Anda di halaman 1dari 30

SPIRITUAL DAN BUDAYA

Dosen Pengampu: Tri Setyaningsih, M.Kep., Sp.Kep..J

Disusun Oleh:

Ayusmanita

2230075

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAT TINGGI ILMU KESEHATAN RS HUSADA
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan judul “Spiritual dan Budaya” dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 30 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Spiritual .................................................................................. 3
2.1 Definisi Spiritual ............................................................................ 3
2.2 Dimensi Spiritual ........................................................................... 4
2.3 Karakteristik Spiritual .................................................................... 5
2.4 Perkembangan Spiritual ................................................................. 6
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual ............... 7
2.6 Bentuk-bentuk Spiritual ................................................................. 7
B. Konsep Budaya .................................................................................... 9
2.7 Definisi Budaya ............................................................................. 9
2.8 Tantangan dan Peluang .................................................................. 10
2.9 Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ................................ 13
2.10 Wujud Kebudayaan Spiritual ....................................................... 14
2.11 Kemajemukan Budaya Spiritual .................................................. 15
2.12 Permasalahan Spiritual ................................................................ 17
2.13 Upaya Penanganan Spiritual ........................................................ 20

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .................................................................................... 24
3.2 Saran .............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spiritualitas adalah salah satu aspek kehidupan pasien yang sangat penting
untuk dipenuhi dalam perawatan kesehatan. Pentingnya spiritualitas dalam
pelayanan kesehatan dapat dilihat dari definisi kesehatan menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan empat unsur kesehatan yaitu
sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual. WHO juga mendefinisikan sehat
sebagai suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik (organobiologik), mental
(psikologik), sosial, dan spiritual, yang tidak hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan. Dengan demikian dimensi spiritual merupakan salah satu unsur
atau aspek yang membentuk manusia secara utuh.
Spiritual sebagai jenis kecerdasan dikaitkan dengan proses kognitif yang
rasional seperti pencapaian tujuan dan pemecahan masalah. Kecerdasan
spiritual mengajarkan bagaimana berperilaku dengan orang lain, bagaimana
membuat keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, berinteraksi
dengan stres, dan berinteraksi dengan situasi yang sulit (Hema & Vinita,
2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Definisi Spiritual?
2. Apa saja Dimensi Spiritual?
3. Apa saja Karakteristik Spiritual?
4. Apa saja Perkembangan Spiritual?
5. Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebutuhan Spiritual?
6. Apa saja Bentuk-bentuk Spiritual?
7. Apa saja Definisi Budaya Spiritual?
8. Bagaimana Tantangan Dan Peluang?
9. Bagaimana Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa?
10. Bagaimana Wujud Kebudayaan Spiritual?

iv
11. Bagaimana Kemajemukan Budaya Spiritual?
12. Bagaimana Permasalahan Spiritual?
13. Bagaimana Upaya Penanganan Spiritual?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Definisi Spiritual
2. Mengetahui Dimensi Spiritual
3. Mengetahui Karakteristik Spiritual
4. Mengetahui Perkembangan Spiritual
5. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebutuhan Spiritual
6. Mengetahui Bentuk-bentuk Spiritual
7. Mengetahui Definisi Budaya Spiritual
8. Mengetahui Bagaimana Tantangan Dan Peluang
9. Mengetahui Bagaimana Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
10. Mengetahui Bagaimana Wujud Kebudaya Spiritual
11. Mengetahui Bagaimana Kemajemukan Budaya Spiritual
12. Mengetahui Bagaimana Permasalahan Spiritual
13. Mengetahui Bagaimana Upaya Penanganan Spiritual

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Spiritual
2.1 Definisi Spiritual

Menurut Hidayat dan Uliyah (2016), Spiritualitas (spirituality)


merupakan sesuatu yang dipercayai oleh seorang dalam hubungan yang
lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan
terhadap tuhan.

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha


Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contoh seorang yang percaya kepada
Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhardt
(1993) dalam Mubarak et al. (2015), spiritualitas meliputi aspek sebagai
berikut :

a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian


dalam kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan
dalam diri sendiri.
d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang
Maha Tinggi.

Menurut Wulan, (2011). Spiritualitas adalah keyakinan dalam


hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah
sebuah keyakinan hubungan dengan Tuhan yang menimbulkan sebuah
kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan mencintai dan dicintai
serta rasa keterikatan dan kebutuhan memberikan maaf dan pengampunan.

Spiritualitas berakar pada kata spirit yang mengandung arti semangat


dan jiwa/roh sedangkan spiritual berarti berhubungan dengan atau bersifat
kejiwaan/batin (KBBI, 2008). Istilah “spiritualitas” sendiri diambil dari

vi
kata latin spiritus yang berarti nafas. Istilah berkaitan dengan kata Yunani
pneuma yang mengacu pada nafas hidup atau jiwa.

Spiritualitas merupakan kecenderungan untuk mencari tujuan utama


dalam hidup dan mengusahakan hidup seperti tujuan tersebut (Mitroff dan
Denton, 1999). Tujuan hidup menjadi hal penting dan selalu diusahakan
oleh manusia. Setiap kali seseorang melakukan kegiatan pasti di dalamnya
terdapat hal-hal atau keinginan yang ingin dicapai olehnya. Hal ini senada
dengan ungkapan dari Pargament dan Mahoney (2004) yang
mendefinisikan spiritualitas sebagai proses hidup seseorang yang berupa
makna dan tujuan yang berdampak pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.

Kesehatan spriritual, sehat spiritual atau kesejahteraan spiritual adalah


rasa keharmonisan saling kedekatan atanra diri dengan orang lain, alam,
dan dengan kehidupan yang tinggi (Hungelmann dkk, 1985 dalam Potter
dan Perry, 2005).

Menurut Thomas (1999 dalam Pratiwi, 2007), sehat spiritual adalah


kemampuan seseorang dalam membangun spiritualnya menjadi penuh
dengan potensi dan kemampuan untuk mengetahui tujuan dasar hidupnya,
untuk belajar untuk mengalami cinta, kasih sayang, kedamaian, dan
kesejahteraan serta cara untuk menolong diri sendiri dan orang lain untuk
menerima potensi tertingginya.

