Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PSIKOLOGI AGAMA

DI SUSUN OLEH:
APRILIA DIANA LETHULUR
(210303021)

FAKULTAS SENI DAN ILMU SOSIAL KEAGAMAAN


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI KRISTEN
INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI MANADO
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan, karena rahmat dan karunia-Nya saya
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan terimah kasih
kepada orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Manfaat Penelitian...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A. Apakah Agama Itu?.................................................................................................
B. Kesulitan Mendefinisikan Agama...........................................................................
C. Etnosentrisme..........................................................................................................
D. Kompleksitas...........................................................................................................
E. Keragaman...............................................................................................................
F. Definsi Agama Dari Perspektif Psikologi...............................................................
G. 15 Hubungan Psikologi Dengan Agama Kristen Yang Paling Utama....................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
A. Kesimpulan & Saran................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Manusia dengan akalnya, pada dasarnya mampu mencapai keberhasilan-keberhasilan yang
luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, sehebat apapun akal
manusia tetap terbatas terutama dikaitkan dengan hal yang bersifat supranatural. Disinilah lalu
manusia perlu bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa. Bimbingan tersebut dimunculkan dalam
bentuk agama. Jadi, secara singkat dapat dinyatakan bahwa manusia secara kodrati memerlukan
agama untuk mengarahkan kehidupannya secara baik di dunia dan akhirat. Pun demikian,
kedewasaan seseorang terlihat dari cara ia memeluk suatu agama secara sadar. Di samping itu
faktor lain, yaitu mengikuti atau mewarisi agama orang tuanya yang melahirkan dan
mengasuhnya sejak kecil.
Agama sebagai bentuk ajaran yang bersumber dari Allah, seingga kajian tentang agama telah
lama menjadi objek bagi para filsuf, sosiolog maupun teolog, namun kajian tentang apa itu
agama itu masih tetap berlangsung sampai sekarang termasuk oleh para psikolog. Dalam
perdebatan tentang apa itu agama belum menemukan jawaban yang dapat disepakati. Adanya
perbedaan tesebut menandakan bahwa manusia masih dalam tahap mencari kebenaran, meskipun
kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang bersifat relatif. Akibatnya para ahli mendefinisikan
agama secara berbeda-beda sesuai dengan spesialisasi dari cabang ilmu yang ditekuni, baik dari
spesifik aspek filosofis, sosiologis, antropologis maupun psikologis.
Selain itu, agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat
adikodrati (supernatural) ternyata seakan-akan menyertai manusia dalam ruang lingkup
kehidupan yang luas. Agama memiliki nilainilai bagi kehidupan manusia, baik diri sendiri
maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agama memberikan
dampak bagi kehidupan sehari-hari di mana pun manusia berada dan bagaimanapun mereka
hidup. Baik secara kelompok atau sendiri-sendiri, akan terdorong untuk berbuat dengan
memperagakan diri dalam bentuk pengabdian kepada Zat Yang Maha Tinggi.
Dalam bukunya Psikologi Agama, Jalaluddin menyimpulkan bahwa agama menyangkut
kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang
lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang
sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul
sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang, Sehingga sikap keagamaan suatu keadaan yang
ada dalam diri seseorang, mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara
pengetahuan agama, perasaan agama seta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala
kejiwaan. Dengan indikasi bahwa pada umumnya, mereka mempunyai motif yakni ingin mengisi
jiwa-jiwa yang gersang dengan nilai-nilai spiritualitas. Dengan demikian ketika manusia telah
kehilangan aspek spiritualnya maka dapat dikatakan ia juga telah kehilangan jatidirinya. Hal ini
karena kata “spiritual” menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang secara
mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba berjalan ke arah-Nya.
Dalam lapangan psikologi agama menyatakan bahwa secara garis besar, sumber jiwa
keagamaan berasal dari faktor intern dan faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan
bahwa manusia disebut sebagai mahluk yang beragama (homo religious). Karena manusia sudah
memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut muncul dari faktor intern manusia yang
termuat dalam aspek kejiwaannya seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan
sebagainya. Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia muncul
dari faktor ekstern. Ia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya seperti rasa
takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang
mendorong manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan yang kemudian dikenal dengan
agama.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam
tulisan ini.
1. Apa pengertian agama?
2. Apa hubungan antara agama dengan psikologi?

C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menambah pengetahuan mengenai agama lebih khusus agama Kristen dan
hubungan agama dengan psikologi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan atau pembanding bagi
peneliti lain dengan masalah sejenis.
BAB I
Pembahasan

