Disusun Oleh:
Ayusmanita
2230075
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan judul “Spiritual dan Budaya” dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Spiritual .................................................................................. 3
2.1 Definisi Spiritual ............................................................................ 3
2.2 Dimensi Spiritual ........................................................................... 4
2.3 Karakteristik Spiritual .................................................................... 5
2.4 Perkembangan Spiritual ................................................................. 6
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual ............... 7
2.6 Bentuk-bentuk Spiritual ................................................................. 7
B. Konsep Budaya .................................................................................... 9
2.7 Definisi Budaya ............................................................................. 9
2.8 Tantangan dan Peluang .................................................................. 10
2.9 Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ................................ 13
2.10 Wujud Kebudayaan Spiritual ....................................................... 14
2.11 Kemajemukan Budaya Spiritual .................................................. 15
2.12 Permasalahan Spiritual ................................................................ 17
2.13 Upaya Penanganan Spiritual ........................................................ 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
11. Bagaimana Kemajemukan Budaya Spiritual?
12. Bagaimana Permasalahan Spiritual?
13. Bagaimana Upaya Penanganan Spiritual?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Definisi Spiritual
2. Mengetahui Dimensi Spiritual
3. Mengetahui Karakteristik Spiritual
4. Mengetahui Perkembangan Spiritual
5. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebutuhan Spiritual
6. Mengetahui Bentuk-bentuk Spiritual
7. Mengetahui Definisi Budaya Spiritual
8. Mengetahui Bagaimana Tantangan Dan Peluang
9. Mengetahui Bagaimana Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
10. Mengetahui Bagaimana Wujud Kebudaya Spiritual
11. Mengetahui Bagaimana Kemajemukan Budaya Spiritual
12. Mengetahui Bagaimana Permasalahan Spiritual
13. Mengetahui Bagaimana Upaya Penanganan Spiritual
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Spiritual
2.1 Definisi Spiritual
vi
kata latin spiritus yang berarti nafas. Istilah berkaitan dengan kata Yunani
pneuma yang mengacu pada nafas hidup atau jiwa.
vii
dirinya, manusia secara alami adalah memiliki dimensi spiritual,
sebagaimana telah tampak dalam diri St. Vinsensius.
viii
berkomunikasi dengan alam, cara melindungi alam dan cara
mengabadikan alam apabila memiliki spiritual yang baik.
3) Hubungan dengan orang lain harmonis Menciptakan hubungan
harmonis dengan orang lain adalah karakteristik pada seseorang yang
memiliki spirtual yang baik. Berbagi waktu pengetahuan dan sumber
secara timbal balik dengan orang lain, mengasuh anak, mengasuh
orang tua, mengasuh orang sakit, mengunjungi orang lain dan melayat
ke rumah orang yang meninggal untuk meyakini kehidupan dan
kematian adalah cara seseorang yang baik secara spiritual untuk
tentang iklim, margasatwa, pohon, tanaman, cara berkomunikasi
dengan alam, cara melindungi alam dan cara mengabadikan alam
apabila memiliki spiritual yang baik.
4) Hubungan dengan ketuhanan Melaksanakan kegiatan sembahyang dan
berdoa dengan perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam
adalah cara berhubungan dengan Tuhan pada seseorang memiliki
spiritual yang baik.
ix
3) Usia dewasa awal, masa pencarian rasa percaya diri yang mulai
keyakinan atau kepercayaan secara kognitif sebagai bentuk
mempercayainya. Dalam periode ini, keyakinan dikaitkan dengan
rasional. Pada periode ini ada rasa hormat terhadap keyakinan.