2.2 Dimensi Spiritual

Sebagaimana dikatakan oleh Downey, kata spirit dipakai untuk


menamakan dimensi yang istimewa dari manusia tetapi tidak berlawanan
dengan materi, yakni badan. Individu dimengerti sebagai satu kesatuan,
satu keseluruhan yang utuh, dari pada sebuah kombinasi dari dua bagian
yang bersaing, yaitu badan dan jiwa, daging dan roh, pikiran dan masalah.
Dimensi roh dari manusia menggambarkan kemampuan yang dimiliki oleh
manusia yang membuatnya mampu bertransendensi atau bertumbuh
dengan melampaui kecenderungan negatif yang ada pada dirinya. Dalam

vii
dirinya, manusia secara alami adalah memiliki dimensi spiritual,
sebagaimana telah tampak dalam diri St. Vinsensius.

Menurut Hamid. (2008), Dimensi spiritualitas berupaya untuk


mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar,
berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan
yang timbul di luar kekuatan manusia.

a. Makna Hidup Spiritualitas merupakan penghayatan interpersonal yang


bersifat unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang
bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai bagi
kehidupan manusia.
b. Emosi Positif Manifestasi spiritual berupa kemampuan mengelola
pikiran dan perasaan dalam hubungan interpersonal sehingga
seseorang memiliki nilai kehidupan yang mendasari kemampuan
bersikap dengan tepat.
c. Pengalaman spiritual Manifestasi spiritual di dalam diri seseorang
berupa pengalaman spesifik dan unik terkait hubungan dirinya dengan
Allah SWT dalam berbagai tingkatannya.
d. Upacara Manifestasi spiritual berupa tindakan terstruktut, sistemattis,
berulang, melibatkan aspek motorik, kognisi dan afeksi yang dilakukan
menurut suatu tata cara tertentu baik individu maupun komunitas.

2.3 Karakteristik Spiritual

Menurut Hamid (2009) terdapat empat karakterisitik dari spiritual yakni:

1) Hubungan diri sendiri Seseorang yang memiliki spiritual yang baik


mengetahui siapa dirinya, apa yang bisa dilakukannya, mempunyai
sikap percaya pada diri sendiri, mempunyai ketenangan pikiran,
percaya pada masa depan dan harmoni dengan diri sendiri.
2) Hubungan dengan alam harmonis Kita dapat menilai tingkat spiritual
seseorang dengan melihat hubungannya dengan alam. Sesorang akan
mengetahuitentang iklim, margasatwa, pohon, tanaman, cara

viii
berkomunikasi dengan alam, cara melindungi alam dan cara
mengabadikan alam apabila memiliki spiritual yang baik.
3) Hubungan dengan orang lain harmonis Menciptakan hubungan
harmonis dengan orang lain adalah karakteristik pada seseorang yang
memiliki spirtual yang baik. Berbagi waktu pengetahuan dan sumber
secara timbal balik dengan orang lain, mengasuh anak, mengasuh
orang tua, mengasuh orang sakit, mengunjungi orang lain dan melayat
ke rumah orang yang meninggal untuk meyakini kehidupan dan
kematian adalah cara seseorang yang baik secara spiritual untuk
tentang iklim, margasatwa, pohon, tanaman, cara berkomunikasi
dengan alam, cara melindungi alam dan cara mengabadikan alam
apabila memiliki spiritual yang baik.
4) Hubungan dengan ketuhanan Melaksanakan kegiatan sembahyang dan
berdoa dengan perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam
adalah cara berhubungan dengan Tuhan pada seseorang memiliki
spiritual yang baik.

2.4 Perkembangan Spiritual

Menurut Westerhoffs (A. Hidayat, 2016) perkembangan spiritual


dibagi menjadi empat tingkatan jika dilihat dari kategori usia adalah
sebagai berikut:

1) Usia anak menjadi tahapan perkembangan keyakinan yang berasal dari


pengalaman. Perilaku diperoleh meliputi pengalaman berinteraksi pada
orang lain yang memegang kepercayaan. Keyakinan yang ada saat ini
mungkin sekedar menirukan orang lain, misalnya seperti berdoa dan
makan sebelum tidur.
2) Usia remaja akhir, menjadi tahapan pengumpulan keyakinan ditandai
dengan partisipasi yang aktif dalam keagamaan. Pada periode ini
perkembangan spiritualitas dimulai dengan keinginan untuk
mendorong dari kebutuhan spiritual misalnya keinginan ataupun
berdoa kepada pencipta yang sudah mulai membutuhkan bantuan
melalui keyakinan.

ix
3) Usia dewasa awal, masa pencarian rasa percaya diri yang mulai
keyakinan atau kepercayaan secara kognitif sebagai bentuk
mempercayainya. Dalam periode ini, keyakinan dikaitkan dengan
rasional. Pada periode ini ada rasa hormat terhadap keyakinan.
4) Usia pertengahan dewasa, pada usia ini tingkat kepercayaan pada diri
sendiri dimulai dengan rasa percaya dirinya lebih kuat yang
dipertahankan dalam menghadapi perbedaan kepercayaan lain dan
pemahaman yang baik tentang kepercayaan diri seseorang (Young,
2018).

2.5 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual

1) Perkembangan, usia berkembang dapat menentukan proses pemenuhan


kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki cara
untuk percaya kepada Tuhan.
2) Dukungan keluarga, beperan penting untuk memenuhi kebutuhan
spiritual karena memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dan selalu
saling berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
3) Ras / suku, memiliki keyakinan yang berbeda, sehingga proses
pemenuhan kebutuhan dari spiritual akan beda dengan keyakinan yang
mereka miliki.
4) Menerima agama dan menganut agama lain dapat menjadi penentu
pentingnya kebutuhan spiritual seseorang.
5) Kegiatan kegamaan, kegiatan keagamaan dapat mengingatkan diri
sendiri untuk selalu bersama Tuhan dan selalu dekat dengan Sang
Pencipta (A.Hidayat, 2016).