A. Apakah agama itu?

Psikologi Agama merupakan salah satu cabang disiplin Psikologi yang mengkaji gejala-
gejala kejiwaan sebagai ekspresi seorang individu dalam beragama. Dalam hal ini, Psikologi
Agama dihadapkan pada dua bidang kajian yang memiliki karakteristik yang berbeda, di mana
disiplin Psikologi mempelajari gejala-gejala mental dan perilaku manusia secara objektif dengan
pendekatan metode ilmiah, sedangkan agama bersifat subjektif yang berkaitan dengan hal-hal
(iman dan keyakinan) yang ada dalam batin manusia.
Meski demikian, dua bidang kajian tersebut memiliki korelasi yang erat satu sama lain
karena cara berpikir dan tingkah laku seorang individu tidak dapat dipisahkan dari aspek
keyakinan yang mengkonstruksi kepribadiannya. Manifestasi dari keyakinan agama seorang
individu akan mempengaruhi cara pandang dan sikapnya terhadap segala peristiwa yang terjadi
dalam hidup sehari-hari. Selain itu, kesadaran beragama merupakan aspek mental dan aktivitas
kejiwaan yang dapat diuji, diantaranya, melalui introspeksi. Hal ini karena tingkat pengetahuan
dan kepercayaan individu terhadap agamanya akan menampilkan sikap (attitude) dan perilaku
(behavior) tertentu dalam kaitannya dengan psikologi.
Psikologi agama berbeda dari cabang-cabang psikologi lainnya karena harus berhubungan
dengan dua disiplin ilmu yang sangat berbeda atau satu sama lainnya. Sebagiannya harus tunduk
kepada agama dan sebagian yang lain harus merujuk kepada ilmu jiwa. Dengan kata lain bahwa
psikologi agama, meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku manusia melalui
caranya berpikir, bersikap dan bertingkah laku, yang memang tidak bisa dipisahkan dari
keyakinan seseorang. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata aliran empiris membawa suatu
revolusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Satu satunya pegangan untuk mendapatkan suatu
pengetahuan yang pasti hanya pengalaman inderawi (empiris) yang mengundang konsekuensi
perubahan yang luas(Mawangir 2016). Psikologi agama muncul akibat dari adanya masalah dari
psikologis manusia. Sehingga dibutuhkan solusi dalam menanggulangi masalah psikologis
tersebut.
Grose adalah seorang pendeta Presbyterian, Presiden Academy for Judaic, Christian, and
Islamic Studies di Anaheim, California. Sebagai pendeta yang baik, hatinya terusik dibalik
retorika PBB dan negara-negara Barat, dian melihat kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang
yang menyebut dirinya Kristen. Grose melanjutkan, “Sebagaimana komandan Auschiwitz dan
Buchenwald dibaptis sebagai Kristen, kita dapat menduga dengan pastu bahwa orang-orang
Serbia yang membunuh, memerkosa, dan melaparkan Muslim Bosnia adalah Kristen yang di
Baptis. Kita tidak dapat lagi membatasi Kristen pada daerah tertentu. Tubuh Kristus, seperti
jubag yang tidak bertepi, adalah satu di seluruh dunia. Ketika kaum Muslim menjadi mangsa
kekejaman Kristen Serbia, kita melihat bangkitnya kembali setan yang suram dalam peradaban
Kristen (Rakhmat, 1998;170).
Waktunya tanggal 23 Maret, Siaran Tv untuk permisa Amerika “The 700 Club”
menayangkan pemandangan yang eksotik. Lokasinya: Rajamundhry, Andra Pradesh. Orang-
orang miskin sedang mandi di sungai dengan menjunjung patung Dewa Syiwa. Air menyiram
kepala Batara Syiwa dan ular dilingkarkan ke leher kepalanya. Di tengah-tengah pemandangan
itu, berdiri dengan pongah Pat Robertson. Dia mencemooh para pengikut agama Hindu yang
sedang menjalankan ibadahnya. Dia sendiri sedang memimpin upacara pengkristenan orang-
orang Hindu. Sambil memuji orang-orang miskin yang sudah diselamatkan karena menerima
Kristus sebagai juruselamatnya, Pat menunding kemiskinan penduduk India sebagai akibat
kutukan Tuhan. Gorodn, anak Pat , yang juga pengkhotbah berkata “ Kapan saja orang-orang
Hindu mendapat isnpirasi, entah di dekat sungai atau di bawah pohon, di atas bukit, mereka
membayangkan bahwa sejenis dewa atau ruh bertanggung jawah terhadpnya. Oleh karena itu,
mereka menyembah pohon itu, mereka menyembah gunung, mereka menyembah apa saja.
“Robertson menghubungkan pemujaan berhala dengan kemiskinan. “Kapan saja kamu temukan
pemujaan berhala seoperti ini, pastilah kamu akan menemukan kemiskinan yang mengerikan.
Negeri ini sudah kena kutuk.” Setelah itu, ia menyebut agama Hindu sebagai agama setan,
“demonic”, yang dipenuhi dengan semangat merusak, membunuh, dan menghancurkan.
Contoh di atas masih bisa di tambah lagi, dan menunjukan betapa luas cakupan dan ragam
apa yang kita maksud sebagai manusia. Dalam definsi agama adalah perilaku yang baik. Agama
hadir dalam penampakn yang bermacam-macam sejak sekadar ajaran akhlak hingga ideologi
gerakan, sejak perjalanan spiritual yang sangat individual sehingga tindakan kekerasan yang
masal, sejak ritus-ritus hikmat yang menyejukan hingga ceramah-ceramah demagog yang
menyesatkan. Oleh karena itu, kesulian pertama dalam meneliti agama secara ilmiah ialah
menemukan definisi agama yang akurat dan dapat diterima setidak-tidaknya oleh banyak orang.
Akhirnya atas nama agama, Pat Robertson mengecam agama-agama lain (termasuk pengikut
denominasi lainnya dari agama Kristen yang tidak sejalan dengan pendapatnya). Ia berpesan agar
orang tidak segan-segan membenci orang-orang yang tidak mau menerima Kristus sebagai
juruselamat.
Agama hadir dalam penampakan yang bermacam-macam sejak sekadar ajaran akhlak hingga
ideologi gerakan, sejak perjalanan spiritual yang sangat individual sehingga tindakan kekerasan
yang massal, sejak ritus-ritus khidmat yang menyejukan sehingga ceramah-ceramah demagog
yang menyessakan. Oleh karena itu, kesulitan pertama dalam meneliti agama secara ilmiah ialah
menemukan definsi agama yang akurat dan rapat diterima setidak-tidaknya oleh kebanyakan
orang.

