Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEORI-TEORI KEBUDAYAAN

“AZAZ RELIGI”

Dosen Pengampu : Drs. Ponirin, M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 5:

Nur Cahyani (3213121510)

Selvina Khadijah Hasibuan (3213121008)

Yulia Artha Pangaribuan (3213121005)

Putri Ayunita (3212121003)

Shilvi Ariandini (3212321011)

Widiya (3193321033)

PRODI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing bapak Drs. Ponirin M.Si., yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan demi terlaksananya makalah ini. Adapun makalah ini
berisi tentang “Azaz Religi”

Demikian malakalah ini dibuat, kami menyadari dalam penyusunan dan pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan untuk itu,kepada dosen
pembimbing kami mohon masukkannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa
yang akan datang serta kritik dan sara dari pembaca.

Medan, 14 September 2022

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2

BAB I ....................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 3

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 3

1.3. Tujuan ........................................................................................................................ 4

BAB II ..................................................................................................................................... 5

PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 5

2.1 DESKRIPSI RELIGI .................................................................................................. 5

2.1.1 DEFINISI RELIGI .............................................................................................. 5

2.1.2 TEORI-TEORI MENGENAI AZAZ RELIGI. ..................................................... 6

2.1.3 KOMPONEN RELIGI MENURUT KOENTJARANINGRAT. ......................... 12

2.1.4 ANALISIS KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM KONTEKS AZAZ


RELIGI. .......................................................................................................................... 12

BAB III .................................................................................................................................. 14

PENUTUP ............................................................................................................................. 14

3.1. Kesimpulan .............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sistem religi atau agama merupakan aspek penting dalam kebudayaan, bahkan C.
Kluckhohn menempatkan agama sebagai cultural universal ke enam dari unsur kebudayaan
yang dikemukakannya, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4)
sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan
(7) kesenian (Koentjaraningrat, 2009) .

Religi atau agama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan
gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan
masyarakat, bahkan terhadap gejala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku
terntentu dari individu ataupun masyarakat yang mempercayainya seperti berdoa, memuja dan
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti takut, pasrah, optimis dan lain
sebagainya.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dengan demikian telah dapat kita
rumuskan berbagai permasalahan yang akan menjadi subpokok bahasan,yaitu:

1. Apa definisi dan pengertian Religi?


2. Apa saja Teori-teori mengenai Azaz Religi?
3. Sebutkan Komponen Religi,serta
4. Bagaimana Analisis kebudayaan Indonesia dalam konteks azaz religi ?

3
1.3.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini,antara lain:

1. Untuk mengetahui berbagai definisi religi.


2. Untuk mengetahui berbagai teori-teori mengenai Azaz religi
3. Untuk mengetahui beberapa komponen religi
4. Untuk mengetahui analisis kebudayaan Indonesia dalam konteks azaz religi

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DESKRIPSI RELIGI

2.1.1 DEFINISI RELIGI


Secara bahasa, kata religi adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religion.
Religi itu sendiri berasal dari kataredan ligare artinya menghubungkan kembali yang
telah putus, yaitu menghubungkan kembali talihubungan antara Tuhan dan manusia
yang telah terputus oleh dosa dosanya (Mubarok, 2003:45). Menurut Gazalba
(Rohilah,2010), bahwa religi berasal dari bahasa latin religio yang berasal dari akar kata
religare yang berarti mengikat. Religi adalah kecenderungan rohani manusia untuk
berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir
dan hakekat dari semuanya. Sedangkan Sarwono (2006) mendefinisikan religi sebagai
suatu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini.

Istilah religi menunjukkan pada aspek religiyang telah dihayati oleh individu
dalam hatinya (Mangunwijaya dalam Sudrajat, 2010). Dister (Sudrajat, 2010)
menyatakan bahwa di dalam religi terdapat unsur internalisasi agama dalam diri
individu. Definisi lain menyatakan bahwa religi merupakan perilaku terhadap agama
yang berupa penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang dapat ditandai tidak hanya
melalui ketaatan dalam menjalankan ibadah ritual tetapi juga dengan adanya keyakinan,
pengamalan, dan pengetahuan menganal agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso,
2008).