4) Usia pertengahan dewasa, pada usia ini tingkat kepercayaan pada diri
sendiri dimulai dengan rasa percaya dirinya lebih kuat yang
dipertahankan dalam menghadapi perbedaan kepercayaan lain dan
pemahaman yang baik tentang kepercayaan diri seseorang (Young,
2018).
x
ciptaan Tuhan, dan akan kembali padanya. Spirit didefinisikan sebagai
kekuasaan Tuhan. Pada era Teknosofi (pencerahan), akal budi manusia
(cogito) sebagai pusat spiritualitas. Nalar manusia memiliki kapasitas
untuk mendefinisikan, dan menciptakan yang suci. Pada era Libidosofi,
hasrat menjadi pusat, sumber dan fondasi spiritualitas. Hasrat yang
mempunyai kekuasaan untuk merumuskan tentang apa itu dunia, apa itu
yang spiritual. Hasrat menjadi pusat dunia ketika apa pun perkembangan
dunia selalu melandaskan dirinya pada logika hasrat. Kekuasaan dapat
diciptakan oleh manusia lewat kemampuan nalar.
xi
politik hasrat radikal, 9 dari 19 dibebaskan dari segala bentuk sistem
kepercayaan.
B. Konsep Budaya
2.7 Definisi Budaya
xii
dan Konghucu (Penetapan Presiden Ri No. 1 Tahun 1965, Pasal 1 dan
Penjelasannya). Sedangkan "kepercayaan terhadap- Tuhan Yang Maha
Esa" diakui legal sejak ditetapkan dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1973
(Maret 1973). Sementara itu apa yang disebut "religi setempat" adalah
keyakinan lokal yang diperkuat oleh realitas antropologis yang ada dalam
masyarakat yang masih dimiliki oleh suku-suku yang berada di bumi
Nusantara. Budaya spiritual yang dimaksud dalam tulisan ini difokuskan
pada istilah "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa".
xiii
berkesempatan berperan di dalamnya. Masalah lasalah dalam zaman
globalisasi tersebut tampak akan berdampak negatif, bahkan destruktif
terhadap hidup manusia, kalau tidak dikendalikan dan diatasi dengan
segera secara sistemik, bertahap, dan terus-menerus. Di antara masalah-
masalah utama dalam zaman globalisasi tersebut sebagaimana tertulis di
bawah ini.
xiv
karena besarnya, dapat diukur. Witteveen mengutip pendapat Francis
Fukuyama tersebut sebagai berikut: "Kemampuan berasosiasi pada
gilirannya tergantung sejauh mana komunitas berbagai norma dan nilai
serta mampu menomorduakan kepentingan individu demi kepentingan
kelompok yang lebih besar. Dari nilai-nilai bersama semacam itu
lahirlah kepercayaan trus, pen, dan kepercayaan, seperti anda lihat,
adalah nilai ekonomi yang besar dan dapat diukur.” (Witteveen, 2004 :
104)
3) Terjadinya degenerasi lingkungan alam. Pertumbuhan ekonomi yang
memanfaatkan kemajuan teknologi canggih, tampaknya membawa
dampak kerusakan lingkungan alam dalam skala luas. Dalam proses
pertumbuhan ekonomi tersebut, terutama dalam perluasan dan
pembesaran daya hasil industrialisasi dan juga intensifikasi
transportasi serta komunikasi, ternyata secara konkret telah membawa
kerusakan lingkungan alam yang hampir-hampir tak terkirakan.
Misalnya saja, tanah dan air banyak mengalami proses peracunan.
Sedangkan tanah dan air adalah modal kehidupan yang sangat vital
bagi manusia generasi ke generasi. Demikian juga udara dan kestabilan
salju di kutub utara (Aolaska) maupun Antartika (Witteveen, 2004 :
87-88). Di Indonesia sendiri saat ini sudah mulai dirasakan secara
langsung adanya kerusakan-kerusakan lingkungan alam tersebut.
