleh kelompok behavioristik itu karena
adanya dorongan yang bersifat materi. Artinya, binatang yang dieksperimenkan berkehendak

102
melakukan usaha trial and error, ataupun operant conditioning karena ingin mendapatkan
makanan yang menggiurkan yang berada di luar. Dengan demikian, secara implisit tampak
bahwa tujuan teori belajar behavioristik selain dalam rangka pembentukan kebiasaan, tetapi
juga bersifat materialistik. Apabila reinforcement tidak diberikan lagi, maka kebiasaan yang
sudah dibentuk bisa menjadi musnah. Hal ini tentu jauh berbeda dengan teori belajar akhlak
dalam Islam. Walaupun pembentukan tingkah laku/ akhlak dalam Islam juga ingin
mendapatkan reward, akan tetapi reward ini tidak bersifat materi melainkan immateri, yaitu
pahala ataupun keridhaan Tuhannya. Dan dengan reward yang bersifat abstrak ini, bisa
menjadikan pembentukan tingkah laku yang dikehendaki bersifat kekal dan tidak akan hilang.
Hal ini disebabkan ketika individu muslim yang berharap keridhaan Tuhannya, maka ia akan
berperilaku sebaik mungkin karena ia sadar bahwa tingkah lakunya senantiasa dimonitor oleh
Tuhannya. Dengan demikian, individu muslim ini akan komitmen terhadap tingkah laku baik
yang sudah dibentuk.

Walaupun demikian, konsep reinforcement dalam teori behavioristik bisa diaplikasikan


dalam proses pembelajaran bagi anak-anak. Karena pada masa ini, anak-anak hanya bisa
memikirkan dan menerima hal-hal yang bersifat konkrit dan belum bisa memikirkan tentang
sesuatu yang bersifat abstrak. Namun demikian, tentunya sebagai pendidik muslim juga akan
berusaha mengenalkan unsur-unsur yang bersifat ghaib (abstrak) agar anak-anak tidak
bersifat materialistik ke depannya. Berdasarkan perbandingan antara teori belajar Barat
dengan Islam, maka penulis mencoba mensintesiskan teori belajar behavioristik dengan teori
belajar akhlak dengan mengambil yang sesuai dengan Islam dan membuang halhal yang
bertentangan dengan Islam, sehingga muncullah teori belajar terpadu yang selaras dengan
idealisme Islam.

Sintesis Teori Belajar Behavioristik dengan Teori Belajar Akhlak Teori belajar dapat
dipahami sebagai kumpulan prinsip umum yang saling berhubungan dan merupakan
penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Maka
teori belajar terpadu yang selaras dengan idealisme Islam adalah kumpulan penjelasan
tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan peristiwa belajar yang bersumber dari al-
Qur’an, al-Sunah, dan khazanah pemikiran intelektual Islam serta mengambil segi positif dari
Barat yang sesuai dengan idealisme Islam. Teori belajar Behavioristik-Akhlak ini lebih
menekankan kepada pembentukan perilaku, melalui hubungan antara stimulus dan respon.

103
Dalam hal ini bisa menggunakan tiga hukum dalam belajar dari eksperimen Thorndike ini,
yaitu: 1) Law of readiness (hukum kesiapan). Belajar akan berhasil apabila individu memiliki
kesiapan. Oleh karena itu, dalam Islam peserta didik yang akan belajar dianjurkan
mempunyai niat yang benar dan berdo’a terlebih dahulu, sebagai bentuk kesiapan peserta
didik agar dalam aktivitas selanjutnya bisa dilakukan secara optimal. 2) Law of exercise
(hukum latihan), yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan atau ulangan dilakukan.
Tentang hal ini, Islam sangat menghargai perbuatan yang dilakukan secara terusmenerus
walaupun itu sedikit. Jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang
selanjutnya menjadi akhlaknya. 3) Law of effect, yaitu belajar akan bersemangat apabila
mengetahui atau mendapatkan hasil yang baik. Dalam hal ini,reward (tsawab) memainkan
peran yang dominan, artinya ketika peserta didik belajar dan ia mendapatkan reward, maka ia
akan senantiasa melakukannya. Akan tetapi, reward dalam Islam di samping bersifat duniawi
(tsawab al-Dunya) juga bersifat ukhrawi (tsawab al-akhirah) yang bersifat futuristik, yang
akan diberikan kelak di kemudian hari. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam makna
Surat Ali ‘Imran, Ayat 148: “Maka Allah berikan ganjaran kepada mereka di dunia dan
akhirat dengan ganjaran yang baik. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”.

Selain itu, dalam pembentukan akhlak, cara yang digunakan adalah uswah hasanah
yang menjadikan nabi Muhammad sebagai role model utama dengan menggunakan teknik
yang dikemukakan oleh al-Ghazali, yaitu dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela
(takhalli), menghiasi diri dengan sifatsifat terpuji (tahalli), dan mengagungkan Allah (tajalli).

Teori belajar Behavioristik bersifat rasional-empiris-kuantitatif karenadibangun


berdasarkan pada pandangan dunia (worldview)sekuler-positifistik -materialistik. Oleh
karena itu, teori belajar Barat lebih menonjolkan pada gejalagejala yang berkaitan dengan
peristiwa belajar yang dapat diamati dan dibuktikan secara empiris, diukur secara kuantitatif,
dan cenderung bersifat materialistikpragmatis. Dalam hal ini teori belajar behavioristik yang
menjadikan manusia bersifat mekanistik-deterministik yang menjadikan manusia sebagai
robot dalam proses pembelajaran sementara minus spiritual. Sebaliknya, teori belajar dalam
perspektif Islam merupakan kumpulan penjelasan dan penemuan tentang prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan peristiwa belajar yang dibangun berdasarkan pandangan dunia Islam yang
bersumber dari al -Qur’an dan al-Sunah yang dikembangkan oleh cendikiawan muslim. Oleh
karena itu, teori belajar ini tidak hanya bersifat rasional-empiris, melainkan juga bersifat
normatif-kualitatif.Dalam hal ini, teori belajar akhlak merupakan pembentukan tingkah laku
dengan mengedepankan aspek spiritual dan berorientasi pada pembentukan individu secara

104
holistik. Adapun sintesis antara kedua teori tersebut, memunculkan teori belajar terpadu yang
selaras dengan idealisme Islam yang tetap bersumber kepada al-Qur’an, al-Sunah dan
khazanah intelektual muslim dan mengambil segi positif dari Barat serta membuang hal-hal
yang tidak sesuai dengan idealisme Islam. Hal ini pada akhirnya berimplikasi pada proses
pembelajaran yang efektif dan efisien yang dapat mengantarkan peserta didik dapat mencapai
tujuan belajar bahkan tujuan hidupnya.

C. Realitas Terintegrasi Islam


Islam merupakan ilmu Al-Quraniyah yaitu semua perbuatan atau petunjuk kehidupan
ada dalam Al-Quran, atau ketundukan hamba kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada
para Nabi dan Rasul Khususnya Rasulullah yakni Nabi Muhammad Saw sebagai pedoman
hidup dan sebagai hukum/aturan Allah Swt yang dapat membimbing umat manusia kejalan
yang benar yang diridhoi olehNya menuju ke bahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu KeIslaman
menunjukkan kesatuan dan keterkaitan semua yang ada, memilki keseimbangan dalam
merenungkan kosmos bahwa manusia mampu mencapai prinsip keTuhanan serta ilmu
pengetahuan yang rasional empiris akan mengantarkan pada penegasan kesatuan keTuhanan
Integralisasi kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah beserta
pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Ilmu integralistik yaitu ilmu yang menyatukan wahyu
Allah dengan temuan pikiran manusia. Dengan adanya integralisme akan sekaligus
menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama dalam banyak sektor. Usaha
membimbing umat manusia ke jalan yang diridhoi Allah sebagai tujuan dari Integritas Islam
dan sains yang mana dapat mewujudkan melalui pembelajaran dalam pendidikan formal.