Glock dalam Paloutzian (Sudrajat, 2010) menyebut bahwa religi meupakan


sebuah komitmen beragama, yang dijadikan sebagai kebenaran beragama, apa yang
dilakukan seseorang sebagai bagian dari kepercayaan, bagaimana emosi atau
pengamalan yang disadari seseorang tercakup dalam agamanya, dan bagaimana
seseorang hidup dan terpengaruh berdasarkan agama yang dianutnya.

Terdapat dua istilah yang dikenal dalam agama yaitu kesadaran beragama
(religious conciousness) dan pengalaman beragama (religious experience). Kesadaran

5
beragama adalah segi agama yang terasa dalam fikiran dan dapat diuji melalui
introspeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama, sedangkan
pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan
yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (Drajat, 1989).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa religi adalah internalisasi dan penghayatan


seorang individu terhadap nilai-nilai agamayang diyakini dalam bentuk ketaatan dan
pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut untuk kemudian dapat diimplentasikan dalam
perilaku sehari-hari. Sehingga tingkat religi seseorang dapat dilihat dari tingkah laku,
sikap, dan perkataan, serta kesesuaian hidup yang dijalani dengan ajaran agama yang
dianutnya.

2.2 TEORI-TEORI MENGENAI AZAZ RELIGI.


Koentjaraningrat nmengelompokkan asal mula religi menjadi tiga kelompok, yaitu:

A. TEORI-TEORI YANG DALAM PENDEKATANNYA BERORIENTASI


KEPADA KEYAKINAN RELIGI.

● Teori Dewa Tertinggi Andrew Lang

Pada akhir abad 19 banyak cendekiawan Inggris yang tertarik akan hal-hal gaib namun
berbeda dengan lainnya Lang adalah sastrawan Inggris yang tidak percaya akan hal itu dan
mencoba mencari keterangan rasional yang dapat menjelaskan gejala-gejala gaib. Menurut
Lang dalam jiwa manusia ada kekuatan (disebut kemampuan) yang bekerja lebih kuat dari
pada aktivitas pikiran manusia yang rasional. Selain itu adanya kemampuan gaib dalam
masyarakat sederhana itu dipengaruhi juga oleh lingkungan sekitar yang pemasalahan
hidupannya belum terlalu kompleks. Maka dari itu gejala-gejala gaib lebih kuat pada orang-
orang yang pikirannya kurang aktif seperti orang primitif dari pada orang eropa yang
hidupnya sering didasarkan pada pemikiran rasional. Kemampuan gaib seperti pada
manusia sederhana zaman dahulu itu menyebabkan timbulnya konsep jiwa bukan dari
kekuatan penggerak kehidupan (hidup-mati) dan bayangan diri manusia dalam mimpi
seperti teori yang diajukan Taylor.
6
Kemampuan gaib yang kuat terdapat pada pikiran masyarakat primitif banyak tergambar
dalam folklor dan mitologi bangsa-bangsa di dunia seperti keyakinan bangsa Bushman,
penduduk asli Australi, penduduk pegunungan Tengah Irian Jaya dan sama sekali tidak ada
pengaruh dari agama samawi. Jiwa mereka mempunyai keyakinan pada dewa tertinggi
pencipta dan penjaga alam semesta beserta segala isinya. Maka berdasarkan hal itu Lang
berkesimpulan bentuk religi manusia tertua adalah kepercayaan pada dewa tertinggi yang
selanjutnya termarginalisasi oleh keyakinan kepada mahluk halus, dewa-dewa alam, roh
nenek moyang dan lain-lain. Secara linier teori A. Lang dapat digambarkan sebagai berikut:

kemampuan gaib dalam jiwa-> konsep Jiwa-> keyakinan dewa tertinggi (bentuk religi)->
keyakinan animisme, ilmu gaib.