2.6 Bentuk - bentuk Spiritual

Spiritualitas berkembang dan membentuk ekspresi yang sangat


beragam. Ia tidak hanya diwakili oleh satu pola ekspresi tertentu, tetapi
memiliki beragam pola, dengan titik tekan yang sangat beragam.

Pertama, Sekularisasi Spiritualitas. Dalam format ini, terjadi peralihan


konsep spiritualitas, Pada era Teosofi, Tuhan sebagai pusat atau sumber,
juga sebagai fondasi dari spirit dan spiritualitas. Spirit kepunyaan dan

x
ciptaan Tuhan, dan akan kembali padanya. Spirit didefinisikan sebagai
kekuasaan Tuhan. Pada era Teknosofi (pencerahan), akal budi manusia
(cogito) sebagai pusat spiritualitas. Nalar manusia memiliki kapasitas
untuk mendefinisikan, dan menciptakan yang suci. Pada era Libidosofi,
hasrat menjadi pusat, sumber dan fondasi spiritualitas. Hasrat yang
mempunyai kekuasaan untuk merumuskan tentang apa itu dunia, apa itu
yang spiritual. Hasrat menjadi pusat dunia ketika apa pun perkembangan
dunia selalu melandaskan dirinya pada logika hasrat. Kekuasaan dapat
diciptakan oleh manusia lewat kemampuan nalar.

Kedua, Imanensi Spiritualitas. Imanensi konsep spiritualitas ini berasal


dari Nietzsche. Nietzsche mengatakan bahwa “Tuhan telah mati”, artinya
Tuhan tidak lagi mempunyai kekuatan metafisika, sehingga di dalam
kehampaan kekuasaan Tuhan itu, manusia berpeluang untuk menjadi
Superman, yaitu manusia yang dapat menavigasi dirinya sendiri dalam
pencarian tentang apa itu spirit. Imanensi spiritualitas adalah kondisi
ketika spiritualitas menjadi efek permukaan, ketika tidak ada lagi
kedalaman, dan permukaan merupakan logika dari pancaindra. Ketika
konsep spiritualitas ditinggalkan dari fondasi fondasi transendennya, maka
ia dapat berkembang secara produktif pada tingkat permukaan imanen.
Spiritualitas adalah apa yang ditangkap dengan pancaindra.

Ketiga, Libidinalisasi Spiritualitas. Konsep Teosofi selalu mengatakan


bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual. Artinya
realitas merupakan perwujudan hasrat lebih tinggi, yang diarahkan kepada
sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, realitas yang terbentuk sebagai
perwujudan hasrat-hasrat rendah (nafs), dianggap sebagai ilusi atau realitas
palsu (pseudo reality). Menggunakan analogi platonis, perwujudan hasrat-
hasrat rendah itu hanya menghasilkan simulakrum realitas, yaitu realitas
yang telah menyimpang dari kehendak Tuhan.

Keempat, Schizo-Spiritualitas. Revolusi hasrat adalah sebuah


pergerakan dalam menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap
model normalitas ada di dalam masyarakat, dengan menggalang sebuah

xi
politik hasrat radikal, 9 dari 19 dibebaskan dari segala bentuk sistem
kepercayaan.

Kelima, Hibrid-Spiritualitas. Wacana hibrid-spiritualitas adalah sebuah


wacana yang di dalamnya spiritualitas melakukan kawin silang (hibridity)
dengan wacana-wacana keduniaan di dalam ruang kontradiksi. Hibrid
spiritualitas adalah kawin silang dari dua kekuatan bertentangan atau lebih
menjadi satu kekuatan kontradiktif; ketuhanan-konsumerisme, transenden
imanen, kesucian-kedangkalan. Hibrid-spiritualitas adalah ruang hasrat
yang di dalamnya mesin-mesin kecepatan (dromology) melakukan
simbiosis dengan mesin kekhusukan. Kecepatan telah mengubah pelbagai
bentuk ritual yang kini merupakan spiritualitas kecepatan (dromo-
spirituality). Hibrid-spiritualitas adalah simbiosis antara nafsu rendah dan
nafs ketuhanan, simbiosis antara an-nafs al-ammarah dengan an-nafs al-
muthma'inah, yang di dalamnya hikmah-hikmah pengendalian hasrat
berbenturan dengan logika pelepasan hasrat, yang menghasilkan bentuk
baru spiritualitas.

Keenam, Tekno-Spiritualitas,elektronik-digital adalah bentuk spiritual


baru itu. Keabadian adalah metode sibernetik dalam mempertahankan
kapasitas signal yang unik pada diri seseorang, itulah yang disebut jiwa
(Pilliang, 2007: 172-176). Fenomena kebangkitan spiritualitas yang
sekarang merebak di mana-mana merupakan fenomena yang menarik
untuk dicermati. Ada banyak fenomena, penyebab, dialektika, relasi kuasa,
dan silang sengkarut yang tidak mudah diurai.

B. Konsep Budaya
2.7 Definisi Budaya

Di Indonesia dikenal 3 (tiga) istilah yang menyangkut dunia


keyakinan, yaitu istilah "agama", "kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa", dan “religi setempat" (Damami, 2011; 276-277). Agama yang
legal (dalam arti disahkan oleh Undang-undang negara Republik
Indonesia) ada 6 (enam), yaitu Hindu, Budha, Islam, Protestan, Katolik,

xii
dan Konghucu (Penetapan Presiden Ri No. 1 Tahun 1965, Pasal 1 dan
Penjelasannya). Sedangkan "kepercayaan terhadap- Tuhan Yang Maha
Esa" diakui legal sejak ditetapkan dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1973
(Maret 1973). Sementara itu apa yang disebut "religi setempat" adalah
keyakinan lokal yang diperkuat oleh realitas antropologis yang ada dalam
masyarakat yang masih dimiliki oleh suku-suku yang berada di bumi
Nusantara. Budaya spiritual yang dimaksud dalam tulisan ini difokuskan
pada istilah "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa".