Integrasi Sains dan Islam adalah mengemban misi yang luar biasa dalam membekali
siswa memperoleh suatu keilmuan yang utuh antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan
religiusitas dalam mengembangkan kepribadian yang Islami. Berkaiatan dengan sains maka
teknologi juga memiliki peran yang paling utama dalam menjalankan nya, AlQur’an
memerintahkan manusia supaya terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiah untuk terus
mengembangkan teknologi dengan memanfaatkan sesuatu yang ada yang Allah telah berikan
dan limpahkan kepadanya. Berbicara tentang alam dan materi serta fenomena yang ada
supaya manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya.

Pandangan Islam ilmu pengetahuan dan alam adalah keseimbangan dengan agama,
hubungan ini menyiratkan aspek yang suci untuk mengejar pengetahuan ilmiah oleh umat
Islam, karena alam sendiri dilihat dalam Al-qur’an sebagai kumpulan tanda-tanda

105
menunjukan kepada Tuhan. Media pembuktian atas keesaan dan kekuasaan Allah yaitu
dengan teknologi yang telah ada. Karena kepercayaan umat modern dengan jika telah ada
pembuktiannya dan terdapat hasil yang akurat.

Integrasi Ilmu merupakan satu dari usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam
mewujudkan integrasi Islam dan Sains di lingkungan pendidikan terutama dalam
pendidikan Islam dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menjadikan kitab suci sebagai basis atau sumber utama Ilmu Al-Qur’an dalam
pengintegrasian ilmu ini diposisikan sebagai sumber utama atau landasan dasar bagi
pencapaian ilmu umum yang diperoleh dari hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis
yang kedudukannya sebagai sumber pendukung dalam rangka menambah keyakinan terhadap
Allah melalui sumber utama yakni AlQur’an.

b. Memperluas batas materi kajian Islam dan Menghindari dikotomi ilmu Ajaran Islam
bersifar universal oleh karena itu tidak ada dikotomi dalam Islam karena semua llmu itu
penting untuk dipelajari agar menjalankan kehidupan dengan baik.

c. Menumbuhkan pribadi yang berkarakter Ulil Albab. Ulil Albab adalah orang yang benar-
benar mampu menggunakan akal dan pikirannya untuk memahami fenomena alam sehingga
dapat memahami sampai pada bukti-bukti keesaan dan kekuasaan sang Maha pencipta yakni
Allah swt.

d. Menelusuri ayat-ayat dalam AlQur’an yang berbicara tentang sains. Menelusuri ayat-ayat
Al-Qur’an merupakan bentuk langkah yang sangat vital untuk terintegrasinya sains dan
Islam. Seterusnya bahwa kebenaran Al-Qur’an itu merupakan sumber yang relevan dengan
ilmu pengetahuan (sains) yang saat ini sangat pesat berkembang.

e. Mengembangkan kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan. Berdasarkan hasil kajian


beberapa ilmu dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam
krisis itu berpangkal dari krisis akhlak dan moral, krisis spiritual. Untuk mewujudkan insan
yang mempunyai kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan intelektual dan
kematangan professional, akan dapat dicapai secara utuh jika terpadu/terintegrasi nya ilmu
sains dan Islam dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran terpadu dan integrative
tersebut, suatu masalah yang menggejala tidak bisa disalahkan kepada guru tertentu.

106
Menurut al-Kailani, jika dicermati kajian-kajian pendidikan Islam yang ada maka
sebagian besar di antaranya tampak masih bercorak deskriptif, normatif, dan adoptif serta
dalam bayang-bayang “Barat sentris” atau sebaliknya, “Salaf sentris” (Al-Kailani, 1988: 66-
67). Tradisi salaf yang berusia seribu tahun yang mengalami kemacetan di abad-abad akhir,
sesungguhnya memiliki khazanah intelektual yang kaya dan sangat canggih, dan keluaran
dari sistem pendidikan Islam adalah sosok-sosok yang orisinal, tokoh-tokoh yang sangat
sintetis dan kreatif dalam peradaban Islam (Rahman, 2000: 83). Dari fakta historis tersebut
terdapat asumsi dasar bahwa pendidikan Islam memiliki pengalaman khusus mengenai
kesatuan organik antara sains dan agama. Karena sains pra-modern seperti Cina, India, dan
peradaban Islam memiliki perbedaan mendasar dengan sains modern, misalnya dalam hal
tujuan, metodologi, sumber-sumber inspirasi, dan asumsi-asumsi filosofis mereka tentang
manusia, pengetahuan, dan realitas alam semesta (Bakar, 1994: 73).

Perbedaan mendasar inilah yang menimbulkan kerumitan tersendiri, karena pendidikan


baru dalam Islam yang dicangkok dari organisme hidup yang lain di Barat, yang mempunyai
latar belakang budaya dan struktur internal serta konsistensinya sendiri (Rahman, 2000: 83).
Walaupun pendidikan Islam masa lalu mempunyai pengalaman melakukan proses adopsi
terhadap filsafat dan sains Yunani dengan terma-termanya sendiri. Tetapi, pendidikan Islam
menghadapi sains-sains Barat modern pada posisi yang tak menguntungkan –secara
psikologis maupun intelektual− karena dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni
intelektual Barat.

Akibatnya, pendidikan baru yang membawa semangat sains modern yang memiliki
pandangan yang minus terhadap agama tidak terintegrasi dengan baik pada sistem pendidikan
Islam. Pada titik inilah kemudian terjadi dikotomisasi antara bidang agama dan sains modern
di dunia pendidikan Islam. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kerugian di antara keduanya,
karena tidak adanya integrasi timbal balik, sehingga pendidikan Islam mengalami berbagai
krisis, diantaranya krisis konseptual, kelembagaan metodologi atau pedagogik, dan krisis
orientasi. Pendek kata, pendidikan Islam memang tengah mengalami degradasi fungsional
yang dinilai jauh lebih akut dibandingkan dengan hal serupa yang dialami oleh sistem
pendidikan umum yang tidak secara lugas memasukkan dimensi keagamaan (baca:
keislaman) (Arif, 2008: 230-233).

Realitas objektif tentang terjadinya anomali dan degradasi di dunia pendidikan Islam juga
dikarenakan lembaga pendidikan Islam yang menghasilkan tenaga pengajar profesional

107
mengalami krisis, sebagaimana yang dikesankan oleh M. Amin Abdullah bahwa proses
transformasi pendidikan di Fakultas Tarbiyah menjadi demikian normatif untuk tidak
mengatakan dogmatik. Kalau ditelusuri ke dalamnya, bahwa fakultas ini belum melandasi
epistemologi penyelenggaraannya dengan dasar yang kritis dan mencerahkan (Abdullah,
2008: 60).

Kaitannya dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini
adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam (Interdiscipline
Sciences in Islam). Paradigma integratif ini sudah waktunya dikembangkan dalam abad
modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan menggeser peradaban
saat ini yang menurut hemat penulis sudah diambang kebangkrutan dilihat dari berbagai
indikator fisik dan non-fisik. Dengan sistem pendidikan yang baru di mana kurikulum yang
diajarkan merupakan penyatuan utuh antara nilai wahyu dan sains. Maka diharapkan para
alumni lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan agama
dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan
menyeluruh (holistik) di masyarakat sehingga di masa depan terciptalah tatanan masyarakat
yang lebih baik.

Dengan demikian, pendidikan Islam di masa mendatang harus memberi prioritas pada
materi pembelajaran yang akan membantu untuk menghasilkan ilmuan-ilmuan, teknolog-
teknolog, dan insinyur-insinyur, serta kelompok profesional lain, yang peran dan
kontribusinya sangat penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi hal juga berarti sebuah lembaga
pendidikan Islam tidak sekadar berkepentingan untuk menghasilkan sejenis ilmuan, teknolog,
atau insinyur, yang berbicara agama secara kualitatif, tidak berbeda dari mereka yang
dihasilkan oleh kebanyakan pendidikan umum. Tetapi, ia harus berkepentingan untuk
mendidik ilmuan-ilmuan, insinyur-insinyur, serta teknolog-teknolog “jenis baru” yang
terinternalisasi di dalam dirinya kebijakan dan pengetahuan, iman spiritual dan pikiran
rasional, kreativitas dan wawasan moral, kekuatan inovatif dan kebaikan etis, serta sensivitas
ekologis berkembang sepenuhnya secara harmonis tanpa meruntuhkan kemungkinan bagi
mereka untuk mencapai keunggulan dan kegemilangan dalam bidang dan spesialisasi masing-
masing.