● Teori Kekuatan Luar Biasa R. R Marret

R. R Marret menentang konsep jiwa yang diajukan oleh Tylor, menurutnya asosiasi
proses berpikir sebagi penggerak kehidupan dan mimpi adalah hal yang terlalu abstrak
untuk manusia purba kala itu. Konsep mana atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang
ditemukannya pada masyarakat Melanesia menjadi asal pengembangan dari teori Marret
sendiri bahwa pangkal religi berasal dari emosi gaib (menurut hemat kami mungkin adalah
emotional (EQ)) atau getaran jiwa yang timbul dari kekaguman manusia terhadap
gejala/kekuatan luar biasa yang ada di alam (alam gaib) sehingga alam dianggap memiliki
kekuatan supernatural. Kekuatan luar biasa berada pada gejala alam/hal yang luar biasa,
manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda yang luar biasa. Secara lebih ringkas dapat di
ilustrasikan sebagai berikut:

Kekaguman terhadap hal yang luar biasa pada alam gaib-> timbul keyakinan/emosi
keagamaan-> praeanimism (percaya terhadap segala hal yang dianggap luar biasa) yang
sudah dianggap bentuk religi -> animisme (percaya terhadap mahluk halus/roh nenek
moyang).

7
● Konsep Animisme dan Spiritisme A.C Kryut

Konsep animisme yang diajukan Kryut adalah kepercayaan pada kekuatan gaib serupa
dengan mana (konsep Marret) berupa zat halus penggerak kehidupan yang disebutnya
dengan kata zielestof. Zielestof ini bisa berada pada bagian tubuh manusia (seperti: kepala,
rambut, kuku, gigi, air ludah, air seni dll), binatang (seperti: kunang-kunang, ular, kupu-
kupu, jenis binatang besar dll), tumbuhan (seperti: padi, karet, nyiur,kampar) dan benda
pusaka (seperti: periuk, besi, batu dan belangga). Zat-zat halus ini bisa berpindah dari satu
medium ke medium lainnya (inkarnasi) sebagai sistem animisme.

Kepercayaan pada mahluk halus yang hidup di sekeliling mereka dan di dunia lain juga
ada, manusia kala itu meyakini bahwa mahluk halus tersebut ada yang baik dan ada yang
jahat. Hal itu disebut oleh Kryut dengan spiritisme. Animisme dan spiritisme ini meiliki
sebuah korelasi dari system religi animism ke spiritisme.

Masyarakat Communistich[1] (zielestof)-> manusia pendukung zielestof meninggal


(animisme)-> individual, sistem religinya juga ikut mengkhusus (spiritisme).

B. TEORI-TEORI YANG DALAM PENDEKATANNYA BERORIENTASI


KEPADA SIKAP MANUSIA TERHADAP ALAM GAIB ATAU HAL YANG
GAIB.

Menurut R.Otto semua sistem religi di dunia berpusat pada hal gaib yang dianggap
maha dasyat dengan segala sifat gaib dan keramatnya. Maka manusia menunjukkan
apresiasinya dengan rasa kagum dan terpesona yang kemudian muncul dorongan serta rasa
ingin menghayati rasa bersatu dengan hal tersebut. Sikap apresiasi ini kemudian
berkembang menjadi sistem religi, kepercayaan dan agama.Walaupun demikian, menurut
Koentjaraningrat teori Otto ini penting karena menunjukkan adanya suatu unsur penting
dalam tiap sistem religi yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam,yang
disebabkan karena sikap kagum terpesona terhadap hal yang gaib dan keramat.

8
C. TEORI-TEORI YANG DALAM PENDEKATANNYA BERORIENTASI
KEPADA UPACARA RELIGI.

Ada empat tokoh yang teorinya berorientasi pada upacara religi. Yang pertama adalah
toeri W. Robertson Smith tentang upacara bersaji, menurutnya teori religi tidak hanya
berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin saja, tetapi berpangkal
pada upacaranya (Koentjaraningrat, 1987).

Robertson Smith ini mempunyai tiga gagasan tentang azas-azas religi dan agama.
Gagasan pertama mengenai mengenai sistem upacara sebagai suatu perwujudan dari religi
dan agama yang memerlukan analisis khusus, karena dalam representasinya banyak agama
yang upacaranya tetap, namun latar belakang, keyakinan, maksud dan doktrinnya telah
berubah. Dicontohkan dalan agama Rum, upacara untuk menghormat kepada dewa
Rumulus. Upacara tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh pemeluk agama Katolik,
namun tujuan penyembahan mereka bukan pada dewa Rumulus tetapi kepada Santa
Theodorus.

Gagasan keduanya tentang upacara religi atau agama tidak hanya untuk berbakti kepada
Tuhannya, atau untuk kepuasan agama secara pribadi, namun juga mempunyai fungsi social
yaitu mengeratkan solidaritas masyarakat karena melakukan upacara tersebut adalah suatu
kewajiban social.

Gagasan terakhirnya adalah tentang teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada saat
upacara bersaji, manusia akan menyajikan sebagian dari seekor hewan, terutama darahnya
untuk dewa, kemudian sisanya (daging dan darah) dimakan oleh mereka. Aktivitas ini
dianggap mereka sebagai bentuk solidaritasnya dengan dewa. Dicontohkannya pada
kebudayaan suku bangsa Arab.

Tokoh yang kedua adalah K.T. Preusz yang mengonsepsikan Azas-Azas Religi.
Konsepnya yang pertama dimulai dari wujud religi tertua yang berupa tindakan-tindakan
manusia untuk memenuhi kebutuhannya tidak dapat diwujudkan dengan rasionalitas, ini
merupakan pangkal permulaan religi.

Konsenya yang kedua adalah tentang pusat dari tiap sistem religi dan kepercayaan di
dunia menurutnya adalah ritus dan upacara, yang melalui kekuatan-kekuatan gaib yang

9
dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan serta tujuan hidup mereka yang materil ataupun
yang spiritual. Preusz menganggap bahwa upacara religi biasanya bersifat ilmu gaib.

Konsepsi Pruesz selanjutnya adalah tentang arti dari ritus dan upacara. Menurutnya ritus
dan upacara yang paling penting adalah ritus kematian, karena konsep manusia yang
mengenal hidup dan maut sebagai orientasi pusat dari banyak religi di dunia, proses tersebut
adalah proses pemisahannya. Dengan bukti-bukti diatas, Pruesz tetap pada pendirinnya
semula, yaitu perkembangan sistem religi di dunia banyak dipengaruhi oleh sistem upacara
dan tingkah laku manusia daripada sebaliknya. Kesimpulan konsepsi Pruesz adalah sistem
upacara dan ritus akan bernilai kosong tidak bermakna, bila tingkah laku manusia
didalamnya bersifat rasional.

Tokoh yang ketiga adalah R. Herzt tentang upacara kematian. Menurutnya, sebagian
besar tingkah laku manusia terbentuk karena gagasan kolektif yang hidup dalam
masyarakat itu. Sebagai penganut Durkheim, ia menganggap bahwa uapacara kematian
adalah adat-istiadat dari suatu masyarakat yang sumbernya dari gagasan kolektif. Gagasan
kolektif tersebut berupa anggapan bahwa mati adalah suatu proses peralihan dari suatu
kedudukan social yang berwujud dunia kekedudukan social yang lain yang berwujud dunia
makhluk halus. Dengan lantang Herzt menyebut upacara kematian menyebutnya dengan
upacara inisiasi. Ia menjelaskan dengan menunjukkan lima anggapan memurutnya, yaitu 1.
Peralihan kedudukan tersebut adalah masa penuh bahaya gaib, untuk yang meninggal dan
seluruh masyarakat; 2. Jenazah dan keluarganya dianggap mempunyai sifat keramat; 3.
Upacara peralihan tersebut tidak dapat dilakukan sekaligus, namun harus bertahap; 4.
Upacara inisiasi ini mempunyai 3 tahap, yaitu tahap pelepasan jenazah dengan kehidupan
lamanya, tahap persiapan kedudukan baru dan tahap pengangkatan dalam kedudukan baru;
dan 5. Jenazah merupakan makhluk yang lemah sehingga bisa dikuatkan dengan upacara
ini.