Misalnya, kacaunya berlangsungnya musim kemarau dan musim
penghujan, abrasi semakin meningkat yang menyebabkan hilangnya
berbagai pulau, banyak badai dan gelombang laut, tingkat kepanasan
global yang makin hari makin meningkat, dan sebagainya.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sering disebut
sangat menghargai keaslian lokal (lokal genius), kiranya dapat
memformulasikan lebih canggih penanganan pelestarian lingkungan
alam sesuai dengan pengalaman masyarakat yang sudah turun-
temurun. Formatisasi konsep pelestarian alam dan lingkungannya
tersebut tentu saja perlu disapakan dengan kemajuan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang sudah berkembang.
xv
4) Kecenderungan adanya usaha homogenisasi (penyeragamano budaya,
gaya hidup, karakter, bahkan pandangan hidup. Menurut Roland
Robertson, seperti yang dikutip oleh Manfred B. Steger, arus kultural
global justru seringkali membangkitkan kesadaran bentuk budaya
lokal. Paling tidak akan timbul apa yang disebut "globalisasi", yaitu
interaksi yang kompleks antara yang bersifat global dan yang bersifat
lokal yang bercirikan peminjaman budaya cultural borrowing (Stager,
2005 : 56-57). Tumbuhnya kesadaran budaya global yang pada intinya
membangunkan kesadaran membela diri self defence di kalangan
pendukung budaya lokal yang dirasakan telag berjasa beratus-ratus
tahun lamanya. Mereka tersadar akan arti dan kebermaknaan budaya
lokal yang juga memiliki potensi positif bagi kehidupan masyarakat
pendukungnya. Hal keempat ini barangkali perlu diterjemahkan ulang
sedemikian rupa dikalangan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa tentang bagaimana menghargai dan sekaligus mempertahankan
bagian-bagian positif dari budaya lokal tersebut untuk dapat
memosisikan budaya lokal pada tempat yang semestinya dan tetap
dapat dimanfaatkan sifat-sifat positifnya.
xvi
Pemurah, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Benar, Maha Jujur, Maha
Adil, Maha Pencipta, Maha Penuntun, dan Maha Pelindung.Dengan sifat-
sifat ini Tuhan mengendalikan kehi dupan manusia di dunia, sejak dia
berada dalam kandungan (bertian), sampai ke liang lahat ke dalam
kehidupan abadi di akhirat. Dari konstelasi pemikiran terhadap
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di atas, maka wujud budaya
spiritual yang penting dan terus berkembang dalam kehidupan manusia
penghayat adalah sebagai berikut:
xvii
Disamping itu, kepercayaan religius itu juga menunjukkan bahwa apa
yang dapat dilihat secara kasat-mata, akan selalu menampilkan makna
simbolik yang berbeda. Seperti “roti" dan “anggur” dalam upacara ekaristi
(bersyukur) dalam agama Katolik yang melambangkan "tubuh" dan
“darah” Kristus yang telah bangkit, atau dalam kaitan yang lebih
sederhana, “beras kunyit” dan “bunga rampai" dalam acara tepung tawar
orang Melayu yang melambangkan hubungan "kekuatan semangat” dan
“kedamaian roh” dalam tubuh seseorang. Benda-benda gaib yang tidak
dapat digapai panca indra atau benda benda sakral yang terlihat jelas,
menurut Notingham (1977) adalah rona kepercayaan yang didasarkan atas
keyakinan, bukan atas bukti. Bahan dengan hak Dan semua itu adalah
wujud budaya spiritual dalam kehidupan para pendukungnya. Apabila
kebudayaan dilihat sebagai seperangkat model-model pengetahuan yang
secara selektip digunakan oleh para pendukungnya, terutama sebagai
makhluk sosial untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan
yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk
bertindak (Suparlan, 1987), maka wujud budaya spiritual para penghayat
di atas yang secara bergenerasi telah mereka pedomani dan fungsikan,
ternyata tidak hanya untuk mempertahankan keberadaan mereka, tetapi
juga untuk dapat berubah dan berkembang. Dengan demikian, studi
mengenai hubungan fungsional antara budaya spiritual para penghayat
(yang mungkin dianggap telah "klasik") dengan tuntutan pembangunan
(yang “modern” dan penuh dinamika), dapat dikembangkan. Dalam kaitan
ini, kiranya dapat dimengerti betapa pentingnya dilakukan penelitian dan
diskusi yang intensif mengenai faktor-faktor budaya spiritual yang
menghambat atau men dorong "nation and character building.” Indonesia
baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional.