Budaya spiritual adalah perwujudan olah batin yang hanya dapat


dikomunikasikan melalui dialog simbol. Memaparkan budaya spiritual
berarti berdialog dengan dunia realistik melalui ekspresi simbol yang
masih hidup agar dapat dipahami dan akrab dengan lingkungannya.
Dengan demikian budaya spiritual yang hidup hingga selalu aktual.

Dalam budaya spiritual ada empat batasan pokok, yaitu

1) Adanya ketentuan eksistensi dan indentitas kepercayaan terhadap


Tuhan Yang Maha Esa
2) Makna budaya spiritual sebagai alat monitor dan kendali terhadap
luapan budaya mental-sensual-fisik
3) Tingkat kedewasaan dan kesiagaan pemapar dalam menghayati dan
melaksanakan tugas dihadapan sidang pemirsa
4) Tingkat kedewasaan dan kesiagaan sidang pemirsa dalam mengikuti
dan meresapi pemaparan budaya spiritual.

Budaya spiritual adalah perwujudan olah batin yang hanya dapat


dikomunikasikan melalui dialog simbol. Memaparkan budaya spiritual
berarti berdialog dengan dunia realistik melalui ekspresi simbol yang
masih hidup agar dapat dipahami dan akrab dengan lingkungannya.
Dengan demikian budaya spiritual yang hidup hingga selalu aktual.

2.8 Tantangan dan Peluang

Bagi budaya spiritual semacam kepercayaan teerhadap Tuhan Yang


Maha Esa, masalah-masalah yang ada dalam zaman atau era globalisasi
dapat ditangkap sebagai tantangan dan sekaligus peluang untuk

xiii
berkesempatan berperan di dalamnya. Masalah lasalah dalam zaman
globalisasi tersebut tampak akan berdampak negatif, bahkan destruktif
terhadap hidup manusia, kalau tidak dikendalikan dan diatasi dengan
segera secara sistemik, bertahap, dan terus-menerus. Di antara masalah-
masalah utama dalam zaman globalisasi tersebut sebagaimana tertulis di
bawah ini.

1) Rapuhnya mental akibat nafsu sistem pasar kapitalis. Menurut Dr. H. J.


Witteveen, mantan Menteri Keuangan Belanda dan Direktur Pelaksana
linternational Monetary Fund (IMF), yang menjadi karakteristik fuse
pertumbuhan dalam sistem ekonomi zaman globalisasi ini adalah
makin dominannya modal usaha dalam bentuk saham. Dalam sistem
ekonomi seperti ini, peraihan tingkat nilai saham menjadi tujuan utama
dalam manajeman sebagian besar perusahaan. Karena itu, pemegang
saham, terutama pegang saham yang terbanyak, menjadi lebih
berpengaruh dalam menentukan kebijakan perusahaan (Witteveen,
2004 : 79). Dari sinilah muncul suburnya mental untuk serba
"meningkatkan keuntungan" sebagai tema sentralnya dan berdampak
pengabdian tata moral. Persaingan jual beli harga saham menjadi
pokok. Perusahaan yang memiliki harga saham yang lebih tinggi dan
lebih banyak pemegang sahamnya dengan mudah dapat mengambil
alih perusahaan yang memiliki harga saham yang lebih rendah. Di
sinilah akan terjadi "mekanisme memperkuat diri sendiri" (Witteveen,
2004 : 80), dengan cara rakus (tamak) memakan pihak lain dengan
sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi persaingan ekonomi seperti ini,
modal investasi akan ditarik ke dalam roda ekonomi yang paling
dinamis, yang akhirnya menumbuhkan pertumbuhan yang sangan
cepat (Witteveen, 2004 80).
2) Melemahnya tata nilai sosial yang telah dibangun dalam kehidupan
religius. Dengan mengutip pendapat dari Francis Fukuyama, Witteveen
mengatakan bahwa sebenarnya tata nilai sosial yang dibangun lama
dalam masyarakat mampu mendukung nilai ekonomi yang sedang
diusahakan, bahkan nilai ekonomi dari tata nilai sosial semacam itu,

xiv
karena besarnya, dapat diukur. Witteveen mengutip pendapat Francis
Fukuyama tersebut sebagai berikut: "Kemampuan berasosiasi pada
gilirannya tergantung sejauh mana komunitas berbagai norma dan nilai
serta mampu menomorduakan kepentingan individu demi kepentingan
kelompok yang lebih besar. Dari nilai-nilai bersama semacam itu
lahirlah kepercayaan trus, pen, dan kepercayaan, seperti anda lihat,
adalah nilai ekonomi yang besar dan dapat diukur.” (Witteveen, 2004 :
104)
3) Terjadinya degenerasi lingkungan alam. Pertumbuhan ekonomi yang
memanfaatkan kemajuan teknologi canggih, tampaknya membawa
dampak kerusakan lingkungan alam dalam skala luas. Dalam proses
pertumbuhan ekonomi tersebut, terutama dalam perluasan dan
pembesaran daya hasil industrialisasi dan juga intensifikasi
transportasi serta komunikasi, ternyata secara konkret telah membawa
kerusakan lingkungan alam yang hampir-hampir tak terkirakan.
Misalnya saja, tanah dan air banyak mengalami proses peracunan.
Sedangkan tanah dan air adalah modal kehidupan yang sangat vital
bagi manusia generasi ke generasi. Demikian juga udara dan kestabilan
salju di kutub utara (Aolaska) maupun Antartika (Witteveen, 2004 :
87-88). Di Indonesia sendiri saat ini sudah mulai dirasakan secara
langsung adanya kerusakan-kerusakan lingkungan alam tersebut.
Misalnya, kacaunya berlangsungnya musim kemarau dan musim
penghujan, abrasi semakin meningkat yang menyebabkan hilangnya
berbagai pulau, banyak badai dan gelombang laut, tingkat kepanasan
global yang makin hari makin meningkat, dan sebagainya.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sering disebut
sangat menghargai keaslian lokal (lokal genius), kiranya dapat
memformulasikan lebih canggih penanganan pelestarian lingkungan
alam sesuai dengan pengalaman masyarakat yang sudah turun-
temurun. Formatisasi konsep pelestarian alam dan lingkungannya
tersebut tentu saja perlu disapakan dengan kemajuan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang sudah berkembang.