Hertz merepresentasikan konsep tentang upacara kematian dengan suku-bangsa yang


ada di Indonesia dengan tiga tingkat, yaitu 1. Pemakaman sementara; 2. Masa antara,
berlangsung 3-5 tahun, karena sebelumnya konsepsinya yang mati dan keluarganya bersifat
keramat jadi merka harus menaati pantangan dan dilarang berhubungan dengan masyarakat
lain. Mereka juga berkewajiban memlihara roh dari yang meninggal itu, karena roh tersebut
tinggal di lingkungan mereka dan mempersiapkan kedudukan baru untuk roh tersebut; 3.
Tingkat terakhir ditandai dengan penggalian kembali makam mereka, sehingga ada upacara
10
tulang-tulang jenazah tersebut kadang ada yang di bakar, selanjutnya ditempatkan di
pemakamannya yang tetap.

Tokoh yang terakhir adalah Van Gannep tentang Ritus Peralihan dan Upacara
Pengukuhan. Ia berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada asaznya
berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar
warga masyarakat (Koentjaraningrat, 1987).

Menurutnya rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan adalah


upacara yang paling penting, dan ia menganggap bahwa ritus dan upacara tersebut adalah
kebudayaan paling tua.

Van Gannep menyataka bahwa semua ritus dan upacara dapat dibagi menjadi tiga
tingkat, yaitu 1. Perpisahan, manusia meplepaskan kedudukannya semula. Tahap ini
digambarkan dengan bayi yang baru dilahirkan, sehingga perlunya upacara untuk
melepaskan kehidupannya yang dulu dalan rahim; 2. Manusia dianggap mati atau tidak ada
lagi dan mereka juga menyiapkan untuk menjadi manusia baru dengan lingkungan yang
baru. Pada tingkat ini digambarkan pada remaja yang akan terjun ke kehidupan masyarakat;
3. Tingkat akhir adalah peresmian individu menjadi anggota baru ke dalam lingkungan yang
baru.

11
2.3 KOMPONEN RELIGI MENURUT KOENTJARANINGRAT.

Beberapa Komponen Religi. Menurut Koentjoroningrat ada lima komponen yang dapat
digunakan dalam keperluan analisa antropologi atau sosiologi religi. Kelima komponen itu
adalah (1) emosi keagamaan. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia
mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia; (2)
sistem keyakinan. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia,
yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat tuhan, tentang wujud
dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman
akhirat (esyatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam,
dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk-makhluk halus lannya; (3) sistem ritus dan upacara.
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam
melaksanakan kebaktiannya terhadap tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk
halus lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan tuhan dan penghuni dunia
gaib lainnya; (4) peralatan ritus dan upacara. Dalam ritus dan upacara biasanya dipergunakan
bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, patung dewa,
patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci, dan para pelaku upacara seringkali harus
mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci; (5) umat agama. Umat agama
ini bisa disebut juga dengan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang
melaksanakan sistem ritus serta upacara itu.

Kerangka mengenai kelima komponen dari religi ini hanya berguna sebagai kerangka
intelektual untuk mempermudah analisa gejala religi dalam masyarakat manusia secara
antropologi.

2.4 ANALISIS KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM KONTEKS AZAZ RELIGI.

Indonesia adalah Negara yang multicultural, yang dimana di dalamnya terdapat sangat
banyak bentuk keanekaragaman social baik dalam hal kebudayaan, adat istiadat, suku, bahasa,
kepercayaan, religi dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak mungkin dapat kami
sebutkan satu persatu.

12
Di dalam buku Sejarah Teori Antropologi I milik Koentjaraningrat dituliskan bahwa di
dalam religi terdapat lima komponen penting, yakni emosi keagamaan, system keyakinan,
system ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, serta umat agama.

Emosi keagamaan menurut Koenjtaraningrat merupakan suatu komponen utama yang


dapat menyatukan beberapa unsure dari keyakinan, ritus dan upacara, peralatan ritus serta
upacara dan umat beragama menjadi satu-kesatuan. Koentjaraningrat sendiri setuju dengan
konsep dari R. Otto yang mengatakan bahwa masalah itu tidak akan dapat dianalisa oleh akal
manusia, karena berada di luar lingkup kemampuannya.