xviii
etnis dan telah mengembangkan diri melintasi kecamatan atau propinsi
tempat kelahirannya. Paguyuban Subud, Pangestu atau Sumarah
umpamanya, anggota-anggota mereka terdiri dari berbagai kelompok
etnik, agama, dan tersebar di berbagai propinsi. Akan tetapi, banyak
paguyuban penghayat yang anggotanya terbatas pada kelompok etnik
tertentu dan tersebar dilokasi terbatas pula. Umpamanya, Ugamo Malim,
sebuah paguyuban penghayat yang berdomisili di daerah Batak Toba dan
sebahagian besar anggota nya juga berasal dari kelompok etnik Batak Toba
(Sumatera Utara).
xix
untuk segera kembali membentuk insti tusi atau badan asosiasi para
penghayat yang kuat dan independen. Seperti diketahui, sekitar sepuluh
tahun yang lalu, kelompok pagu yuban penghayat memiliki badan
himpunan tersebut, tetapi karena badan himpunan itu terlibat dalam
masalah-masalah politik, atau cenderung menjadi partisan kelompok
interes tertentu, maka badan tersebut terpaksa dibubarkan atau
diistirahatkan untuk sementara kegiatannya. Mungkinkah pada masa
reformasi ini paguyuban para penghayat memiliki lembaga asosiasi atau
himpunan itu kembali, sehingga mereka dapat duduk bersama
membicarakan kepentingan dan program mereka bersama, secara
independen, tanpa campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lain.
xx
Banyak bercerita, berkata dan kurang mau mendengar. Salah satu sikap
dan perilaku lansia umumnya suka bercerita panjang dan berulang tentang
kondisi masalalu yang sukses (nostalgia). Padahal indra utama yang
berfungsi ketika lahir adalah pendengaran. Karena itu, lansia perlu melatih
diri menjadi pendengar yang baik terhadap cerita dan pengalaman yang
lebih muda, sehingga dapat memberikan pandangan dan nasehat kepada
yang lebih muda.
xxi
e. Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi
pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau
yang timbul pada lansia.
f. Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering
terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering
lansia merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau tetangga
berniat membunuhnya. Parfrenia bisaanya terjadi pada lansia yang
terisolasi atau diisolasiatau menarik diri dari kegiatan sosial.
g. Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana lansia
menunjukkan penampilan perilaku yang sangat menggangu. Rumah
atau kamar yang kotor serta berbau karena lansia ini sering bermain
smain dengan urin dan fesesnya. Lansia sering menumpuk barang
barangnya dengan tidak teratur. Kondisi ini walaupun kamar sudah
dibersihkan dan lansia dimandikan bersih namun dapat berulang
kembali.
xxii
harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang
menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan ketuhanan meliputi: sembahyang atau berdoa atau
meditasi, perlengkapan keagamaan, dan lain-lain. Kondisi spiritual
yang berhubungan dengan tuhan ini berkaitan dengan kesadaran
beragama para lansia. Ada beberapa fokus penelitan yang berkaitan
dengan hubungan ketuhanan sebagai berikut: kebutuhan akan
kepercayaan dasar, kesadaran beragama yang senantiasa terus menerus
diulang untuk membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah,
kebutuhan akan makna hidup, kebutuhan akan komitmen peribadatan
dan hubungannya dalam hidup keseharian, kebutuhan akan pengisian
keimanan dengan selalu secara teratur mengadakan hubungan dengan
Tuhan.
Manusia adalah mahluk unik yang utuh menyeluruh, yang terdiri atas
aspek fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya
kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi tersebut akan
menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi
tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial,
spiritual, dan kultural atau dimensi body, main dan spirit merupakan satu
kesatuan yang utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan
mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut.