B. Kesulitan Mendefinisikan Agama

Agama sesungguhnya tidak mudah diberikan definisi atau dilukiskan, karena agama
mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di
dunia. Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat ditinjau dari
pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan. Akibatnya, terdapatlah
keanekaragaman teori tentang watak agama seperti teori antropologi, sosiologi, psikologi,
naturalis dan teori kealaman. Sebagai akibat dari keadaan tersebut, tak ada suatu definisi tentang
agama yang dapat diterima secara universal. Kesulitan memahami realitas agama ini, salah
satunya direspon oleh The Encyclopedia of Philosophy dengan memberikan daftar komponen-
komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic
features of religion) sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)


2. Pembedaan antara yang sakral (keramat, suci, kerohanian) dan yang profan (tidak
berhubungan dengan agama)
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral.
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan.
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang
cenderung muncul di tempat sakral atau diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu
dihubungkan dengan gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan.
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau se-aspirasi.

Dikilahkan bahwa ada macam-macam definisi tentang agama, terutama berdasarkan pada
definisi kaum agamis Monothiesme Abraham dari Barat, yang disebut “Religion”, dan menurut
orang Timur ‘Agama’. Menurut kebudayaan Barat agama hanya menunjuk sesuatu yang
menyembah suatu yang “Maha” dan “Supranatural”, sedang menurut kepercayaan orang Timur
terutama Tiongkok, yang dimaksud ‘Agama’ tidak hanya termasuk Agama Tao/Dao, Buddha,
Hindu dan Abrahamis, dan lain-lain, tapi juga termasuk “Agama Orang Kudus”(人宗教 ren zong
jiao). Misalnya penyembahan terhadap “Konghucu 孔夫子” yang disebut “Agama Ru 儒教 ru
jiao” = Agama Orang Kudus”. Menurut kepercayaan kebanyakan orang Tionghoa, Konghucu
bukan orang yang supranatural, beliau hanyalah orang kudus yang dihormati layaknya seorang
“Nabi”. Jadi “Agama Orang Kudus” dianggap Agama yang lebih rasionil dan masuk ‘Akal
Sehat’ manusia. Namun ada juga sebagian kecil orang Tionghoa yang me-misterikan Konghucu,
seolah-olah sosok yang ber-supranatural.
Berdasarkan Agama Orang Kudus, terutama Agama Konghucu (Agama Ru 儒 教 ru jiao),
pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan, sama sekali tidak akan bertentangan dan
mendapat perlawanan serta penekanan oleh mereka, sebaliknya karena mereka lebih
menekankan akan pandangan yang menghendaki untuk lebih mengetahui dan mendalami semua
ilmu pengetahuan dan perkembangan kebudayaan. Maka tidak heran jika mendapat sambutan
dan penghormatan dari banyak pihak, termasuk juga cendikiawan Barat. Karena semua orang
dapat dengan senang hati dan terbuka untuk mengadakan perbincangan dan perdebatan tentang
masalah-masalah ‘Ilmu Pengetahuan’, tanpa harus memusingkan akan hal-hal yang dianggap
tabu/taboo, larangan dan yang dianggap berkontradiksi dengan “Agama”nya. Jadi mereka adalah
kepercayaan yang berbasis dengan ‘Intellegensia Manusia’.
Namun pemujaan dan permintaan perlindungan terhadap leluhur, dan orang-orang kudus,
juga merupakan suatu kepercayaan akan sesuatu kekuatan supranatural, dan kebiasaan ini masih
banyak dilakukan orang Tionghoa dan bangsa lainnya.
Tapi walaupun bagaimanapun, suatu agama maka disebut agama, umumnya dikarenakan
adanya 3 unsur :