xv
4) Kecenderungan adanya usaha homogenisasi (penyeragamano budaya,
gaya hidup, karakter, bahkan pandangan hidup. Menurut Roland
Robertson, seperti yang dikutip oleh Manfred B. Steger, arus kultural
global justru seringkali membangkitkan kesadaran bentuk budaya
lokal. Paling tidak akan timbul apa yang disebut "globalisasi", yaitu
interaksi yang kompleks antara yang bersifat global dan yang bersifat
lokal yang bercirikan peminjaman budaya cultural borrowing (Stager,
2005 : 56-57). Tumbuhnya kesadaran budaya global yang pada intinya
membangunkan kesadaran membela diri self defence di kalangan
pendukung budaya lokal yang dirasakan telag berjasa beratus-ratus
tahun lamanya. Mereka tersadar akan arti dan kebermaknaan budaya
lokal yang juga memiliki potensi positif bagi kehidupan masyarakat
pendukungnya. Hal keempat ini barangkali perlu diterjemahkan ulang
sedemikian rupa dikalangan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa tentang bagaimana menghargai dan sekaligus mempertahankan
bagian-bagian positif dari budaya lokal tersebut untuk dapat
memosisikan budaya lokal pada tempat yang semestinya dan tetap
dapat dimanfaatkan sifat-sifat positifnya.

Budaya spiritual, dalam hal ini kepercayaan terhadap Tuhan Yang


Maha Esa kiranya perlu memiliki andil dalam memperkokoh jiwa
nasionalisme dalam menghadapi kepungan dan arus besar globalisasi
lewat berbagai medianya. Sebab, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang jelas-jelas menyadari arti penting dan arti potensi dari kearifan
lokal (local genius) di wilayah masing-masing.

2.9 Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Berdasarkan ajaran yang disampaikan berketurunan, para peng hayat


meyakini bahwa semua makhluk di muka bumi diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Semuamakhluk yang diciptakanNya, diken dalikanNya
dari tempat yang maha rahasia, tempat gaib tempat yang tidak berwujud.
Tuhan Yang Maha Esa menurut mereka memiliki sifat yang "serba Maha.”
Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha

xvi
Pemurah, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Benar, Maha Jujur, Maha
Adil, Maha Pencipta, Maha Penuntun, dan Maha Pelindung.Dengan sifat-
sifat ini Tuhan mengendalikan kehi dupan manusia di dunia, sejak dia
berada dalam kandungan (bertian), sampai ke liang lahat ke dalam
kehidupan abadi di akhirat. Dari konstelasi pemikiran terhadap
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di atas, maka wujud budaya
spiritual yang penting dan terus berkembang dalam kehidupan manusia
penghayat adalah sebagai berikut:

(1) Ajaran yang mengandung nilai religius seperti :

a. Ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa


b. Ajaran tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(2) Ajaran yang mengandung nilai moral seperti:

a. Nilai moral yang terkandung dalam hubungan antara manusia dengan


dirinya sendiri.
b. Nilai moral yang terkandung dalam hubungan antara manusia dengan
sesamanya.
c. Nilai moral yang terkandung dalam hubungan antara manusia dengan
alam.

Nilai-nilai religius dan moral tersebut diatas memberikan gam baran


awal dari wujud budaya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu
dasar-dasar hubungan antara manusia dengan sang pencipta (vertikal) dan
hubungan antara sesama manusia dan alam jagat.

2.10 Wujud Kebudayaan Spiritual

Kepercayaan-kepercayaan religius tidak hanya melukiskan dan


menjelaskan makhluk-makhluk sakral seperti Tuhan, dewa atau malaikat-
malaikat, dan alam gaib seperti surga dan neraka, tetapi yang lebih penting
dari semua itu adalah hubungan makhluk dan alam gaib itu dengan dunia
kehidupan manusia yang nyata (Notingham, 1997). Sebab itu, kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dari para pendukung (penghayat) akan lebih
banyak dilihat implikasinya dalam kehidupan budaya spiritual mereka.

xvii
Disamping itu, kepercayaan religius itu juga menunjukkan bahwa apa
yang dapat dilihat secara kasat-mata, akan selalu menampilkan makna
simbolik yang berbeda. Seperti “roti" dan “anggur” dalam upacara ekaristi
(bersyukur) dalam agama Katolik yang melambangkan "tubuh" dan
“darah” Kristus yang telah bangkit, atau dalam kaitan yang lebih
sederhana, “beras kunyit” dan “bunga rampai" dalam acara tepung tawar
orang Melayu yang melambangkan hubungan "kekuatan semangat” dan
“kedamaian roh” dalam tubuh seseorang. Benda-benda gaib yang tidak
dapat digapai panca indra atau benda benda sakral yang terlihat jelas,
menurut Notingham (1977) adalah rona kepercayaan yang didasarkan atas
keyakinan, bukan atas bukti. Bahan dengan hak Dan semua itu adalah
wujud budaya spiritual dalam kehidupan para pendukungnya. Apabila
kebudayaan dilihat sebagai seperangkat model-model pengetahuan yang
secara selektip digunakan oleh para pendukungnya, terutama sebagai
makhluk sosial untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan
yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk
bertindak (Suparlan, 1987), maka wujud budaya spiritual para penghayat
di atas yang secara bergenerasi telah mereka pedomani dan fungsikan,
ternyata tidak hanya untuk mempertahankan keberadaan mereka, tetapi
juga untuk dapat berubah dan berkembang. Dengan demikian, studi
mengenai hubungan fungsional antara budaya spiritual para penghayat
(yang mungkin dianggap telah "klasik") dengan tuntutan pembangunan
(yang “modern” dan penuh dinamika), dapat dikembangkan. Dalam kaitan
ini, kiranya dapat dimengerti betapa pentingnya dilakukan penelitian dan
diskusi yang intensif mengenai faktor-faktor budaya spiritual yang
menghambat atau men dorong "nation and character building.” Indonesia
baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional.

2.11 Kemajemukan Budaya Spiritual

Budaya spiritual kelompok-kelompok paguyuban, telah meru pakan


identitas kedua dari masing-masing kelompok masyarakat pendukung
budaya itu. Dari lebih kurang dua ratusan kelompok penghayat, ternyata
hanya sebahagian kecil para pendukungnya yang berasal dari berbagai

xviii
etnis dan telah mengembangkan diri melintasi kecamatan atau propinsi
tempat kelahirannya. Paguyuban Subud, Pangestu atau Sumarah
umpamanya, anggota-anggota mereka terdiri dari berbagai kelompok
etnik, agama, dan tersebar di berbagai propinsi. Akan tetapi, banyak
paguyuban penghayat yang anggotanya terbatas pada kelompok etnik
tertentu dan tersebar dilokasi terbatas pula. Umpamanya, Ugamo Malim,
sebuah paguyuban penghayat yang berdomisili di daerah Batak Toba dan
sebahagian besar anggota nya juga berasal dari kelompok etnik Batak Toba
(Sumatera Utara).

Bagi sebahagian besar kelompok paguyuban penghayat, budaya


spiritual mereka telah menjadi identitas kedua, disamping kelompok etnik
sebagai identitas pertama. Dengan demikian, masyarakat budaya spiritual
di Indonesia, sebagaimana juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan
merupakan masyarakat budaya spiritual yang majemuk.

Menurut Parsudi Suparlan (1992), masyarakat majemuk secara


sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas
bahagian-bahagian (segmen-segmen), yang masing-masing seg men
tersebut secara sosial maupun struktural berdiri sendiri, tetapi yang secara
bersama-sama dipersatukan oleh sebuah sistem nasional menjadi sebuah
masyarakat majemuk dapat berupa golongan etnik atau agama.
Sungguhpun Parsudi Suparlan tidak merujuk kepada budaya spiritual,
tetapi karena kemajemukan budaya spiritual dapat merujuk juga kepada
pengertian masyarakat majemuk yang dirumus kan oleh Parsudi Suparlan
di atas.

Masalah utama dalam masyarakat majemuk adalah masalah hubungan


timbal balik antar kelompok yang terkait dengan kedu dukan, hak dan
wewenang masing-masing kelompok, terutama pada tatanan nasional.
Hubungan-hubungan tersebut kadang-kadang sangat diwarnai oleh
masalah-masalah politik dan perimbangan kekuasaan "intern" sesama
mereka disatu pihak, dan dengan sistem nasional di pihak lain. Oleh
karena itu, Ditjen Kebudayaan harus berusaha mendorong para paguyuban

xix
untuk segera kembali membentuk insti tusi atau badan asosiasi para
penghayat yang kuat dan independen. Seperti diketahui, sekitar sepuluh
tahun yang lalu, kelompok pagu yuban penghayat memiliki badan
himpunan tersebut, tetapi karena badan himpunan itu terlibat dalam
masalah-masalah politik, atau cenderung menjadi partisan kelompok
interes tertentu, maka badan tersebut terpaksa dibubarkan atau
diistirahatkan untuk sementara kegiatannya. Mungkinkah pada masa
reformasi ini paguyuban para penghayat memiliki lembaga asosiasi atau
himpunan itu kembali, sehingga mereka dapat duduk bersama
membicarakan kepentingan dan program mereka bersama, secara
independen, tanpa campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lain.

2.12 Permasalahan Spiritual

Setiap orang yang memasuki usia lanjut memiliki gangguan psikologis


dan spiritual dalam hidupnya. Hal itu wajar terjadi terutama bagi orang
yang kurang siap menghadapi perubahan hidup dan kehidupan. Indikator
gangguan psikologis menurut BKKBN3¹ sebagai berikut:

Kecemasan dan ketakutan. Perasaan ketidakpastian dalam menghadapi


masa depan yang berubah jauh dari pola hidup bisaanya, banyak dialami
oleh lansia. Hal itu muncul karena berbagai hal seperti daya tahan tubuh
dan fungsi organ tubuh yang menurun, kesibukan kerja dan posisi jabatan
yang hilang, kehidupan rumah tangga yang kurang harmonis dan
sebagainya ikut mempengaruhi kepribadian seseorang yang memasuki
usia lansia.

Mudah tersinggung dan cenderung emosional. Pertambahan umur dan


perubahan fisik jasmani, langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi kemantapan emosional dan ketabahan spiritual seseorang.
Lansia umumnya memiliki kepribadian yang labil, mudah tersinggung,
takut kesepian, turun percaya diri, nostalgia dengan masa jaya (lampau)
dan merasa pernah berjasa tetapi tidak dihargai orang. Sikap dan emosi
tersebut hanya bisa diatasi dengan melakukan introspeksi diri dan mawas
diri sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan.

xx
Banyak bercerita, berkata dan kurang mau mendengar. Salah satu sikap
dan perilaku lansia umumnya suka bercerita panjang dan berulang tentang
kondisi masalalu yang sukses (nostalgia). Padahal indra utama yang
berfungsi ketika lahir adalah pendengaran. Karena itu, lansia perlu melatih
diri menjadi pendengar yang baik terhadap cerita dan pengalaman yang
lebih muda, sehingga dapat memberikan pandangan dan nasehat kepada
yang lebih muda.