Lanjut usia adalah usia yang sangat rentan dalam segala aspek, terlebih
aspek spiritual dan sosial karena begitu terlihat kembali kemasa kanak-
kanaknya, semisal ketika diberikan bimbingan agama dengan metode
xxiii
ceramah, maka metode tersebut harus dibuat semenarik mungkin agar
lansia tidak mudah bosan. Karena jika dilihat akibat dari metode yang
salah digunakan dalam memberikan bimbingan, lansia akan menjadi malas
dan tidak mau mengikuti bimbingan agama lagi.
xxiv
a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar yang senantiasa diulang untuk
membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah
b. Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun
hubungan yang selaras dengan Tuhan dan dengan alam sekitar
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup
keseharian. Banyak pemeluk agama yang hanya melakukan ibadah
sebatas ritual, maka mereka kehilangan hikmah dalam menjalankan
kehidupan bermasyarakat
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan. Dengan cara teratur mengadakan
hubungan dengan Tuhan
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa yang merupakan
beban mental bagi seseorang
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri. Setiap orang tentunya
ingin diterima dan dihargai oleh lingkungan, tidak dilecehkan ataupun
di pinggirkan
g. Kebutuhan akan rasa aman, dan terjamin atas keselamatan terhadap
harapan masa depan.
h. Kebutuhan akan tercapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi
sebagai pribadi yang utuh.
i. Kebutuhan akan terperiharanya interaksi dengan alam dan sesamanya.
Setiap orang pasti akan memerlukan interaksi dengan orang lain,
demikian pula dengan lingkungan yaitu menjaga kelestarian dan
keamanan.
j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai-
nilai religious.
xxv
a. Dimensi Fisik
Dimensi Fisik meliputi pemeliharaan tubuh kita secara efektif.
Dimensi fisik memiliki nutrisi yang harus di penuhi antara lain dengan
air, protein, vitamin, lemak, karbohidrat, serta mineral. Latihannya
dengan berolahraga, makan dan minum. Istirahat: relaksasi. Pantangan:
latihan yang terlalu berlebihan, makan secara berlebihan, alkohol,
rokok serta racun. Memakan jenis makanan yang tepat, istirahat
teratur, relaksasi yang memadai dan berolahrara. Olaharaga adalah
salah satu aktivitas berdampak besar namun kebanyakan dari kita tidak
melakukannya secara konsisten karena tidak mendesak. Dan karena
kita tidak melakukannya, cepat atau lambat kita akan mendapatkan diri
kita berhadapan dengan masalah dan krisis kesehatan yang muncul
sebagai akibat wajar dari kelalaian kita.
b. Dimensi mental
Dimensi mental: Nutrisi: pengetahuan, informasi, ide, dsb. Latihan:
berpikir, belajar, bertukar-pikiran, meng-analisa. Istirahat: tidur.
Pantangan: pikiran negatif dan malas.
c. Dimensi Sosial
Dimensi sosial: Nutrisi: kasih sayang, perhatian, rasa percaya,
ketulusan, dsb. Latihan: komunikasi (mendengarkan, bercerita, dsb),
kontak fisik (pelukan, sentuhan, dsb). Istirahat: menyendiri atau
keheningan. Pantangan: gosip, hawa nafsu, cemburu, pengkhiatanan,
melanggar janji, dsb.
d. Dimensi Spiritual
Dimensi spiritual adalah inti anda, pusat anda, tujuan hidup anda,
komitmen anda. Dimensi ini memanfaatkan sumber yang mengilhami
dan mengangkat semangat anda dan mengikat anda pada kebenaran
tanpa batas mengenai semua nilai kemanusiaan.
Dimensi spiritual: Nutrisi: doa, kebijaksanaan, sabda Tuhan. Latihan:
berdoa, memaafkan, mempraktekan ritual, berharap, tertawa. Istirahat:
bermeditasi. Pantangan: balas dendam, kebencian, dosa, ateis.
xxvi
xxvii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Pada penulisan karya tulis ini, ada beberapa saran yang ingin penulis
sampaikan:
xxviii
bentuk-bentuk dari budaya spiritual, serta permasalahan dan
penanganannya.
2. Diharapkan adanya penelitian ini disajikan untuk sumber data serta
informasi dalam penelitian yang sama bagi mahasiswa keperawatan dan
pendidikan kesehatan dapat dijadikan salah satu intervensi dalam
pembelaran tentang konsep spiritual dan spiritual budaya.
xxix
DAFTAR PUSTAKA
xxx