1. Adanya doktrin tentang agamanya dan pengalaman pribadinya.


2. Ada pendiri atau pencetus agama dan yang disembah.
3. Memiliki sistim dan umat serta oraganisasinya.

Dalam doktrin agama yang terpenting harus memiliki ‘pandangan’ dan “pengalaman
pribadi”. Misalnya “wahyu” atau “wangsit”. Agama biasa dikaitkan dengan Kesan atau perasaan
supranatural, Ketuhanan atau perasaan-perasaan, misalnya takut dan hormat yang mendalam,
keheranan, ketergantungan, dosa, penyelamatan, misteri, ini menjadi unsur intinya. Sehingga
kepercayaan kepada Tuhan dan dewa merupakan hal yang sangat pokok. Dengan demikian
kepercayaan dalam agama diartikan oleh manusia, adanya suatu kekuatan supranatural yang
mengotrol sesuatu kekuatan misteri dalam alam. Dimana misteri ini dipercaya sebagai kekuatan
dewa dewi atau Tuhan, atau suatu yang absulut, kekal, dan tiada tertandingi. Dan kekuatan ini
dipercaya sebagai pencipta dari segala sesuatu dalam alam, dan dapat mengakhiri segala
eksistensi yang ada, dimana dapat melampaui segala ruang waktu yang ada.
Namun pengertian akan supranutral ini berbeda-beda, sehingga terjadilah ajaran-ajaran
tentang “monotheisme”, “dwitheisme” dan “multitheisme”. Pandangan dan penjelasan terhadap
supranatural dalam Agama ini dinamakan ‘Teologi”, jadi teologi merupakan perbincangan
mengenai Tuhan atau dewa-dewi, ataupun secara luas berkaitan dengan agama, kepercayaan dan
kerohanian. Ilmu teologi ini telah mengalami penyesuaiam-penyesuaian dan perbaikan-perbaikan
sepanjang sejarah, selama dalam penyebaran agama. Dalam teologi ada agama yang berdasarkan
kesadaran dan yang berdasarkan spontanitas, keduanya terdapat perbedaan yang besar.
Perbedaan besar yang terdapat dalam ilmu teologi dan agama adalah dalam teologi teori-
terorinya memiliki argument-argument dan sistimatisasinya, sedangkan dalam agama hanyalah
berdasarkan spontanitas dan tidak sistimatis.
Ilmu-ilmu magis, larangan-larangan, persembahan, doa, pengkuan dosa, sikap pengangungan
agama, upacara agama semua merupakan unsur dalam agama, dalam melakasanakan doktrin
agama, ini semua juga mencerminkan perkembangan dan reformasi dari agama itu sendiri, yang
dilatar belakangi oleh latar belakang perkembangan sejarah. Pendidikan merupakan dasar dari
ajaran agama, sedang doktrin lebih ke praktek-praktek dan kegiatan pelaksanaan upacara agama.
Doktrin atau ajaran agama, yang utama dapat dibagi menjadi :

- Gagasan.
- Pengalaman Pribadi / Persepsi

Sistim pendidikan dan organisasi agama, misalnya gereja-gereja agama Kristen, gembala.
Santri-santri dalam agama Buddha, ini semua merupakan bentuk sistim institusi dan sistimatisasi
yang tidak boleh tidak ada dalam agama. Dan ini semua merupakan hasil perkembangan dari
peradaban dan kebudayaan manusia. Hasil dari perkembangan peradaban manusia ini, maka
lahirlah macam-macam agama didunia, dimana yang satu sama lain memiliki perbedaan dan
kesamaannya.
Tapi menurut Dr William F. Vendley, Sekretaris Jenderal World Conference for Religions
for Peace, sebuah lembaga global yang punya cabang di 70 negara, dalam suatu diskusi di kantor
redaksi SH, Jumat (27/6/2008). Antara lain mengatakan :

“Secara teologis, setiap agama rata-rata memiliki dua 'bahasa' atau pendekatan.

Bahasa yang pertama adalah bahasa yang baku diterapkan di tempat-tempat ibadah yang
sangat mewakili simbol agama masing-masing, atau disebut bahasa teologia. Bahasa yang kedua
adalah pendekatan bersifat universal yang bisa dimengerti oleh umat dari agama-agama lain,
yaitu berbuat kebaikan kepada sesama,” kata Vendley, yang berada di Jakarta untuk menghadiri
pertemuan internasional World Peace Forum. Vendley mengatakan bahwa bahasa pertama lebih
merupakan sebuah pengalaman rohani seseorang penganut agama, sehingga hanya bisa dipahami
dan dihayati oleh penganutnya. Bahasa kedua itulah yang sangat penting dilakukan para
rohaniwan dan umat beragama demi menciptakan perdamaian dunia. Sebab ada dua faktor
pendorongnya, yakni persoalan bersama seperti perang, kemiskinan, bencana alam, pemanasan
global dll; dan anda tidak sendirian hidup di dunia ini.

“Kita semua tengah menghadapi persoalan yang sama,” katanya.