Dari kerangka dasar semacam itu, pendidikan Islam kemudian didudukkan dalam
sistem klasifikasi keilmuan teoantroposentrisintegralistik (lihat Abdullah, 2003: 1-24) yaitu
sistem klasifikasi yang memadukan secara integral antara transmitted knowledges dan

108
acquired knowledges melalui penggunaan pendekatan dan metodologi keilmuan
interdisipliner (integrasi dan interkoneksi). Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi
menjadi disiplin ilmu yang eksklusif dan terkucilkan (isolated entities), tetapi justru menjadi
disiplin ilmu yang responsif terhadap berbagai permasalahan yang aktual (current issues)
(Arif, 2008: 255).

Dengan adanya paradigma integratif dalam konteks keilmuan antara transmitted


knowledges dan acquired knowledges diharapkan tercipta atmosfir akademik yang holistik
dan tidak parsial. Sehingga sekat-sekat spesialisasi bidang pengetahuan tertentu tidak
mengakibatkan terbentuknya wawasan miopik-narsistik, dan jangkauan pengetahuan juga
tidak membatasi diri pada fakta atau pengenalan finalitas yang bersifat imanen, yang segala
sesuatunya hanya dilihat pada makna “pragmatisnya”. Akan tetapi, juga keberadaan makna
atau finalitas ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, yakni sesuatu yang berada di luar
(beyond) sains yang merupakan signifikansi dan arah sesuatu dalam pengertian teleologisnya.
Integrasi sains dan teknologi berimplikasi pada pendidikan Islam antara lain: pertama,
berimplikasi dalam hal kurikulum, mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat dan
kemampuan untuk melakukan penelitian (riset) pada bidang-bidang sains untuk kemudian
menemukan “titik sambungnya” dengan realitas objektif yang terjadi pada wilayah
keagamaan. Kedua, implikasi dalam proses belajar mengajar, guru mengembangkan imajinasi
kreatif. Peranan guru-guru dengan kekuatan imajinasi kreatif yang dimilikinya mampu
menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan
lengkap. Dan ketiga implikasi dalam aspek pendidikan sosial keagamaan. dengan paradigma
integratif, para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam
menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan sehingga menumbuhkan sikap saling
menghormati dan menghargai perbedaan sebuah keyakinan dalam beragama.

D. REBT Terintegrasi Islam


Asal-usul rasional-emotif behavior therapy dapat ditelusuri dengan filosofi dari
Stoicisme di Yunani kuno yang membedakan tindakan dari interpretasinya. Epictetus dan
Marcus Aurelius dalam bukunya “The Enchiridion”, menyatakan bahwa manusia tidak begitu
banyak dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada dirinya, melainkan bagaimana manusia
memandang/menafsirkan apa yang terjadi pada dirinya.

Manusia lahir dengan potensi untuk berfikir secara rasional dan tidak rasional. Tidak
ada seorang manusia yang terkecuali dari pemikiran rasional termasuk terapis Secara khusus

109
pendekatan terapi rasional emotif behavior berasumsi bahwa individu memiliki karakteristik
sebagai berikut: Individu memiliki potensi yang unik untuk berfikir rasional dan irasional,
pikiran irasional berasal dari proses belajar yang irasional yang didapat dari orang tua dan
budayanya, manusia adalah makhluk verbal dan berfikir melalui simbol dan bahasa,
gangguan emosional yang disebabkan oleh verbalisasi diri (self verbalizing) yang terus
menerus dan persepsi serta sikap terhadap kejadian merupakan akar permasalahan, bukan
karena kejadian itu sendiri, individu memiliki potensi untuk mengubah arah hidup personal
dan sosialnya, serta pikiran dan perasaan yang negatif dan merusak diri dapat diserang
dengan mengorganisasikan kembali persepsi dan pemikiran, sehingga menjadi logis dan
rasional (Bradley & Sutjipt, 2016: 269).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) berbasis Islam lahir sebagai upaya
membantu memberdayakan kembali potensi yang ada di dalam diri individu yaitu fitrah
manusia yang telah diberikan aql, qalb, nafs, dan ruh serta kembali mengaktifkan keimanan
dan ketakwaan hingga kembali berkembang dan berfungsi sebagaimana mestinya. Rational
Emotive Behavior Therapy berbasis islam lahir sebagai upaya membantu memberdayakan
kembali potensi yang ada di dalam diri individu yaitu manusia fitrah dan kembali
mengaktifkan keimanan dan ketakwaan hingga kembali berkembang dan berfungsi
sebagaimana mestinya. Teknik REBT dan sikap mental positif saling terkait karena di dalam
kedua hal tersebut sama-sama menekankan adanya ‘self-acceptence’, yang mana jika hal
tersebut tidak terpenuhi terlebih dahulu maka proses untuk mendapatkan sikap mental positif
tidak akan tercapai sebagaimana mestinya. Dalam teori REBT Ellis memiliki keyakinan
bahwa setiap manusia secara natural dapat menjadi orang yang mampu menolong dan
mencintai sepanjang mereka tidak berpikir irasional.

Menjadi individu yang tidak pernah merasakan masalah adalah hal tidak mungkin
terjadi di dunia ini. Berbagai masalah muncul dan menjadikan hari-hari kita tidak
menyenangkan, di mana semuanya seperti tidak berjalan lancar yang berujung pada sikap
negatif. Padahal seseorang dapat menjadi sukses selain mempunyai kecerdasan dan
kemampuan dalam kehidupannya, hal yang paling mendasar sebelum itu semua sebenarnya
adalah sikap mental positif. REBT Islam adalah sebuah pendekatan konseling
mengakomodasi keyakinan agama klien bahkan ketika klien dan terapis memiliki orientasi
keagamaan yang sangat berbeda yang berfokus pada keyakinan (agama Islam) yang mana
keyakinan agama klien dapat memberikan struktur penting kepada skema pengorganisasian
kepribadian klien. Maka REBT Islami sangat cocok untuk mengintegrasikan keyakinan

110
agama klien dalam intervensi konseling dalam menumbuhkan sikap mental positif. Dalam
pendekatan konseling REBT mengintegrasikan materi keagamaan dengan Intervensi
konseling yang dapat membuat hidup klien sangat pribadi, kuat, dan mendalam khususnya
bagi klien yang religious (beragama). Selanjutnya Sebagai seorang konselor REBT tidak
diperkenankan mengakomodasi keyakinan agama konselor kepada klien selama terapi,
berikan kebebasan kepada klien untuk mengintegrasikan keyakinan agamanya (Bastomi &
Aji, 2018).

Oleh karena itu individu yang mengalami masalah dalam kehidupannya sehingga
melahirkan sikap mental negatif dalam konsep bimbingang konseling sejalan dengan tujuan
teori rational emotif behavior therapy. Dengan menggunakan teknik REBT dalam proses
konseling diharapkan individu yang mengalam masalah tersebut dapat meningkatkan
kesadaran dan minat pada diri sendiri, minat sosial, pengarahan diri yang lebih baik, dam
toleransi kepada orang lain sehingga mengembalikan dirinya dalam menghasilkan sikap
mental positif dalam kehidupannya. Dengan implementasi teori REBT nilai yang terkandung
dalam Islam dapat menjadikan Individu yang memiliki kepribadian sehat dan akan
menjadikan individu memiliki kepribadian matang, mampu membangun dan memperkuatnya
dirinya dalam sikap mental positif.

Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad 13-20 M, pihak Barat
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya dari Islam, sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum
(sains) berkembang pesat di Barat, sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami
kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.Tidak
hanya sampai di sini, tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan di Barat yang
mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L.1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan
sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati pada tahun 1633 M, karena
mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh
pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris
melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat
jagat raya (Geosentrisme) yang didasarkan pada informasi Bibel.
Peristiwa sejarah tersebut, menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan memisahkan diri
dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan sainstifik dalam ilmu pengetahaun menuju
ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala

111
yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan
realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan
spiritualitas, yakni didesakralisasikan (di alam ini tidak ada yang sakral). Sekularisasi ilmu
pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat
melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber
pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sekularisasi ilmu pengetahuan pada
aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh
manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular menyebabkan
ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya (Mufid, 2013).
Sementara Amin Abdullah memandang integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu
kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya
ingin saling mengalahkan.Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif
dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah usaha memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap
bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun
kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan. Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan
antara keilmuan umum dan agama (Abdullah, 2006).
Kuntowijoyo mengatakan bahwa al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan
yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan
paradigma al-Qur’an, paradigma Islam. Pengembangan eksperimeneksperimen ilmu
pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma alQur’an jelas akan memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu
pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan
menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental al-Qur’an adalah sebuah ide
normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigm teoritis. Ia akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti
sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya
pengembangan teoriteori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat
Islam (Kuntowijoyo, 2004).
Begitu juga didalam kajian konseling, Abraham Maslow membagi empat mazhab besar
disiplin Psikologi konseling, yaitu Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanisme, dan Psikologi
112
Transpersonal. Pembagian empat mazhab itu juga masih memiliki kelemahan, yaitu tidak
memasukkan peran agama secara signifikan ke dalam disiplin konseling. Apalagi jika
memperhatikan pendapat ilmuwan positivistik yang cenderung memisahkan agama dan ilmu
pengetahuan. Padahal, kepribadian individu yang terbentuk dari unsur bio-psiko-spiritual
sangat dipengaruhi oleh agama. Jadi tak mengherankan jika ahli Konseling Islam mengatakan
bahwa Konseling Islam akan bergerak menjadi mazhab kelima dari disiplin psikologi dengan
cara mengembalikan paradigma ilmuwan kepada orientasi dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, perlu ditekankan kajian keagamaan, baik hal itu berasal dari perspektif
Indigenous Counseling yang cross cultural dan mengungkap variabel budaya lokal maupun
Konseling Agama itu sendiri terhadap pembentukan karakter individu. Hal itu dipandang
penting agar bisa mencapai tujuan kelima dari disiplin ilmu konseling, yaitu konseling
mampu melakukan pengendalian (controlling) atau mengatur perilaku sesuai dengan yang
diharapkan berdasarkan karakteristik individu yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan
agama. Orientasi perwujudannya adalah pada tugas konseling yang kelima tersebut, yaitu
berupa tindakan pertolongan konseling atau treatment sesuai dengan latar belakang budaya
dan agama seseorang (Hidayat, 2014).
Upaya dalam integrasi keilmuan dalam bidang konseling dapat dilakukan dengan
integrasi pendekatan konseling dengan kajian Islam. Misalnya dengan mengintegrasikan
pendekatan Rasional Emotif Behavior Therapy (REBT) dengan Islam. Hal ini berdasarkan
pada intervensi berasal teori REBT jarang bertentangan dengan tradisi agama klien apalagi
dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. REBT juga biasanya
mengakomodasi keyakinan agama klien bahkan ketika klien dan terapis memiliki orientasi
keagamaan yang sangat berbeda. Apalagi karena intervensi REBT fokus begitu spesifik pada
keyakinan, begitu juga agama (Islam) yang menjadikan keyakinan (keimanan) sebagai
pondasi dalam beragama. Oleh karena itu REBT sangat cocok untuk mengintegrasikan
keyakinan agama klien dalam intervensinya.
Dalam pendekatan konseling REBT mengintegrasikan materi keagamaan dengan
Intervensi Rasional Emotif yang dapat membuat hidup klien sangat pribadi, kuat, dan
mendalam khususnya bagi klien yang religious (beragama). Sebagai seorang konselor REBT
tidak diperkenankan mengakomodasi keyakinan agama konselor kepada klien selama terapi,
berikan kebebasan kepada klien untuk mengintegrasikan keyakinan agamanya. REBT pada
dasarnya adalah psikoterapi konstruktivis, sangat akomodatif dan integratif dari nilai dan
keyakinan klien, termasuk keyakinan agama. REBT menekankan pada pencarian keyakinan
yang inti, memungkinkan untuk fokus dalam kesederhanaan dan keanggunan yang netral
113
dengan menghormati sebagian besar hal khusus dalam situasi klien, termasuk hal-hal khusus
dari keyakinan agama klien.
Oleh karena itu REBT Islami adalah sebuah pendekatan konseling mengakomodasi
keyakinan agama klien bahkan ketika klien dan terapis memiliki orientasi keagamaan yang
sangat berbeda yang berfokus pada keyakinan (agama Islam) yang mana keyakinan agama
klien dapat memberikan struktur penting kepada skema pengorganisasian kepribadian klien.
Maka REBT Islami sangat cocok untuk mengintegrasikan keyakinan agama klien dalam
intervensi konseling. Dalam pendekatan konseling REBT mengintegrasikan materi
keagamaan dengan Intervensi konseling yang dapat membuat hidup klien sangat pribadi,
kuat, dan mendalam khususnya bagi klien yang religious (beragama). Selanjutnya Sebagai
seorang konselor REBT tidak diperkenankan mengakomodasi keyakinan agama konselor
kepada klien selama terapi, berikan kebebasan kepada klien untuk mengintegrasikan
keyakinan agamanya.
Dalam pendekatan konseling REBT mengintegrasikan materi keagamaan dengan
Intervensi Rasional Emotif yang dapat membuat hidup klien sangat pribadi, kuat, dan
mendalam khususnya bagi klien yang religious (beragama). Sebagai seorang konselor REBT
tidak diperkenankan mengakomodasi keyakinan agama konselor kepada klien selama terapi,
berikan kebebasan kepada klien untuk mengintegrasikan keyakinan agamanya. REBT pada
dasarnya adalah psikoterapi konstruktivis, sangat akomodatif dan integratif dari nilai dan
keyakinan klien, termasuk keyakinan agama. REBT menekankan pada pencarian keyakinan
yang inti, memungkinkan untuk fokus dalam kesederhanaan dan keanggunan yang netral
dengan menghormati sebagian besar hal khusus dalam situasi klien, termasuk halhal khusus
dari keyakinan agama klien (Bastomi & Aji, 2018).
Berdasarkan teori REBT, perwujudan sistem nilai dan kepercayaan yang salah dan
tidak rasional dalam diri manusia adalah sebab utama menjadikan seseorang itu merasa
tertekan dan dapat menimbulkan pelbagai masalah kepada individu tersebut. Pemikiran yang
tidak rasional ini perlu dirubah dan dibetulkan agar ia dapat terpandukan dengan nilai-nilai
yang baik dan rasional (Masroom et al., 2015). Dalam pandangan Rational Emotive
Behaviour Teraphy (REBT) bahwa manusia memiliki potensi yang bisa berkembang dan
dapat dikembangkan. Dalam hal ini agama Islam telah mengedepankan argumen dan
memandang bahwa manusia terlahir dengan sempurna, suci (fitrah) dan memiliki konsep
hidup yang matang bahwa manusia itu memiliki potensi berfikir serta berakal.
Konteks adanya perilaku positif dan negatif yang terkandung dalam Rational Emotive
Behaviour Teraphy (REBT) sudah dijabarkan sebelumnya dalam Islam yakni Nafs Zakiyah
114
dan Nafs Ammarah bissu’i. Yang dimaksud dengan nafs zakiyyah (positif) diri manusia yang
suci dan tidak terkontaminasi dengan apapun juga, yang menyebabkan manusia itu berfikir
yang negatif serta melakukan perbuatan yang dianggap merusak kehidupannya selama di
dunia ini. Sedangkan nafs ammarah bissu’i (negatif) adalah yang selalu cenderung melakukan
perbuatan buruk, yang menyebabkan dirinya terjerumus terhadap perilaku yang menyimpang
dari ajaran agama Islam.
Dengan demikian untuk mengaktifkan dan menumbuhkan kembali sikap mental positif
perlunya pemahaman yang mendalam bagi individu. REBT atau yang lebih dikenal dengan
Rational Emotive Behaviour Therapy adalah konseling yang menekankan interaksi berfikir
dan akal sehat (rational thingking), perasaan (emoting), dan berperilaku (acting). Teori ini
menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam terhadap cara berpikir dapat
menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku, sehingga
seseorang akan memiliki kepercayaan diri dan mampu memecahkan masalah serta memiliki
tujuan hidup yang berarti bagi orang lain.