Semua komponen religi itu dalam fungsinya erat hubungannya satu dengan yang lain.
System keyakinan menentukan acara ritus dan upacara, seperti contoh di Indonesia pada umat
Hindu yang baru saja melaksanakan ritual Nyepi, mereka melakukan beberapa ritual yang
menurut mereka itu hal yang wajib dari keyakinannya. Seperti tidak menyalakan api, tidak
bekerja, tidak bepergian keluar rumah, tidak mencari hiburan, dan lain-lain. Dari hal itu,
system keyakinan juga menentukan tingkah laku umat agama. Pasti di setiap keyakinan
apapun ada ritual tersendiri yang dianggap sebagai kegiatan suci yang seperti dapat dianggap
dilahirkan kembali ke muka bumi dengan keadaan suci. Di Indonesia seperti umat islam,
mereka akan merasakan seperti manusia yang lahir kembali dalam keadaan suci setelah
melaksanakan hari raya idul fitri dan berpuasa satu bulan penuh. Umat Hindu yang selesai
melaksanakan ritual-ritual suci dihari Nyepi, dan umat-umat lainnya. Dari contoh-contoh itu
dapat kita buktikan bahwa kelima komponen tersebut memang benar saling nyata
keterkaitannya, seperti dalam keyakinan agama Hindu, mereka memiliki keyakinan kemudian
mereka melakukan upacara atau ritus yang diperintahkan oleh keyakinannya, untuk
melaksanakan upacara atau ritus tersebut, mereka membutuhkan beberapa sarana dan peralatan
yang dianggap sacral untuk melakukan ritualnya, untuk melaksanakan ritual agama seperti
Nyepi tadi, pastilah semua umat agamanya melakukan ritual tersebut secara berbondong-
bondong untuk mendapatkan restu dari sang Dewata Agung.

13
BAB III

PENUTUP
3.1.Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa religi adalah bagian dari
kebudayaan dan terbentuk dalam ruang lingkup kebudayaan manusia. Menurut Haloei
Radam (2001:1) religi pada dasarnya terdiri dari dua unsur esensial, yaitu keyakinan dan
upacara. Ditegaskan pula bahwa kedua unsur religi ini tidak dapat dipisahkan antara yang
satu dengan yang lain. Hal ini sejalan dengan pernyataan Goldsmidt (dalam Haloei Radam
2001:2) bahwa keyakinan menggelorakan upacara, sedangkan upacara itu adalah upaya
membenarkan keyakinan tersebut. Artinya, ritus dan upacara itu berfungsi
mengkomunikasikan keyakinan kepada sekalian orang.

Menurut J. Van Baal (dalam Haloei Radam, 2001:3) religi adalah suatu sistem simbol
yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol
itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai
kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri. Bila
tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai yang
melindungi (menghalangi) seseorang dari kecenderungannya yang amat sangat untuk
memperagakannya secara langsung.

Haloei Radam (2001:17) mengatakan bahwa religi mengandung makna keberagamaan


dalam segala aktivitas dan tindakan manusia. Artinya, masalah religi bukanlah sekedar
masalah bagaimana manusia mengkonsepsikan Tuhan dan jagad raya ini serta hidup
sesudah mati, atau aktivitas manusia menghayati adanya Tuhan dan kehidupan di dunia lain,
tetapi juga berupa masalah mengapa mereka mengkonsepsikan semua hal itu dan untuk apa
semua itu bagi kehidupan seseorang atau orang seorang dan masyarakatnya. Dengan
demikian, menurut Haloei Radam (2001:17) religi adalah konsepsi manusia tentang semua
hal yang terkandung dalam kosmologi, kosmogoni, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas
berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengentalkan
ikatan sosial.

14
Memantapkan kehidupan pribadi maksudnya membina dan mengembangkan identitas
individu dan rasa aman emosional, dan mengentalkan ikatan sosial berarti menjadikan
kehidupan sekelompok orang lebih utuh serta menjadi tenaga pendorong dan pembenaran
pencapaian tujuan bersama. Dengan demikian, maka religi itu bukan sekedar unsur budaya
yang idealistis yang konsepsi-konsepsinya realistis, tetapi merupakan unsur budaya yang
aplikatif sifatnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fuad, H. (1992). Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Haviland, W. (1999). Antropologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Kaplan, D. (1999). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

16

Anda mungkin juga menyukai