C. Etnosentrisme

Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu, orang sering
mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang
dianutnya. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Indonesia, menulis, “Agama adalah percaya akan
adanya Tuhan Yang Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-
utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat” (dalam Muchtar,
2001 : 10). Ali mendefinisikan agama seperti yang dilihatnya dalam agama islam. Dengan
mengambil contoh agama-agama besar saja, ternyata tidak semua agama meyakini Tuha Yang
Esa. Kalau konsisten menerima definisinya, kita tidak boleh menyebut Hindu agama yang
percaya pada banyak dewa dan Kristen yang percaya pada Trinitas sebagai agama.
Kita dapat menyunting definisi agama yang dikemukakan Mukti Ali dengan
menghilangkan kata Yang Esa, seperti definisi James Martincau: “Agama adalah kepercayaan
kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada Jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam
semesta dan mempunyai hubungan morat dengan umat manusia”. Dengan definisi ini Buddhisme
Hinayana dan Konfusianisme harus kita keluarkan dari kelompok agama. Dalam studi agama-
agama ini, kepercayaan kepada Tuhan yang personal tidak berperan sama sekali. Supaya semua
agama masuk para ilmuwan mengganti kata Tuhan dengan “Kuasa yang transenden”. “Kuasa-
kuasa di atas manusia”, Sesuatu di luar” (A Beyond), “Realitas transenden”, Realitas
supernatural)”. Pembahasan tentang Tuhan dan konsep-konsep lain yang sajenis itu lazimnya
disebut teologi. Misalnya, atau untungnya, tidak semua agama membahas atau sekedar punya
teologi.
Seorang ilmuwan Friedrich Schleiermacher, menegaskan bahwa agama tidak dapat
dilacak dari pengetahuan rasional (seperti pandangan Immanuel Kant). Agama berasal dari
perasaan kebergantungan mutlak kepada Yang Tak Terhingga (feeling of absolute dependence).
Ide Tuhan sekarang digantikan dengan yang sakral. Semua agama pasti menetapkan mana yang
sakral dan mana yang profan. Apakah dengan begitu kita sudah merumuskan definisi agama
yang bersifat objekatif? Belum, karena masih menurut The Encylopedia of Religion, pemisahan
yang sakral dari yang pafron jelas mewakili pandangan etnosentris Barat dan berdasarkan latar
belakang agama-agama barat. Selain sifatnya yang sangat teistis mengakui adanya Tuhan atau
Yang Ilahi agama-agama baray ditandai dengan pandangan hidupnya yang dikotomis:
memisahkan antara yang sakral dan yang pafron: antara wujud transendental dan yang lainnya:
antara langit dan bumi: antara duniawi dan ukhrawi: antara Tuhan dan manusia.
Pemikiran para sarjana barat sekalipun tidak bisa terlepas dari jebakan bahasa agama
yang juga dikotomis. Kata holy misalnya, berasal dari Old English yang berarti keseluruhan,
kesempurnaan, kesejahteraan: sedangkan unholy berarti terpecah, tidak sempurna, atau bercacat.
Kesakralan (sacredness) berarti kualitas yang terpisah dari yang biasa, yang galib. Lawan sakral
adalah pofran, dari bahasa Latin, profanus, secara harafiah berarti desebelum tempat ibadah.
Setiap rumah ibadah-masjid, gereja, sinagong adalah tempat yang dipisahkan dari tempat
lainnya, karena dikhususkan untuk menjaga yang sakral. Sekuler berarti di luar yang sakral,
pemisahan ini kemudian dilembagakan. Ritus sakral termasuk sakramen, kitab suci, kalimat suci,
hari suci, busana sakral, hingga kelompok keagamaan yang sakral seperti ordo dalam Kristen
atau tarekat dalam islam.
Timbul banyak kesulitan secara praktis dan konseptual, ketika kita berusaha menerapkan
pola dikotomi ini pada semua kebudayaan. Pada masyarakat primitif, misalnya apa yang
dianggap terpisah, atau secara sempit dibedakan, dari pola lainnya. Atau, jika dikotomi tersebut
diterapkan entitas berwajah banyak, seperti Hinduisme, tampaknya hampir semua dapat dan
sedang diberikan makna religius oleh sekte tertentu. Dalam arti sebenarnya, semua hal yang ada
bersifat ilahi. Eksitensi per se tampak bersifat sakral. Yang mutlak secara nyata menampakan
dirinya dalam berbagai cara dalam hal yang istimewa atau biasa pada Tuhan dan setan, pada
orang suci dan pendosa, yang secara nyata dipahami pada berbagai tingkat sesuai dengan
kapasitas individu.
Karena banyak ilmuwan berasal dari latar belakang Barat, definsi-definisi yang dikemukakan
tidak bisa lepas dari bias sakral dan profan ini. Inilah kesulitan pertama dalam mendefiniskan
agama; etnosentrisme. Kita sulit melepaskan diri dari kerangka acuan agama yang kita kenal.

