Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Psikologi Agama
Dosen Pengampu:

M. Chablul Chaq, M.Psi

Disusun oleh:

Kelompok 8, PAI 5E

1. Nuruddin (126201203327)
2. Nellya Nur Fika Rahayu (126201203216)
3. Dewi Lathifa Rahmadani (126201202101)

SEMESTER V
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta
taufik dan hidayahNya, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari jalan jahiliyah menuju
jalan terang benderang ini yaitu agama islam.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Prof. Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan.
3. Dr. Indah Komsiyah, M.Pd selaku Koordinator Program Studi Pendidikan
Agama Islam.
4. M. Chablul Chaq, M.Psi selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Agama.
5. Sifitas akademik UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak untuk penyempurna makalah ini.

Tulungagung, 14 Oktober 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental .................................................. 3


B. Hubungan Manusia dengan Agama ............................................................ 8
C. Ciri-ciri Orang Memiliki Kesehatan Mental ...............................................9
D. Pengaruh Agama terhadap Kesehatan Mental ......................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16

Kesimpulan ............................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia, tidak terlepas dari agama. Sebab
manusia pasti membutuhkan agama. Namun bagi orang yang mengaku tidak
beragama (atheis), tidak mengakui adanya Tuhan sebenarnya pada kondisi-
kondisi tertentu akan mengakui adanya Tuhan dan juga membutuhkan
agama. Hanya saja hal itu tidak ditunjukkan kepada masyarakat, melainkan
hanya untuk dirinya sendiri. Adapun mengenai hubungan agama dengan
manusia, dalam agama terdapat petunjuk dan tuntunan yang akan
mengantarkan manusia pada kehidupan yang dinamis, serta menyikapi
kehidupan dengan lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Kehadiran agama diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia
yang sejahtera lahir dan batin, serta dunia dan akhirat.
Selanjutnya hubungan ini lebih difokuskan pada kesehatan manusia,
khususnya kesehatan nonfisik (kesehatan mental). Jika kesehatan mental
terganggu, maka dapat menyebabkan gangguan pada fisik. Adapun
gangguan mental disebabkan oleh gejala tertekan yang berada pada lapisan
bawah sadar manusia. Dengan menyadarkan kembali gejala tersebut, maka
gangguan itu dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan gangguan mental
tidak hanya menggunakan cara medis, terapi khusus, namun juga dengan
pendekatan agama. Dari sinilah agama dapat memberikan dampak yang
signifikan terhadap kehidupan manusia, terlebih dalam kesehatan. Karena
dalam agama meyakini adanya kekuasaan yang lebih tinggi, kekuatan yang
tak terbatas yang mengatur semua ini. Sedangkan manusia adalah sebagian
kecil dari kekuatan itu. Berdasarkan latar belakang di atas, maka kelompok
8 ingin mengkaji lebih dalam hal tersebut dengan mengambil judul makalah
“Agama dan Kesehatan Mental”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan kesehatan mental?
2. Bagaimana hubungan manusia dengan agama?

1
3. Bagaimana ciri-ciri orang memiliki kesehatan mental?
4. Bagaimana pengaruh agama terhadap kesehatan mental?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian agama dan kesehatan mental.
2. Mengetahui hubungan manusia dengan agama.
3. Mengetahui ciri-ciri orang memiliki kesehatan mental.
4. Mengetahui pengaruh agama terhadap kesehatan mental.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental


1. Pengertian Agama
Banyak ahli berpendapat bahwasannya agama berasal dari bahasa
sansekerta, yaitu “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Maka
agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian, agama
merupakan peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun
mengenai sesuatu yang gaib, serta mengenai budi pekerti dan pergaulan
hidup bersama.1 Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat dalam bukunya
berjudul Ilmu Jiwa Agama mengungkapkan bahwasannya agama
adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang
diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. 2 Adapun
menurut Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem simbol,
sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga
yang kesemuanya terpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang
paling maknawi (ultimate mean hipoteliking).
Cliffort Geertz dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan dan
Agama mengistilahkan agama sebagai (1) sebuah sistem simbol-simbol
berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dnan motivasi-motivasi
yang kuat, yang meresapi dan tahan lama dalam diri manusia dengan
(3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum
eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep dengan semacam
pancaran faktualitas sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu
tampak realistis.3
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion
(Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab).