Sedangkan menurut Hurlock³², beberapa masalah psikologi lansia antara lain:

a. Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat


meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu
mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama gangguan
pendengaran harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.
Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian karena aktivitas
sosialnya tinggi, lansia yang hidup dilingkungan yang beraggota
keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.
b. Duka cita (bereavement),dimana pada periode duka cita ini merupakan
periode yang sangat rawan bagi lansia. meninggalnya pasangan hidup,
temen dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan
ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang
selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya.
Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan
kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka cita biasanya
bersifat self limiting.
c. Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan depresi
dan puan beradaptasi sudah menurun.
d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia,
gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah
trauma dan gangguan obsesif-kompulsif. Pada lansia gangguan cemas
merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan bisaanya berhubungan
dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat
atau gejala penghentian mendadak suatu obat.

xxi
e. Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi
pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau
yang timbul pada lansia.
f. Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering
terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering
lansia merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau tetangga
berniat membunuhnya. Parfrenia bisaanya terjadi pada lansia yang
terisolasi atau diisolasiatau menarik diri dari kegiatan sosial.
g. Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana lansia
menunjukkan penampilan perilaku yang sangat menggangu. Rumah
atau kamar yang kotor serta berbau karena lansia ini sering bermain
smain dengan urin dan fesesnya. Lansia sering menumpuk barang
barangnya dengan tidak teratur. Kondisi ini walaupun kamar sudah
dibersihkan dan lansia dimandikan bersih namun dapat berulang
kembali.

Indikator problem spiritual kemudian dirumuskan dengan melihat


indikator spiritual yaitu hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan
alam (harmoni), hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif),
danhubungan dengan ketuhanan. Keempat karakteristik tersebut
dideskripsikan sebagai berikut:

a. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance)


meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya) dan sikap percaya pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan
dengan diri sendiri.
b. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang
tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam
(bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi:
berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh
anak, orang tua dan orang sakit, serta meyakini kehidupan dan
kematian (mengunjungi, melayat dan lain-lain), dikatakan tidak

xxii
harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang
menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan ketuhanan meliputi: sembahyang atau berdoa atau
meditasi, perlengkapan keagamaan, dan lain-lain. Kondisi spiritual
yang berhubungan dengan tuhan ini berkaitan dengan kesadaran
beragama para lansia. Ada beberapa fokus penelitan yang berkaitan
dengan hubungan ketuhanan sebagai berikut: kebutuhan akan
kepercayaan dasar, kesadaran beragama yang senantiasa terus menerus
diulang untuk membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah,
kebutuhan akan makna hidup, kebutuhan akan komitmen peribadatan
dan hubungannya dalam hidup keseharian, kebutuhan akan pengisian
keimanan dengan selalu secara teratur mengadakan hubungan dengan
Tuhan.

2.13 Upaya Penanganan Spiritual

Manusia adalah mahluk unik yang utuh menyeluruh, yang terdiri atas
aspek fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya
kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi tersebut akan
menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi
tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial,
spiritual, dan kultural atau dimensi body, main dan spirit merupakan satu
kesatuan yang utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan
mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut.

Dinamakan problem psikospiritual lansia adalah suatu gejala kejiwaan


yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan merupakan ketidakidealan
mental yang terjadi pada lansia. Ketidakidealan haruslah segera ditangani,
apalagi diusia yang semakin tua dan berkemungkinan akan segera berakhir
masa hidupnya, maka haruslah diberikan bimbingan yang tepat dalam
mengatasinya.

Lanjut usia adalah usia yang sangat rentan dalam segala aspek, terlebih
aspek spiritual dan sosial karena begitu terlihat kembali kemasa kanak-
kanaknya, semisal ketika diberikan bimbingan agama dengan metode

xxiii
ceramah, maka metode tersebut harus dibuat semenarik mungkin agar
lansia tidak mudah bosan. Karena jika dilihat akibat dari metode yang
salah digunakan dalam memberikan bimbingan, lansia akan menjadi malas
dan tidak mau mengikuti bimbingan agama lagi.

Bimbingan dan penyuluhan Islam sendiri merupakan suatu upaya


pemberian bantuan kepada individu dalam hal ini adalah lansia atau
sekelompok lansia dengan cara memberikan informasi yang telah
ditetapkan sebagai hukum Al-Quran dan sunnah yang kemudian
memberikan motivasi untuk terus bersemangat menjalani kehidupan
hingga kesejahteraan usia akhir tercapai.

Bimbingan merupakan salah satu bentuk pelayanan sosial yang


diberikan dalam upaya memenuhi kebutuhan Penerima Manfaat (PM).
Pemberian bimbingan diberikan sebagai pemenuhan kebutuhan lansia.
Tidak hanya itu bimbingan tidak akan terlepas dari penyuluhan yang
artinya penerangan. Penerangan penulis artikan sebagai motivasi yang
berarti upaya pemberian semangat kepada lansia dalam menjalani
kehidupan akhirnya. Penekanan dalam arti penyuluhan, artinya ketika
seorang pembimbing memberikan bimbingan dia akan mampu
memberikan semangat ataupun motivasi kepada PM dalam menjalani
kehidupan. Dari itu bimbingan dan pemberian penerangan atau
penyuluhan adalah salah satu cara memberikan solusi dalam membantu
seseorang mencapai derajat kesejahteraan.

Bimbingan penyuluhan dapat menjadi solusi dalam mengatasi problem


psikospiritual lansia. Ketika kita membicarakan tentang bimbingan
spiritual, maka ada berbagai macam yang dikaitkan dengan spiritual sesuai
dengan kebutuhan pula. Dalam pemberian pelayanan keagamaan,
bimbingan spiritual diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mengenai agama. Bimbingan diberikan dengan unsur
pemenuhan kebutuhan spiritual lansia. Secara umum ada 10 butir
kebutuhan dasar spiritual sebagaimana yang disampaikan oleh Dadang
Hawari sebagai berikut:

xxiv
a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar yang senantiasa diulang untuk
membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah
b. Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun
hubungan yang selaras dengan Tuhan dan dengan alam sekitar
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup
keseharian. Banyak pemeluk agama yang hanya melakukan ibadah
sebatas ritual, maka mereka kehilangan hikmah dalam menjalankan
kehidupan bermasyarakat
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan. Dengan cara teratur mengadakan
hubungan dengan Tuhan
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa yang merupakan
beban mental bagi seseorang
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri. Setiap orang tentunya
ingin diterima dan dihargai oleh lingkungan, tidak dilecehkan ataupun
di pinggirkan
g. Kebutuhan akan rasa aman, dan terjamin atas keselamatan terhadap
harapan masa depan.
h. Kebutuhan akan tercapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi
sebagai pribadi yang utuh.
i. Kebutuhan akan terperiharanya interaksi dengan alam dan sesamanya.
Setiap orang pasti akan memerlukan interaksi dengan orang lain,
demikian pula dengan lingkungan yaitu menjaga kelestarian dan
keamanan.
j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai-
nilai religious.