D. Kompleksitas

Selain sangat etnosentris, setiap definisi agama selalu tidak pernah komprehensif. Definisi
hanya menangkap sebagian dari realitas agama. Definis adalah batasan; dan agama sangat sulit
dibatasi. Agama bersifat kompleks. Leuba, penulis buku klasik psikologi agama, The
Psychological Study Of Religion, mengumpulkan 48 definisi agama hampir seabad yang lalu. Ia
menunjukan bahwa definisi agama selalu bersifat satu sisi, parasial, tidak mencakup semua. Ia
membagi definisi agama pada tiga kategori; intelektualistik (menegaskan kepercayaan),
voluntaristik (menekankan kemauan), dan afektivistik (menyangkut perasaan).
Definisi-definisi lain, seperti yang dikutip oleh Pargament (1997:25), agama telah didefinisikan
sebagai:
 Perasaan, tindakan, dan pengalaman individu-individu dalam kesepiannya, sepanjang
mereka melihat drinya berhadapan dalam hubungan dengan apa yang dianggapnya
sebagai Tuhan. (James, 1902:32)
 Sistem kepercayaan pada kuasa Ilahi atau di atas manusia, dan praktik pemujaan atau
ritual lainnya yang diarahkan kepada kuasa tersebut. (Argyle dan Beit-Hallahmi, 1975:1)
 Lembaga yang terdiri dari interaksi yang terpola secara kultural dengan wujud di atas
manusia yang diasumsikan secara kultural pula. (Spiro, 1966: 96)
Definisi James jelas sekali menekankan perasaan dan pengalaman beragama. Argyle dan
Beit-Hallahmi menegaskan kepercayaan, praktik, dan ritual keberagaman. Spiro menekankan
agama sebagai lembaga dan interaksi. Alhasil, semuanya menegaskan bagian tertentu dari
agama.
Untuk mengatasi kompleksitas agama seperti di atas, The Encyclopedia of Philosophy mendaftar
komponen-komponen agama. Ia menyebutnya ciri-ciri khas agama, charateristic features of
religion:
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan).
2. Pembedaan antara objek sakral dan profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada objek sakral.
4. Tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan.
5. Perasaan yang khas agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah, pemujaan), yang
cenderung bangkit di tengah-tengah objek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang
dihubungkan dengan gagasan ketuhanan.
6. Sembayang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
7. Pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia secara keseluruhan dan tempat
individu di dalamnya. Gambaran ini mengandung penjelasan terperinci tentang tujuan
menyeluruh dari dunia ini dan petunjuk tentang bagaimana individu menempatkan diri di
dalamnya.
8. Pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh yang didasarkan pada pandangan dunia
tersebut.
9. Kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas.

E. Keberagaman

Ada ribuan agama di dunia. Tidak semua komponen diatas ada pada setiap agama. Seperti
disebutkan di atas, agama Buddha, Shinto, dan Konghucu tidak mempersoalkan Tuahn. Tidak
semua agama juga mengatur hidup secara menyeluruh. Islam, Kristen, Yahudi boleh jadi diklaim
oleh sebagian pengikutnya mengatur seluruh hidup dibawah undang-undang Ilahi. Tetapi,
sebagian orang Islam berkata bahwa Nabi Muhammad Saw, pernah menyerahkan urusan dunia
kepada para pengikutnya. Nabi hanya mengatur urusan ibadah saja. Yesus pernah berpesan:
“Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21 ; Markus 12:17 ; Lukas 20:25).
Pada agama-agama yang sudah diakui secara resmi saja, kita bisa melihat keberagaman yang
luar biasa. Apalagi kalau kita melihat cara setiap orang menjalankan agamanya. Pada satu sisi,
ada orang yang menganggap agama itu hanya urusan individual seseorang dan Tuhannya. Pada
sisi lainnya, ada orang yang menganggap bahwa agama baginya adalah urusan politik yang
menyangkut semua anggota masyarakat. Ada yang berpendapat agama hanya menyangkut
urusan ibadah dan pemujaan saja.

F. Definisi Agama dari Perspektif Psikologi

“Setiap definisi agama”, kata Yinger (1967;18), “mungkin hanya memuaskan perumusnya”.
Pada bagian pendahuluan ini, saya akan berkata persis seperti George Coe (1916;441);

Secara sengaja saya tidak memberikan definsi formal agama, sebagian karena definisi sangat
sedikit mengandung informasi tentang fakta, sebagian lagi karena sejarah definisi agama, hampir
dapat memastikan bahwa setiap upaya baru untuk membuat definisi selalu mempersulit bab-bab
pendahuluan ini.
Akan tetapi, kita tidak dapat melanjutkan pembicaraan tentang agama tanpa menjelaskan
lebih dahulu apa yang kita maksud. Dean Hoge (1997;21-41), sebagai misal, meneliti agama di
Amerika. Ia kebingungan untuk menemukan definisi agama yang dijadikan pegangan. Apalagi
muncul kelompok orang yang mengaku dirinya tertarik pada pengembangan spiritual, tetapi
tidak menganut agama. “I am spiritual but not religious”, kata mereka. Hoge kemudian membagi
agama menjadi lima entitas: preferensi agama, afiliasi keagammaan (church af-filiation),
keterlibatan keagamaan (church involvement), keimanan agama, perilaku personal. Masing-
masing ia definisikan secara operasional. Sebagai contoh, keimanan agama dirumuskan sebagai
kepercayaan kepada Tuhan atau ajaran Tuhan sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab suci.
Perilaku agama personal diukur dengan kegiatan, seperti sembayang, membaca kitab suci,
menelaah teks keagamaan, dan perilaku lain yang mendatangkan manfaat spiritual, sperti
mengatur makanan.

