Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

“ASPEK-ASPEK KEHIDUPAN BERAGAMA”

DOSEN PENGAMPU: DRA. MIRA ELFINA, M.SI.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

1. Silvia Putri Effendi 2010813027


2. Aisyah Tul Ummah 2010812015
3. Bilqis Zehira Ramadhanti Ishak 2010812039
4. Yeni Nofri Yanti 2010811029
5. Rio Ahmad Alfikri Matondang 2010811017
6. Ghazi Rianda 2010812045

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan limpahan rahmat dan hidayah- Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan Tugas
Makalah Sosiologi Agama sebagai tugas kelompok pada mata kuliah ini yang berjudul
“Aspek-Aspek Kehidupan Beragama”.
Kami sangat menyadari, tugas yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari berbagai pihak. Sebagai manusia biasa,
kami berusaha dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, dan sebagai manusia biasa
juga penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam menyusun tugas makalah ini.
Untuk menyempurnakan karya ini, penulis dengan senang hati akan menerima kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak, sehingga di kemudian hari penulis
dapat menyempurnakan makalah ini dan penulis dapat belajar dari kesalahan – kesalahan yang
telah penulis lakukan. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang berkepentingan

Padang, 1 Maret 2023

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. 3
BAB I .......................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 4
a. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................. 4
b. Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 4
c. Tujuan Penulisan .............................................................................................................................. 4
BAB II ........................................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 5
A. Aspek kepercayaan keagamaan ...................................................................................................... 5
B. Aspek Sakral dan Profan dalam Kehidupan Beragama .................................................................. 6
C. Aspek Mistisme .............................................................................................................................. 7
D. Aspek Ritus-Ritus Keagamaan ....................................................................................................... 8
BAB III ..................................................................................................................................................... 10
KESIMPULAN......................................................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 11

3
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah


Sejak awal, kajian sosiologi telah menaruh perhatian besar terhadap fenomena
agama yang terjadi di dalam masyarakat. Kepercayaan agama yang dianut seseorang
mempunyai dampak besar bukan hanya bagi kehidupan dirinya, melainkan juga dapat
berdampak sosial. Disebabkan oleh kepercayaan yang dianut dan demi kebenaran yang
diyakininya, pada akhirnya tindakan sosial yang dilakukan pun juga ikut terpengaruh.
Agama sejak awal oleh para sosiolog diyakini mempunyai kaitan dengan institusi-
institusi sosial lain.
Secara umum sosiologi agama merupakan ilmu yang mempelajari fenomena agama
menggunakan perspektif, pendekatan, dan kerangka penjelasan sosiologis. Studi
sosiologi agama memfokuskan pada kelompok-kelompok atau organisasi keagamaan,
perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut, dan bagaimana agama berkaitan
dengan institusi sosial lain.
Dalam upaya untuk memahami fenomena agama lebih lanjut, diperlukan
pemahaman mengenai aspek-aspek dalam kehidupan beragama. Aspek ini secara
umum dimiliki oleh setiap agama atau kepercayaan. Aspek-aspek ini yang kemudian
akan berpengaruh pada kehidupan sosial penganutnya.
b. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka diperoleh rumusan
masalah yang diperoleh adalah
1. Apa saja aspek kepercayaan kepada ajaran agamanya?
2. Apa yang dimaksud aspek sakral dan perbedaannya dengan profan?
3. Apa yang dimaksud dengan mistisime?
4. Apa yang dimaskud dengan ritual?
c. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui aspek kepercayaan kepada ajaran agamanya
2. Untuk mengetahui aspek sakral dan perbedaannya dengan profan
3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan mistisme
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ritual

4
BAB II
PEMBAHASAN

Agama termasuk suatu struktur institusional sosial yang penting bagi masyarakat dan
turut mewarnai sistem sosial lainnya di dalam kehidupan manusia. setiap masyarakat
mempunyai pola dan tingkah laku keagamaan yang berbeda. Sebagai ajaran yang lengkap,
agama tentu yang mengandung semua unsur agama. Namun, kalau yang ada pada suatu
fenomena sosial salah satu atau beberapa unsur saja tentu tidak dapat dikatakan agama yang
sebenarnya, tetapi dapat dikatakan hanya sebagai yang diagamakan oleh masyarakat atau
agama semu (pseudo-religious, atau agama budaya). Tetapi bagi yang mendefinisikan agama
pada salah satu unsur karena sudut pandang reduksionis, kalau unsur utama tersebut sudah
ada, fenomena yang mengandung unsur tersebut sudah dapat dikatakan sebagai agama atau
yang dijadikan agama oleh masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dalam hal ini terdapat
beberapa aspek keagamaan manusia, yaitu sebagai berikut:

A. Aspek kepercayaan keagamaan


Dijelaskan dalam (Hamali, 2017) Aspek pertama dari kehidupan beragama adalah
keyakinan atau kepercayaan dalam suatu agama atau kepercayaan tertentu. Ini mencakup
keyakinan tentang Tuhan, kitab suci, ajaran, dan praktek keagamaan itu sendiri. Kepercayaan
keagamaan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi penganutnya, karena kepercayaan
keagamaan memiliki aspek kognitif atau intelektualitas untuk dapat memahami dan meyakini
kepercayaannya, disebabkan agama membentuk cara pandang seseorang tentang dunia.
Perspektif itu akan mempengaruhi cara pandang individu sekaligus akan mempengaruhi
seseorang dalam bertindak. Sistem kepercayaan diyakini oleh masyarakat sebagai pedoman
hidup dalam menjalankan kehidupan sosial keagamaannya.
Selain itu adanya kepercayaan kepada adanya kekuatan gaib, yang supernatural, yang
melampaui hal-hal yang ril, nyata, fisikal atau konkret. Kekuatan gaib itu diyakini
mempengaruhi kehidupan manusia, seperti Tuhan, spirit, ruh, kekuatan magis, wahyu-Nya,
akhirat dan lain sebagainya Kepercayaan kepada yang gaib ini tentu lebih jauh dan lebih
dalam dari ide rasional. Percaya kepada wahyu dan petunjuk Tuhan Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui adalah satu-satunya agama dalam pandangan teologis. Tetapi secara sosiologis
banyak juga yang gaib lainnya dipercayai oleh manusia sebagai yang berpengaruh dalam
kehidupannya. Berbagai macam dewa, jin, setan, animisme, dan dinamisme juga yang gaib
yang banyak dipercayai oleh manusia. Ide, gagasan, imajinasi, atau angan-angan rasional

5
juga termasuk yang gaib. Kepercayaan kepada salah satu dari yang gaib ini dapat diartikan
bagaimana sosiologis memandang agama.
Ajaran agama biasa dipercayai sebagai sesuatu yang absolut, yang paling benar oleh
penganutnya, atau satu-satunya yang mampu menyelamatkan manusia. Kepercayaan sebagai
satu-satunya yang benar ini juga melekat pada ideologi-ideologi yang banyak berkembang
dewasa ini. Dan semuanya itulah agama mereka atau sesuatu yang diagamakan oleh
penganutnya dalam arti yang sebenarnya.

B. Aspek Sakral dan Profan dalam Kehidupan Beragama


Dijelaskan (Muhammad, 2013) Dalam kehidupan beragama ditemukan sikap
menyakralkan sesuatu, baik tempat, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Sakral
(sacred) berarti suci. Sedangkan lawan dari yang sakral adalah yang profan, yaitu yang biasa-
biasa saja, yang alamiah. Kitab al-Quran, bulan Ramadhan, Tanah Haram, Waliullah, Kabah
adalah suci dalam agama Islam. Tanda Salib, gereja, hari natal, Kitab Bibel atau Alkitab
dipercayai suci dalam agama Kristen. Kasta Brahmana, Kitab Weda, Sungai Gangga, Hari
Nyepi, Pura adalah suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem adalah suci dalam
pandangan masyarakat primitif yang mempercayainya dan lainnya.
Disebutkan oleh Zakiah Daradjat dalam (Muhammad, 2013) bahwa Pengertian sakral
merupakan suatu hal yang lebih mudah dirasakan daripada dilukiskan. Bilamana terdapat
suatu anggapan bahwa suatu benda sakral tersebut mengandung zat yang suci, dan di
dalamnya mengandung pengertian misteri yang mengerikan tetapi mengagungkan. Di dalam
masyarakat, terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai mana benda yang suci, dan
benda yang biasa, atau yang sering dikemukakan orang benda sacral dengan profan. Selain
dari pada itu yang suci ada yang terdapat di dunia ini dan ada di surga.
Termasuk juga yang disebutkan Emile Durkheim tentang agama yang mengklaim bahwa
agama adalah “sesuatu yang amat bersifat moral”. Sumber agama adalah masyarakat itu
sendiri yang akan menilai sesuatu itu bersifat sakral atau profan. Durkheim menemukan
karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-
elemen “supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang sakral” (sacred).
Menurut Durkheim, manusia atau masyarakat yang mempercayai itu sajalah yang
menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam
benda tersebut. Sehingga dapat dipahami yang sakral berkaitan dengan hal-hal yang penuh
misteri baik yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Sebab bukan
benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justru berbagai sikap

6
dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian
kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu
sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata, adalah gabungan antara pemujaan dan
ketakutan (Muhammad, 2013).
Sakral dan profan adalah dua konsep yang berbeda dalam studi agama dan sosiologi
agama. Sakral merujuk pada hal-hal yang dianggap suci atau memiliki nilai keagamaan yang
tinggi, sementara profan merujuk pada hal-hal yang biasa atau sehari-hari. Hal-hal sakral
biasanya berkaitan dengan kepercayaan agama atau spiritual, seperti ritual keagamaan,
tempat ibadah, kitab suci, atau simbol keagamaan. Sementara itu, hal-hal profan dapat
mencakup hal-hal seperti pekerjaan sehari-hari, aktivitas sosial, atau objek-objek yang biasa
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk profan merupakan sesuatu yang biasa,
yang rasional, yang nyata. Tidak ada perlakuan istimewa dan penghormatan terhadapnya.
Penting untuk dicatat bahwa batas antara sakral dan profan dapat bervariasi tergantung pada
budaya dan agama yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat disucikan atau
dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang terpatri di dalam jiwanya dan
rasa ketakutan. Perlu dijelaskan juga bahwa antara benda yang suci dan yang tidak suci
tergantung pada orang atau tergantung pada pemeluk suatu agama. Contohnya lembu yang
disucikan oleh orang Hindu sama saja dengan lembu yang lain sebenarnya untuk penganut
agama lain. Begitu juga dengan salib yang disucikan oleh orang Kristen sama saja dengan
kayu yang tidak dipersilangkan. Hal di atas, tergantung kepada orang yang beranggapan
sesuatu itu dianggap suci tetapi bagi orang lain dianggap tidak. Begitu juga tentang wujud
yang gaib yang disucikan dalam kaitannya tidak dapat ditunjukkan kepada orang lain tidak
ada. Tetapi bagi pemeluk suatu agama merupakan suatu yang suci yang memungkinkan
wujud yang disucikan yang terdapat dalam diri pemeluknya masing-masing yang dapat
diselidiki secara empiris dan secara nyata. Oleh karena itu dengan sungguh-sungguh
diusahakan agar terhindar dari kemungkinan penjelmaan, sehingga benda suci tersebut tetap
benda tabu (Muhammad, 2013).

C. Aspek Mistisme
Dijelaskan oleh Ali dalam (Wahidi, 2013) Kata Mistisisme berasal dari kata “mysterion”
dalam bahasa Yunani yang berarti rahasia. Sehingga dalam bahasa Indonesia timbul kata
“misteri” dan misterius yang berarti rahasia atau sesuatu yang tersembunyi. Kosa kata itu
dipinjam oleh agama untuk menyebut pengetahuan yang tersembunyi dalam hubungan

7
manusia dengan Tuhannya. Pengetahuan yang mengkaji hubungan penuh rahasia yang
bersifat individual subjektif antara manusia dan Tuhannya inilah yang terhimpun dalam
mistisisme. Jadi, mistisisme merupakan pengetahuan rahasia dalam hubungannya antara
manusia dengan Tuhannya. Hubungan tersebut tentu bukan hubungan fisik namun hubungan
yang disebut spiritual yang melibatkan kalbu. Karena melibatkan kalbu maka tentu hubungan
tersebut bersifat rahasia, karena hanya manusia itu sendiri dan Tuhannya yang tahu.
Mistisisme juga berarti bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki hanya
mungkin didapatkan melalui meditasi dan perenungan spiritual via kalbu, tidak melalui
tanggapan panca indra, segala rasa yang tumbuh dari kepercayaan adanya kekuasaan dan
kecintaan kepada Tuhan juga termasuk aspek mistik atau kerohanian dalam agama.
Mistisisme lebih merupakan sebuah perilaku pikiran (attitude of mind); sebuah
kecenderungan yang dibawa lahir oleh jiwa manusia yang selalu berupaya untuk
mentransendensikan akal budinya hingga mencapai sebuah pengalaman yang langsung akan
Tuhan serta kepercayaan akan kemungkinan terjadinya penyatuan jiwa manusia dengan
realitas ultim. Penyatuan yang dimaksud adalah penyatuan supernatural, yang terjadi ketika
kehendak manusia menyatu dengan kehendak yang ilahi.
Sifat keagamaan mistisisme bersumber dari segala perasaan dan pengalaman pribadi
manusia dalam kesendiriannya, sejauh manusia memahami dirinya sendiri saat berhadapan
dengan apapun yang dianggapnya sebagai yang ilahiah. Jadi sifat keagamaan mistisisme
paralel dengan pengalaman, penghayatan, dan tindakan keagamaan yang sifatnya sangat unik
dan personal dalam keterlibatan seseorang dengan sesuatu yang dianggapnya suci.
Dari paparan tersebut di atas menjadi jelas bahwa mistisisme merupakan fenomena
keagamaan yang bersifat umum. Artinya, dia dapat ditemukan dalam setiap agama dengan
ciri-ciri yang umum maupun khusus. Hal ini sesuai dengan hasil investigasi di bidang agama
yang menemukan bahwa mistisisme merupakan salah satu elemen dari setiap agama yang
hidup.

D. Aspek Ritus-Ritus Keagamaan


Dijelaskan dalam (Hamali, 2017) Dalam agama, upacara ritual keagamaan biasa dikenal
dengan istilah ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang. Justru itu setiap agama
mengajarkan berbagai macam bentuk kegiatan-kegiatan ibadat kepada penganutnya, sesuai
dengan momen-momen pelaksanaannya.. jika dilihat menurut Durkheim, upacara-upacara
ritual dan ibadah adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk menghilangkan perhatian
kepada kepentingan pribadi. Selanjutnya Durkheim menciutkan makna yang terkandung

8
dalam upacara keagamaan kepada keutuhan masayarkat atau solidaritas sosial. Kepercayaan-
kepercayaan dan ritus-ritus merupakan simbol-simbol yang mempersatukan kelompok
sekaligus berfungsi untuk meningkatkan kesatuan dan solidaritas kelompok-kelompok dalam
suatu agama.
Lebih lanjut (Muhammad, 2013) menjelaskan Ritus-ritus keagamaan merupakan salah
satu bentuk ungkapan kepercayaan keagamaan. Dengan melaksanakan ritus-ritus keagamaan,
berarti kelompok-kelompok keagamaan memperbarui kembali komitmen, rasa persatuan,
mmemperkuat kepercayaan di antara mereka, disamping itu anggota kelompok semakin
mengindentifikasi diri dengan anggota-anggota kelompok dan tujuantujuan kelompok
tersebut. Bernard menegaskan bahwa sebuah tindakan keagamaan disebut sebagai ritus
keagamaan bukan hanya karena isi, tindakan, dan waktu-waktu ritus itu, melainkan karena
arti atau makna yang diberikan oleh kelompok keagamaan bersangkutan.

9
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Agama termasuk suatu struktur institusional sosial yang penting bagi masyarakat dan
turut mewarnai sistem sosial lainnya di dalam kehidupan manusia. setiap masyarakat
mempunyai pola dan tingkah laku keagamaan yang berbeda. Sebagai ajaran yang lengkap,
agama tentu yang mengandung semua unsur agama. Namun, kalau yang ada pada suatu
fenomena sosial salah satu atau beberapa unsur saja tentu tidak dapat dikatakan agama yang
sebenarnya, tetapi dapat dikatakan hanya sebagai yang diagamakan oleh masyarakat atau
agama semu (pseudo-religious, atau agama budaya). Tetapi bagi yang mendefinisikan agama
pada salah satu unsur karena sudut pandang reduksionis, kalau unsur utama tersebut sudah
ada, fenomena yang mengandung unsur tersebut sudah dapat dikatakan sebagai agama atau
yang dijadikan agama oleh masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dalam hal ini terdapat
beberapa aspek keagamaan manusia, yaitu pertama dari kehidupan beragama adalah
keyakinan atau kepercayaan dalam suatu agama atau kepercayaan tertentu, kedua, dalam
kehidupan beragama ditemukan sikap menyakralkan sesuatu, baik tempat, orang, benda
tertentu, dan lain sebagainya. Sakral (sacred) berarti suci. Yang ketiga mistisisme merupakan
pengetahuan rahasia dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhannya. Lalu, yang
terakhir upacara ritual keagamaan biasa dikenal dengan istilah ibadat, kebaktian, berdoa, atau
sembahyang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hamali, S. (2017). AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS. Al-Adyan Jurnal Studi


Lintas Agama, 234-240.
Muhammad, N. (2013). MEMAHAMI KONSEP SAKRAL DAN PROFAN DALAM
AGAMA-AGAMA. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 269-279.
Wahidi, A. (2013). MISTISISME SEBAGAI JEMBATAN MENUJU KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA. Ulul Albab Jurnal Studi Islam, 138-143.

11

Anda mungkin juga menyukai