Perencanaan upaya penanganan melibatkan semua pihak dalam


memberikan asuhan tanpa mengesampingkan keluarga. Empati dan
kematangan jiwa sangat diperlukan dalam memberikan penanganan, dan
komunikasi harus tetap terbuka. Berikut beberapa upaya penanganan yang
digunakan dalam mengatasi problem psikospiritual:

xxv
a. Dimensi Fisik
Dimensi Fisik meliputi pemeliharaan tubuh kita secara efektif.
Dimensi fisik memiliki nutrisi yang harus di penuhi antara lain dengan
air, protein, vitamin, lemak, karbohidrat, serta mineral. Latihannya
dengan berolahraga, makan dan minum. Istirahat: relaksasi. Pantangan:
latihan yang terlalu berlebihan, makan secara berlebihan, alkohol,
rokok serta racun. Memakan jenis makanan yang tepat, istirahat
teratur, relaksasi yang memadai dan berolahrara. Olaharaga adalah
salah satu aktivitas berdampak besar namun kebanyakan dari kita tidak
melakukannya secara konsisten karena tidak mendesak. Dan karena
kita tidak melakukannya, cepat atau lambat kita akan mendapatkan diri
kita berhadapan dengan masalah dan krisis kesehatan yang muncul
sebagai akibat wajar dari kelalaian kita.
b. Dimensi mental
Dimensi mental: Nutrisi: pengetahuan, informasi, ide, dsb. Latihan:
berpikir, belajar, bertukar-pikiran, meng-analisa. Istirahat: tidur.
Pantangan: pikiran negatif dan malas.
c. Dimensi Sosial
Dimensi sosial: Nutrisi: kasih sayang, perhatian, rasa percaya,
ketulusan, dsb. Latihan: komunikasi (mendengarkan, bercerita, dsb),
kontak fisik (pelukan, sentuhan, dsb). Istirahat: menyendiri atau
keheningan. Pantangan: gosip, hawa nafsu, cemburu, pengkhiatanan,
melanggar janji, dsb.
d. Dimensi Spiritual
Dimensi spiritual adalah inti anda, pusat anda, tujuan hidup anda,
komitmen anda. Dimensi ini memanfaatkan sumber yang mengilhami
dan mengangkat semangat anda dan mengikat anda pada kebenaran
tanpa batas mengenai semua nilai kemanusiaan.
Dimensi spiritual: Nutrisi: doa, kebijaksanaan, sabda Tuhan. Latihan:
berdoa, memaafkan, mempraktekan ritual, berharap, tertawa. Istirahat:
bermeditasi. Pantangan: balas dendam, kebencian, dosa, ateis.

xxvi
xxvii
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang


Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contoh seorang yang percaya
kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Budaya spiritual
adalah perwujudan olah batin yang hanya dapat dikomunikasikan melalui
dialog simbol. Memaparkan budaya spiritual berarti berdialog dengan
dunia realistik melalui ekspresi simbol yang masih hidup agar dapat
dipahami dan akrab dengan lingkungannya.

Dengan demikian budaya spiritual yang hidup hingga selalu aktual.


Setiap orang yang memasuki usia lanjut memiliki gangguan psikologis dan
spiritual dalam hidupnya. Hal itu wajar terjadi terutama bagi orang yang
kurang siap menghadapi perubahan hidup dan kehidupan seperti,
kecemasan dan ketakutan, mudah tersinggung dan cenderung emosional, .
Banyak bercerita, berkata dan kurang mau mendengar. Bahwa ketika
psikospiritual mengalami masalah atau problem maka kebutuhan dasar
spiritual dan dimensi pada tubuhnya tidak terpenuhi, atau kesejahteraan
tidak tercapai. Dengan demikian kondisi lansia yang menghadapi problem
psikospiritual haruslah diberikan upaya penanganannya baik berupa
bimbingan dan penyuluhan maupun upaya-upaya lainnya, guna
tercapainya kebutuhan tersebut.

3.2 Saran

Pada penulisan karya tulis ini, ada beberapa saran yang ingin penulis
sampaikan:

1. Dengan adanya penelitian ini bisa memberikan tambahan informasi


mengenai adanya pengertian dari budaya spiritual, karakteristik dan

xxviii
bentuk-bentuk dari budaya spiritual, serta permasalahan dan
penanganannya.
2. Diharapkan adanya penelitian ini disajikan untuk sumber data serta
informasi dalam penelitian yang sama bagi mahasiswa keperawatan dan
pendidikan kesehatan dapat dijadikan salah satu intervensi dalam
pembelaran tentang konsep spiritual dan spiritual budaya.

xxix
DAFTAR PUSTAKA

Ditjenbud, Tim. 2000. Dialog Budaya Spiritual. Indonesia:


Direktorat Jendral Kebudayaan.
Dimensi spiritual Manusia - Widya Yuwana. (n.d.).
https://ejournal.widyayuwana.ac.id/index.php/jpak/article/downloa
d/281/233/
Atma Jaya University Yogyakarta (UAJY) - neliti. Neliti icon
white. (n.d.). https://www.neliti.com/universitas-atma-jaya-
yogyakarta
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang - Universitas diponegoro.
(n.d.-a). http://eprints.undip.ac.id/48284/2/BAB_I.pdf
Bab II tinjauan pustaka A. tinjauan teori 1. konsep spiritualitas -
umy. (n.d.-a).
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/20762/BA
B%20II.pdf?sequence=3
Bab II teori-teori kriminologi Tentang Penyebab Kejahatan Dan ...
- umy. (n.d.-b).
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17252/BA
B%20II.pdf

xxx

Anda mungkin juga menyukai