G. 15 Hubungan Psikologi Dengan Agama Kristen Yang Paling Utama

Disiplin psikologi tidak sekedar menganut tentang sebuah keragaman minat dan subjek
namun juga memberikan pengetahuan praktis untuk kehidupan individu sehari-hari. Akan tetapi
dalam fakta, baik psikologi atau Alkitab sama-sama memberikan informasi tentang kehidupan
manusia sehari-hari dan juga informasi mengenai bagaimana manusia bisa diharapkan untuk
berperilaku dan berpikir pada segala macam lingkungan yang terkadang juga menyebabkan
ketegangan. Dalam batas tertentu psikologi memang terbuka dan para psikologi sendiri juga
melakukan perdebatan tentang bagaimana mempelajari ilmu milik mereka dan bagaimana
memanfaatkan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari serta bagaimana ilmu tersebut
diposisikan sebagai ilmu. Untuk itu, sudah sepantasnya orang Kristen lebih terlatih dalam
disiplin ilmu dan memberikan pandangan kekristenan dalam psikologi agama.

1. Mendekatkan diri dengan Tuhan

Ilmu agama Kristen atau teologi berhubungan dengan bagaimana cara membangun manusia
yang bisa mengenali jati dirinya sendiri sekaligus bertindak dalam jati dirinya yang benar dilihat
dari perspektif Firman Tuhan yang sangat penting dimana peranan psikologi agama dalam proses
mendidik anak juga sangat penting. Sementara psikologi juga memegang peran penting dalam
mengusahakan pendekatan yang benar untuk setiap keberadaan dan juga kebutuhan manusia
berhubungan dengan individualisme yang unik. Pazimino melihat jika gabungan pandangan
pendidikan Kristen dengan psikologi adalah hal penting karena banyak alasan dan kemudian
digabungkan dengan arah menuju pencarian kebenaran pada semua area termasuk juga psikologi
pada hubungannya dengan kebenaran di dalam kebenaran Allah.

2. Membuka diri untuk saling melengkapi

Psikologi pada diri sendiri bukan berarti tidak memiliki masalah. Catatan dari keberhasilan
para psikolog dan juga psikiater tidak membenarkan keyakinan jika terapi profesional yang bisa
dijangkau dan tersedia untuk semua orang menjadi jawaban. Dalam waktu yang sama,
meningkatnya beberapa masalah pribadi dan terjadinya kekecewaan pada usaha profesional
untuk mengatasi masalah tersebut bisa menghasilkan sebuah keterbukaan pada pendekatan lain.
Optimisme humanistis jika manusia bisa menyelesaikan masalah sudah runtuh pada tekanan dari
ketidakmampuan ilmu pengetahuan yang dengan jelas menyatakan jika gagasan adalah benar.
Agama Kristen berbicara tentang manusia seutuhnya hidup berkenan pada Allah dengan cara
menetapkan tujuan individu menjadi baik. Sementara psikologi secara khusus mempelajari
tentang manusia dan selalu menggunakan aplikasi praktis tentang cara menolog orang agar lebih
baik sehingga integrasi agama Kristen dengan Psikologi saling berdekatan dan juga banyak
peranan pendidikan agama dalam psikologi sosial.

3. Integrasi menjadi kebutuhan mendasar

Analisis psikologi sangatlah penting untuk memperdalam sekaligus mempertajan


pemahaman tentang perilaku, motivasi, emosi, kognitif, gangguan dan juga kebutuhan jiwa
manusia yang lain. Pada dasarnya, integrasi bukan menjadi masalah mempersekutukan agama
Kristen dengan psikologi yang relevan dan tugas utama dari integrasi dalam menyaring konsep
sekuler lewat saringan ajaran Alkitab yang kemudian bisa mempersekutukan konsep tersebut
lewat masalah teologis yang sesuai dan mencoba untuk mengasimilasikan kedalam kebutuhan
komperhensif.

4. Memberikan pendapat rasional

Individu bisa percaya pada sebuah agama dalam hal ini agama Kristen serta semua kewajiban
yang harus dilakukan yakni rasional terjadi karena pendapat seseorang tentang agama yang
diyakini dan memiliki alasan. Sebagai contoh, mendapatkan ketenangan jiwa serta merasa semua
urusan bisa dilakukan dengan baik sesudah melakukan apa yang sudah diperintahkan dari ajaran
agama seperti konsep kepribadian dalam psikologi agama.

5. Memahami tradisi keagamaan

Setiap agama termasuk agama Kristen memiliki tradisi tertentu yang dianut sejak awal dan
akan tetap digunakan pada masa modern dimana secara psikologis hal itu bisa terjadi karena
keyakinan dan kepercayaan yang diturunkan secara terus menerus dari orang tua ke anak mereka
dan begitu pun seterusnya. Psikologi memiliki peran untuk memahami tradisi-tradisi tersebut
seperti apa manfaat yang bisa didapat secara khusus dari pengalaman religi masing-masing
individu seperti pendekatan psikologi dalam memahami agama Kristen.

6. Membuat sebuah pertandingan

Agama Kristen termasuk agama lainnya juga bisa dibandingkan dengan ilmu psikologi
dengan cara memahami tindakan atau ajaran yang dilakukan dan apa yang bisa didapat para
penganutnya pada saat menjalankan ajaran itu. Dari sini nantinya bisa diperoleh pengertian serta
perbandingan tentang tingkatan ketenangan yang bisa diperoleh bagi setiap umat beragama
khususnya Kristen.
7. Memahami agama lebih baik

Mampu tidaknya individu dalam beragama bisa ditingkatkan dengan cara memberikan ilmu
atau pembelajaran yang bisa memberikan ketegangan pada hati orang tersebut sekaligus
memberikan banyak pengalaman religi yang bisa berpengaruh secara langsung pada sisi
psikologi pada hati individu sehingga bisa membuat seseorang memiliki pemahaman pada agama
yang dianut khususnya tahap perkembangan beragama pada anak.