1
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Krisis dan Refleksi Historis,
(Jogjakarta : Titian Ilahi Press. 1997) hal. 28.
2
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta : Bulan Bintang. 2005) hal. 10.
3
Cliffort Geertz. Kebudayaan dan Agama. (Jogjakarta : Kanisius. 1992) hal. 5

3
Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) merupakan berasal dari
bahasa induk dari bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegae” yang
berarti mengikat. Sedangkan dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan
kata Al-Din dan Al-Millah. Kata Al-Din sendiri mengandung berbagai
arti. Ia bisa berarti Al-Mulk (kerajaan), Al-Khidmat (pelayanan), Al-Izz
(kejayaan), Al-Dzull (kehinaan), Al-Ikhrah (pemaksaan), Al-Ihsan
(kebajikan), Al-Adat (kebiasaan), Al-Ibadat (pengabdian), Al-Qahr Wa
Al-Sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), Al-Tadzallulwa Al-Khudu
(tunduk dan patuh), Al-Tha’at (taat), Al-Islam Al-Tauhid (penyerahan
dan mengesakan Tuhan).4
Dapat disimpulkan bahwasannya agama adalah suatu sistem
kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia
dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan
yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan. Tuhan dan
hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika,
sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam.5
2. Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene. Kata
mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental
memiliki persamaan makna dengan kata psyche yang berasal dari
bahasa Latin yang berarti psikhis atau jiwa. Hygiene berasal dari bahasa
Inggris yang berarti kesehatan. Mental hygiene berarti kesehatan
mental. Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan
untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda dengan kriteria
berbeda pula. Maslow menyebut kesehatan mental dengan istilah self-
actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport
menyebutnya dengan mature personality, dan mayoritas psikolog
menyebutnya dengan mental health.

4
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2002) hal. 13
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan Manusia), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-4, p. 2.

4
Banyak defenisi yang dikemukakan berkaitan dengan kesehatan
mental. Musthafa Fahmi dalam bukunya berjudul Kesehatan Jiwa
dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat mendefenisikan kesehatan
mental menjadi dua defenisi. Pertama, kesehatan mental adalah bebas
dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini
banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri). Kedua,
kesehatan mental adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas;
ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu
membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari kegoncangan dan
penuh vitalitas. Seorang yang bermental sehat dapat menerima dirinya
dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak
keserasian sosial, juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan
tetapi ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi
dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh keadaan.6
Zakiah Daradjat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
untuk Kesehatan Jiwa pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengemukakan lima rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para
ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan-rumusan yang
khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu
tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup
rumusan-rumusan sebelumnya, yaitu:
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan
jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose).
b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan tempat ia hidup.
c. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai

6
Fahmi, Musthafa, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid 1, alih
bahasa, Zakiah Daradjat (Jakarta: Bulan Bintang. 1977), hal. 20-22

5
kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa
terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin
(konflik).
d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang
bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi,
bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga
membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar
dari gangguan dan penyakit jiwa.
e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya
penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.7
Kartini Kartono dan Jenny Andari mengetengahkan rumusan bahwa
mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang
mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah
timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan
berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta
memajukan kesehatan jiwa rakyat. Sedangkan menurut Mujib dan
Muzakkir menyatakan kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis
maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).8
Adapun Istilah kesehatan mental dalam Al-Qur’an dan Hadits
digunakan dengan berbagai kata antara lain najàt (keselamatan), fawz
(keberuntungan), fala¥ (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan).
Bentuk kesehatan mental meliputi:
a. Di dunia yaitu keselamatan dari hal-hal yang mengancam
kehidupan dunia.

7
Zakiyah Darajat, Psikologi Agama (Jkarata : Bulan Bintang. 1989) hal. 11-13
8
Masganti Sit. Psikologi Agama. (Medan : Perdana Publishing. 2011) hal. 157-158

6
b. Kehidupan di akhirat yaitu selamat dari celaka dan siksaan di
akhirat termasuk menerima ganjaran dan kebahagiaan dalam
berbagai bentuk.
Menurut Hasan Langgulung dalam bukunya berjudul Peralihan
Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial menyatakan
bahwasannya kesehatan mental identik dengan akhlak mulia.
Kesehatan mental didefinisikan sebagai keadaan jiwa yang
menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tenteram ketika ia
melaksanakan akhlak yang mulia.9 Dari berbagai pendapat tokoh
dapat disimpulkan bahwasannya kesehatan mental merupakan kondisi
kejiwaan yang terbebas dari gangguan-gangguan mental.
B. Hubungan Manusia dengan Agama
Agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia sebab bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu
dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan,
kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan
kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara
psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan
akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa (sense of guilty).
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi
perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan
terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan merupakan
salah satu bukti adanya perhatian perhatian khusus para ahli psikologi
terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia. Secara
psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena
rasa ketidak-berdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala
bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari
dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa
aman.

9
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) hal. 165

7
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Sejalan dengan
prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu
lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond
(gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme
tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik.
Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam
kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku
keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan
prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku
agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah.
Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).10
Agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor
tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan
masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali
dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan, hal ini karena
manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk
kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern
manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self)
ataupun hati nurani (consience of man).
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Al-Qur’an.
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia
diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia tidak beragama , tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama
beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada
dalam QS.Ar Rum: 30-31.

‫س عَلَْيهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ ِلخَلْ ِق‬


َ ‫َفاَقِ ْم َوجْهَكَ لِلدِّيْ ِن حَنِْيفًاۗ ِفطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّا‬

َۗ‫َيعَْلمُوْن‬ ‫س لَا‬
ِ ‫ك الدِّيْنُ اْلقَيِّمُۗ َولّٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّا‬
َ ِ‫اللّٰهِ ۗ ّٰذل‬

10
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010) , hal. 159-160.

8
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut
(fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Rum: 30).

ۗ‫َاتقُ ْو ُه وَاَقِيْمُوا الصَّلّٰو َة َولَا تَكُوْنُوْا مِنَ اْلمُشْرِكِيْ َن‬


َّ ‫مُنِيْبِيْنَ ِالَيْ ِه و‬
Artinya :”dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-
Nya serta laksanakanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allah” (QS. Ar-Rum:31).
C. Ciri-Ciri Orang Memiliki Kesehatan Mental
Adapun ciri-ciri mental yang sehat dapat dibedakan menjadi dua aspek,
yaitu :
1. Ciri-ciri mental yang sehat menurut Psikologi
Mental yang sehat memiliki ciri-ciri tertentu secara psikologis. Jaelani
dengan mengutip beberapa pendapat ahli menyatakan ciri-ciri mental
yang sehat antara lain :
a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
mengenal diri sendiri dengan baik
b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan
pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari
dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan
kebutuhan,serta memiliki empati, dan kepekaan social.
f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi
dengannya secara baik.
Marie Johada berpendapat ciri-ciri kesehatan mental yang sehat
dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
a. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya
sendiri.

9
b. Aktualisasi diri.
c. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi yang psikis ada.
d. Mandiri.
e. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada
f. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.
Menurut Dadang Hawari kriteria mental yang sehat yaitu :
a. Mampu belajar dari pengalaman
b. Mudah beradaptasi
c. Lebih senang memberi daripada menerima
d. Lebih senang menolong daripada ditolong
e. Mempunyai rasa kasih sayang
f. Memperoleh kesenangan dari hasil usahanya
g. Menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pengalaman
h. Berfikir positif11
2. Ciri-ciri mental yang sehat menurut Islam
Beberapa ahli-ahli pendidikan dan psikologi Islam telah
mengemukakan beberapa ciri-ciri mental yang sehat menurut ajaran
Islam. Al-Ghazali menyatakan seorang yang sehat jiwanya
digambarkan dalam konsep insan kamil (manusia paripurna/sempurna).
Insan kamil dalam konsep psikologi modern yaitu bisa berlaku di dunia
ini artinya untuk sampai pada kedudukan insan kamil manusia melalui
perubahan kualitatif sehingga ia mendekati (qurb) Allah dan
menyerupai malaikat. Insan kamil mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Motif utama setiap tindakannya adalah beribadah kepada Allah.
b. Senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam menghadapi segala
permasalahan.
c. Beramal dengan ilmu

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyatakan tanda-tanda


kesehatan mental adalah adanya perasaan cinta. Cinta dianggap sebagai

11
Masganti Sit. Psikologi Agama. (Medan : Perdana Publishing. 2011) hal. 164.

10
tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan diri positif. Cinta
mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-
mengasih, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan
pertikaian. Menurut Usman Najati dalam bukunya berjudul Psikologi
dalam Prespektif Hadits mengungkapkan bahwasannya kesehatan
mental ditanda dengan ketenangan jiwa, akhlak mulia, kesehatan dan
kekuatan badan memenuhi kebutuhan dasar dengan cara yang halal,
memenuhi kebutuhan spiritual dengan berpegang teguh pada akidah,
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menjalankan ibadah dan
melakukan amal shaleh, dan menjauhkan diri dari segala keburukan
yang dapat menyebabkan Allah SWT murka.12 Ar-Razi dalam bukunya
Usman Najati yang berjudul Jiwa dalam Pandangan Para filosof
Muslim menyatakan jiwa yang sehat adalah jiwa yang terbebas dari
kesedihan, kekangan hawa nafsu cinta kepada selain Allah secara
berlebihan, terbebas dari ujub dan hasud, dan selalu menjaga diri untuk
melakukan akhlak yang mulia.13

D. Pengaruh Agama terhadap Kesehatan Mental


Menurut Dadang Hawari dalam bukunya berjudul Al-Qur’an Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, mengungkapkan bahwasannya cabang
ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan mental adalah yang paling dekat
dengan agama.14 Untuk mencapai kesehatan hakiki yakni keadaan
kesejahteraan pada diri manusia, WHO, telah menetapkan sekaligus
menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu elemen
spiritual. Sehingga sekarang yang di maksud sehat dalam arti fisik,
psikologis, dan sosial, melainkan juga sehat dalam arti spiritual/agama.

12
Najati, Muhammad Usman. Psikologi dalam perspektif hadits terj Zainuddin Abu Bakar.
(Jakarta : Husna Baru. 2004) hal. 294-296.
13
Najati, Muhammad Usman. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj Gazi
Saloom (Bandung : Pustaka Hidayah. 2002) hal. 46
14
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. (Yogyakarta : PT. Dana
Bhakti Prima Yasa) hal. 11-12

11
Sejak awal abad ke-19 ahli kedokteran mulai menyadari adanya
hubungan penyakit fisik dengan psikis manusia. Manusia bisa menderita
gangguan fisik karena gangguan menta. Sebaliknya gangguan mental dapat
menyebabkan penyakit fisik. Di antara berbagai faktor mental yang
diidentifikasi memiliki potensi menimbulkan gejala tersebut adalah
keyakinan agama. Di sisi lain banyak para penderita penyakit mental dapat
disembuhkan melalui pendekatan keagamaan.15
Menurut Jung, pengembangan sikap beragama merupakan salah satu
langkah menuju kesehatan mental. Jung mengungkapkan bahwasannya
perlu dipertimbangkan peran yang dimainkan agama tersebut secara
bersungguh-sungguh. Meskipun demikian, ia menyadari bahwa hal itu tidak
memiliki konfirmasi obyektif. Hal tersebut perlu diuji dengan sejumlah
kasus dalam jumlah besar dan cukup representatif untuk menunjukkan
apakah dalam riwayat hidup orang yang bersangkutan sikap
keberagamaannya dibarengi gerakan menuju kesehatan mental yang lebih
baik atau tidak.16
Menurut Koenig agama perlu diperhatikan oleh para psikolog dan
psikoterapis karena beberapa alasan. Dengan mengetahui latar belakang
keagamaan pasien :
1. Terapis lebih memahami konflik dalam diri pasien.
2. Terapis akan melakukan intervensi kognitif dan behavioral dengan cara
sesuai sistem kepercayaan pasien.
3. Terapis dapat mengidentifikasi sumber daya agama yang sehat dalam
rangka terapi.
4. Terapis dapat mengelola dan membebaskan pengalaman negatif yang
menjadi problem.

15
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama (Jakarta : Raja Grafindo Persada) hal. 130
16
Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
1995.)

12
5. Terapis akan lebih menyeluruh dalam penilaian diagnostiknya,
sekaligus lebih peka terhadap wilayah kehidupan pasien yang sangat
bermakna bagi yang bersangkutan.17
Dari hal ini Jung mengatakan bahwa kesehatan mental merupakan akibat
dari penerapan sikap keagamaan, serta agama merupakan sistem
penyembuhan penyakit psikis. Menurut William James, keimanan
merupakan terapi terbaik bagi kesehatan yang melanda manusia. Keimanan
merupakan salah satu kekuatan yang harus terpenuhi dalam rangka
menopang hidup manusia. Dengan keimanan yang kuat, akan melindungi
seseorang dari keresahan, menjaga keseimbangan hidup, siap menghadapi
musibah.
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan agama dan
kesehatan mental dapat disimpulkan bahwasannya agama tidak
berpengaruh negatif terhadap kesehatan. Adapun pengaruh positif agama
terhadap kesehatan fisik dan mental :
1. Orang beragama hidup lebih sehat dibanding mereka yang tidak
beragama,
2. Orang yang rutin beribadah akan memiliki pengaruh cukup kuat pada
kesehatan, kepuasan, kecemasan terhadap kematian lebih rendah,
alkoholisme dan penggunaan obat terlarang lebih rendah.
Hal senada diungkapkan Dadang Hawari Al-Qur’an Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Jiwa dalam bukunya dari berbagai penelitian dapat disimpulkan
bahwasannya :
1. Komitmen keagamaan dapat mencegah dan melindungi seseorang dari
penyakit, dapat mengatasi penyakit, mempercepat penyembuhan.
2. Agama bersifat protektif dalam penyembuhan.
3. Komitmen keagamaan memiliki hubungan signifikan dan positif
dengan keuntungan klinis.18

17
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama (Jakarta : Raja Grafindo Persada) hal. 197-199
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. (Yogyakarta : PT.
18

Dana Bhakti Prima Yasa) hal. 259.

13
Menuru Dadang Hawari telah menjelaskan dimensi kesehatan jiwa
dalam rukun Iman dan Islam. Setiap rukun iman dan rukun islam menurut
dadang, memiliki dimensi psikologis tersendiri sebagai iman kepada Allah
memberi rasa aman dan terlindungi; iman kepada malaikat menumbuhkan
sikap terkendali dan terkontrol; iman kepada kitab memberikan panduan
norma halal dan haram; iman kepada nabi memberikan contoh teladan dan
panutan; iman kepada hari kiamat memberikan keyakinan mengenai
tanggung jawab dan rasa keadilan; iman kepada takdir membuat orang
tidak mengalami frustasi dan stress, sebab manusia berusaha tetapi Allah
yang menentukan.19
Menurut Sentot Haryanto. Dalam bukunya berjudul Psikologi Shalat :
Kajian Aspek-Aspek Psikologis Ibadah Shalat mengungkapkan
bahwasannya ia mengkaji delapan aspek psikologis ibadah shalat sendirian
dan delapan aspek psikologis pelaksanaan ibadah shalat berjamaah.
Adapun delapan aspek psikologis ibadah shalat sendirian yakni : olahraga,
relaksasi otot, relaksasi kesadaran indra, meditasi, auto sugesti dan self
hipnosis, pengakuan dan penyaluran (katarsis), pembentukan kepribadian,
terapi air. Sedangkan delapan aspek psikologis pelaksanaan ibadah shalat
berjamaah yakni : demokratis, rasa diperhatikan dan berarti, rasa
kebersamaan, tidak ada jarak personal, terapi lingkungan, pengalihan
perhatian, melatih saling ketergantungan, membantu pemecahan masalah.20
Menurut Dadang Hawari dalam bukunya berjudul Al-Qur’an Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan Jiwa mengungkapkan shalat merupakan tempat
dimana manusia melepaskan seluruh alam pikiran dan perasaannya dari
semua urusan dunia yang membuatnya stress. Ketttika seseorang shalat,
sesaat jiwanya tenang dan damai. Menurut pakar, menganjurkan agar dalam
setiap hari manusia meluangkan waktu untuk menenangkan diri. kalau
anjuran pakar dilaksanakan, maka seorang muslim yang melakukan shalat

19
Ibid
20
Sentot Haryanto. Psikologi Shalat : Kajian Aspek-Aspek Psikologis Ibadah Shalat.
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001.)

14
lima waktu dalam sehari dapat sebagai upaya untuk menenangkan diri dan
meningkatkan kekebalan terhadap stress.21
Menurut Dadang Hawari, ibadah puasa merupakan latihan
pengendalian diri dan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu
menguasai diri dari dorongan yang datang baik dari dalam maupun luar. 22
Dengan berpuasa, juga dapat menyembuhkan suatu penyakit, kecemasan,
penyakit susah tidur, dan rendah diri, dapat mempengaruhi tingkat
kecerdasan seseorang. Adapun bentuk ibadah lain seperti doa juga memiliki
pengaruh psikologis, yang mana jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh
dapat memberikan perubahan kejiwaan dan fisik sekaligus.23
Dapat disimpulkan bahwasannya peran/ pengaruh agama sangat
penting dalam membentuk manusia yang sehat mental, serta
menyembuhkan mereka yang mengalami gangguan mental. Pengalaman
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi manusia dari
gejala sakit jiwa dan dapat mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang-
orang yang gelisah. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin
banyak ibadahnya, maka semakin tentram jiwanya serta semakin mampu
menghadapi kekecewaan dan kesukaran hidup.

21
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. (Yogyakarta : PT.
Dana Bhakti Prima Yasa) hal. 274
22
Ibid
23
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islami, Solusi atas Problem-
Problem Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000) hal. 57-58.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut


oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya.
Sedangkan keehatan mental merupakan kondisi kejiwaan yang terbebas dari
gangguan-gangguan mental.
Adapun hubungan manusia dengan agama merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan serta bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu
dalam fitrah penciptaan manusia. Adapun fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama
tauhid. Hal tersebut telah diinformasikan dalam QS. Ar-Rum : 30-31.
Ciri- ciri orang memiliki kesehatan mental dapat dibedakan pada dua aspek,
yakni aspek psikologis dan aspek agama (Islam). Adapun ciri-ciri mental yang sehat
menurut psikologi diantaranya : sikap kepribadian yang baik, memiliki
pertumbuhan dan perkembangan yang baik, kemampuan untuk menguasai diri dan
lingkungan serta berintegrasi dengannya secara baik, memiliki sikap batin positif,
serta mempunyai rasa kasih sayang. Sedangkan Adapun ciri-ciri mental yang sehat
menurut Islam yakni : adanya perasaan cinta yang mendorong individu untuk damai
dan berkasih sayang, memiliki ketenangan jiwa, berakhlak mulia, senantiasa
berpegang teguh kepada Allah.
Pengaruh agama sangat penting dalam membentuk manusia yang sehat
mental, serta menyembuhkan mereka yang mengalami gangguan mental.
Pengalaman keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi manusia
dari gejala sakit jiwa dan dapat mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang-orang
yang gelisah. Semakin seseorang dekat dengan Tuhan, maka semakin tentram
jiwanya serta sehat mentalnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Agama: Wisata Pemikiram dan Kepercayaan


Manusia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cliffort Geertz. 1992. Kebudayaan dan Agama. Jogjakarta : Kanisius.

Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. (Yogyakarta :


PT. Dana Bhakti Prima Yasa)

Dadang Kahmad. 2002. Sosiologi Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Daradjat, Zakiyah. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.

Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso. 2000. Psikologi Islami, Solusi atas
Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Fahmi, Musthafa, 1977. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan


Masyarakat, jilid 1, alih bahasa, Zakiah Daradjat. Jakarta: Bulan Bintang.

Faisal Ismail, 1997. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Krisis dan Refleksi
Historis. Jogjakarta : Titian Ilahi Press.

Hasan Langgulung, 2002. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains
Sosial, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Jalaluddin Rakhmat, 1995. Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Jalaluddin, 2010. Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Masganti Siti. 2011. Psikologi Agama. Medan : Perdana Publishing

Najati, Muhammad Usman. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
terj Gazi Saloom. Bandung : Pustaka Hidayah.

Najati, Muhammad Usman. 2004. Psikologi dalam perspektif hadits terj Zainuddin
Abu Bakar. Jakarta : Husna Baru.

Robert H. Thouless, 1995. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

17
Sentot Haryanto. 2001. Psikologi Shalat : Kajian Aspek-Aspek Psikologis Ibadah
Shalat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zakiyah Darajat, 1989. Psikologi Agama. Jakarata : Bulan Bintang.

18

Anda mungkin juga menyukai