115
Kesimpulan

Bimbingan dan konseling dalam perspekti Islam ialah suatu aktivitas memberikan
bimbingan, pengajaran, dan pedoman kepada peserta didik, yang dapat mengembangkan
potensi akal pikiran, kejiwaan, keimanan dana keyakinannya serta dapat menanggulangi
problematika dalam keluarga, sekolah dan masyarakat dengan baik dan benar secara mandiri
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Landasan yang benar dalam melaksanakan proses
bimbingan dan konseling agar dapat berlangsung baik dan menghasilkan perubahan-
perubahan positif bagi klien mengenai cara dan paradigm berfikir, cara menggunakan potensi
nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara bertingkah laku berdasarkan Al-Qur,an
dan As-Sunnah.

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapatlah diistilahkan sebagai landasan ideal dan
konseptual bimbingan Islami. Dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul itulah gagasan, tujuan, dan
konsep-konsep bimbingan dan konseling Islami bersumber. Jadi, Bimbingan dan konseling
Islami adalah bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, tetapi dalam seluruh
aspek prosesnya berlandaskan ajaran Islam (Al-Qur’an dan as-Sunnah). Bimbingan dan
konseling Islami merupakan proses pemberian bantuan artinya pembimbing tidak
menentukan atau mengharuskan, hanya membantu klien agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah SWT. Maksudnya, hidup searah dengan ketentuan Allah, dan
berkewajiban mengabdi kepada-Nya dalam arti seluas-luasnya. Dengan menyadari
eksistensinya sebagai makhluk Allah, diharapkan manusia dalam hidupnya tidak berperilaku
yang keluar dari ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga hidupnya akan mendapat
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Konsep merupakan sebuah rancangan perencanaan agar segala kegiatan berjalan


dengan sistematis dan lancar. Di dalam perencanaan kegiatan yang matang terdapat suatu
gagasan atau ide yang akan dilakukan atau dilaksanakan oleh kelompok maupun individu
tertentu, perencaan tersebut bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep.
Sedangkan bimbingan dan konseling Islami diartikan sebagai proses memotivasi kepada
individu agar memiliki kesadaran untuk “come back to religion”, karena sejatinya agama
memberikan pencerahan mengenai pola sikap, pola pikir kearah kehidupan yang sakinah,
mawaddah, rahmah dan ukhuwah sehingga mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat.

116
Adapun tujuan bimbingan dan konseling islam menurut HM. Arifin adalah untuk membantu
memcahkan problem individu melalui keimanan melalui pendekatan nilai-nilai dalam
konseling, konseli diberi insight yaitu kesadaran adanya hubungan sebab akibat dalam
rangkaian problem-problem yang dialami yang dihubungkan dengan nilai keimanan dari diri
konseli.
Dalam proses bimbingan dan konseling pastilah berkaitan dengan psikologi individu
atau klien, sehingga fungsi utama konseling dalam Islam yang hubungannya dalam kejiwaan
tidak dapat terpisahkan dengan masalahmasalah spiritual (keyakinan). Islam memberikan
bimbingan kepada individu agar dapat kembali kepada bimbingan yaitu Al-Qur‟an dan As-
Sunnah. Seperti individu yang memiliki sikap selalu berprasangka buruk terhadap Allah dan
menganggap bahwa Allah tidak adil, sehingga membuat ia merasa susah dan menderita
dalam menjalankan kehidupannya. Hal tersebut menjadikan individu menjadi orang yang
pemarah sehingga merugikan dirinya sendiri dan lingkungan.
Menurut Farida dan Saliyo, Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang
mengalami sesuatu masalah (disebut klien) dengan salah satu teknik dalam pelayanan
bimbingan, dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam
serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan
agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik dari dirinya dan mampu
memecahkan permasalahan pada dirinya agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama
dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk
dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila
bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah
atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak
didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap
layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu
yang dilayaninya (klien).

Praktek bimbingan dan konseling yang kita kenal dan berkembang pesat sampai saat
sekarang ini, tanpa disadari telah Rasulullah praktekkan. Ketika beliau menjalankan dakwah
kepada umatnya dan bersikap bijaksana ketika dihadapkan dengan orang-orang yang

117
membencinya. Sikap lemah lembut dan nasihatnya menjadikan dirinya sebagai sosok yang
dihargai banyak orang, bukan hanya pengikutnya saja akan tetapi musuh-musuhnya juga.
Yang membuat Rasulullah semakin memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang konselor
professional ialah beliau memiliki empat sifat yang telah beliau aplikasikan kepada banyak
orang, seperti siddiq, tabliq, amanah, dan fatanah.

Tokoh-tokoh Muslim banyak mengakui dan menilai bahwa Rasulullah adalah konselor
yang sebenarnya, memiliki kapasitas yang baik dan dunia Barat sejatinya perlu mengakui
akan praktek konseling yang telah Rasulullah ajarkan. Ini juga menjadi sebuah pelajaran dan
hendaknya diketahui banyak orang terkhusus Muslim, bahwa praktek konseling yang ada saat
sekarang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.

Ruang lingkup adalah suatu batasan yang memudahkan dilaksanakannya penelitian


agar lebih efektif dan efisien untuk memisahkan aspek tertentu pada sebuah objek Ruang
lingkup akan sangat membantu keefektifan berjalannya sebuah penelitian. Tanpa adanya
ruang lingkup penelitian yang jelas, sebuah penelitian akan mengalami waktu yang lebih
lama karena tidak adanya sebuah batasan. Konseling berasal dari bahasa inggris yaitu
"Counseling" dengan akar kata "To Counsel" yang artinya memberikan nasehat atau memberi
anjuran kepada orang lain secara face to face (berhadapan muka satu sama lain) dan juga bisa
diartikan "advice" yang berarti nasehat atau perintah.

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada
individu dengan menggunakan berbagai prosedur, cara dan bahan agar individu tersebut
mampu mandiri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Sedangkan konseling
merupakan proses pemberian bantuan yang didasarkan pada prosedur wawancara konseling
oleh seorang ahli (konselor) kepada individu (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah
yang dihadapi klien. Pelayanan Bimbingan Konseling diselenggarakan di berbagai ruang
lingkup kerja, disekolah dan di luar sekolah. Di sekolah, pelayanan bimbingan dan konseling
merupakan bidang pelayana pokok di samping dua bidang pelayanan lainnya yaitu bidang
pelayanan kurikulum dan pengajaran serta bidang administrasi dan pengelolaan. Di luar
sekolah, pelayanan Bimbingan Konseling diselenggarakan di dalam keluarga dan lembaga-
lembaga serta bidang-bidang lain dalam masyarakat luas. Dalam kaitan itu, konselor berada
dimana-mana, bekerja sama dengan berbagai pihak dan menawarkan jasa Bimbingan

118
Konseling secara luas dalam masyarakat. Untuk pelayanan yang berdimensi luas itu
diperlukan konselor multidimensional.

Diakhir tulisan ini perlu ditegasskan kembali bahwa dengan berbagai keunikannya
berpotensi untuk menjadi makhluk yang terbaik Siantar makhluk-makhluk ciptaan Allah
SWT. dimuka bumi ini, namun sebaliknya juga biasa menjadi makhluk hina yang lebih
rendah dari binatang sekalipun. Disinilah manusia harus berusaha dan berproses untuk
membangun ekstensinya agar menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaannya dihadapan Allah SWT. dan dihadapan makhluk lain.
Manusia harus lebih fokus kepada pembangunan jiwanya ketimbang pembangunan fisiknya.
Dengan jiwa yang suci maka manusia akan dapat mencapai kesempurnaan hidupnya.

Manusia sempurna (insan kamil) sebenarnya tidak akan pernah menjelma sebagai
kenyataan faktual dalam kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses
penyempurnaan diri, tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin
sempurna. Ini berarti bahwa konsep insan kamil bukan ujud konkret dalam dunia nyata,
melainkam suatu ide abstrak dalam dunia cita. Namun demikian, bukan berarti bahwa proses
perkembangan jiwa manusia dibiarkan berlangsung tanpa arah. Bentuk pengarahnya adalah
terletak pada ide–ide moral atau karakter yang memberikan inspirasi dan memberi nafas
terhadap proses perkembangan dan pembangunan jiwa tersebut.

Manusia yang sempurna (insan kamil) adalah manusia yang dapat menampilkan sifat-sifat
tuhan (al-Asma’ al-Husna) dalam dunia nyata. Ketika manusia dapat berperilaku
(berkarakter) seperti sifat-sifat Tuhan maka ia selalu berada dalam kendali Tuhan. Karna ia
telah mengenal dirinya yang sekaligus mengenal Tuhannya. Dengan kesadaran akan hal ini
dan dengan meletakkan sifat-sifat Tuhan sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya,
manusia dapat berusaha dan mencoba mengarahkan proses pembentukkan karakternya.

1. Konseling Islam adalah suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan
sistematis terhadap individu atau sekelompok orang yang sedang mengalami kesulitan
lahir dan batin untuk dapat memahami dirinya dan mampu memecahkan masalah
yang dihadapinya sehingga dapat hidup secara harmonis sesuai dengan ketentuan dan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya demi tercapainya kebahagiaan duniawiah dan
ukhrawiah.
2. Tujuan bimbingan konseling islam dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus:

119
Tujuan umumnya adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
● Tujuan khususnya adalah: membantu individu agar tidak menghadapi masalah.
● Membantu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
● Membantu individu memlihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik
atau yang tetap baik menjadi tetap baik atau  menjadi lebih baik, sehingga tidak akan
menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.
3. Konseli sebagai seorang individu yang berada dalam proses berkembang yaitu
berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan dan
kemandirian tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang
memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga
pengalaman menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung mulus,atau
bebas dari masalah. Atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Antara sains dan agama memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Secara epsitemologi
hubungan keduanya jangan dipahami sebagai suatu konflik, tetapi sebaliknya harus dipahami
sebagai suatu totalitas sistem yang mana antara yang satu dengan yang lain sama-sama
memberikan sumbangan atau saling melengkapi. Perkembangan sains memerlukan sandaran
agama agar pertumbuhannya tidak berakhir dengan bencana. Al-Quran dengan kebenaran-
kebenarannya perlu dikomparasikan dengan sains agar secara ilmiah dapat dibuktikan dan
dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Integrasi sains dan agama akan menghasilkan ilmu
pengetahuan transenden, sekaligus didukung oleh kebenaran empiris dan rasional sebagai
tolak ukur utama kebenaran ilmiah. Manusia dikaruniai akal dan berbagai fakta empiris
sebagai wahana untuk memahami kebenaran dari Allah. Perpaduan antara kebenaran wahyu
dan kebenaran ilmiah menghasilkan kebenaran yang sangat akurat. Sains dan agama tidak
dapat dipisahkan, apalagi dipertentangkan.
Pada setiap individu dipengaruhi oleh 4 hal yang saling berkesinambungan yaitu: Aql,
nafs, qalb, dan ruh. Dalam menerapkan sikap mental positif dalam kehidupan sehari-hari
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memberikan kebebasan pada diri untuk
mengontrol hidup, mempercayai perubahan kearah yang lebih baik, menerima kritik, saran
dan tantangan yang muncul dari berbagai sisi dan mengubahnya menjadi semangat positif,
selanjutnya individu juga dapat belajar dari pengalaman dan fokus ke masa depan, dan
bersyukur terhadap segala sesuatu yang telah dimiliki.

120
Teori belajar Behavioristik bersifat rasional-empiris-kuantitatif karenadibangun
berdasarkan pada pandangan dunia (worldview)sekuler-positifistik -materialistik. Oleh
karena itu, teori belajar Barat lebih menonjolkan pada gejalagejala yang berkaitan dengan
peristiwa belajar yang dapat diamati dan dibuktikan secara empiris, diukur secara kuantitatif,
dan cenderung bersifat materialistic pragmatis. Dalam hal ini teori belajar behavioristik yang
menjadikan manusia bersifat mekanistik-deterministik yang menjadikan manusia sebagai
robot dalam proses pembelajaran sementara minus spiritual. Sebaliknya, teori belajar dalam
perspektif Islam merupakan kumpulan penjelasan dan penemuan tentang prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan peristiwa belajar yang dibangun berdasarkan pandangan dunia Islam yang
bersumber dari al -Qur’an dan al-Sunah yang dikembangkan oleh cendikiawan muslim. Oleh
karena itu, teori belajar ini tidak hanya bersifat rasional-empiris, melainkan juga bersifat
normatif-kualitatif.Dalam hal ini, teori belajar akhlak merupakan pembentukan tingkah laku
dengan mengedepankan aspek spiritual dan berorientasi pada pembentukan individu secara
holistik. Adapun sintesis antara kedua teori tersebut, memunculkan teori belajar terpadu yang
selaras dengan idealisme Islam yang tetap bersumber kepada al-Qur’an, al-Sunah dan
khazanah intelektual muslim dan mengambil segi positif dari Barat serta membuang hal-hal
yang tidak sesuai dengan idealisme Islam. Hal ini pada akhirnya berimplikasi pada proses
pembelajaran yang efektif dan efisien yang dapat mengantarkan peserta didik dapat mencapai
tujuan belajar bahkan tujuan hidupnya.

121
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Saiful Akhyar, 2011, Konseling Islam dan Kesehatan Mental, Bandung:Ciptapustaka


Media Perintis

Kholil, Syukur, 2009, Bimbingan Konseling Dalam Perspektif Islam, Bandung: Ciptapustaka


Media Perintis

Prayitno & Amti Erman, 2004, Dasar-dasar Bimbingan & Konseling, Jakarta: Rineka Cipta

Sutoyo, Anwar, 2013, Bimbingan & Konseling Islami ( Teori & Praktik), Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Diponegoro, Ahmad Muhammad, 2011, Konseling Islami (Panduan Lengkap Menjadi


Muslim Yang Bahagia), Yogyakarta: Gala Ilmu Semesta

`ari, Ahm dkk., Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004),  Ahmad bin
Muhammad al-Mali al-Shawi, Syarh al-Shawi `ala Auhar al-Tauhid,.

Faqih Aunur Rahim, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII press. Jakarta: 2001

Farid Imam Sayuti, Pokok-Pokok Bahasan Tentang Bimbingan Penyuluhan Agama Sebagai
Teknik Dakwah, bandung: Alfabetha 2002

Hariyanto Farid, Makalah dalam Seminar Bimbingan dan Konseling Agama Jakarta: 2007

Mubarok Ahmad, Al-Irsyad an Nafsy, Konseling Agama Teori dan Kasus (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002)

Surya Mohammmad, Psikologi konseling, Pustaka Bani Quraisy. Bandung: 2003

Djumhur. I dan Muh, Surya. 1988. Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: CV. Ilmu

Priyatno dan Erman Anti. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka
Cipta

Winkel, WSK. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo

Prayitno. & Amti, E. (1994). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta.

Abuddin Nata, AL-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998

Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam,2001

Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004

122
Murthada Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,
1990

Nanih Machendrawaty & Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam, Jakarta :
Rineka Cipta,2004

Muhammadong. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Pendidikan Agama
Islam Universitas Negeri Makassar.

Abdullah, Abd. Malik. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Penididikan
Agama Islam Universitas Negeri Makassar

Ad-Dzaky, H. B. 2012. Konseling dan Psikoterapip Islam. Jakarta : Ciputat Press. Al-Qur’an
al-Karim.

Asy’ari, Musa. 2022. Filsafat Islam: Sunah Nabi Dalam BerfikirCet. III. Yogyakarta:Penerbit
LESF

Baharuddin . 2007. Paradigma Psikologi Islami, Studi tentang Elemen Psikologi dari
Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bertens,K. 2022. Etika. Jakarta: Gramedia. Cet. VII.

Mukhtar, Aflatun. 2001. Tanduk Kepala Allah: Fungsi dan Peran Agama dalam Kehidupan
Manusia, Cet. I. Jakarta: Paramadina

Quraish, M.Shibab. 1996. Wawasan Alquran Cet.III. Bandung: Mizan.

AR, Zaini Tamin dan Purnamasari, Nia Indah. 2020. ―Dinamika Epistemologi Studi Islam
di Kalangan Insider dan Outsider‖. TASYRI': Jurnal Tarbiyah Syari'ah Islamiyah, Vol.
27, No. 1.

Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-
ruzz Media.

Bitterman, M. E. 2006. ―Classical Conditioning Since Pavlov‖. Review of General


Psychology, Vol. 10, No. 4.

Boghossian, P. 2006. ―Behaviorism, Constructivism and Socratic Pedagogy‖. Education


Philo Theory, Vol. 38.

Cambiaghi, M. & Sacchetti, B. 2015. ―Ivan Petrovich Pavlov (1849– 1936)‖, Journal of
Neurology. Vol. 262, No. 6.

Clark, Robert E. 2004. ―The Classical Origins of Pavlov's Conditioning‖, Integrative


Physiological & Behavioral Science. Vol. 39, No. 4.

Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: DepDikBud.

123
Dierking, Lynn. 1991. ―Learning Theory and Learning Styles: An Overview‖. Journal of
Museum Education, Vol. 16, No. 1.

Ferrero, Y. Stussi et., al. 2019. ―Achievement Motivation Modulates Pavlovian Aversive
Conditioning to Goal-Relevant Stimuli‖. NPJ Sci Learn, Vol. 4, No. 4.

Hergenhan, BR. & Olson, Matthew H. 1997. An Introduction to Theories of Learning. New
Jersey: Prentice Hall. Inc.

Hoy, A. Woolfolk., Davis, HA & Anderman, EM. 2013. ―Theories of Learning, and
Teaching in TIP‖. Theory and Practice Journal, Vol. 52.

Hull, Clark L. 1949. ―Behavior Postulates and Corollaries‖. Psychological Review, Vol. 57.
_________. 1949. ―Stimulus Intensity Dynamism (V) and Stimulus Generalization‖.
Psychological Review, Vol. 56, No. 2. _________. & Forster, M. C., 1932.
―Habituation and Perseverational Characteristics of Two Forms of Indirect
Suggestion‖. Journal of Experimental Psychology, Vol. 15, No. 6. _________., Patten
Everett F. & Switzer, St. Clair A. 1932. ―Does Positive Response to Direct
Suggestion as Such Evoke a Generalized Hypersuggestibility‖. The Journal of General
Psychology, Vol. 8, No. 1.

Kay, Denise., and Kibble, Jonathan. 2016. ―Learning Theories 101: Application to
Everyday Teaching and Scholarship‖. Advances in Physiology Education, Vol. 40.
Kimble, N. Garmezy G.A. & Zigler, E. 1974. Principles of General Psychology. New York:
John Wiley & Sons, Inc.

Machado, A. et., al. 2019. ―Effects of Nodal Distance on Conditioned Stimulus Valences
Across Time‖. Front Psychology, Vol. 10.

Mills, John A. 1990. ―The Origins and Significance of Clark L. Hull's Theory of Value‖, in
W.J. Baker, Recent Trends in Theoretical Psychology. New York: Springer.

Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : Remaja


Rosdakarya.

Patten, E. F., Switzer, S. C. A. & Hull, C. L. 1932. ―Habituation, Retention, and


Perseveration Characteristics of Direct Waking Suggestion‖. Journal of Experimental
Psychology, Vol. 15, No. 5.

Pavlov, Ivan P. 1999. Autobiography in I. P. Pavlov: Pro and Contra. St. Petersburg: RHGE.
_________. 1927.Conditioned Reflexes. Oxford: Oxford University Press.

Samoilov, V. O. 2007. ―Ivan Petrovich Pavlov (1849–1936)‖. Journal of the History of the
Neurosciences, Vol. 16, No.2.

Seifert, Kelvin.1983. Educational Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sudjana, Nana. 1991.Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakata: Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

124
Suryabrata, Sumadi. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar, Edisi 5. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Thobroni, Muhammad dan Mustofa, Arif. 2011. Belajar dan Pembelajara Pengembangan
Wacana dan Praktik Pembelajara dalam Pembangunan Nasional. Jogjakarta: AR-Ruzz
Media.

Windholz, George. 1992. ―Pavlov's Conceptualization of Learning‖. The American Journal


of Psychology, Vol. 105, No. 3.

Zagrina, N.A. 2009. ―Ivan Petrovich Pavlov and the Authorities‖. Neurosci Behavior
Physiol, Vol. 39.

Zentall, TR., Galizio, M., and Critchfield, TS. 2002. ―Categorization, Concept Learning,
and Behavior Analysis: an Introduction‖. The Journal of Experimental Analysis of
Behavior, Vol. 78

Abdullah, M. A. (1999). Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam Hermeneutik.


Jurnal Epistema, 3(2). Retrieved from
https://www.scribd.com/document/367487398/35-131-1-PBpdf

Abdullah, M. A. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-


Interkonektif. Pustaka Pelajar.

Abu Isa Muhammad, B. I. Bs. (tt). Al-Jami’ Ash-Shahih Sunan Tirmidzi (Vol. V). Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Ackerman, C. (2017). What is Rational Emotive Behavior Therapy? Jornal Of Positive


Psychology Program, 8. Retrieved from
https://positivepsychologyprogram.com/rational-emotivebehavior-therapy-rebt/

Corey, G. (2012). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Cengage
Learning.

Depag RI. (2010). Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi.

DiGiuseppe, R., Robin, M. W., & Dryden, W. (1990). On the compatibility of Rational-
Emotive therapy and Judeo-Christian philosophy: A focus on clinical strategies.
Journal of Cognitive Psychotherapy, 4, 355–368.

Dryden, W. (2012). The “ABCs” of REBT I: A Preliminary Study of Errors and Confusions
in Counselling and Psychotherapy Textbooks. Journal of Rational-Emotive &
Cognitive-Behavior Therapy, 30(3), 133–172. https://doi.org/10.1007/s10942-011-
0137-1

Ellis, A. (1958). Rational psychotherapy and individual psychology. Journal of Individual


Psychology.

125
Ellis, A., & Dryden, W. (1997). The Practice of Rational-emotive Behavior Therapy. New
York: Springer Publishing Company.

Faiz, F. (2007). Islamic Studies dalam Paradigma IntegrasiInterkoneksi. Yogyakarta: Suka


Press.

Farid, I. S. (2007). Pokok-pokok Bahasan tentang Bimbingan Penyuluhan Agama sebagai


Tenik Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang.

Hasyim, F., & Mulyono. (2010). Bimbingan dan Konseling Religius. Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA.

Hidayat, B. (2014). Psikologi Islam. Riau: Psikologi UIN Sultan syarif kasim.

Kuntowijoyo. (2004). Islam sebagai ilmu: epistemologi, metodologi, dan etika. Teraju.

Mu’awanah, E., & Hidayah, R. (2009). Bimbingan konseling Islami di sekolah dasar. Bumi
Aksara.

Mufid, F. (2013). Integrasi Ilmu-Ilmu Islam. Jurnal Equilibrium, 1(1), 55–71.

Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik, Implementasi,


dan Inovasi). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munir, S. (2013). Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah.

Nasr, S. H., Suharsono, & MZ, D. (Trans.). (1996). Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan
Gnosis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Natawidjaya, R. (2009). Konseling Kelompok Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung:


Rizqi Press.

Nielsen, S. L., Johnson, W. B., & Ellis, A. (2001). Counseling And Psychotherapy With
Religious Persons: A Rational Emotive Behavior Therapy Approach. Choice Reviews
Online, 39(04), 39- 2480-39–2480. https://doi.org/10.5860/CHOICE.39-2480

Sukardi, D. K. (2008). Pengantar teori konseling. Ghalia Indonesia.

Surya, M. (1988). Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Teori Dan Konsep. Bandung: Kota
Kembang.

Sutoyo, A. (2003). Bimbingan & Konseling Islami (Teori dan Praktik) (1st ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Syamsu, Y., & Juntika, N. (2005). Landasan Bimbingan Dan Konseling. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Vandestra, M., & Muslim, I. (2017). Kitab Hadist Shahih Muslim Ultimate. Dragon
Promedia.

126
Winkel, W. S. (2005). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Media Abadi.

Ahmadi, Abudan Widodo Supriyono. 2014. Psikologi Belajar, Rineka Cipta: Jakarta.

Aqib, Zainal. 2012. Ikhtisar Bimbingan dan Konseling Disekolah, Yrama Widya: Bandung.

Arikunto, Suharsimi. 2015. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta:
Jakarta.

Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling & Terapi, Refika Aditama: Bandung.

_ _ _ _ _,. 2013. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi, IKIP Semarang Press:
Semarang.

Dahlan, Syarifuddin. 2014. Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Graha Ilmu: Yogyakarta.

Emzir,. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan, Rajawali Pers: Jakarta.

Hurlock, Elizabeth B. 2010. Perkembangan Anak, Erlangga: Jakarta.

Kaelan,. 2003. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma: Yogyakarta.

Komalasari, Gantina. 2014. Teori dan Teknik Konseling, PT Inseks: Jakarta.

Lubis, Namora Lumongga. 2012. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan
Praktik, Kencana: Jakarta.

Meleong,. 2017. Metode Penelitian Kualitatif,: Remaja Rosdakarya: Bandung.

Miles, M.B. dan Huberman. 2014. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-
Metode Baru,UIPress: Jakarta.

Mulyadi,. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar & Bimbinann Terhadap Kesulitan Belajar
Khusus, Nuha Litera: Yogyakarta.

Mulyasa,. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter, Sinar Grafika Offset: Jakarta.

Nashrullah Febrian Amir,. 2015. Konseling kelompok Dengan Pendekatan Realitas Sebagai
Upaya Menurunkan Prokrastinasi Akademik Pada Siswa Kelas VIII Di SMP Negeri 1
Piyungan Bantul Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurbuco Cholid dan Abu Achmadi. 2014. Metode Penelitian, Bumi Aksara: Jakarta.

Sekar Kinanti Maharani. 2016. Bimbingan Konseling Karir Dengan Terapi REBT Untuk
Mewujudkan Self Regulated Learning Seorang Mahasiswa Broken Home Di Desa
Gesikharjo Palang Tuban, Thesis, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sugiyono,. 2014. Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Alfabeta: Bandung.

_ _ _ _ , 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta: Bandung.

127
Sukardi,. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, Bumi Aksara:
Jakarta.

Sukmadinata Nana Syaodih,. 2007. Bimbingan dan Konseling Dalam Praktek, Maestro:
Bandung.

Undang-undang. 2011.Dasar Republik Indonesia N0. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Sinar Grafika:Jakarta.

Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Grasindo: Jakarta.

Wahab Abdul, Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang: Malang press, 2008.

Weliana, Hasil Pengamatan dan Wawancara dengan Guru BK, SMA Negeri 6 Model
Lubuklinggau, 9 Mei 2017

Ahmadi, A. & Rohani, A. (1991) Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka
Cipta.

Baradja, A. B. (2004) Psikologi Konseling dan Tekhnik Konseling, Jakarta: Studia Press.

Faqih, A. R. (2001) Bimbingan dan Konseling dalam Islam, Yogyakarta: UII Press

Erhamwilda (2009) Konseling Islami, Jogjakarta: Graha Ilmu

Latipun (2003) Psikologi Konseling, Malang: UMM Press

Samsul M. (2010) Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta : Amza.

Prayitno & Amti E. (1991) Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta

Lubis, S. A. (2015) Konseling Islami dalam Komunitas Pesantren, Bandung: Citapustaka


Media

Abror, Abd. Rahman. (1993). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Ahmadi, Abu., dan Supriyono,Widodo.(1991). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmadi, Abu. (1998).Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Attas, Syed M. Naquib. (1989). Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.

Ancok, Djamaludin., dan Nashori S.Fuat.(1995). Psikologi Islami; Solusi Islam atas Problem-
Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. cet. 2.

Badri, Malik.(1986). Dilema Psikolog Muslim, terj. Siti Zainab Luxfiati. Jakarta: PT.
Temprint.

128
Badri, Malik.(1996). Tafakkur; Perspektif Psikologi Islam, terj. Usman Syihab. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Bakar, Osman.(1994). Tauhid dan Sains; Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam.
Bandung: Pustaka Hidayah.

Berkson, William., dan Wettersten, John. (2003). Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl
Popper. Terj.

Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam. Bukhori. (1992). Shahih al-Bukhori, jilid 1; kitab
’Ilmu.Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Dahar, Ratna Wilis. (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Dirjend Lembaga
Tenaga Kependidikan.

Langgulung, Hasan. (1988). Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna.

Ma’luf, Louis. (1986). Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam. Beirut: Dar Al- Masyriq.

Mahmud, M. Dimyati.(1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Majah, Ibnu. (1995). Sunan Ibnu Majah, jilid 2; Kitab Ruhun. Beirut: Dar Al-Fikri.

Muhaimin. (2002). Paradigma Pendidikan Islam; Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama


Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Cet. 2.

Muhajir, Noeng.(2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. eds. IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Najati, Moh. Ustman. (2002). Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Qur’an. Terj. Ibn Ibrahim.
Jakarta: CV. Cendekia Sentra.

Nizar,Samsul. (2002). Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Ciputat Pers.

Sanyata, Sigit. (2012). Teori dan aplikasi pendekatan behavioristik dalam konseling. Jurnal
Paradigma, 14: 1-11.

Soemanto, Wasty. (1990). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.


Jakarta: PT. Rineka Cipta. Cet. 3.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Cet.5.

Suyudi, M. (2005). Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an: Integrasi Epistemologi Bayani,


Burhani dan Irfani. Yogyakarta: Mi’raj.

Syah, Muhibbin.(2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Cet.3.

129
Untung, Slamet. (2005). Muhammad Sang Pendidik. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-
Attas, Terj. Hamid Fahmi. Bandung: Mizan.

Winkel, W.S. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.

Abuddin Nata, AL-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998

Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam,2001

Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004

Murthada Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung :


Mizan,1990 Nanih Machendrawaty & Agus Ahmad Safei, Pengembangan
Masyarakat Islam, Jakarta : Rineka Cipta,2004

Muhammadong. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Pendidikan Agama
Islam Universitas Negeri Makassar.

Abdullah, Abd. Malik. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Penididikan
Agama Islam Universitas Negeri Makassar

Ad-Dzaky, H. B. 2012. Konseling dan Psikoterapip Islam. Jakarta : Ciputat Press. Al-Qur’an

al-Karim.

Asy’ari, Musa. 2022. Filsafat Islam: Sunah Nabi Dalam BerfikirCet. III. Yogyakarta:Penerbit

LESF

Baharuddin . 2007. Paradigma Psikologi Islami, Studi tentang Elemen Psikologi dari

Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bertens,K. 2022. Etika. Jakarta: Gramedia. Cet. VII.

Mukhtar, Aflatun. 2001. Tanduk Kepala Allah: Fungsi dan Peran Agama dalam Kehidupan

Manusia, Cet. I. Jakarta: Paramadina

Quraish, M.Shibab. 1996. Wawasan Alquran Cet.III. Bandung: Mizan

http://eprints.stainkudus.ac.id/596/5/FILE%205%20BAB%20II.pdf

https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/landasan-bimbingan-dan-konseling/

130
https://www.anekamakalah.com/2012/12/landasan-bimbingan-dan-konseling.html

https://mumayuinws.blogspot.com/2017/05/bimbingan-dan-konseling-agama.html

http://repository.uinsu.ac.id/3569/1/BIMBINGAN%20KONSELING%20ISLAMI
%20%28TARMIZI%29.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Subjek

http://repository.iainpurwokerto.ac.id/8544/2/AZKA%20SILMA%20AWAWINA_KONSEP
%20BIMBINGAN%20DAN%20KONSELING%20ISLAMI.pdf

https://www.youtube.com/watch?v=3SgvutOPDeI

131

Anda mungkin juga menyukai