8. Memperdalam ilmu yang didapat

Semua ajaran agama seperti agama Kristen mempunyai sebuah kewajiban yang harus
dilakukan dan dibalik hal tersebut tersimpan pelajaran seperti agama Kristen yang memberikan
pembelajaran tentang ketenangan pada saat umat melakukan ibadah secara teratur di gereja
dengan cara mengumandangkan puji-pujian yang berhubungan dengan Tuhan sebab banyak
pengaruh ibadah terhadap mental attitude.

9. Melestarikan tradisi atau adat

Tradisi atau adat dalam sebuah ajaran agama dalam hal ini agama Kristen bisa bertahan dan
dilakukan secara terus menerus dan secara turun temurun karena ada peran psikologi dalam hal
tersebut yang dilakukan dengan cara memberikan pemahaman pada generasi penerus mengenai
apa saja manfaat tradisi atau adat seperti makna berbagi dengan semua umat diseluruh dunia
tanpa terkecuali dan menebarkan kasih sayang untuk semua orang.

10. Menyebarkan tradisi Krsisten

Tradisi dalam agama Kristen sangat berhubungan dengan keyakinan ajaran agama Kristen
yang bisa diperluas dengan memakai peran dari nilai-nilai psikologi seperti memberikan
pengajaran pada anak atau generasi penerus berikutnya tentang apa saja hal yang bisa diperoleh
dengan menjalankan tradisi agama tersebut sehingga agama Kristen bisa selalu diterapkan,
dipertahankan dan dilanjutkan seperti halnya pada hakikat manusia dalam sebuah agama
Kristen.

11. Sebagai dasar sebuah pemahaman dan pemikiran

Dalam agama Kristen terdapat dasar pemikiran yang nantinya akan digunakan sebagai
panutan dalam beribadah serta bertindak seperti yang ada juga dalam agama lainnya. Sebagai
contoh, dasar pemikiran dari agama Kristen yang menggunakan Alkitab sebagai panduan untuk
menjalankan semua perintah agama Kristen dimana dasar pemikiran tersebut juga ditelaah dan
diperlajari dalam ilmmu psikologi tentang apa saja dampak pada umat Kristen yang juga
merupakan salah satu cara menghilangkan beban pikiran.

12. Membahas ajaran dan membahas praktik

Keseluruhan ajaran dari agama Kristen bisa diulas dan juga dipelajari dengan memakai ilmu
psikologi sehingga akan diketahui tentang bagaimana sikap seseorang nantinya bisa dibentuk dan
juga terpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Pengaruh inilah yang nantinya bisa menghasilkan
keyakinan dalam memeluk agama sebab sudah memperoleh pengalaman religi secara langsung.
Selain itu, agama Kristen juga tentunya berhubungan dengan praktik agama yang dilakukan dan
apa saja manfaat yang bisa didapat dari praktik tersebut bisa berpengaruh pada keyakinan
seseorang. Sebagai contoh, praktek memuji nama Tuhan pada saat umat Kristen sedang
menjalani ibadah di gereja yang bisa memberikan ketenangan bagi umat saat melakukan hal
tersebut.

13. Sumber situasi dan menjelaskan banyak hal

Dalam semua kondisi atau situasi yang dilakukan setiap individu tentunya terdapat alasan
atau sumber mengapa hal tersebut dilakukan dan ilmu psikologi berperan penting untuk
mempelajari sumber tindakan seseorang, macam-macam tingkah laku dalam psikologi dan
hubungannya dengan ajaran agama sebagai contoh Alkitab yang menjadi dasar dari semua
kebiasaan agama Kristen. Selain itu, psikologi dan agama Kristen juga berguna untuk
memberikan pandangan serta membuat perbedaan sikap.

14. Merumuskan visi pembelajaran

Bagi seorang guru Injil, gembala, guru sekolah minggu atau pendeta yang akan
menyampaikan isi dari Alkitab pada anggota jemaat dalam bentuk pengajaran, maka sangat
membutuhkan studi psikologi agar bisa merumuskan isi dan juga tujuan dari isi Alkitab yang
akan disampaikan pada jemaat. Apa yang nantinya menjadi tujuan dari pelajaran tersebut adalah
yang akan diwujudkan sesudah pelajaran tersebut sudah disampaikan dan disinilah psikologi
berperan penting untuk merumuskan tujuan dari pelajaran seperti cara belajar efektif menurut
psikologi.

15. Memberikan bimbingan dan konseling

Selain melaksanakan pembelajaran, pengajar dalam agama Kristen juga diharapkan bisa
memberikan bimbingan untuk umat dan dengan memahami psikologi pendidikan, maka
diharapkan para pemimpin bisa memberikan bantuan psikologi secara baik dan benar lewat
proses hubungan intepersonal yang penuh akan kehangatan, cinta kasih dan juga keakraban.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai